Jauh sebelum demokrasi modern menjadi kredo global, Plato, melalui mulut gurunya, Socrates, telah melayangkan sebuah gugatan filosofis yang paling tajam dan abadi terhadapnya. Dalam mahakaryanya, The Republic, demokrasi digambarkan bukan sebagai puncak pencapaian politik, melainkan sebagai sebuah rezim yang penuh warna, memikat, namun secara inheren rapuh; sebuah pelabuhan yang nyaman sebelum tergelincir ke dalam tirani. Lebih dari dua milenium kemudian, ketika Indonesia merayakan demokrasi proseduralnya dengan segala hingar-bingar elektoral, kritik Plato ini kembali relevan bukan sebagai ramalan kuno, melainkan sebagai sebuah cermin retak yang memantulkan bayangan-bayangan paradoks dalam tubuh republik kita. Esai ini akan menggunakan diagnosis Plato yang menusuk untuk melakukan autopsi kritis terhadap "penyakit-penyakit" yang menggerogoti demokrasi Indonesia kontemporer—dari populisme yang membius hingga oligarki yang menggurita. Namun, dengan semangat skeptis yang sama, kita juga akan menggugat solusi elitis Plato tentang "filsuf-raja", untuk kemudian mencari jalan keluar yang lebih membumi bagi sebuah republik yang masih terperangkap dalam gua bayang-bayang.
Plato, dalam The Republic, mengkritik demokrasi sebagai sebuah sistem yang didasarkan pada prinsip kebebasan dan kesetaraan yang kebablasan. Baginya, demokrasi adalah sebuah "bazar konstitusi" yang mempesona, di mana setiap individu bebas mengejar hasrat dan keinginan sesaatnya tanpa kendali nalar atau kebajikan. Dalam negara demokratis, tidak ada lagi hierarki pengetahuan atau keutamaan; pendapat seorang ahli disamakan dengan suara orang awam, dan para pemimpin dipilih bukan karena kebijaksanaan mereka, melainkan karena kelihaian mereka dalam memanipulasi hasrat massa. Plato menyebut para politisi ini sebagai "demagog", penjaga ternak yang justru menggemukkan nafsu rakyat demi kepentingan mereka sendiri. Penyakit utama demokrasi, menurut Plato, adalah penolakannya terhadap gagasan bahwa memerintah adalah sebuah keahlian (techne) yang memerlukan pengetahuan sejati (episteme) tentang Kebaikan dan Keadilan. Akibatnya, negara demokratis yang dipimpin oleh hasrat tak terkendali ini akan mudah terperosok ke dalam kekacauan, dan dari rahim kekacauan itulah lahir seorang tiran—seorang pemimpin yang menjanjikan ketertiban dengan merenggut seluruh kebebasan dan dari rahim kekacauan itulah lahir seorang tiran—seorang pemimpin yang menjanjikan ketertiban dengan merenggut seluruh kebebasan.
Jika kita memegang "cermin retak" Plato ini di hadapan lanskap politik Indonesia kontemporer, pantulan yang tampak seringkali begitu familier hingga terasa mengerikan. Para "demagog" Platonic seolah menemukan panggung barunya dalam diri politisi-politisi populis yang lihai memainkan sentimen massa. Mereka tidak menawarkan analisis kebijakan yang rumit atau visi kebaikan bersama yang koheren, melainkan slogan-slogan emosional, politik identitas yang memecah belah, dan janji-janji muluk yang menyasar hasrat terdalam rakyat akan kemakmuran instan atau restorasi kejayaan semu. Nalar publik disingkirkan, digantikan oleh gelombang fanatisme dan kebencian terhadap "kambing hitam" yang diciptakan, entah itu "elite", "asing", atau kelompok minoritas. Dalam arena ini, negara yang seharusnya dipandu oleh akal sehat dan kebijaksanaan, justru terseret oleh arus deras nafsu kolektif, persis seperti yang dikhawatirkan Plato.
Lebih jauh, kritik Plato terhadap negara yang dikuasai oleh "hasrat" (bagian terendah dari jiwa) menemukan paralelnya yang kuat dalam cengkeraman oligarki di Indonesia. Ketika kekuasaan politik menjadi sekadar perpanjangan tangan dari kepentingan akumulasi kapital, maka negara tidak lagi mengejar Keadilan, melainkan profit. Para oligark bukanlah "Penjaga" (Guardians) dalam republik ideal Plato yang dididik untuk mengabdi pada kebaikan bersama; mereka adalah manifestasi dari jiwa-jiwa yang didominasi oleh nafsu akan kekayaan dan kekuasaan. Kebijakan publik yang lahir dari rahim oligarki cenderung melayani kepentingan segelintir orang, sementara "keadilan sosial" dalam Pancasila menjadi sekadar ornamen retoris. Demokrasi prosedural yang kita jalankan, dengan biaya politik yang selangit, pada akhirnya hanya menjadi mekanisme bagi sirkulasi elite yang sama, sebuah "bazar konstitusi" yang bising di mana prinsip-prinsip luhur dapat ditransaksikan demi konsesi proyek atau kelanggengan dinasti politik.
