Tiga Kekuatan Pendorong Menuju Konflik
Peta jalan menuju perang ini ditenun oleh benang tiga kepentingan besar yang secara konsisten mendorong Washington ke ambang konflik. Pertama dan terdepan adalah Lobi Israel. Kekuatan ini, yang terdiri dari kepentingan Yahudi dan Kristen, memiliki pengaruh politik dan finansial yang luar biasa di Amerika Serikat. AIPAC, sebagai representasi kepentingan Yahudi, adalah organisasi lobi paling kuat kedua di AS, ditopang oleh para miliarder yang tak segan menggelontorkan dana. Bersama dengan Zionis Kristen, seperti "Christians United for Israel" yang memiliki jutaan anggota, mereka membentuk kekuatan tak terbendung yang menginginkan perang di Timur Tengah demi memajukan kepentingan Israel.
Kedua, Amerika Serikat, setelah sekian lama, kini terjerat dalam adiksi pada imperialisme. Konsep "mudah uang" dari sebuah imperium telah merasuki Washington. Segala bentuk perputaran uang global harus mengalir melalui AS, menciptakan gurita spekulasi finansial yang menjadikan Wall Street entitas maha kuasa dalam politik Amerika.
Terakhir, namun tak kalah krusial, adalah Arab Saudi. Konflik sesungguhnya di Timur Tengah, menurut analisis ini, bukanlah antara Israel dan Iran, melainkan antara Arab Saudi dan Iran. Bagi Israel, Iran adalah ancaman keamanan karena dukungannya terhadap Hamas dan Hizbullah.
Ketiga kekuatan pendorong ini menemukan perwujudannya dalam sosok Donald Trump. Jared Kushner, menantu Trump yang menikah dengan Ivanka Trump, menjadi jembatan vital antara Trump dan kepentingan-kepentingan ini. Kushner dikenal sangat dekat dengan Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, hingga pernah dikisahkan harus tidur di ruang bawah tanah agar Netanyahu bisa tidur di kamarnya.
Jejak Eskalasi Trump dan Hubris Militer AS
Pemerintahan Trump pertama telah memberikan bukti tak terbantahkan akan pengaruh masif kekuatan-kekuatan ini. Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran yang sejatinya bisa menjaga perdamaian
Namun, terlepas dari dorongan politik, ujung tombak implementasi perang ada di tangan militer AS. Celakanya, militer AS hari ini sangat berbeda dari tiga puluh tahun lalu. Dulu, mereka memegang teguh doktrin standar: mengerahkan massa pasukan, menghindari pengepungan, dan melindungi jalur pasokan.
Namun, setelah 2003, doktrin militer AS beralih ke "Shock and Awe" (Guncang dan Taklukkan). Doktrin ini mengklaim bahwa keunggulan udara, penguasaan teknologi yang absolut, dan kekuatan pasukan khusus memungkinkan perang dimenangkan dengan "murah, cepat, dan menentukan," tanpa perlu lagi dukungan politik publik yang masif.
Namun, kenyataan pahit Operasi Penjaga Kemakmuran (Operation Prosperity Guardian) di Laut Merah telah membuktikan kegagalan doktrin ini. Pasukan Houthi, kelompok pemberontak di Yaman, terus menyerang kapal-kapal dagang, mengganggu perdagangan internasional dan memicu inflasi global.
Iran: Dari Kemarahan Sejarah ke Keinginan Memprovokasi
Di sisi lain, Garda Revolusi Iran juga menginginkan perang dengan Amerika Serikat. Kemarahan mereka berakar pada sejarah panjang intervensi AS, khususnya dukungan Washington terhadap rezim Syah yang brutal dari 1953 hingga 1979.
Iran memiliki banyak strategi untuk memprovokasi AS agar menyerang. Mereka tahu AS mencari alasan, dan Iran siap memberikannya.
Skenario Invasi dan Jebakan Geografis
Mari kita bayangkan skenario invasi, pada Juli-Agustus 2025, yang diumumkan Trump sebagai "Operasi Kebebasan Iran" (Operation Iranian Freedom). AS akan bersekutu dengan Israel, Arab Saudi, Inggris, Australia, Uni Emirat Arab, dan Polandia.
- Demokrasi dan Kebebasan: Mengklaim rakyat Iran menginginkan kebebasan dari rezim Ayatollah yang diktator.
- Ancaman Nuklir: Intelijen AS dan Israel mengklaim Iran tinggal sebulan lagi memiliki tiga bom nuklir yang bisa menghancurkan kota-kota besar AS.
- Gangguan Pelayaran: Proksi Iran (Houthi, Hizbullah) mengganggu pelayaran di Laut Merah dan Selat Hormuz, mengancam 40% pasokan minyak dunia.
- Perlindungan Sekutu: Iran melancarkan serangan terhadap Arab Saudi dan Israel melalui proksinya.
- Sponsor Terorisme: Iran dituduh mensponsori serangan teroris yang menewaskan banyak warga sipil.
Trump akan menjamin kemenangan cepat, dalam dua minggu, seperti mengalahkan Saddam Hussein di Irak pada 1991 (100 jam) dan 2003 (kurang dari tiga minggu).
Pada titik ini, di mata banyak pengamat, perang tampak telah dimenangkan oleh AS. Namun, inilah jebakannya: Iran-lah yang sebenarnya memenangkan perang.
Mengapa? Karena militer AS melupakan doktrin perang tradisional:
- Pengepungan (Encirclement): Iran adalah negara pegunungan, mirip benteng alami. Pasukan yang diterjunkan ke dalam negeri akan terjebak dan sulit keluar.
- Massa Pasukan: Dengan 90 juta penduduk, menaklukkan Iran membutuhkan minimal 3-4 juta tentara, bukan ratusan ribu. Tank dan peralatan perang modern AS tidak dirancang untuk perang gunung.
- Jalur Pasokan (Supply Lines): Ini adalah masalah terbesar. Pesawat pengangkut akan sangat rentan terhadap serangan di wilayah pegunungan, seperti yang terjadi pada Soviet di Afghanistan.
Pasukan AS akan terkepung, kekurangan pasokan, dan secara efektif menjadi sandera.
Mengapa Rakyat Iran Takkan Bangkit?
Harapan AS bahwa rakyat Iran akan bangkit melawan rezim mereka adalah ilusi belaka.
- Sejarah Buruk dengan AS: Rakyat Iran membenci AS karena dukungannya terhadap rezim Syah yang brutal.
- Pembelajaran dari Irak: Rakyat Iran menyaksikan bagaimana invasi AS ke Irak pada 2003 tidak membawa kebebasan dan kemakmuran, melainkan kehancuran.
- Kebanggaan Peradaban: Bangsa Iran sangat menghargai kebebasan dan kemerdekaan mereka, tidak akan tunduk pada penjajah asing.
- Keyakinan Agama: Bagi banyak warga Iran, AS adalah "Setan Besar" dan ada kewajiban agama untuk melawannya.
Keyakinan militer AS bahwa invasi ini akan berhasil adalah buah dari hubris, percaya diri berlebihan setelah memiliki senjata nuklir, kemampuan membunuh siapa pun di dunia, dan pengawasan global.
Jebakan Nuklir dan Peran Rusia
Skenario terburuk adalah ketika pasukan AS terjebak, Trump akan menggunakan "kartu truf" terakhirnya: ancaman nuklir. Ia akan mengancam akan menghancurkan Iran jika pasukannya tidak diizinkan keluar.
Di sinilah peran Rusia menjadi krusial. Sebelum perang pecah, Iran dan Rusia harus mencapai kesepakatan di mana Putin secara terbuka menyatakan: "Tidak ada seorang pun yang diizinkan menggunakan senjata nuklir. Jika Iran menggunakannya, saya akan mengebom Iran. Jika AS menggunakannya, saya akan mengebom AS. Jika Israel menggunakannya, saya akan mengebom Israel."
Tanpa opsi nuklir, AS akan terperangkap dalam "lubang hitam" di Iran, terus-menerus mengirimkan lebih banyak pasukan tanpa bisa menariknya keluar.
Pada akhirnya, perang ini akan menjadi kekalahan telak bagi AS, terperangkap dalam sunk cost fallacy, di mana mereka terus menginvestasikan sumber daya tanpa harapan menang.
Zlamitan

.jpeg)
Komentar
Posting Komentar