Namun, di balik artikulasi yang lugas ini, tersembunyi beberapa lapis makna dan mungkin juga kecemasan. Pertama, penekanan kuat pada "urat tunggang" tunggal ini bisa dibaca sebagai respons terhadap kecemasan akan disintegrasi sebuah bangsa yang baru lahir dan begitu majemuk. Di tengah tarik-menarik ideologi (nasionalisme, Islam, komunisme) pada masanya, Hamka seolah mencari sebuah jangkar absolut, sebuah titik temu yang tak tergoyahkan, yang ia temukan dalam konsep Ketuhanan yang, menurutnya, selaras dengan fitrah setiap insan dan menjadi kalimatun sawa’ (titik temu) bagi berbagai agama. Kedua, dalam upaya merangkul keragaman melalui Sila Pertama, tersembunyi sebuah pilihan strategis inklusivitas sekaligus potensi eksklusivitas. Meskipun Hamka menegaskan Pancasila menjamin kebebasan beragama dan bukan negara teokrasi, pertanyaan tentang siapa yang memiliki otoritas final untuk menafsirkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan implikasinya bagi kehidupan bernegara tetap mengambang. Apakah penekanannya pada "Maha Esa" secara implisit membawa preferensi pada konsepsi monoteistik Abrahamik, dan bagaimana ini berdialog dengan tradisi spiritual Nusantara lainnya yang mungkin memiliki konsepsi Ketuhanan yang berbeda? Ketiga, tersembunyi pula sebuah optimisme etis, bahwa pengakuan akan Tuhan secara otomatis akan melahirkan perilaku moral dan tatanan sosial yang adil. Ini adalah sebuah asumsi yang patut diuji lebih lanjut.
Ketika visi Hamka ini kita hadapkan pada realitas Indonesia kontemporer, resonansi sekaligus disonansinya menjadi begitu kentara. Tantangan dan hambatan bagi Indonesia untuk memperkuat fondasi filosofisnya hari ini menguji ketangguhan "urat tunggang" tersebut dari berbagai arah. Polarisasi dan politisasi agama, misalnya, secara ironis justru menggunakan Sila Pertama sebagai alat pemecah belah, bukan pemersatu. "Ketuhanan" menjadi klaim eksklusif kelompok tertentu untuk melegitimasi agenda politiknya, sebuah fenomena yang mungkin melampaui apa yang dibayangkan Hamka mengenai potensi Sila Pertama sebagai payung bagi semua. "Urat tunggang" yang diharapkan menyatukan kini justru menjadi medan pertempuran tafsir yang mengancam kohesi sosial.
Lebih jauh, pragmatisme politik yang merajalela dan korupsi sistemik menunjukkan sebuah pengkhianatan esensial terhadap seluruh sila Pancasila, termasuk yang pertama. Jika Ketuhanan, sebagaimana ditekankan Hamka, adalah sumber moralitas publik, maka praktik korupsi yang menggurita adalah sebentuk ateisme praktis dalam pengelolaan negara, sebuah penolakan implisit terhadap akuntabilitas transendental yang seharusnya menjadi konsekuensi dari iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Fondasi filosofis macam apa yang bisa bertahan jika para elite politik dan warga negaranya sendiri secara kolektif mengabaikan imperatif moral yang terkandung di dalamnya?
Serbuan budaya materialistis global dan berbagai bentuk sekularisasi (baik yang radikal maupun yang lunak) juga menguji kritik Hamka terhadap materialisme. Apakah "urat tunggang" spiritualitas yang ia tawarkan masih memiliki daya pikat dan relevansi bagi generasi muda yang hidup dalam kepungan informasi instan dan godaan konsumerisme? Atau, apakah pencarian makna kini telah bergeser ke ranah-ranah lain di luar bingkai spiritualitas tradisional, menuntut sebuah artikulasi baru atas "Ketuhanan" yang mungkin lebih personal, lebih cair, atau bahkan non-teistik?
Bahkan dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang menurut Hamka dijamin oleh Pancasila, Indonesia masih menghadapi tantangan serius berupa intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ini menunjukkan adanya jurang antara idealita Pancasila (sebagaimana ditafsirkan Hamka) dengan realitas implementasinya, mempertanyakan efektivitas "urat tunggang" dalam melindungi hak-hak paling asasi. Demikian pula, pendangkalan demokrasi menjadi sekadar ritual prosedural, yang jauh dari semangat musyawarah yang dijiwai hikmat kebijaksanaan dan Ketuhanan sebagaimana dibayangkan Hamka, semakin memperlemah daya transformatif Pancasila.
Lalu, bagaimana kita dapat memperkuat kembali fondasi filosofis bangsa dengan tetap kritis terhadap warisan Hamka? Reaktualisasi spiritualitas publik, sebagaimana diisyaratkan Hamka, mungkin perlu dipahami bukan sebagai formalisasi agama dalam negara, melainkan sebagai upaya menginfuskan etika universal dan moralitas publik yang bersumber dari kearifan spiritual lintas iman ke dalam setiap kebijakan dan praktik bernegara. Pancasila, dalam semangat Meckstrothian, dapat difungsikan sebagai instrumen elenchus—kritik imanen terhadap segala bentuk ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang dikandungnya.
Namun, di sinilah sebuah antitesis kritis yang lebih tajam perlu diajukan, untuk menguji batas-batas dan mungkin juga kerentanan inheren dalam upaya Hamka untuk menambatkan fondasi negara pada "urat tunggang" Ketuhanan. Visi Hamka, betapapun luhur dan inklusif dalam intensinya, tak luput dari interogasi filosofis yang datang dari tradisi pemikiran lain yang juga bergulat dengan problem legitimasi dan pluralisme dalam negara modern.
Pemikir seperti John Rawls, misalnya, dengan konsepsinya tentang "liberalisme politik" (political liberalism), akan mengajukan pertanyaan fundamental mengenai kelayakan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar nalar publik (public reason) dalam sebuah masyarakat yang ditandai oleh pluralisme doktrin komprehensif yang masuk akal (reasonable comprehensive doctrines). Bagi Rawls, justifikasi publik bagi prinsip-prinsip dasar keadilan dan konstitusi haruslah bersifat "berdiri sendiri" (freestanding), dapat diterima oleh semua warga negara yang rasional dan bernalar, terlepas dari keyakinan filosofis, moral, atau agama mereka yang mendalam dan seringkali tak terdamaikan. Menjadikan "Ketuhanan" sebagai "urat tunggang" filosofis negara, dari perspektif Rawlsian, berisiko mengikat legitimasi politik pada sebuah doktrin komprehensif tertentu. Sekalipun "Ketuhanan" ditafsirkan secara luas, ia tetaplah sebuah postulat metafisik atau religius yang mungkin tidak dapat diterima oleh semua warga negara dengan alasan yang sama, atau bahkan ditolak oleh sebagian warga yang menganut pandangan dunia sekuler atau non-teistik. Stabilitas dan legitimasi dalam masyarakat plural, menurut Rawls, lebih baik dijamin oleh sebuah "konsensus yang tumpang tindih" (overlapping consensus) atas prinsip-prinsip politik yang netral, ketimbang pencarian akan satu fondasi metafisik tunggal.
Dari sudut pandang yang berbeda namun sama kritisnya, pemikir demokrasi radikal seperti Claude Lefort akan menyoroti bahaya dari setiap upaya untuk "mengisi" secara definitif tempat kekuasaan atau fondasi negara dengan substansi tertentu, termasuk "Ketuhanan". Bagi Lefort, esensi demokrasi modern justru terletak pada pengakuan atas "tempat kosongnya kekuasaan" (the empty place of power), sebuah indeterminasi fundamental yang mencegah kelompok, ideologi, atau prinsip transenden manapun untuk mengklaim sebagai perwujudan absolut dari kedaulatan atau kebenaran. Upaya untuk menancapkan "urat tunggang" tunggal, betapapun mulianya, bagi Lefort dapat dilihat sebagai usaha untuk "menyulam kembali" (suture) keterbukaan politik yang esensial bagi demokrasi, sebuah godaan totaliter untuk memberikan fondasi substantif pada sesuatu yang seharusnya tetap terbuka bagi kontestasi dan reinterpretasi tanpa akhir. Pencarian Hamka akan sebuah "urat tunggang" yang stabil, dari perspektif ini, bisa jadi merupakan sebuah kerinduan akan kepastian yang justru bertentangan dengan sifat dinamis dan terkadang "liar" dari politik demokratis itu sendiri.
Lebih jauh, argumen yang lebih umum dari tradisi humanisme sekuler atau pendukung negara laïque (sekuler dalam arti netralitas ketat negara terhadap agama) akan mempertanyakan apakah penempatan "Ketuhanan" sebagai sila pertama dan "urat tunggang" filosofis negara tidak secara inheren menciptakan sebuah hierarki kewarganegaraan. Sekalipun dimaksudkan untuk inklusif, pengakuan formal negara terhadap "Ketuhanan" sebagai dasar fundamental dapat secara implisit memarginalkan warga negara yang ateis, agnostik, atau mereka yang menganut tradisi spiritual non-teistik. Prinsip kesetaraan universal warga negara, yang menjadi salah satu pilar demokrasi modern, bisa terasa terciderai jika fondasi terdalam negara bersandar pada sebuah konsep yang tidak semua warganya dapat mengidentifikasi diri dengannya secara setara. Tindakan negara dalam mendefinisikan atau bahkan sekadar mengafirmasi sebuah "urat tunggang" yang bersifat spiritual atau teologis, betapapun luasnya interpretasi, dapat dianggap sebagai sebuah pelampauan batas legitimasinya dalam masyarakat yang menghargai pluralisme pandangan dunia secara radikal.
Suara-suara antitesis ini—Rawls dengan tuntutan nalar publik yang netral, Lefort dengan penekanannya pada indeterminasi demokratis, serta kaum humanis sekuler dengan pembelaannya atas kesetaraan warga negara tanpa pandang keyakinan metafisik—secara kolektif menantang, dari berbagai front, universalitas dan kecukupan dari proyek Hamka. Mereka tidak serta-merta menafikan nilai-nilai moral atau spiritual dalam kehidupan individu atau masyarakat, tetapi mereka mempertanyakan kelayakan untuk menjadikannya sebagai fondasi filosofis tunggal dan utama bagi negara dalam konteks modernitas yang plural. Pertentangan inilah yang akan menjadi landasan bagi kita untuk mencoba menggali intisari dialektis yang lebih kaya dan relevan untuk Indonesia kontemporer.
Intisari dialektis yang muncul dari pertentangan ini bukanlah penolakan total terhadap visi Hamka, maupun penerimaan buta atas kritik-kritik tersebut. Mungkin, "urat tunggang" yang sejati bukanlah sebuah entitas metafisik yang statis dan tunggal, melainkan sebuah proses pencarian makna dan komitmen etis kolektif yang terus-menerus diperbarui. Warisan Hamka yang paling berharga bukanlah formula final tentang Pancasila, melainkan semangatnya untuk berjuang memberikan landasan moral-spiritual yang mendalam bagi kehidupan berbangsa. Tantangan kontemporer Indonesia adalah untuk meneruskan perjuangan tersebut dengan cara yang lebih kritis, lebih inklusif, dan lebih responsif terhadap kompleksitas zaman. Ini berarti keberanian untuk terus-menerus menafsirkan ulang Pancasila, termasuk "Ketuhanan Yang Maha Esa", dalam dialog terbuka dengan berbagai tradisi pemikiran dan pengalaman kemanusiaan.
Pada akhirnya, Buya Hamka berhasil menancapkan sebuah testamen tentang kerinduan abadi manusia akan makna dan fondasi dalam kehidupan kolektif. Namun, di era global yang ditandai oleh pluralisme radikal dan perubahan yang tak terelakkan, pertanyaan yang menggantung bukanlah apakah Indonesia dapat kembali kepada tafsir Hamka secara literal, melainkan apakah bangsa ini memiliki kapasitas intelektual dan keberanian moral untuk menempa fondasi filosofisnya sendiri—sebuah fondasi yang mungkin tidak lagi berupa "urat tunggang" tunggal yang kaku, melainkan jejaring akar serabut (radix adventitia) yang kuat, adaptif, dan mampu menopang pohon Republik di tengah berbagai badai. Apakah tersembunyi dalam pemikiran Hamka sebuah potensi untuk menafsirkan "Ketuhanan" sebagai panggilan radikal untuk keadilan dan pembebasan yang melampaui sekat-sekat dogmatisme? Dan mampukah kita, sebagai pewaris bangsa ini, menjawab panggilan tersebut?
Zlamitan


Komentar
Posting Komentar