Langsung ke konten utama

Analisis Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Indonesia

Pendahuluan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana di Indonesia merupakan instrumen hukum yang krusial dan sangat dinanti dalam upaya pemberantasan berbagai bentuk kejahatan terorganisir, khususnya korupsi, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi lintas batas negara lainnya. Hingga saat ini, per Juni 2025, RUU ini masih berstatus sebagai rancangan dan belum disahkan menjadi undang-undang, meskipun telah diusulkan sejak tahun 2008 dan urgensinya semakin meningkat seiring dengan kompleksitas modus operandi kejahatan transnasional serta tantangan yang dihadapi dalam pemulihan aset negara yang dicuri atau disembunyikan.

RUU ini mengusung sebuah pendekatan hukum yang inovatif dan progresif, yaitu mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB). Paradigma NCB ini secara fundamental berbeda dari pendekatan conviction based yang saat ini mendominasi kerangka hukum positif di Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Perbedaan esensial antara kedua pendekatan ini terletak pada prasyarat putusan pidana. Dalam sistem conviction based, perampasan aset hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap terhadap pelaku kejahatan. Artinya, fokus utama adalah pada pembuktian kesalahan pelaku secara personal. Sebaliknya, pendekatan NCB memungkinkan perampasan aset tanpa harus menunggu atau membuktikan penghukuman pidana terhadap individu pelaku. Fleksibilitas ini menjadi krusial dan secara signifikan lebih efektif dalam menangani kasus-kasus di mana pelaku melarikan diri, meninggal dunia, tidak dapat diadili karena alasan yurisdiksi, atau memiliki kekebalan hukum yang menghambat proses penuntutan pidana.

Tujuan utama dari analisis komprehensif ini adalah untuk memberikan pemahaman yang mendalam dan terstruktur mengenai:

  1. Mekanisme persidangan perampasan aset yang diusulkan berdasarkan pendekatan NCB dalam RUU Perampasan Aset.

  2. Teknis penerapan prinsip pembuktian terbalik (reversal burden of proof) yang menjadi elemen kunci dalam mekanisme ini.

  3. Menyoroti berbagai konteks, tantangan, serta keunggulan yang diharapkan dari RUU Perampasan Aset.

  4. Mengidentifikasi kebutuhan kritis akan harmonisasi RUU ini dengan regulasi dan undang-undang existing lainnya di Indonesia untuk memastikan konsistensi hukum dan efektivitas implementasi.

Dengan demikian, analisis ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi yang kredibel dan authoritative bagi para praktisi hukum, akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas dalam memahami signifikansi dan urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset demi optimalisasi upaya pemulihan kerugian negara dan penegakan hukum yang berkeadilan.

I. Mekanisme Persidangan Perampasan Aset Berdasarkan Pendekatan NCB (RUU Perampasan Aset)

A. Prinsip Umum

Proses persidangan perampasan aset yang diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dirancang untuk berjalan dalam kerangka hukum perdata. Ini merupakan inti dari pendekatan non-conviction based (NCB) yang diadopsi oleh RUU ini. Prinsip utamanya adalah pendekatan in rem, yang berarti fokus penegakan hukum diarahkan pada aset itu sendiri (res), bukan pada individu pelaku tindak pidana (persona). Oleh karena itu, salah satu karakteristik paling signifikan dari mekanisme ini adalah bahwa perampasan aset dapat dilakukan tanpa memerlukan penghukuman pidana terlebih dahulu terhadap pelaku. Hal ini berbeda dengan mekanisme perampasan aset yang ada saat ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang umumnya bersifat conviction based, di mana aset baru bisa dirampas setelah adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap terhadap individu yang bersangkutan.

B. Tahapan Utama Persidangan

Draf RUU Perampasan Aset menguraikan secara rinci tahapan-tahapan kunci yang akan dilalui dalam proses perampasan aset dengan paradigma NCB ini:

  1. Pengajuan Permohonan Perampasan Aset Pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan perampasan aset ke pengadilan adalah Jaksa Pengacara Negara (JPN). Selain itu, lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga memiliki kewenangan ini. Permohonan ini didasarkan pada dalil-dalil hukum yang kuat bahwa aset yang dimohonkan tersebut:

    1. Merupakan hasil tindak pidana, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk aset yang telah dikonversi ke bentuk lain atau telah dihibahkan kepada pihak ketiga.

    2. Digunakan atau diduga digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana.

    3. Tidak seimbang dengan penghasilan sah yang dimiliki oleh pemiliknya (unexplained wealth), yang mengindikasikan adanya perolehan tidak sah.

  2. RUU ini menetapkan kriteria aset yang dapat dirampas, yaitu aset dengan nilai minimal Rp100 juta atau aset yang terkait dengan tindak pidana yang memiliki ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih. Sebagai syarat formil pengajuan permohonan, Jaksa harus menyampaikan bukti awal (prima facie evidence) yang cukup untuk menduga bahwa aset tersebut memang terkait dengan tindak pidana. Contoh bukti awal ini meliputi laporan transaksi keuangan mencurigakan dari PPATK, hasil penelusuran aset, dokumen kepemilikan aset yang secara mencolok tidak sesuai dengan profil penghasilan resmi (misalnya, gaji pejabat publik) , atau bukti aliran dana dari aktivitas kriminal yang diperoleh dari hasil penyadapan atau laporan intelijen.

  3. Penelusuran dan Pemblokiran Aset Tahap ini merupakan langkah proaktif aparat penegak hukum untuk mengidentifikasi dan mengamankan aset. Dimulai dengan penelusuran aset yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk melacak aset yang diduga berasal dari tindak pidana. Proses ini melibatkan analisis mendalam terhadap pola transaksi keuangan, struktur kepemilikan aset, dan alur pergerakan aset, termasuk aset yang mungkin telah disembunyikan di luar negeri. Setelah aset teridentifikasi, aset tersebut dapat diblokir sementara untuk mencegah pengalihan, penyembunyian, atau perusakan oleh pemilik atau pihak ketiga. Draf RUU menetapkan batas waktu maksimal pemblokiran sementara adalah 30 hari. Durasi ini menjadi salah satu kelemahan yang disoroti karena dianggap terlalu singkat untuk kasus yang kompleks. Jika terdapat bukti yang cukup kuat untuk mendukung dugaan awal, aset tersebut kemudian dapat disita untuk diamankan, misalnya melalui penyimpanan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).

