Langsung ke konten utama

Perang Dunia III Dimulai? Mengungkap Permainan Catur Geopolitik di Balik Konflik Iran

Saya menulis blog ini di sebuah pagi yang dingin di kota Magelang. Membayangkan skenario-skenario terburuk yang mungkin terjadi dari eskalasi konflik di Timur Tengah yang kompleks sambil menyesap kopi hitam yang mulai dingin. Menggulir layar aplikasi X kini tidak lagi menjadi aktifitas yang menyenangkan. Lini masa dipenuhi dengan berita-berita mengejutkan dari Iran, Israel dan Amerika. Sebuah pertanyaan penting lekas mengemuka, jika kejutan-kejutan aksi balas-berbalas ini tak segera berhenti, apakah akan terjadi Perang Dunia III dalam waktu dekat?

Namun pengamatan saya lalu mengemuka jauh lebih menarik dari sekadar pertanyaan. Jika skenario eskalasi ini makin tak terkendali, kita mungkin tengah menyaksikan tirai pembuka Perang Dunia III. Di tengah gemuruh berita tentang perintah Donald Trump untuk membombardir tiga fasilitas nuklir Iran, sebuah analisis mendalam mencoba mengurai benang kusut yang akan mengarah pada malapetaka global. Pertanyaan lanjutan paling krusial yang mengemuka: akankah Amerika Serikat mengirim pasukan darat ke Iran? Dan jika ya, mengapa, padahal hal itu diprediksi akan menjadi bencana dan bahkan memicu perang saudara kedua di Amerika?

Strategi Iran dengan Mengubah Kelemahan Menjadi Jebakan

Bagi Iran, konflik ini dilihat sebagai peluang emas untuk mencapai tujuan strategis nasional yang vital. Pertama, invasi AS akan menjadi katalisator bagi persatuan nasional yang kokoh dan sekaligus melegitimasi kembali rezim yang sedang tertekan akibat sanksi, salah urus, dan korupsi. Dalam menghadapi ancaman eksistensial dari luar, rakyat, terlepas dari ketidakpuasan internal, akan bersatu di belakang pemerintah.

Kedua, Iran melihat ini sebagai kesempatan langka untuk melenyapkan kehadiran Amerika di Timur Tengah dengan menjebak mereka dalam rawa-rawa tak berujung. Masalah logistik dan pasokan di medan perang Iran yang bergunung-gunung diprediksi akan menjadi batu sandungan besar bagi pasukan AS; mereka bisa masuk, tetapi akan sangat sulit untuk keluar. Ketiga, dengan mengalahkan adidaya global, Iran berambisi untuk memperoleh legitimasi global dan menjadi pemimpin de facto gerakan Muslim dunia, bahkan melampaui posisi Arab Saudi.

Lantas, bagaimana Iran, yang secara konvensional tidak memiliki teknologi, senjata, maupun pendanaan sekuat AS, akan memaksa invasi darat AS? Strategi optimal mereka adalah menjebak, mengepung, memutus jalur pasokan, dan memaksa negosiasi menyerah.

Tangga Eskalasi dan Jebakan Hegemoni

Dalam ilmu politik, ada konsep "tangga eskalasi" di mana adidaya seperti AS diasumsikan memiliki "dominasi eskalasi," yang berarti mereka selalu bisa memilih untuk menggunakan senjata nuklir jika terpojok. Namun, teori ini justru menjadi jebakan. Seperti seorang bully di sekolah yang reputasinya memaksa dia untuk selalu merespons agresi dengan kekuatan yang lebih besar, hegemoni global seperti AS terperangkap oleh citra dan reputasinya sendiri.

Jika Iran secara bertahap dan terukur memprovokasi AS—misalnya dengan terus menutup Selat Hormuz, menyerang Arab Saudi, atau pangkalan AS di Timur Tengah —AS akan dipaksa untuk merespons dengan eskalasi dominan. Iran dapat mengatur provokasinya sedemikian rupa sehingga respons AS terus meningkat hingga satu-satunya opsi yang tersisa adalah invasi darat. Dengan AS yang memulai serangan pertama (bombardir fasilitas nuklir), Iran memiliki legitimasi untuk mengkalibrasi responsnya dan secara perlahan menarik AS ke dalam jebakan.

Divergensi Kepentingan Sekutu: Israel di Balik Layar

Meski tampak sebagai sekutu, kepentingan AS dan Israel tidak sepenuhnya selaras dalam konflik ini. Amerika Serikat, sebagai hegemoni global, berusaha menjaga keseimbangan kekuatan di Timur Tengah. Namun, Israel memiliki agenda yang jauh lebih ambisius: menjadi hegemoni dominan di kawasan itu. Ide "Proyek Israel Raya" yang berpengaruh di kalangan tertentu di Israel, membayangkan wilayah kekuasaan yang membentang dari Sungai Nil hingga Efrat, sebagaimana yang mereka yakini dijanjikan dalam Alkitab.

Untuk mewujudkan proyek ini, Israel perlu menyingkirkan AS dari Timur Tengah. Bagaimana caranya? Dengan mendorong AS masuk ke rawa-rawa perang darat di Iran. Jika invasi darat AS ke Iran macet selama bertahun-tahun, memicu kolapsnya Kekaisaran Amerika, revolusi rakyat, dan bahkan perang saudara di AS (seperti pembakaran kartu wajib militer ala Vietnam), maka militer AS akan terpaksa mundur dari Timur Tengah. Pada saat itulah, kekaisaran Israel akan lahir. Militer AS di kawasan itu (CENTCOM) dengan segala pangkalan, senjata, dan tentaranya, akan terserap ke dalam negara Israel, menjadikannya hegemoni de facto di Timur Tengah.

Dengan demikian, strategi optimal Israel bukanlah sekadar mengalahkan Iran, melainkan melibatkan dan menghancurkan militer AS dan Iran secara bersamaan. Dan itu memerlukan bujukan agar AS mengirim pasukan darat ke Iran.

Paradoks Kepentingan Trump dan Runtuhnya "Kekaisaran" Amerika

Sementara itu, kepentingan Amerika Serikat secara keseluruhan adalah menyingkirkan rezim Iran dengan korban seminimal mungkin, idealnya melalui pemboman, serangan pemenggalan, atau strategi pasukan khusus, untuk menguasai sumber daya minyak dan perdagangan global. Hal ini juga sebagai respons terhadap invasi Rusia ke Ukraina yang telah membuat Kekaisaran Amerika terpojok.

Namun, Donald Trump, pemimpin "Kekaisaran" Amerika saat ini, memiliki agenda yang berbeda. Ia tidak peduli dengan Iran, Timur Tengah, atau bahkan Proyek Israel Raya. Yang ia pedulikan adalah mempertahankan kekuasaan politiknya di AS dan "menghancurkan elite global" yang diyakininya telah mencuri kemenangannya pada Pemilu 2020. Ini adalah pertarungan antara "America First" yang diwakili Trump dan "Kekaisaran Amerika".

Ironisnya, cara terbaik bagi Trump untuk menghancurkan "Kekaisaran" Amerika adalah dengan memberikan apa yang diinginkan oleh Kekaisaran itu: invasi darat ke Iran. Dengan membiarkan "Kekaisaran" Amerika terbawa dalam arogansi dan terjebak dalam perang yang tak mungkin dimenangkan, Trump dapat menyaksikan keruntuhannya. Ketika rakyat Amerika memprotes, kekerasan sipil meletus, tentara AS mulai gugur, dan ekonomi global kolaps , Trump dapat berpihak pada "America First" melawan "Kekaisaran Amerika". Skenario perang yang tak bisa dimenangkan dan potensi perang saudara ini secara paradoks akan memperbesar kekuasaan dan otoritas Donald Trump, memungkinkannya meraih masa jabatan ketiga.

Konvergensi Kepentingan dan Ramalan Akhir Zaman

Singkatnya, Iran, Israel, dan Donald Trump, meskipun dengan motif egois yang berbeda-beda, semuanya menginginkan Amerika Serikat untuk mengirim pasukan darat ke Iran. Jika ini terjadi, semua pihak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan: Israel akan melenyapkan kehadiran Amerika di Timur Tengah dan menjadi Kekaisaran Israel. Iran akan menyatukan dunia Muslim di bawah kepemimpinannya. Dan Donald Trump kemungkinan besar akan mendapatkan masa jabatan ketiganya.

Namun, implikasi dari "Israel Raya" yang mendominasi Timur Tengah, menguasai minyak dan perdagangan, adalah dunia akan bersatu melawannya. Inilah bagian dari "ramalan" atau "nubuat" yang diyakini oleh aktor-aktor kunci dalam permainan ini. Analisis ini melampaui teori permainan semata dan memasuki dimensi religi: Iran, Israel, dan bahkan Zionis Kristen di AS memandang perang ini sebagai pemenuhan nubuat Alkitabiah, sebagai tanda "akhir dunia". Pandangan eskatologis ini, yang diyakini mendorong perang di Timur Tengah, menjadikan konflik ini sangat menakutkan bagi seluruh umat manusia. Sebuah skenario yang tak hanya diwarnai kepentingan geopolitik, tetapi juga obsesi religius yang mendalam.

Membayangkan skenario itu benar-benar terjadi, tiba-tiba membuat rasa kopi di pagi ini tak lagi sama dengan pagi sebelumnya.


Zlamitan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...