Langsung ke konten utama

Sang Guru Bangsa yang (Untungnya?) Tak Pernah Lulus Ujian Keseragaman

Ah, Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, sebuah nama yang jika disebut di warung kopi bisa memicu perdebatan sengit, tawa terbahak, hingga anggukan kepala penuh takzim—seringkali dalam satu tarikan napas. Muhammad Rifai, dalam biografinya yang (syukurlah) singkat ini, mencoba merangkum sosok yang definisinya sendiri sudah pluralistik. Buku ini, dengan kata pengantar penerbit yang memuji Gus Dur sebagai "pejuang sejati demokrasi, bapak pluralisme, tokoh antikekerasan, pembela orang-orang yang termarginalkan", seolah menyiapkan kita untuk kisah seorang santo. Tapi, Gus Dur, seperti yang kita tahu dan buku ini pun tak bisa sembunyikan, jauh lebih menarik dari sekadar label-label mulia itu.

Secara fisik, Gus Dur digambarkan "mudah dikenali dengan ciri khas tubuh tambun dan perut buncitnya", kacamata tebal sejak kecil, rambut berombak tak tersisir rapi, dan cara berjalan yang "tidak terlalu sempurna". Sebuah deskripsi yang, jika ini audisi pahlawan super konvensional, mungkin sudah gugur di babak administrasi. Namun, justru dari "ketidaksempurnaan" inilah daya tarik seorang Gus Dur memancar. Siapa sangka, pria yang katanya "kurang sempurna secara fisik tapi bisa dan pernah menjadi presiden"  ini akan mengacak-acak peta politik dan pemikiran Indonesia?

Penulis menyoroti "cara bicaranya yang ceplas-ceplos tanpa ada rasa takut"  dan humor serta anekdotnya yang "selalu baru dan muncul dalam setiap kesempatan". Ini penting. Di negeri yang kadang terlalu serius menanggapi dirinya sendiri, Gus Dur adalah katarsis. Bayangkan, di tengah sidang kabinet yang tegang, ia bisa saja tertidur —sebuah "misteri tidur" yang legendaris—namun ajaibnya tetap "tahu apa yang dibicarakan". Mungkin ini strategi diplomasi tingkat tinggi: pura-pura tidur agar lawan bicara lebih leluasa mengungkapkan isi hatinya, lalu bam! Gus Dur bangun dengan solusi atau joke yang melucuti semua argumen. Di zaman sekarang, di mana rapat daring bisa disambi nonton drakor, mungkin Gus Dur hanya terlalu jujur dengan ketidaktertarikannya.

Konsistensinya memperjuangkan nilai kemanusiaan, membela minoritas Kristen dan Tionghoa, adalah sisi lain yang membuat Gus Dur... merepotkan bagi sebagian orang. Ketika banyak yang sibuk membangun pagar eksklusivitas, Gus Dur malah sibuk membukakan pintu dan jendela. Pembelaannya atas Arswendo dalam kasus Monitor  atau sikap kritisnya terhadap pendirian ICMI yang ia nilai sektarian, yang kemudian ditandinginya dengan Fordem, menunjukkan keberanian yang hari ini mungkin dicap "tidak menjaga perasaan umat".

Pemikirannya pun, seperti disebut buku ini, "ajaib karena sering melakukan terobosan unik". Esainya, meski mengutip pemikir kelas berat macam Karl Marx hingga Salman Rushdie, disampaikan dengan sederhana. Ini mungkin yang bikin pusing para akademisi yang terbiasa dengan kerumitan demi status intelektual. Gus Dur seolah berkata, "Kalau bisa gampang, ngapain dibikin susah?" Lahirnya JIL, LKIS, P3M, hingga Syarikat  disebut sebagai buah dari cara berpikirnya yang terbuka dan membela kaum tertindas. Tentu saja, ini juga berarti "menciptakan pluralitas dan akhirnya menghindari terjadi kekakuan" —sebuah mimpi buruk bagi mereka yang mengidolakan keseragaman.

Perjuangannya di NU, mengembalikan organisasi ke khittah 1926  dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, adalah manuver politik tingkat dewa. Di tengah rezim Orde Baru yang, yah, kita tahu sendirilah bagaimana, Gus Dur mampu mengakomodasi kekuatan di luar NU  dan menjadi tokoh vital dalam kelompok Ciganjur bersama Amien Rais, Sri Sultan HB X, dan Megawati. Sebuah aliansi yang hari ini mungkin hanya bisa kita saksikan di serial fantasi politik.

Menjadi presiden pun tak kalah kontroversialnya. Membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang korup, mengakui Konghucu, mengusulkan pencabutan Tap MPRS pelarangan Marxisme-Leninisme, hingga menyebut DPR sebagai "taman kanak-kanak" —semua dilakukan dengan santai, seolah sedang memesan kopi. "Tingkah polahnya selama menjadi presiden dianggap sangat merugikan menurut hitung-hitungan politis", tulis Rifai. Ya, tentu saja merugikan bagi mereka yang terbiasa dengan politik "aman-aman saja" atau "yang penting bapak senang". Idealismenya yang "nggak bisa dikompromikan, apa pun risikonya"  adalah barang langka di pasar politik.

Bahkan setelah dilengserkan, ia "tidak mutung, ngambek", tetap menjalin silaturahmi dengan mereka yang "mengerjainya". Ia terus mengkritik pemerintah, soal BBM, penjualan aset negara, korupsi, hingga kasus Bank Century. Sebuah konsistensi yang mungkin membuat para politisi bunglon zaman kiwari merasa gatal-gatal. Pembelaannya terhadap Inul Daratista dan Ahmadiyah  adalah episode klasik "Gus Dur melawan arus".

Buku ini juga tak lupa menyajikan sisi "mistik" Gus Dur, dari ziarah kubur  hingga "misteri angka 9" yang melingkupi hidupnya. Entah ini bagian dari personal branding atau memang ada "sesuatu", yang jelas ini menambah aura "tak terduga" pada dirinya. Gus Mus bahkan menjulukinya "tokoh paling populer abad ini"  dan mengatakan Gus Dur "terlalu besar untuk ditampung di NU maupun PKB".

Pada akhirnya, "GUS DUR: BIOGRAFI SINGKAT 1940-2009" adalah pengingat bahwa Indonesia pernah memiliki pemimpin yang kompleksitasnya melampaui kapasitas nalar banyak orang. Ia adalah "sebuah teks dalam kehidupan kebangsaan"  yang tafsirnya akan terus beranak-pinak, melahirkan Gus Dur kiri, kanan, mistik, hingga humoris. Di era ketika narasi tunggal dan keseragaman digital semakin diagungkan, kerinduan akan sosok yang berani "selengekan", berani berbeda, dan berani menertawakan dirinya sendiri (dan kita semua) menjadi semakin relevan. Gus Dur adalah antitesis dari politisi hasil focus group discussion; ia adalah produk otentik dari pergulatan sejarah, tradisi, dan intelektualitas yang... yah, begitulah. Gitu aja kok repot!

Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...