  4. Persidangan di Pengadilan Pemeriksaan permohonan perampasan aset akan dilakukan oleh majelis hakim dalam sidang yang bersifat terbuka untuk umum. Setelah permohonan diajukan, Ketua Majelis Hakim harus menetapkan hari sidang dalam waktu paling lambat 3 hari kerja, dengan mempertimbangkan jarak lokasi aset dan kebutuhan pengumuman kepada pihak terkait. Pada tahap pembuktian, Jaksa Pengacara Negara memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa aset yang dimohonkan adalah aset tindak pidana berdasarkan asas pembuktian formil. Yang paling krusial adalah penerapan prinsip pembuktian terbalik (reversal burden of proof), di mana setelah Jaksa memberikan bukti awal yang memadai, beban pembuktian beralih kepada tersangka atau pemilik aset untuk membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah. Standar pembuktian yang digunakan dalam proses perdata ini adalah balance of probabilities (kemungkinan yang lebih besar), yang berbeda dengan standar beyond reasonable doubt (melampaui keraguan yang beralasan) dalam hukum pidana. Pihak yang berkepentingan, seperti pemilik aset atau ahli waris, diberikan hak untuk mengajukan keberatan atau perlawanan terhadap permohonan perampasan aset tersebut. Namun, jika pihak ini tidak hadir tanpa alasan sah meskipun telah dipanggil secara patut, sidang tetap dapat dilanjutkan. Penting untuk dicatat, jika jaksa sebagai pemohon tidak hadir setelah empat kali sidang tanpa alasan sah, permohonan perampasan aset tersebut dinyatakan gugur.

  5. Putusan Pengadilan Setelah seluruh proses persidangan dan pembuktian selesai, pengadilan akan mengeluarkan putusan. Hakim akan memutuskan apakah aset tersebut dirampas untuk negara atau tidak, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Putusan pengadilan ini akan bersifat final dan mengikat setelah mencapai kekuatan hukum tetap (inkracht).

    1. Jika aset dinyatakan terbukti sebagai hasil atau terkait dengan tindak pidana, maka aset tersebut diserahkan kepada negara.

    2. Sebaliknya, jika kepemilikan sah aset dapat dibuktikan oleh pemilik atau tidak terbukti terkait tindak pidana, aset akan dikembalikan kepada pemilik yang sah. Pelaksanaan putusan pengadilan menjadi tanggung jawab Jaksa Pengacara Negara, yang harus menyerahkan aset kepada lembaga pengelola aset tindak pidana dalam waktu maksimal 14 hari kerja, disertai berita acara penyerahan yang lengkap.

  6. Pengelolaan Aset yang Dirampas Aset yang telah dirampas dan diserahkan kepada negara akan dikelola oleh lembaga yang berwenang, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Pengelolaan ini harus dilakukan berdasarkan asas profesionalitas, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas. Mekanisme pengelolaan aset yang dirampas dapat berupa lelang, pemanfaatan untuk kepentingan umum, atau pengalihan statusnya sebagai barang milik negara (BMN). Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh proses perolehan dan pengelolaan aset, diusulkan pula pembentukan sistem satu data. Penting untuk dicatat bahwa saat ini, Indonesia belum memiliki lembaga khusus atau pendanaan spesifik untuk pengelolaan aset rampasan yang terpusat, berbeda dengan Thailand yang memiliki AMLO/AMLF.

II. Teknis Pembuktian Terbalik dalam Perampasan Aset (Konsep dan Implementasi)

A. Konsep Dasar

Pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau yang juga dikenal sebagai reverse onus) merupakan mekanisme hukum yang fundamental dalam konteks perampasan aset berbasis non-conviction based (NCB). Konsep ini mengubah secara signifikan alur pembuktian yang lazim dalam hukum pidana, di mana beban pembuktian dialihkan dari Jaksa atau penegak hukum kepada pihak yang memiliki atau menguasai aset. Pihak tersebutlah yang diwajibkan untuk membuktikan bahwa aset yang dimilikinya atau dikuasainya diperoleh secara sah dan tidak memiliki kaitan dengan tindak pidana yang disangkakan. Dalam konteks Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Indonesia, pembuktian terbalik menjadi salah satu elemen kunci untuk mendukung implementasi pendekatan NCB ini.

  1. Definisi: Dalam sistem pembuktian terbalik, Jaksa hanya perlu memberikan bukti awal (prima facie evidence) yang memadai dan meyakinkan bahwa suatu aset diduga berasal dari tindak pidana atau merupakan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan sah (unexplained wealth) pemiliknya. Setelah bukti awal ini disajikan oleh Jaksa, beban pembuktian secara otomatis beralih kepada pemilik aset. Pemilik aset tersebut kemudian harus menunjukkan dan membuktikan secara sah asal-usul aset yang dimilikinya atau dikuasainya.

  2. Prinsip Hukum: Pendekatan ini mengadopsi prinsip in rem, yang berarti fokus proses perampasan aset adalah pada aset itu sendiri (res), bukan pada kesalahan personal atau penghukuman pelaku tindak pidana (persona). Oleh karena itu, perampasan aset tidak mensyaratkan adanya penghukuman pidana terlebih dahulu terhadap individu. Seluruh proses perampasan aset dengan pembuktian terbalik ini dilakukan melalui pengadilan perdata. Dalam konteks hukum perdata, standar pembuktian yang diterapkan adalah balance of probabilities (kemungkinan yang lebih besar atau preponderance of evidence), yang berbeda dengan standar pembuktian beyond reasonable doubt (melampaui keraguan yang beralasan) yang umumnya digunakan dalam hukum pidana.

  3. Tujuan: Penerapan pembuktian terbalik memiliki dua tujuan strategis utama. Pertama, untuk mempercepat proses perampasan aset, terutama dalam kasus-kasus kompleks dimana pelaku sulit diadili (misalnya karena melarikan diri, meninggal dunia, atau memiliki kekebalan hukum). Kedua, tujuan lainnya adalah untuk secara signifikan meningkatkan efektivitas upaya pemulihan kerugian negara yang berasal dari hasil tindak pidana, khususnya dalam kejahatan kerah putih seperti korupsi atau pencucian uang, di mana seringkali aset disamarkan atau disembunyikan dengan modus operandi yang rumit.

B. Implementasi dalam RUU Perampasan Aset

Berdasarkan draf RUU Perampasan Aset (versi yang diusulkan hingga 2023, mengingat RUU ini belum disahkan per Juni 2025), teknis pembuktian terbalik diatur melalui serangkaian tahapan yang sistematis dan terdefinisi dengan jelas:

  1. Tahap Awal: Bukti Awal oleh Jaksa. Proses pembuktian terbalik dimulai ketika Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau lembaga penegak hukum yang berwenang (misalnya, KPK atau PPATK) secara resmi mengajukan permohonan perampasan aset ke pengadilan. Pada tahap awal ini, Jaksa memiliki kewajiban untuk menyampaikan bukti awal yang kuat dan meyakinkan bahwa aset yang dimohonkan tersebut:

    1. Diduga keras merupakan hasil dari suatu tindak pidana, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk aset yang telah dikonversi ke bentuk lain (misalnya dari uang tunai menjadi properti) atau telah dialihkan/dihibahkan kepada pihak lain.

    2. Digunakan atau diduga kuat digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana.

    3. Atau tidak seimbang dengan penghasilan sah yang dimiliki oleh pemiliknya (unexplained wealth). Contoh-contoh bukti awal yang dapat diajukan oleh Jaksa meliputi laporan transaksi keuangan mencurigakan yang berasal dari PPATK , dokumen kepemilikan aset yang secara mencolok tidak sesuai dengan profil penghasilan resmi yang tercatat (misalnya, gaji seorang pejabat publik yang rendah namun memiliki banyak aset mewah) , atau bukti aliran dana yang terindikasi berasal dari aktivitas kriminal, seperti hasil penyadapan atau laporan intelijen yang telah terverifikasi.

  2. Pemberitahuan kepada Pemilik Aset. Setelah permohonan perampasan aset diajukan oleh Jaksa dan bukti awal disampaikan, pemilik aset atau pihak lain yang memiliki kepentingan sah atas aset tersebut (misalnya, ahli waris, penerima hibah, atau pihak ketiga yang menguasai aset) harus diberitahukan secara resmi mengenai permohonan perampasan ini. Pemberitahuan ini dapat dilakukan melalui pengumuman publik atau panggilan pengadilan yang sah. Draf RUU mensyaratkan agar pemberitahuan ini dilakukan dalam waktu yang singkat (misalnya, antara 3 hingga 7 hari kerja sesuai draf RUU) dengan tujuan utama untuk mencegah pemilik aset melakukan tindakan pengalihan, penyembunyian, atau perusakan aset sebelum proses hukum dapat berjalan lebih lanjut.

  3. Beban Pembuktian pada Pemilik Aset. Inilah inti operasional dari prinsip pembuktian terbalik. Setelah Jaksa berhasil menyajikan bukti awal yang memadai, beban pembuktian secara penuh beralih kepada pemilik aset. Pemilik aset memiliki kewajiban hukum untuk membuktikan bahwa aset yang dimohonkan perampasannya tersebut:

    1. Diperoleh secara sah, misalnya melalui warisan yang dapat dibuktikan, hasil dari bisnis yang legal dan tercatat, investasi yang sah, atau sumber pendapatan lain yang dapat diverifikasi dan dipertanggungjawabkan secara hukum.

    2. Tidak memiliki hubungan atau tidak terkait sama sekali dengan tindak pidana yang diduga menjadi sumber perolehannya. Untuk memenuhi beban pembuktian ini, pemilik aset dapat mengajukan berbagai jenis bukti, antara lain: dokumen kepemilikan yang sah (seperti akta jual beli, sertifikat kepemilikan, atau kontrak perjanjian yang relevan) , bukti-bukti yang menunjukkan sumber pendapatan yang sah (seperti laporan pajak tahunan, slip gaji resmi, atau laporan keuangan bisnis yang teraudit) , atau keterangan saksi serta bukti lain yang secara meyakinkan mendukung klaim asal-usul aset yang sah. Penting untuk diingat bahwa standar pembuktian yang diterapkan dalam proses perdata ini adalah balance of probabilities (kemungkinan yang lebih besar), bukan beyond reasonable doubt seperti dalam hukum pidana.

  4. Proses Persidangan dan Putusan Hakim. Sidang perampasan aset akan dilaksanakan secara terbuka di pengadilan perdata. Dalam persidangan, Majelis Hakim akan secara cermat dan independen menilai seluruh bukti yang diajukan, baik dari pihak Jaksa maupun dari pihak pemilik aset. Jika pemilik aset gagal untuk membuktikan asal-usul sah dari aset tersebut, atau jika pemilik aset tidak menghadiri sidang tanpa alasan sah setelah panggilan yang patut, Hakim dapat memutuskan untuk merampas aset tersebut untuk negara. Sebaliknya, jika pemilik aset berhasil membuktikan secara meyakinkan asal-usul yang sah dari asetnya, maka aset tersebut akan dikembalikan kepadanya.

  5. Batasan dan Perlindungan. Untuk memastikan bahwa penerapan pembuktian terbalik dilakukan secara adil dan untuk mencegah potensi penyalahgunaan serta melindungi hak-hak dasar warga negara, draf RUU Perampasan Aset juga mengatur sejumlah batasan dan mekanisme perlindungan:

    1. Batasan Nilai Aset: Draf RUU mengatur bahwa prinsip pembuktian terbalik hanya berlaku untuk aset dengan nilai minimal Rp100 juta atau aset yang terkait dengan tindak pidana yang memiliki ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih. Ini bertujuan untuk memfokuskan upaya pada kasus-kasus dengan dampak signifikan.

    2. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM): Untuk mencegah potensi pelanggaran HAM, pemilik aset diberikan hak-hak fundamental dalam proses ini, termasuk hak untuk mengajukan keberatan atau perlawanan terhadap permohonan perampasan dalam sidang , hak untuk mendapatkan akses ke bantuan hukum yang efektif, serta hak untuk mengajukan banding jika putusan pengadilan dianggap tidak adil (mekanisme banding ini akan diatur lebih lanjut dalam pengaturan RUU final).

    3. Batas Waktu: Prosedur perampasan aset ini juga memiliki tenggat waktu yang ketat, misalnya pemblokiran aset maksimal 30 hari. Ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pembekuan aset yang berlarut-larut yang dapat melanggar hak kepemilikan individu.

C. Praktik Pembuktian Terbalik di Negara Lain (Studi Kasus)

Penerapan pembuktian terbalik dalam perampasan aset bukanlah konsep baru dan telah berhasil diimplementasikan di berbagai yurisdiksi di dunia, memberikan preseden dan pelajaran berharga bagi Indonesia:

  1. Inggris: Proceeds of Crime Act (POCA) 2002. Inggris memiliki kerangka hukum yang kuat melalui POCA 2002, yang merupakan salah satu undang-undang perampasan aset paling komprehensif di dunia. Dalam konteks civil recovery (pemulihan perdata aset), National Crime Agency (NCA) cukup mengajukan bukti awal (prima facie evidence) yang mengindikasikan bahwa suatu aset merupakan hasil dari "perilaku melanggar hukum" (unlawful conduct). Bukti ini dapat berupa laporan transaksi keuangan yang mencurigakan, atau adanya ketidaksesuaian yang mencolok antara nilai aset yang dimiliki dengan penghasilan sah pemiliknya. Setelah itu, beban pembuktian secara jelas beralih kepada pemilik aset untuk secara meyakinkan membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh dari sumber yang sah, misalnya melalui dokumen-dokumen seperti laporan pajak resmi atau kontrak bisnis yang sah. Pengadilan tinggi kemudian akan menilai kasus ini berdasarkan standar balance of probabilities. Contoh Kasus: Pada tahun 2019, NCA berhasil merampas aset senilai £10 juta dari seorang pengusaha yang tidak mampu membuktikan asal-usul dana yang digunakan untuk membeli properti mewah di London. Bukti awal yang diajukan NCA dengan jelas menunjukkan ketidaksesuaian antara penghasilan resmi pengusaha tersebut dengan nilai aset yang dimilikinya. Keberhasilan: Pendekatan ini terbukti sangat efektif dalam menargetkan aset yang disembunyikan di yurisdiksi lepas pantai melalui kerja sama yang erat dengan otoritas internasional. Selain itu, perlindungan hukum yang memadai diberikan kepada individu melalui hak banding dan akses yang terjamin ke bantuan hukum.

  2. Afrika Selatan: Prevention of Organised Crime Act (POCA) 1998. Afrika Selatan mengimplementasikan POCA 1998 untuk memerangi kejahatan terorganisir, termasuk perampasan aset. Dalam kerangka ini, Asset Forfeiture Unit (AFU) mengajukan bukti awal bahwa aset terkait tindak pidana atau merupakan unexplained wealth. Beban pembuktian kemudian beralih kepada pemilik aset yang harus menyediakan bukti dokumenter, seperti laporan keuangan, akta warisan, atau dokumen sah lainnya, untuk membuktikan asal-usul sah asetnya. Proses ini juga dilakukan di pengadilan perdata dengan standar balance of probabilities. Contoh Kasus: Pada tahun 2017, AFU berhasil merampas aset senilai R60 juta (sekitar Rp60 miliar) dari seorang pejabat publik yang tidak dapat menjelaskan asal-usul properti mewahnya. Bukti awal AFU berupa laporan transaksi mencurigakan dari Financial Intelligence Centre (FIC) yang menjadi dasar permohonan. Keberhasilan: Prosedur perampasan aset di Afrika Selatan dikenal cepat (dengan pemblokiran aset yang dapat dilakukan dalam 7 hari) dan sangat efektif, terutama untuk kasus korupsi tingkat tinggi. Negara ini juga memiliki sistem pengelolaan aset rampasan yang transparan melalui dana khusus.

  3. Thailand: Anti-Money Laundering Act (AMLA) 1999. Thailand, melalui AMLA 1999, telah berhasil menerapkan mekanisme perampasan aset berbasis NCB. Anti-Money Laundering Office (AMLO) mengajukan bukti awal berdasarkan analisis transaksi keuangan yang mencurigakan atau adanya ketidaksesuaian aset dengan penghasilan yang sah. Pemilik aset diberi waktu tertentu (biasanya antara 30 hingga 90 hari) untuk membuktikan asal-usul sah aset melalui dokumen resmi seperti kontrak, laporan pajak, atau bukti warisan. Pengadilan perdata memutuskan kasus ini berdasarkan standar balance of probabilities. Contoh Kasus: Pada tahun 2015, AMLO berhasil merampas aset senilai 1,2 miliar baht (sekitar Rp550 miliar) dari jaringan narkotika setelah pemilik aset gagal membuktikan asal-usul sah kepemilikan aset tersebut. Keberhasilan: Prosedur pemblokiran aset yang cepat (maksimal 90 hari) di Thailand sangat efektif mencegah pengalihan aset sebelum proses hukum selesai. Dana rampasan juga dikelola melalui Anti-Money Laundering Fund untuk mendukung operasional penegakan hukum.

III. Konteks, Tantangan, dan Keunggulan RUU Perampasan Aset

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, sebagai instrumen hukum yang progresif, dihadapkan pada berbagai konteks, tantangan, dan juga menawarkan keunggulan signifikan dalam upaya pemberantasan kejahatan di Indonesia.

A. Konteks dan Tantangan

Meskipun RUU Perampasan Aset menawarkan solusi yang inovatif dan progresif, implementasinya di Indonesia menghadapi berbagai tantangan kompleks yang menghambat proses pengesahannya dan potensi efektivitasnya:

  1. Status RUU yang Belum Disahkan: RUU Perampasan Aset, meskipun telah diusulkan sejak tahun 2008, hingga Juni 2025 belum juga disahkan menjadi undang-undang dan tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Keterlambatan ini disebabkan oleh adanya resistensi dari sektor politik dan birokrasi, mengingat banyak kasus korupsi dan kejahatan ekonomi melibatkan aktor-aktor kuat yang berpotensi terdampak langsung oleh RUU ini. Ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam memperoleh dukungan politik yang memadai untuk pengesahan RUU ini.

  2. Isu Hak Asasi Manusia (HAM): Penerapan mekanisme non-conviction based (NCB) dan prinsip pembuktian terbalik menimbulkan kekhawatiran yang sah terkait potensi pelanggaran hak asasi manusia. Jika tidak diimbangi dengan prosedur hukum yang transparan, adil, dan perlindungan yang memadai bagi pihak yang tidak bersalah (misalnya, anggota keluarga pelaku yang tidak terlibat langsung dalam tindak pidana), RUU ini berisiko melanggar asas praduga tak bersalah. Oleh karena itu, keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan HAM menjadi isu krusial yang harus diperhatikan.

  3. Kompleksitas Penelusuran Aset Transnasional: Banyak aset hasil tindak pidana disembunyikan di luar negeri, seringkali melalui jaringan keuangan yang rumit dan yurisdiksi lepas pantai. Penelusuran aset semacam ini memerlukan kerja sama internasional yang sangat kuat dan efisien. Saat ini, kapasitas dan koordinasi kerja sama internasional Indonesia dalam pelacakan aset transnasional belum sepenuhnya optimal, menjadi tantangan besar dalam implementasi RUU ini.

  4. Kapasitas Penegak Hukum dan Risiko Pemalsuan Bukti: Penelusuran aset, khususnya yang berkaitan dengan forensik keuangan dan analisis transaksi keuangan yang kompleks, memerlukan keahlian tinggi dari aparat penegak hukum. Kapasitas di bidang ini mungkin masih terbatas di Indonesia. Selain itu, ada risiko bahwa pemilik aset dapat mencoba memalsukan dokumen atau bukti untuk mengelabui pengadilan, yang menuntut adanya mekanisme verifikasi bukti yang canggih dan alat bantu forensik keuangan yang memadai.

B. Keunggulan

Jika RUU Perampasan Aset berhasil disahkan dan diimplementasikan secara efektif, ia akan membawa sejumlah keunggulan signifikan dalam upaya pemberantasan kejahatan dan pemulihan kerugian negara:

  • Mempercepat Pemulihan Kerugian Negara: Mekanisme NCB memungkinkan pemulihan aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu proses pidana yang seringkali panjang, berlarut-larut, dan kompleks. Ini sangat krusial untuk mengembalikan aset negara yang hilang akibat korupsi, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi lainnya secara lebih efisien.

  • Memberikan Efek Jera yang Kuat: Dengan secara langsung menargetkan pada aset hasil kejahatan, RUU ini akan memberikan efek jera yang lebih besar bagi pelaku kejahatan ekonomi. Ancaman perampasan aset menjadi lebih nyata dan tidak lagi sepenuhnya tergantung pada tertangkap atau dihukumnya pelaku secara personal, sehingga dapat memutus mata rantai keuntungan dari kejahatan.

  • Mengadopsi Standar Internasional: RUU Perampasan Aset mengadopsi standar dan rekomendasi yang terkandung dalam Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) 2003. Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Penerapan NCB merupakan salah satu bentuk pemenuhan komitmen internasional ini, menunjukkan kepatuhan Indonesia terhadap norma-norma global dalam pemberantasan kejahatan transnasional.

C. Kelemahan (Perbaikan yang Diperlukan)

Meskipun menawarkan keunggulan strategis, RUU ini juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diatasi dalam perumusan finalnya dan saat implementasi:

  • Risiko Penyalahgunaan Wewenang: Tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang ketat, independen, dan efektif, potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam proses penelusuran, pemblokiran, hingga pengajuan permohonan perampasan aset sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah.

  • Waktu Pemblokiran Aset yang Singkat: Batas waktu pemblokiran aset sementara yang maksimal 30 hari sebagaimana diatur dalam draf RUU dianggap terlalu singkat. Durasi ini mungkin tidak memadai untuk kasus-kasus yang sangat kompleks, terutama yang melibatkan aset transnasional atau jaringan kejahatan yang rumit yang memerlukan waktu lebih panjang untuk penelusuran dan verifikasi.

  • Belum Adanya Lembaga Khusus Pengelola Aset: Berbeda dengan negara lain seperti Thailand yang memiliki Anti-Money Laundering Office (AMLO) dan Anti-Money Laundering Fund (AMLF) untuk mengelola aset rampasan, Indonesia belum memiliki lembaga khusus atau pendanaan spesifik yang terpusat dan komprehensif untuk pengelolaan aset rampasan. Hal ini dapat menyebabkan inefisiensi, kurangnya profesionalisme, dan potensi kebocoran dalam manajemen aset yang telah dirampas, sehingga perlu dipertimbangkan pembentukannya.

IV. Harmonisasi RUU Perampasan Aset dengan Regulasi Eksisting

Untuk memastikan efektivitas implementasi, mencegah tumpang tindih kewenangan, menghindari kontradiksi hukum, serta menghilangkan potensi hambatan dalam pelaksanaannya, Undang-Undang Perampasan Aset (UU PA) yang baru harus diselaraskan secara komprehensif dengan regulasi atau undang-undang yang sudah ada di Indonesia. Tantangan utama dalam harmonisasi ini adalah menjembatani perbedaan fundamental antara paradigma non-conviction based (NCB) yang diusung oleh UU PA dengan pendekatan conviction based yang masih menjadi tulang punggung regulasi hukum pidana dan acara pidana di Indonesia saat ini.

A. Urgensi Penyelarasan

Penyelarasan hukum menjadi sangat urgen karena:

  • Mencegah Tumpang Tindih dan Kontradiksi: Tanpa harmonisasi, akan ada potensi konflik norma dan kewenangan antara UU PA dengan undang-undang lain yang juga mengatur penyitaan atau perampasan aset, seperti KUHAP, UU Tipikor, dan UU TPPU.

  • Memastikan Efektivitas Implementasi: Inkonsistensi hukum dapat menciptakan celah atau hambatan prosedural yang melemahkan upaya pemulihan aset dan menyulitkan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.

  • Menciptakan Kepastian Hukum: Penyelarasan akan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, baik penegak hukum maupun masyarakat, mengenai mekanisme dan hak-hak yang berlaku dalam proses perampasan aset.

  • Memenuhi Komitmen Internasional: Harmonisasi ini juga penting untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam konvensi internasional seperti UNCAC 2003, yang mendorong mekanisme NCB.

B. Regulasi Kunci yang Perlu Diselaraskan dan Rekomendasi

Berikut adalah daftar regulasi atau undang-undang kunci yang perlu diselaraskan dengan UU PA, beserta alasan mendetail dan rekomendasi penyelarasan yang spesifik:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    1. Alasan Penyelarasan: KUHAP secara fundamental mengatur prosedur penyitaan dan perampasan aset dalam konteks pidana (conviction based), yang secara mutlak mensyaratkan adanya penghukuman pelaku terlebih dahulu. Pendekatan ini secara langsung bertentangan dengan filosofi NCB dalam UU PA yang berfokus pada aset (in rem) tanpa memerlukan putusan pidana. Selain itu, pasal-pasal terkait penyitaan dalam KUHAP (misalnya, Pasal 38-46) tidak mengakomodasi secara eksplisit konsep pemblokiran cepat atau prinsip pembuktian terbalik yang menjadi inti UU PA. KUHAP juga belum memiliki ketentuan spesifik yang memadai untuk penelusuran aset transnasional, sebuah aspek yang sangat ditekankan dalam UU PA.

    2. Rekomendasi Penyelarasan: KUHAP perlu diamandemen atau dilengkapi dengan bab atau pasal khusus yang secara eksplisit mengakui prosedur perampasan aset berbasis NCB sebagai sebuah alternatif prosedur pidana. Mekanisme pemblokiran dan penyitaan sementara dalam KUHAP juga harus disesuaikan agar selaras dengan tenggat waktu singkat yang diusulkan di UU PA (misalnya, pemblokiran maksimal 30 hari). Penting pula untuk mengintegrasikan ketentuan kerja sama internasional untuk penelusuran aset, sesuai dengan standar Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) 2003.

  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)

    1. Alasan Penyelarasan: Meskipun UU Tipikor telah mengatur perampasan aset hasil korupsi (Pasal 18), mekanismenya masih berbasis conviction based, yang seringkali tidak efektif jika pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau tidak dapat diadili karena alasan lain. UU Tipikor juga tidak mengadopsi pembuktian terbalik secara eksplisit untuk semua aset, melainkan hanya terbatas pada gratifikasi (Pasal 12B), sementara UU PA memperluas cakupan pembuktian terbalik untuk unexplained wealth. Selain itu, pengelolaan aset rampasan dalam UU Tipikor belum memiliki mekanisme terpusat yang efisien, berbeda dengan usulan UU PA untuk lembaga khusus atau sistem pengelolaan transparan.

    2. Rekomendasi Penyelarasan: Menambahkan klausul dalam UU Tipikor yang secara jelas mengakui NCB sebagai mekanisme pelengkap untuk penanganan kasus korupsi, terutama dalam kondisi di mana pelaku tidak dapat diadili. Definisi aset yang dapat dirampas (misalnya, hasil langsung/tidak langsung tindak pidana, aset yang dikonversi) perlu diselaraskan antara UU Tipikor dan UU PA untuk menciptakan konsistensi. Pengelolaan aset rampasan harus diintegrasikan di bawah satu lembaga atau sistem yang terpusat (misalnya, di bawah Kementerian Keuangan) untuk menghindari duplikasi dan meningkatkan efisiensi.

  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)

    1. Alasan Penyelarasan: UU TPPU memiliki mekanisme penelusuran dan pemblokiran aset berdasarkan laporan transaksi mencurigakan dari PPATK, yang sejalan dengan semangat UU PA. Namun, perampasan aset dalam UU TPPU masih bergantung pada putusan pidana. UU TPPU juga tidak mengatur pembuktian terbalik secara eksplisit, padahal UU PA menjadikannya elemen utama. Koordinasi antara PPATK, Kejaksaan, dan KPK dalam UU TPPU perlu diperkuat untuk mendukung penelusuran aset transnasional yang menjadi fokus UU PA.

    2. Rekomendasi Penyelarasan: Menambahkan ketentuan dalam UU TPPU yang secara eksplisit memungkinkan perampasan aset berbasis NCB untuk kasus pencucian uang, sesuai dengan prinsip UU PA. Prosedur pemblokiran aset (termasuk tenggat waktu dan verifikasi) antara UU TPPU dan UU PA harus diselaraskan untuk menghindari ketidakjelasan. Peran PPATK sebagai pusat analisis keuangan perlu diperkuat lebih lanjut untuk mendukung penyediaan bukti awal dalam proses pembuktian terbalik di UU PA.

  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003

    1. Alasan Penyelarasan: UU No. 7/2006 adalah dasar ratifikasi UNCAC, yang secara tegas mendorong mekanisme NCB dan pembuktian terbalik untuk perampasan aset (Pasal 54 dan 55 UNCAC). Namun, implementasi ketentuan ini di Indonesia masih lemah karena ketiadaan UU PA sebagai payung hukum yang memadai. UU ini juga belum memiliki hukum acara spesifik yang mendukung kerja sama internasional dalam perampasan aset, seperti mutual legal assistance (MLA), yang menjadi fokus penting UU PA.

    2. Rekomendasi Penyelarasan: Ketentuan-ketentuan UNCAC, khususnya yang berkaitan dengan NCB dan kerja sama internasional, harus diintegrasikan secara komprehensif ke dalam UU PA. Perlu disusun peraturan pelaksana (misalnya, Peraturan Pemerintah) yang secara detail mengatur prosedur MLA, termasuk pertukaran informasi, pelacakan aset, dan ekstradisi aset yang disembunyikan di luar negeri. Standar pembuktian terbalik dalam UU PA juga perlu disesuaikan agar sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi UNCAC.

  5. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK)

    1. Alasan Penyelarasan: UU PPKSK mengatur pemblokiran aset dalam konteks krisis keuangan, yang berpotensi tumpang tindih dengan pemblokiran aset di UU PA, terutama jika aset tersebut terkait dengan tindak pidana di sektor perbankan atau keuangan. Koordinasi antar-lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan PPATK dalam UU PPKSK perlu diselaraskan dengan peran Kejaksaan dan KPK dalam konteks UU PA.

    2. Rekomendasi Penyelarasan: Prosedur pemblokiran aset antara UU PPKSK dan UU PA harus diselaraskan untuk menghindari konflik kewenangan atau penanganan ganda yang tidak efisien. Perlu diatur mekanisme berbagi informasi yang efektif antara OJK, BI, dan PPATK dengan aparat penegak hukum yang berwenang melaksanakan UU PA untuk mendukung penelusuran aset, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan sektor keuangan.

  6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (untuk Tindak Pidana di Sektor Kesehatan)

    1. Alasan Penyelarasan: UU PA dapat mencakup perampasan aset yang berasal dari tindak pidana di sektor kesehatan (misalnya, korupsi dalam pengadaan alat kesehatan atau penyalahgunaan dana BPJS). Namun, UU Kesehatan saat ini tidak mengatur mekanisme perampasan aset secara spesifik. Koordinasi yang lebih erat dengan Kementerian Kesehatan diperlukan untuk mendukung penelusuran dan identifikasi aset yang terkait dengan tindak pidana di sektor ini.

    2. Rekomendasi Penyelarasan: Menambahkan ketentuan dalam UU Kesehatan yang secara eksplisit mendukung penerapan perampasan aset berbasis NCB untuk tindak pidana di sektor kesehatan, sesuai dengan prinsip-prinsip UU PA. Perlu juga dipertimbangkan integrasi data keuangan dari sektor kesehatan (misalnya, data anggaran dan transaksi BPJS) untuk mendukung penyediaan bukti awal dalam proses pembuktian terbalik di UU PA.

  7. Peraturan Pemerintah dan Regulasi Teknis Lain

    1. Alasan Penyelarasan: Pengesahan UU PA akan memerlukan peraturan pelaksana yang detail, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau Peraturan Menteri (Permen), untuk mengatur teknis operasional penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan pengelolaan aset rampasan. Selain itu, regulasi yang sudah ada seperti PP Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi juga perlu diselaraskan untuk mendukung pelaporan aset mencurigakan yang dapat menjadi dasar permohonan perampasan aset.

    2. Rekomendasi Penyelarasan: Perlu disusun PP khusus untuk UU PA yang secara komprehensif mengatur prosedur pembuktian terbalik, mekanisme pengelolaan aset rampasan, dan kerangka kerja sama antar-lembaga. Regulasi PPATK (misalnya, pedoman pelaporan transaksi mencurigakan) harus disesuaikan untuk lebih mendukung penelusuran aset dalam konteks UU PA. Pembentukan lembaga pengelola aset rampasan yang terpusat dan akuntabel (misalnya, di bawah DJKN Kementerian Keuangan) harus diatur secara jelas melalui Perpres.

C. Pertimbangan Tambahan dalam Harmonisasi

Selain harmonisasi dengan regulasi di atas, beberapa pertimbangan strategis harus menjadi fokus utama dalam perumusan dan implementasi UU PA:

  • Harmonisasi Antar-Lembaga: UU PA harus secara tegas mengatur koordinasi yang jelas dan efektif antara berbagai lembaga penegak hukum (Kejaksaan, KPK, Polri, PPATK) dan instansi terkait lainnya (misalnya Kementerian Keuangan, OJK, BI) untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, inefisiensi, dan potensi konflik. Pembentukan satuan tugas bersama (joint task force) atau sistem satu data nasional untuk penelusuran dan pengelolaan aset dapat menjadi solusi konkret untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.

  • Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM): Penyelarasan seluruh regulasi harus memastikan bahwa mekanisme NCB dan pembuktian terbalik tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Hal ini dapat dicapai dengan mengintegrasikan hak-hak fundamental seperti hak untuk mengajukan keberatan, hak untuk banding, dan akses yang memadai terhadap bantuan hukum yang efektif dalam semua regulasi terkait.

  • Kerja Sama Internasional: UU PA harus selaras dengan perjanjian bilateral atau multilateral yang telah diratifikasi Indonesia (misalnya, ASEAN MLAT) untuk mendukung perampasan aset transnasional. Ini memerlukan penyesuaian dengan UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA) untuk mempermudah proses pelacakan, pembekuan, dan pengembalian aset dari yurisdiksi asing.

Kesimpulan dan Rekomendasi Umum

Sebagai penutup dari analisis komprehensif ini, dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan sebuah instrumen hukum yang esensial dan inovatif untuk memperkuat upaya pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia.

Ringkasan Mekanisme dan Manfaat RUU

Mekanisme persidangan perampasan aset berdasarkan draf RUU Perampasan Aset dirancang dengan pendekatan non-conviction based (NCB) melalui proses perdata. Pendekatan ini merupakan terobosan fundamental dalam hukum Indonesia, memfokuskan pada aset (in rem) daripada penghukuman pelaku. Proses ini meliputi tahapan sistematis seperti penelusuran, pemblokiran, penyitaan, persidangan terbuka, dan pelaksanaan putusan pengadilan. Inti dari mekanisme ini adalah penerapan prinsip pembuktian terbalik (reversal burden of proof), di mana Jaksa hanya perlu memberikan bukti awal (prima facie evidence) bahwa aset diduga terkait tindak pidana atau merupakan unexplained wealth, setelah itu beban pembuktian beralih kepada pemilik aset untuk membuktikan asal-usul sah asetnya.

Manfaat utama dari penerapan RUU ini sangat jelas:

  • Mempercepat Pemulihan Kerugian Negara: Mekanisme NCB memungkinkan pemulihan aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu proses pidana yang seringkali panjang dan berlarut-larut. Ini sangat krusial untuk mengembalikan aset negara yang hilang akibat korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya secara lebih efisien.

  • Memberikan Efek Jera yang Kuat: Dengan secara langsung menargetkan pada aset hasil kejahatan, RUU ini akan memberikan efek jera yang lebih besar bagi pelaku kejahatan ekonomi, karena ancaman perampasan aset menjadi lebih nyata dan tidak tergantung pada tertangkap atau dihukumnya pelaku secara personal.

  • Mengadopsi Standar Internasional: RUU Perampasan Aset mengadopsi standar dan rekomendasi yang terkandung dalam Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) 2003, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Penerapan NCB merupakan salah satu bentuk pemenuhan komitmen internasional ini.

Pentingnya Pengesahan RUU dan Penguatan Kapasitas

Meskipun potensi manfaatnya besar, keberhasilan implementasi RUU ini sangat bergantung pada beberapa faktor krusial. Pertama, adalah pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang. Hingga saat ini, RUU tersebut belum disahkan dan menghadapi resistensi politik serta birokrasi, meskipun telah diusulkan sejak lama. Tanpa pengesahan ini, penerapan mekanisme NCB dan pembuktian terbalik secara komprehensif tidak dapat dilakukan, dan penegakan hukum masih terbatas pada regulasi existing yang lebih mengandalkan pendekatan conviction based.

Kedua, penguatan kapasitas aparat penegak hukum adalah imperatif. Penelusuran aset, khususnya yang bersifat transnasional dan melibatkan analisis keuangan yang kompleks, memerlukan keahlian tinggi di bidang forensik keuangan dan investigasi. Pelatihan jaksa dan penegak hukum dalam analisis keuangan dan penelusuran aset sangat diperlukan.

Ketiga, perluasan dan optimalisasi kerja sama internasional dalam penelusuran aset transnasional sangat vital. Banyak aset hasil kejahatan disembunyikan di luar negeri, dan tanpa kerja sama internasional yang kuat (misalnya melalui perjanjian mutual legal assistance atau MLA), pelacakan dan pemulihannya akan sulit dilakukan.

Optimalisasi Teknis Pembuktian Terbalik

Praktik sukses di negara-negara seperti Inggris (Proceeds of Crime Act - POCA 2002), Afrika Selatan (Prevention of Organised Crime Act - POCA 1998), dan Thailand (Anti-Money Laundering Act - AMLA 1999) secara jelas menunjukkan bahwa pembuktian terbalik dapat menjadi alat yang sangat efektif jika didukung oleh regulasi yang jelas, lembaga khusus yang kompeten, dan perlindungan HAM yang memadai. Untuk Indonesia, optimalisasi teknis pembuktian terbalik dapat dicapai melalui:

  • Regulasi yang Jelas: Hukum acara baru harus mengatur batasan nilai aset, jenis tindak pidana yang berlaku, dan prosedur pemberitahuan untuk memastikan transparansi dan prediktabilitas.

  • Lembaga Khusus: Membentuk unit atau lembaga khusus seperti Asset Recovery Agency (Inggris) atau AMLO (Thailand) untuk mengkoordinasikan penelusuran, pembuktian, dan pengelolaan aset rampasan secara terpusat.

  • Standar Pembuktian: Mengadopsi secara tegas standar balance of probabilities untuk mempermudah perampasan aset, dengan tetap memberikan hak banding bagi pemilik aset sebagai bentuk perlindungan hukum.

  • Sistem Digital: Mengembangkan sistem satu data untuk mencatat transaksi aset dan memverifikasi dokumen secara elektronik, seperti yang dilakukan PPATK, guna meningkatkan efisiensi dan akurasi.

  • Pengawasan Ketat: Membentuk mekanisme pengawasan independen (misalnya, komite etik atau ombudsman) untuk mencegah penyalahgunaan pembuktian terbalik dan menjamin akuntabilitas penegak hukum.

Edukasi Publik

Terakhir, namun tak kalah penting, adalah edukasi publik. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konsep pembuktian terbalik dan pentingnya RUU Perampasan Aset akan mengurangi resistensi dan miskonsepsi mengenai potensi pelanggaran HAM, sehingga masyarakat dapat lebih mendukung implementasi undang-undang ini demi kebaikan bersama dalam pemulihan kerugian negara.

Dengan harmonisasi yang cermat dan dukungan implementasi yang kuat dari seluruh elemen negara dan masyarakat, UU PA dapat menjadi alat hukum yang sangat ampuh untuk memulihkan aset negara yang hilang dan memberikan efek jera yang efektif tanpa tumpang tindih dengan regulasi yang sudah ada.



Zlamitan





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...