Alegori Plato yang paling masyhur, Alegori Gua, mungkin adalah metafora yang paling kuat untuk mendiagnosis kondisi kita saat ini. Sebagian besar masyarakat Indonesia, layaknya para tahanan dalam gua Plato, duduk terbelenggu menghadap dinding. Mereka disuguhi tontonan "bayang-bayang" yang diproyeksikan oleh api di belakang mereka. Bayang-bayang ini adalah realitas politik yang kita konsumsi sehari-hari: hiruk-pikuk pemberitaan media, drama perseteruan elite, konten viral di media sosial, hoaks, dan propaganda yang dirancang dengan saksama. Para "dalang" di balik layar—para strategis politik, oligark, pemilik media, dan buzzer bayaran—adalah mereka yang memanipulasi bayang-bayang ini untuk membentuk persepsi publik. Kita menjadi ahli dalam mengenali dan memprediksi gerak-gerik bayang-bayang; kita berdebat sengit tentang bayangan mana yang lebih baik, tanpa menyadari bahwa kita hanya memperdebatkan ilusi. Fokus pada demokrasi prosedural—pada ritual pemilu, pada manuver koalisi, pada siapa mengalahkan siapa—adalah keahlian para tahanan gua dalam memahami permainan bayang-bayang, sebuah keahlian yang justru menjauhkan kita dari realitas sejati: struktur ketidakadilan, jurang ketimpangan, dan pembusukan institusional yang terjadi di luar dinding gua.
Melihat diagnosis yang begitu tajam ini, sungguh menggoda untuk melirik solusi yang ditawarkan Plato: sang "Filsuf-Raja" (Philosopher-King). Seorang pemimpin yang, setelah berhasil keluar dari gua dan menyaksikan langsung Forma Kebaikan yang abadi, kembali ke dalam gua untuk memimpin para tahanan menuju pencerahan. Ia memerintah bukan berdasarkan opini atau hasrat, melainkan berdasarkan pengetahuan sejati akan keadilan. Namun, di sinilah kita harus menaruh skeptisisme kritis kita. Solusi Plato, betapapun idealnya, secara fundamental bersifat anti-demokratis dan elitis. Ia membuka pintu bagi tirani dalam bentuk lain yang mungkin lebih berbahaya: sebuah despotisme "tercerahkan" yang merasa berhak memaksakan "kebenaran"-nya pada seluruh rakyat tanpa memerlukan persetujuan mereka. Pertanyaan abadi yang tak terjawab oleh Plato adalah: Siapa yang berhak menentukan siapa sang filsuf sejati? Bagaimana kekuasaan absolut mereka dapat dikontrol agar tidak terkorupsi? Sejarah telah berulang kali menunjukkan betapa berbahayanya menyerahkan kekuasaan tanpa batas kepada individu atau kelompok yang mengklaim memiliki monopoli atas kebenaran.
Jika diagnosis Plato relevan namun resepnya beracun, lantas di manakah jalan keluar bagi republik bayang-bayang ini? Jawabannya mungkin bukanlah dengan mencari satu orang filsuf-raja, melainkan dengan melembagakan spirit filsafat itu sendiri ke dalam setiap sendi kehidupan berbangsa. Yang dibutuhkan bukanlah diktat dari seorang pencerahan, melainkan "dialektika"—sebuah proses dialog kritis yang terus-menerus—yang melibatkan seluruh warga negara dalam upaya bersama mencari kebenaran dan keadilan. Tujuannya bukanlah untuk menemukan seorang pemimpin yang bijak, melainkan untuk membangun institusi-institusi yang bijak dan warga negara yang bijak. Ini berarti perjuangan tanpa henti untuk menarik seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite, untuk keluar dari gua bayang-bayang. Ini menuntut sebuah revolusi dalam pendidikan publik, yang mengajarkan nalar kritis ketimbang kepatuhan dogmatis. Ini memerlukan media yang berfungsi sebagai obor pencerahan, bukan sekadar proyektor bayang-bayang yang menghibur. Ini membutuhkan sebuah ruang publik di mana pertanyaan-pertanyaan Sokratik yang menusuk dan tidak nyaman disambut sebagai tanda kesehatan demokrasi, bukan sebagai ancaman subversif.
Tantangan terbesar bagi Indonesia, pada akhirnya, bukanlah untuk meninggalkan demokrasi karena kelemahan-kelemahan yang telah diidentifikasi Plato, melainkan untuk berjuang mengangkatnya dari level prosedural ke level substansial. Ini adalah perjuangan untuk beralih dari sebuah republik bayang-bayang, di mana kita puas dengan ilusi-ilusi politik, menuju sebuah republik yang secara kolektif berani menatap cahaya Keadilan dan Kebaikan, betapapun menyilaukannya, dan betapapun perjalanan menuju ke sana tidak akan pernah selesai. Di tengah kegelapan gua, pertanyaan yang tersisa bukanlah siapa yang akan menyelamatkan kita, melainkan apakah kita bersama-sama memiliki keberanian untuk mulai memalingkan kepala dari bayang-bayang di dinding.
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar