Langsung ke konten utama

Antara Efektivitas Pemberantasan Kejahatan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Jelang Pengesahan RUU Perampasan Aset

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan upaya signifikan pemerintah Indonesia untuk memperkuat penegakan hukum dalam memerangi kejahatan keuangan dan korupsi. RUU ini bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengambil alih aset yang diduga diperoleh melalui kegiatan ilegal, menghukum pelaku, dan mengembalikan aset tersebut kepada negara atau korban kejahatan. Namun, pengaturan ini memicu perdebatan sengit antara argumen pro dan kontra, terutama terkait penerapan asas pembuktian terbalik dan dampaknya terhadap prinsip praduga tak bersalah.

Latar Belakang dan Tujuan RUU Perampasan Aset

Sejarah RUU Perampasan Aset di Indonesia dimulai dengan ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) pada tahun 2002, yang mendorong negara-negara untuk mengadopsi langkah-langkah perampasan aset. Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PTPPU) telah menjadi landasan awal perampasan aset terkait pencucian uang, kasus-kasus korupsi besar seperti "Kasus Bupati Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan" pada tahun 2016 menyoroti urgensi RUU yang lebih komprehensif. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengusulkan RUU Perampasan Aset pada tahun 2017 untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta memperluas wewenang perampasan aset ke tindak pidana lainnya.

Tujuan utama RUU ini meliputi: pertama, memerangi kejahatan keuangan seperti korupsi, pencucian uang, dan terorisme dengan mengurangi insentif ekonomi bagi pelaku. Kedua, memberikan hukuman tambahan kepada pelaku tindak pidana, melengkapi hukuman pidana badan dengan potensi kehilangan aset yang tidak sah. Ketiga, mengembalikan aset yang diperoleh secara tidak sah kepada korban kejahatan, memulihkan kerugian finansial yang mereka alami. Mekanisme RUU ini umumnya melibatkan identifikasi aset ilegal, penyitaan, proses pembuktian, putusan pengadilan, pelaksanaan perampasan, dan penggunaan aset yang dirampas untuk kepentingan publik atau restitusi korban.

Pentingnya Efektivitas dalam Pemberantasan Kejahatan

Para pendukung RUU Perampasan Aset, atau argumen "pro", menekankan pentingnya instrumen ini dalam memerangi korupsi dan kejahatan keuangan yang semakin kompleks. Mereka berpendapat bahwa perampasan aset akan menghilangkan manfaat finansial dari kejahatan, sehingga mengurangi insentif bagi pelaku untuk terlibat dalam kegiatan ilegal. Dengan memutus aliran keuntungan, RUU ini diharapkan dapat menghancurkan kemampuan organisasi kriminal untuk membiayai operasi lebih lanjut.

Selain itu, RUU ini dianggap meningkatkan efektivitas penegakan hukum dengan menyediakan alat yang kuat bagi lembaga berwenang untuk mengambil langkah konkret dalam menghentikan dan menghukum pelaku. Kepatuhan terhadap konvensi internasional seperti UNCAC juga menjadi argumen kunci, menunjukkan komitmen Indonesia dalam upaya global memerangi korupsi. Manfaat lainnya termasuk pemulihan ekonomi melalui alokasi aset rampasan untuk pembangunan infrastruktur atau program sosial, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara. Dengan demikian, RUU ini dipandang sebagai langkah penting untuk memperkuat integritas negara dan kredibilitas di mata internasional.

Kekhawatiran terhadap Hak Asasi Manusia dan Keadilan

Disisi lain, argumen "kontra" terhadap RUU Perampasan Aset menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia. Kekhawatiran utama adalah bahwa RUU ini dapat digunakan secara sewenang-wenang untuk merampas aset tanpa bukti yang memadai atau proses pengadilan yang adil, merugikan individu yang tidak bersalah.

Poin krusial dalam kritik adalah penerapan asas pembuktian terbalik. Para penentang berpendapat bahwa pergeseran beban pembuktian kepada pemilik aset untuk membuktikan legalitas perolehannya melanggar prinsip dasar praduga tak bersalah. Prinsip praduga tak bersalah menyatakan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan oleh pengadilan, dengan beban pembuktian berada pada penuntut umum. Mengabaikan asas ini dapat mengakibatkan kesalahan hukum dan menghukum orang yang tidak bersalah, merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Selain itu, kritikus juga khawatir tentang kurangnya perlindungan hukum yang memadai bagi individu yang merasa aset mereka dirampas secara tidak sah, karena proses pengadilan yang panjang dan biaya tinggi dapat menjadi hambatan. RUU yang keras juga berpotensi berdampak negatif pada iklim investasi dan bisnis, mengurangi daya tarik investasi asing karena kekhawatiran akan keamanan hukum. Ketidakpastian hukum yang mungkin timbul dari RUU yang ambigu juga menjadi perhatian. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa RUU ini dapat menjadi alat politik untuk menargetkan lawan, mengalihkan fokus dari pencegahan kejahatan, dan memberikan beban finansial yang tidak proporsional kepada pihak yang terkena dampak.

Pembuktian Terbalik vs. Asas Praduga Tak Bersalah

Perdebatan inti RUU Perampasan Aset terletak pada pertentangan antara pembuktian terbalik dan asas praduga tak bersalah. Pembuktian terbalik mengalihkan beban pembuktian kepada terdakwa untuk membuktikan ketidaksalahannya, terutama dalam kasus kejahatan yang sulit dibuktikan seperti korupsi atau pencucian uang. Tujuannya adalah mempermudah penuntutan, mencegah pelarian hukum, dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Filosofi di baliknya adalah melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas, meskipun harus ada keseimbangan dengan hak individu.

Namun, asas praduga tak bersalah, yang berasal dari prinsip hukum Romawi Kuno dan diakui secara universal, bertujuan melindungi hak asasi manusia dari penyalahgunaan kekuasaan negara. Ini mencegah penahanan dan penghukuman sewenang-wenang, memastikan keadilan dalam sistem peradilan, dan mengimbangi kekuasaan negara dengan kewajiban pembuktian pada penuntut umum. Mengabaikan asas ini dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, penyalahgunaan kekuasaan, kesalahan hukum, dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Dalam simulasi perdebatan, argumen pro mengemukakan bahwa sulitnya membuktikan kasus pencucian uang dapat menjadi alasan untuk mengecualikan asas praduga tak bersalah. Namun, pihak kontra dengan tegas menyatakan bahwa prinsip ini tidak dapat dikecualikan dalam kasus apapun, karena lebih baik membebaskan orang yang mungkin bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah demi keadilan dan martabat individu. Pihak kontra juga menolak gagasan bahwa pembuktian terbalik akan lolos dari pemanfaatan oligarki, justru menyatakan bahwa itu bisa menjadi alat bagi oligarki untuk memberangus lawan bisnisnya melalui kedekatan dengan politisi dan penegak hukum.

Kesimpulan

RUU Perampasan Aset menghadapi dilema klasik antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Meskipun tujuan RUU ini mulia—memberantas kejahatan keuangan dan mengembalikan aset kepada negara atau korban—kekhawatiran serius muncul terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian prinsip fundamental praduga tak bersalah. Untuk memastikan RUU ini tidak hanya efektif tetapi juga adil, perlu adanya peninjauan ulang yang cermat terhadap ketentuan-ketentuan yang dapat mengancam hak-hak dasar individu. Mekanisme perlindungan yang kuat, pengawasan yang ketat, dan jaminan proses hukum yang adil harus menjadi prioritas. Bagaimanapun, integritas sistem hukum dan kepercayaan masyarakat terhadapnya tidak boleh dikorbankan demi mengejar efektivitas semata.



Zlamitan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...