Perdebatan tafsir, klaim kebenaran tunggal, dan esensi keberagamaan seringkali terselip bahkan terlupakan. Banyak individu terjebak dalam ritualisme dan dogmatisme, memandang agama lebih sebagai seperangkat aturan final ketimbang sebagai jalan spiritual yang dinamis. Fenomena ini melahirkan paradoks: agama yang sejatinya bertujuan membebaskan jiwa, justru acap kali menjadi sumber ketakutan, keterasingan, dan ironisnya, penghalang untuk mengalami Yang Transenden.
Kerap kita saksikan, semangat beragama termanifestasi dalam kompetisi simbolik. Ayat-ayat suci, yang semestinya menjadi lentera penerang jiwa, dialihfungsikan menjadi senjata untuk saling menyerang dan melabeli. Surga dan neraka, yang merupakan konsekuensi spiritual, direduksi menjadi komoditas yang diperebutkan atau dihindari dengan cemas. Dalam kondisi ini, agama bergeser dari wahana menuju Tuhan menjadi tujuan itu sendiri. Orang-orang begitu khusyuk "menyembah jalan," hingga lupa kemana jalan itu seharusnya mengantarkan.
Agama, dalam manifestasi idealnya, adalah petunjuk, sebuah peta spiritual. Namun, betapa sering petunjuk itu disalahartikan sebagai pagar pembatas. Individu terkurung dalam interpretasi literal dan kaku atas teks-teks suci, tanpa berani atau diberi ruang untuk menyelami makna batiniahnya. Ketakutan menjadi bayang-bayang yang menggelayuti setiap langkah: takut akan penghakiman ilahi, takut akan stigma sosial jika berbeda pandangan, takut akan kesalahan yang tak terampuni. Hidup pun dijalani bukan untuk meraih pencerahan atau mengalami kehadiran Ilahi, melainkan sekadar untuk "cari aman"—menghindari hukuman dan mengejar imbalan.
Jika orientasi keberagamaan hanya sebatas itu, pertanyaan mendasar muncul: untuk apa sejatinya kita beragama? Agama seharusnya menjadi perahu, bukan pelabuhan. Tugas utamanya adalah mengantarkan sang musafir spiritual dalam perjalanan mengenali hakikat dirinya dan Tuhannya. Ia adalah sarana untuk transendensi, untuk melampaui ego dan keterbatasan dunia material. Namun, ironisnya, mereka yang mencoba berbicara tentang hakikat, tentang pengalaman spiritual yang lebih mendalam, seringkali dicap sesat, bahkan dikafirkan oleh para penjaga formalitas agama.
Fenomena ini tak lepas dari dinamika kuasa. Sebagian penjaga institusi agama mungkin lebih khawatir kehilangan otoritas dan pengaruhnya daripada kehilangan substansi dan makna ajaran. Padahal, syariat (dimensi formal-legal agama) dan hakikat (dimensi esoteris-spiritual) bukanlah entitas yang bertentangan. Keduanya adalah saudara kembar yang saling melengkapi; syariat adalah wadah, hakikat adalah isinya. Tanpa isi, wadah menjadi kosong tak bermakna. Tanpa wadah, isi bisa tumpah tak berarah.
Lantas, apakah solusinya meninggalkan agama? Justru bukan. Agama tidak untuk ditinggalkan, melainkan untuk "ditembus," diselami, dan dihidupi. Perjalanan spiritual menuntut kita untuk mengikuti jalan formalnya, namun tidak berhenti di situ. Di dalam kedisiplinan ritual dan ajaran itulah, seorang pencari sejati akan menemukan cahaya pemahaman dan pengalaman langsung akan Yang Ilahi. Ini adalah proses transformasi dari keberagamaan yang didasari ketakutan menjadi keberagamaan yang berlandaskan kesadaran dan cinta.
Kekhawatiran bahwa melepaskan ketakutan akan berujung pada lepas kendali adalah kesalahpahaman. Kemerdekaan sejati dalam beragama bukanlah kebebasan liar tanpa batas, melainkan kebebasan yang lahir dari kesadaran. Ketika tidak lagi dikendalikan oleh rasa takut, individu dituntun oleh kebijaksanaan batin dan nurani yang tercerahkan. Ini adalah tingkat kedewasaan spiritual di mana kepatuhan bukan lagi karena paksaan atau iming-iming, melainkan karena pemahaman dan kerinduan akan kebenaran.
Sayangnya, sistem sosial dan keagamaan tertentu mungkin lebih nyaman dengan umat yang penurut karena takut, ketimbang umat yang kritis dan tercerahkan karena pemahaman. Namun, setiap individu memiliki potensi untuk melampaui keberagamaan yang diwariskan semata. Agama bukan hanya identitas atau warisan leluhur, melainkan sebuah undangan personal untuk menemukan makna terdalam kehidupan dan menjalin hubungan autentik dengan Sang Pencipta.
Pada akhirnya, dalam keragaman jalan spiritual, pengakuan atas kemanusiaan bersama menjadi sangat penting. "Bagimu agamamu" adalah pengakuan atas keunikan jalan spiritual setiap orang, namun "bagiku kau saudaraku" adalah penegasan atas ikatan universal yang melampaui sekat-sekat formalitas agama, menuju esensi kasih dan persaudaraan insani.
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar