Langsung ke konten utama

Antara Pesona Mistis dan Realitas Politis dalam Kabut Hitam Kepemimpinan Jawa

Membuka "Falsafah Kepemimpinan Jawa" serasa diajak menembus "kabut hitam" yang, menurut sang penulis, Dr. Suwardi Endraswara, menyelimuti jagad kepemimpinan Jawa. Kabut ini kadang menebal, kadang menipis, membuat esensi kepemimpinan itu "ada tetapi tiada secara kasatmata". Sebuah premis yang langsung membuat kita manggut-manggut, bukan? Betapa seringnya kita melihat para pemimpin kita bergerak dalam kamuflase, berkata halus menusuk, atau bersikap "lamis" (pura-pura). Buku ini, dengan kacamata antropologi sastra, budaya, dan politik, mencoba merajut ulang mutiara-mutiara kearifan yang mungkin terselip di antara endapan kabut tersebut.

Dasar pemikiran kekuasaan Jawa, seperti dipaparkan, tak pernah jauh dari figur sentral sang pemimpin. Ini mengingatkan kita pada analisis Benedict Anderson tentang kekuasaan Jawa yang bersifat sentralistis, tidak memancar, dan cenderung menghisap kekuasaan lain. Kekuasaan itu, konon, berasal dari alam ilahiah atau adikodrati, bukan dari mandat rakyat jelata. Akibatnya? Pertanggungjawaban moral kepada rakyat menjadi semacam bonus, bukan kewajiban utama; yang lebih penting adalah hubungan vertikal dengan sumber kekuasaan adikodrati tersebut. Di sinilah paradoks demokrasi kita mulai terasa menggelitik. Kita punya pemilu, punya DPR yang (katanya) wakil rakyat, tapi budaya "mohon petunjuk"  dan "ewuh pakewuh"  masih kental terasa, seolah keputusan akhir tetap menunggu wangsit dari "pusat" yang tak kasat mata. Demokrasi kita mungkin sudah punya KTP, tapi jiwanya masih setia dengan blangkon dan keris pusaka.

Fenomena "bapakisme"  dan budaya "ABS" (Asal Bapak Senang)  yang dikritik dalam buku ini, serta oleh pemikir seperti Hotman Siahaan yang dikutip, adalah getah dari konsep kekuasaan yang patrimonialistik ini. Loyalitas buta lebih dihargai daripada keahlian, dan budaya "inggih-inggih nun sendika dhawuh" (iya-iya, siap laksanakan perintah)  menjadi pelumas bagi roda birokrasi yang seringkali korup. Seperti yang dikatakan Max Weber, ada wewenang tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Pertanyaannya, mana yang dominan dalam "kabut" kita? Jangan-jangan campuran ketiganya, tapi dengan dosis legal-rasional yang paling sedikit, seperti micin dalam masakan warteg.

Kemudian ada konsep nistha, madya, utama—tiga kategori pemimpin Jawa. Pemimpin nistha adalah mereka yang "gila terhadap harta kekayaan (melikan arta)", pandai bersilat lidah demi pamrih pribadi, dan ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat. Rasanya deskripsi ini terlalu familiar, bukan? Kasus BLBI, Bulogate, hingga Hambalang yang disinggung, seolah menjadi contoh konkret pemimpin yang baru sampai level nistha, atau paling banter madya (yang mau memberi sebagian rejeki dan menghukum dengan adil). Mencapai level utama, yang "berbudi bawaleksana" (memberi tanpa pamrih dan teguh janji), terasa seperti mencari jarum di tumpukan RUU kontroversial.

