"Aksi Massa," sebuah karya monumental yang ditulis Tan Malaka pada tahun 1926 di Singapura, bukanlah sekadar risalah politik biasa, melainkan sebuah seruan revolusioner yang tajam, bernas, dan penuh inspirasi. Naskah ini lahir di tengah kondisi yang sarat penindasan, ketika bumi pertiwi Indonesia bergelut di bawah cengkeraman imperialisme Belanda yang "lebih tua dan lebih kuno dari pada imperialisme Inggris dan Amerika". Di balik setiap kalimat, terasa denyut kegelisahan Tan Malaka akan nasib bangsanya, sekaligus keyakinannya yang teguh pada kekuatan rakyat.
Lahir di Pengasingan, Menjelma Api Revolusi
Bayangkan Tan Malaka, seorang revolusioner yang tak kenal lelah, menuliskan gagasan-gagasannya yang membara di Singapura pada tahun 1926, jauh dari tanah air yang ia perjuangkan. "Aksi Massa" menjadi buah pemikirannya yang mendalam, hasil pengamatannya yang tajam terhadap realitas sosial-ekonomi dan politik Indonesia saat itu. Naskah ini adalah sebuah mahakarya yang berani menelanjangi borok-borok imperialisme dan menawarkan jalan terang menuju kemerdekaan sejati. Ia menggarisbawahi betapa "Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil". Ini bukan sekadar keyakinan kosong, melainkan sebuah analisis strategis yang melihat Indonesia sebagai titik krusial dalam rantai penjajahan global.
Imperialisme: Cengkeraman Usang yang Memiskinkan
Tan Malaka dengan lugas menguraikan berbagai corak imperialisme yang melanda Asia, membandingkan model Spanyol dan Portugis yang cenderung "perampokan terang-terangan" , monopoli Belanda di Indonesia yang "dalam praktiknya sama dengan perampokan" , hingga "setengah monopoli" Inggris di India dan "persaingan bebas" Amerika di Filipina. Perbedaan ini, menurutnya, tidak terletak pada tabiat bangsa penjajah, melainkan pada tingkat kemajuan kapitalisme mereka. Belanda, yang "negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil" , menerapkan monopoli yang brutal karena "tak mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang, besi dan kapas". Akibatnya, "Tak ada sebutir batu pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang ketinggalan".
Kritik Tan Malaka tidak berhenti pada pembeberan modus operandi imperialisme, tetapi juga menyoroti kondisi internal Indonesia. Ia menyesalkan "ketiadaan kaum modal bumiputra yang kuat" , yang menyebabkan "setiap aksi parlementer dari partai nasional mana pun tidak berguna". Para tuan tanah bumiputra yang ada hanya menjadi "gembala, kuli atau kuli tinta!". Ini adalah potret kelam masyarakat yang lumpuh secara ekonomi, tanpa kelas borjuasi nasional yang mampu menjadi lokomotif perubahan. "Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkungan imperialisme Belanda". Kesimpulan ini, betapapun pahit, adalah dasar bagi analisis revolusionernya.
Revolusi: Jalan Satu-satunya Menuju Kemerdekaan Sejati
Bagi Tan Malaka, kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai melalui jalur damai atau parlementer. "Kemenangan yang diperoleh dengan jalan damai dan parlementer sama sekali tak boleh dipikirkan". Ia dengan tegas menyatakan bahwa "Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan jalan apa pun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk". Konsep "Aksi Massa" sendiri adalah inti dari strategi revolusionernya. Ia membedakan revolusi dari sekadar pemberontakan atau putsch yang dilakukan sekelompok kecil. "Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa". Sebaliknya, revolusi adalah "akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam".
Tan Malaka menolak ilusi parlemen yang disuguhkan oleh penjajah, menyebut "Dewan Rakyat" sebagai "seekor lintah yang melekat di punggung rakyat Indonesia". Ia memahami bahwa struktur politik kolonial dirancang untuk melanggengkan kekuasaan imperialis, dan bahwa upaya untuk mengubahnya dari dalam adalah "membum fatamorgana". Satu-satunya jalan adalah dengan aksi massa yang teratur, yang mampu menghimpun kekuatan rakyat. "Siapa yang mempergunakan sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang teratur, niscaya memperoleh kemenangan itu seumpama 'ayam pulang ke kandangnya'". Ini adalah metafora yang kuat, menggambarkan kemenangan yang niscaya bagi rakyat yang bergerak secara terorganisir.
Kondisi Rakyat: Kemelaratan, Kegelapan, dan Kelaliman
Tan Malaka tidak hanya berbicara tentang teori, tetapi juga menyoroti realitas pahit kehidupan rakyat Indonesia. "Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia yang meringkuk dengan perut kosong di atas balai-balai setiap hari saat melepas lelahnya, tak terjelaskan dengan tepat". Ia mengkritik pemerintah kolonial yang hanya mencatat keuntungan perusahaan besar, tetapi "lupa memberi kepastian tentang penghidupan rakyat seluruhnya". Buruh industri, buruh kebun, dan kuli kontrak hidup dalam kemiskinan ekstrem, dengan upah yang tak layak disebut penghidupan. "Siapakah yang berani mengatakan bahwa di masa ini seseorang (meskipun ia seorang inlander!), dengan anak bininya, dapat hidup sebagai manusia dengan upah 12 sampai dengan 25 rupiah sebulan? Jika ada orang yang berkata seperti itu, ia adalah seekor keledai atau lebih hina lagi adalah seorang 'pengkhianat'". Kalimat ini menunjukkan kemarahan dan kepeduliannya yang mendalam terhadap nasib kaum tertindas.
Selain kemelaratan ekonomi, rakyat juga hidup dalam "kegelapan" pendidikan. Pemerintah Belanda sengaja "melengahkan" soal perguruan. Indonesia, dengan 55 juta penduduk, belum memiliki satu pun universitas, sementara Filipina dengan 12 juta penduduk sudah memiliki empat universitas. Kebijakan ini, menurut Tan Malaka, bertujuan agar "bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum ter pelihara". Ini adalah penjajahan pikiran yang sistematis.
Puncaknya adalah "kelaliman dan perbudakan" yang merajalela. Rakyat tidak memiliki hak, kepastian atas tanah, kemerdekaan, bahkan nyawa. Pajak semakin mencekik, buruh dilarang berorganisasi, dan para pemimpin yang dipercaya rakyat "dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit". Ia mengutip Prof. Van Vollenhoven yang mengkritik pemerintah Belanda: "orang Indonesia yang punya tanah sendiri, sungguh sangat susah akan mempunyai perasaan selain dari pelanggaran terus menerus; dusta dan penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas, sebagai daya upaya yang tak habis-habisnya untuk merampasi haknya tadi atau berdaya upaya supaya ia jangan dapat mempergunakannya". Ini menunjukkan betapa sistematisnya penindasan agraria yang dilakukan penjajah.
Partai Revolusioner: Motor Penggerak Aksi Massa
Untuk menjalankan revolusi, Tan Malaka menekankan perlunya sebuah "partai revolusioner" yang "kuat". Partai ini harus menjadi "gabungan orang-orang yang sama pandangan dan tindakannya dalam revolusi". Disiplin partai yang "peraturan besi" dan kesetiaan anggota adalah kunci. Program nasional partai harus "revolusioner" , menjadi "penunjuk jalan bagi partai". Ia bahkan melampirkan "Rancangan untuk Program Proletar di Indonesia" *) yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, pengajaran, militer, serta polisi dan justisi, menunjukkan betapa komprehensif visinya.
Partai ini bertindak sebagai "pelopor (avantgarde) pergerakan" , yang "pandangannya lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali". Ia harus menjadi "kepala dan jantung" massa yang revolusioner. Tan Malaka dengan tegas menyatakan bahwa borjuasi bumiputra tidak akan mampu memimpin revolusi. "Di Indonesia borjuasi bumiputra tak dapat memimpin, moril dan materiel". Sebaliknya, "kaum buruh mesti mendirikan cita-cita dan menyusun laskarnya sendiri". Kaum intelektual yang ingin bergabung harus "menjadi kaum buruh terpelajar dan berjuang dengan kaum buruh untuk cita-cita buruh dan dengan logika".
Federasi Republik Indonesia: Visi Kemajemukan dan Kesatuan
Visi Tan Malaka tidak berhenti pada kemerdekaan Indonesia semata. Ia melampaui batas-batas geografis dan membayangkan "Federasi Republik Indonesia" (FRI), yang mencakup Semenanjung Tanah Melayu dan Filipina. Ini adalah visi persatuan 100 juta manusia yang tertindas, sebuah kekuatan strategis dan ekonomi di Asia. Ia menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia akan menjadi ancaman bagi imperialisme Barat di seluruh Asia, sebuah "pistol yang ditujukan kepada kekuasaan Barat terutama Inggris di Asia".Tan Malaka memandang integrasi regional ini sebagai keniscayaan sejarah dan strategis. Ia bahkan menyambut baik kemungkinan imigrasi dari Indonesia-Selatan ke Filipina, karena "imigrasi itu berarti menguatkan bangsa itu". Ini adalah penolakan terhadap politik pecah belah penjajah yang telah lama memisahkan bangsa serumpun.
Khayalan Seorang Revolusioner: Seruan Abadi
"Aksi Massa" diakhiri dengan "Khayalan Seorang Revolusioner," sebuah bagian yang paling menggugah dan inspiratif. Di sini, Tan Malaka menyerukan penghapusan "kotoran kesaktian" dan takhayul , mengajak bangsanya untuk "mempergunakan pikiran yang 'rasional'" dan belajar dari Barat tanpa menjadi peniru. "Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat".
Tan Malaka menyeru kaum revolusioner untuk "siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar". Ini adalah seruan untuk bersatu, bergerak, dan tidak gentar menghadapi musuh. "Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri, di situ sampai nyawamu dicabut oleh peluru atau pedang musuh yang bengis keji dan hina itu. Itu kewajibanmu! Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas bentengnya itu. Janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh siapapun. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu". Kutipan ini adalah puncak retorika Tan Malaka, sebuah epilog yang membakar semangat, menegaskan pengorbanan tertinggi demi kemerdekaan.
"Aksi Massa" bukan hanya sekadar dokumen sejarah, melainkan sebuah panduan strategis yang relevan hingga kini. Ketajaman analisis Tan Malaka tentang imperialisme, kondisi sosial, dan peran revolusi massa masih bergema, mengingatkan kita akan kekuatan kolektif dalam menghadapi penindasan. Karya ini adalah bukti nyata keberanian intelektual dan militansi seorang revolusioner sejati, yang tak pernah lelah membimbing bangsanya menuju fajar kemerdekaan.
Zlamitan
*) Rancangan Program Proletar di Indonesia yang dicetuskan oleh Tan Malaka dalam karyanya "Aksi Massa" (1926) merupakan sebuah cetak biru revolusioner yang komprehensif, bertujuan untuk mencapai kemerdekaan sejati dan membangun masyarakat yang adil di Indonesia. Program ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, sosial, pengajaran, militer, hingga polisi dan justisi, serta strategi aksi massa. Setiap poin dalam rancangan ini menunjukkan visi Tan Malaka yang radikal dan berpihak pada rakyat tertindas.
A. Politik
Dalam ranah politik, program ini menuntut kemerdekaan Indonesia secara segera dan mutlak. Ini adalah pondasi utama, tanpa kompromi, yang menunjukkan penolakan total terhadap penjajahan Belanda. Selanjutnya, Tan Malaka mengusulkan pembentukan Federasi Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau di Indonesia. Visi ini tidak hanya terbatas pada kemerdekaan Indonesia saat itu, tetapi juga mencakup persatuan regional yang lebih luas, menyadari pentingnya solidaritas antar-bangsa tertindas di Asia Tenggara.
Pentingnya perwakilan rakyat ditekankan dengan seruan untuk segera mengadakan Rapat Nasional yang mewakili semua golongan rakyat dan agama di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan komitmen terhadap pemerintahan yang inklusif dan partisipatif, berbeda dengan "Dewan Rakyat" bentukan kolonial yang dinilai Tan Malaka sebagai "seekor lintah" yang tidak mewakili kepentingan rakyat. Hak pilih yang penuh bagi laki-laki dan perempuan Indonesia juga menjadi tuntutan krusial, menegaskan prinsip kesetaraan dalam sistem politik yang baru.
B. Ekonomi
Sektor ekonomi menjadi tulang punggung program ini, dengan penekanan kuat pada nasionalisasi sumber daya dan alat produksi. Tan Malaka menyerukan agar pabrik-pabrik dan tambang-tambang (seperti batu bara, minyak, dan emas) dijadikan milik nasional. Hal yang sama berlaku untuk hutan-hutan dan kebun-kebun besar modern seperti kebun gula, karet, teh, kopi, kina, kelapa, nila, dan ketela. Alat-alat pengangkutan dan lalu lintas, serta bank-bank, kongsi-kongsi, dan maskapai-maskapai dagang yang besar-besar, juga harus dinasionalisasi. Tujuan dari nasionalisasi ini adalah untuk mengakhiri eksploitasi kapital asing dan mengembalikan kekayaan negeri kepada rakyatnya, mengatasi kondisi di mana "sebagian besar keuntungan itu ada di negeri Belanda sebagai gaji uang verlof atau pensiun pegawai-pegawai Belanda".
Program ini juga mendorong elektrifikasi seluruh Indonesia dan pendirian industri-industri baru dengan bantuan negara, seperti pabrik tenun, mesin, dan perkapalan. Ini menunjukkan visi industrialisasi yang mandiri dan berdaulat. Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, diusulkan pendirian koperasi-koperasi rakyat dengan pinjaman murah dari negara. Kaum tani akan diberdayakan melalui pemberian ternak dan perkakas untuk memperbaiki pertanian, serta pendirian kebun percobaan negeri.
Masalah agraria mendapat perhatian khusus dengan tuntutan pemindahan rakyat besar-besaran dari Jawa ke tanah seberang dengan ongkos negara. Ini bertujuan untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa dan pemerataan kesempatan. Tanah yang kosong akan dibagikan kepada tani yang tak bertanah dan miskin, disertai sokongan uang untuk mengusahakan tanah itu. Terakhir, program ini menuntut penghapusan sisa-sisa feodal dan tanah-tanah partikelir, yang akan dibagikan kepada petani miskin, mengakhiri sistem penindasan agraria yang telah lama berlangsung.
C. Sosial
Aspek sosial program berfokus pada perbaikan kondisi kerja dan kehidupan buruh. Tuntutan utama adalah penetapan gaji minimum, tujuh jam kerja, dan perbaikan syarat-syarat bekerja serta penghidupan buruh. Hak mogok kaum buruh harus diakui dan dilindungi, sebagai alat perjuangan yang sah untuk menuntut hak-hak ekonomi mereka. Buruh juga berhak mendapatkan bagian dari keuntungan industri besar-besar, menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil.
Pembentukan rapat-rapat buruh pada industri besar-besar diusulkan untuk memberikan wadah partisipasi dan kontrol buruh dalam proses produksi. Dalam hal keagamaan, program ini menegaskan pemisahan negara dari Gereja atau Masjid, sambil mengakui kemerdekaan beragama. Setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, harus mendapatkan hak sosial, ekonomi, dan politik yang penuh. Terakhir, untuk meningkatkan kualitas hidup, diusulkan nasionalisasi rumah kediaman yang besar-besar, pendirian kediaman baru, dan pembagian kediaman kepada pekerja negara, serta memerangi penyakit-penyakit menular sekuat mungkin.
D. Pengajaran
Tan Malaka menempatkan pendidikan sebagai elemen vital dalam pembangunan bangsa. Pengajaran diwajibkan dan diberikan secara cuma-cuma kepada setiap anak-anak warga negara Indonesia sampai berumur 17 tahun. Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa pengantar utama, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang utama.
Sistem pengajaran yang ada saat itu harus diruntuhkan dan diganti dengan sistem baru yang berdasarkan langsung pada kebutuhan industri yang ada atau yang bakal diadakan. Perbaikan dan penambahan sekolah pertukangan, pertanian, dan dagang, serta sekolah teknik tinggi dan sekolah untuk pengurus tata usaha, menjadi prioritas untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh industri nasional.
E. Militer
Di sektor militer, program ini menyerukan penghapusan tentara imperialistis dan pembentukan milisi rakyat untuk mempertahankan Republik Indonesia. Ini mencerminkan semangat anti-kolonial dan keyakinan pada kekuatan rakyat bersenjata. Aturan tinggal dalam tangsi atau kampemen akan dihapuskan, dan semua aturan yang merendahkan serdadu-serdadu bawahan akan dihilangkan, memungkinkan mereka tinggal di kampung-kampung dan di rumah yang akan didirikan untuknya, serta mendapatkan perlakuan yang baik dan gaji yang lebih besar. Hak penuh untuk mengadakan organisasi dan rapat juga akan diberikan kepada serdadu-serdadu bawahan.
F. Polisi dan Justisi
Dalam bidang keamanan dan hukum, Tan Malaka mengusulkan pemisahan pamong praja, polisi, dan justisi. Setiap orang yang didakwa berhak membela diri di depan pengadilan, dan mereka yang tidak memiliki bukti atau saksi yang cukup harus dibebaskan dalam 24 jam. Setiap perkara yang memiliki dasar sah harus diperiksa dalam lima hari di pengadilan yang terbuka, tertib, dan pantas.
G. Program Aksi
Bagian terakhir ini memaparkan strategi aksi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan. Tuntutan akan tujuh jam kerja, gaji minimum, dan syarat kerja yang lebih baik bagi buruh merupakan langkah konkret pertama. Pengakuan serikat sekerja dan hak mogok juga menjadi poin penting, menunjukkan bahwa aksi ekonomi adalah fondasi perjuangan.
Program ini menyerukan pengorganisasian buruh untuk hak ekonomi dan politik, serta penghapusan poenale sanctie (aturan hukuman kerja paksa). Undang-undang dan peraturan yang menindas gerakan politik, seperti hak luar biasa, larangan mogok, larangan pers, larangan rapat, dan larangan memberi pengajaran, harus dihapuskan. Kemerdekaan bergerak harus diakui sepenuhnya.
Yang paling esensial adalah tuntutan hak berdemonstrasi, yang akan dikuatkan oleh massa-demonstrasi di seluruh Indonesia untuk melawan penindasan ekonomi dan politik, seperti melawan peraturan pajak, dan menuntut pembebasan segera orang-orang buangan politik. Aksi massa tersebut harus dikuatkan oleh pemogokan umum dan massa yang tak menurut perintah. Terakhir, program ini menuntut penghapusan Volksraad, Raad van Indie, dan Algemeene Secretaris, serta pembentukan Rapat Nasional dan Majelis Nasional yang akan memilih Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Rapat Nasional.
Secara keseluruhan, Rancangan Program Proletar Tan Malaka adalah manifestasi dari visi revolusioner yang mendalam dan komprehensif. Ia tidak hanya mengkritik sistem kolonial, tetapi juga menawarkan alternatif yang radikal dan terstruktur untuk membangun masyarakat Indonesia yang merdeka, adil, dan berdaulat, dengan fokus pada pemberdayaan kaum buruh dan tani sebagai tulang punggung revolusi.
Komentar
Posting Komentar