Falsafah "sumur dan sungai" juga menarik untuk direfleksikan. Pemimpin "sumur" selalu ingin dilayani, airnya jernih tapi hanya untuk lingkungan terbatas. Sementara pemimpin "sungai" mengalirkan manfaat bagi banyak orang, meski airnya mungkin tak selalu jernih. Di era demokrasi digital ini, berapa banyak pemimpin kita yang masih terjebak dalam politik "sumur", sibuk menggali untuk kepentingan pribadi dan kroni, sementara rakyat kehausan di hilir? Idealnya, kita mendamba pemimpin "sungai" yang demokratis, yang mengalirkan "air" musyawarah dan toleransi.

Namun, harapan tak pernah padam. Ada falsafah prasaja (sederhana) dan manjing ajur-ajer (menyatu dengan rakyat)  yang dicontohkan oleh pemimpin seperti Jokowi dengan gaya blusukan-nya. Lalu ada ajaran Aja Gumunan, Aja Kagetan, Aja Dumeh (jangan mudah heran, jangan mudah kaget, jangan mentang-mentang) —sebuah kearifan yang jika diterapkan, mungkin bisa mengurangi drama dan kegaduhan politik yang tak perlu. Bayangkan jika para elite politik kita tidak mudah "kagetan" oleh kritik, tidak "gumunan" oleh pujian semu, dan tidak "dumeh" saat memegang kekuasaan. Mungkin anggaran negara bisa lebih banyak dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat daripada sekadar membiayai ego.

Sentuhan mistis tak pernah lepas dari kepemimpinan Jawa. Konsep wahyu keprabon, kasekten (kesaktian), dan peran keris sebagai simbol kekuasaan  seolah menjadi bumbu penyedap yang membuat kepemimpinan semakin "sakti". Filsuf seperti Foucault yang membahas bagaimana kekuasaan bekerja secara halus dan meresap, mungkin akan menemukan banyak bahan kajian di sini. Namun, ketika "laku spiritual" ini hanya menjadi kamuflase untuk melanggengkan kekuasaan atau menutupi borok, maka yang terjadi adalah "teater politik"  yang membingungkan rakyat.

Kearifan Astha Brata—delapan laku dewa yang harus dimiliki pemimpin, mulai dari ambeging candra (menyejukkan seperti bulan) hingga ambeging tirta (adil seperti air) —adalah standar yang begitu tinggi, mungkin hanya sekelas Plato's Philosopher King yang bisa mencapainya. Di zaman buzzer dan politik transaksional, ajaran luhur ini terasa seperti dongeng dari negeri antah berantah. Begitu pula konsep asah, asih, asuh (mendidik/mengasah, mengasihi, mengayomi/membimbing) —sebuah trilogi ideal yang jika diterapkan, mungkin bisa mengurangi defisit kepercayaan publik.

Tokoh punakawan seperti Semar dan Petruk, yang berani melontarkan parodi dan kritik, adalah harapan terakhir bagi suara kewarasan. Lakon "Petruk Dadi Ratu", di mana si abdi jelata mengambil alih kekuasaan karena para elite sudah keblinger, adalah sindiran pedas yang abadi. Di era reformasi semu ini, kita mungkin lebih sering melihat "Togog Dadi Ratu" —di mana yang berkuasa justru membawa agenda "hitam"—daripada Petruk yang merevolusi tatanan.

Pada akhirnya, "Falsafah Kepemimpinan Jawa" ini seperti pusaka tua: bisa menjadi sumber kearifan, bisa juga hanya menjadi pajangan yang disalahgunakan. Kabut hitam itu, tampaknya, tidak hanya warisan masa lalu, tapi juga sesuatu yang terus kita produksi setiap hari melalui praktik demokrasi kita yang penuh paradoks. Sambil menunggu satria piningit atau Ratu Adil  versi milenial yang (mungkin) tak kunjung datang, barangkali kita perlu bertanya pada diri sendiri: dalam sandiwara politik ini, kita lebih sering menjadi Semar yang bijak, Petruk yang kritis, Dasamuka yang serakah, atau jangan-jangan, hanya penonton yang ewuh pakewuh untuk sekadar mengganti saluran?


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...