Selamat datang, para penikmat ironi, di galeri peradaban modern. Lupakan prasasti batu atau artefak kuno; koleksi terpopuler kita saat ini, yang kita rawat dengan penuh khidmat, adalah deretan mentalitas negatif yang sukses membuat hidup terasa seperti sinetron kejar tayang tanpa akhir bahagia. Mari kita berkeliling sejenak, menatap cermin-cermin retak ini, dan mungkin, hanya mungkin, mengenali bayangan kita sendiri di baliknya.
Lihatlah di sana, di tengah keramaian, Sang Arsitek Ember, alias Crab Mentality. Ini bukan sekadar pepatah, melainkan filosofi gotong royong versi distopia. Prinsipnya sederhana namun mematikan: "Kalau saya tidak bisa keluar dari ember ini, kamu juga jangan harap bisa lihat matahari!" Begitu ada satu jiwa pemberani yang hampir mencicipi udara kebebasan di bibir ember, tangan-tangan tak terlihat—atau kadang sangat terlihat—akan serempak menariknya kembali. Solidaritas dalam mediokritas, begitulah. Buat apa satu sukses kalau bisa semua sama-sama terkurung, meratapi nasib di dasar ember sambil sesekali mencuri pandang ke atas? Di panggung kehidupan nyata, mereka adalah spesialis dalam menjatuhkan semangat, menyebar bisik-bisik berbisa tentang si ambisius, atau sekadar melontarkan kalimat pamungkas, "Kita semua kan sama saja, kok," seolah kesamaan nasib adalah takdir yang tak boleh dilanggar.
Bergeser sedikit, kita temui kerabat dekatnya, Geng Gunting Rumput Liar, atau Tall Poppy Syndrome. Jika kepiting menarik ke bawah, para pemegang gunting ini lebih 'artistik'. Setiap kali ada 'bunga' yang mekar terlalu indah, terlalu menjulang, mereka siap dengan guntingnya, memangkasnya agar kembali rata dengan tanah. Orang sukses dianggap mengganggu pemandangan, merusak harmoni "kesetaraan" yang seringkali kita salah artikan sebagai "semua harus sama susahnya, atau minimal sama biasanya". Kritikan pedas, cibiran halus, adalah pupuk andalan mereka. Di zaman influencer dan startup yang meroket secepat kilat, sindrom ini bekerja lembur, memastikan tak ada yang terlalu bersinar tanpa disiram air cuka kedengkian. Dan jangan-jangan, tanpa sadar, kita sendiri yang memegang gunting itu saat melihat teman sebelah lebih 'tinggi'?
Lalu, ada Si Paling Anti-Upgrade, dengan Fixed Mindset-nya yang kokoh. Baginya, kemampuan, bakat, kecerdasan itu sudah pakem dari pabrik, tak bisa di-instal ulang apalagi di-update. Tantangan? Itu untuk spesies lain yang punya waktu luang. Gagal? Oh, itu pasti salah konstelasi bintang, server yang down, atau minimal kopi pagi yang kurang manis. Pertumbuhan pribadi? Itu dongeng pengantar tidur, selevel dengan unicorn atau janji politisi yang ditepati. Di era di mana skill baru bermunculan lebih cepat dari tren TikTok, mentalitas "sudah dari sananya begini" adalah tiket VIP menuju museum kepunahan diri.
Dari situ, pandangan kita tertuju pada sosok melankolis, Langganan Peran Korban dengan Victim Mentality-nya. Ia adalah sutradara, penulis skenario, sekaligus aktor utama dalam drama epik "Dunia Ini Kejam, dan Akulah Bintang Utamanya". Setiap kegagalan adalah bukti konspirasi semesta yang dirancang khusus untuknya. Mencari solusi? Buat apa repot-repot, jika mengeluh dan menyalahkan lebih efektif menghasilkan simpati, atau setidaknya, engagement di media sosial. Mereka adalah pengingat abadi bahwa tanggung jawab itu tampaknya barang mewah yang tak semua orang mau beli.
Jangan lupakan pula Klub "Takut Kehabisan" dengan Scarcity Mentality yang selalu waspada. Bagi mereka, dunia ini adalah arena rebutan sembako terakhir. Kesuksesan, peluang, bahkan kebahagiaan, semuanya barang langka yang harus diamankan rapat-rapat. Kalau kamu dapat, berarti jatahku berkurang, begitu logikanya. Berbagi? Itu strategi kaum abundance yang naif. Iri hati dan kompetisi tidak sehat adalah menu harian. Mungkin saja semesta ini sebenarnya buffet all-you-can-eat, tapi mereka terlalu sibuk menjaga piring kecilnya sampai tak sempat melihat hidangan melimpah di meja sebelah.
Kemudian, mari kita amati Pasukan "Bukan Urusan Saya" yang memegang teguh Bystander Mentality. Saat ada masalah, ketidakadilan, atau panggilan untuk bertindak, mereka adalah penonton setia di barisan terdepan, lengkap dengan camilan dan komentar pedas di kolom daring. Intervensi? Itu kan tugasnya pihak berwajib, aktivis bayaran, atau minimal content creator yang butuh bahan. Mereka adalah perwujudan prinsip "cuek itu emas," terutama jika emasnya bisa ditukar dengan rasa aman semu karena tak perlu repot-repot terlibat. Sungguh ironis, di zaman serba terhubung ini, kita justru semakin piawai membangun tembok ketidakpedulian.
Tak jauh dari situ, berdiri dengan angkuh Kasta "Hak Istimewa Sejak Lahir" dengan Entitlement Mentality-nya. Mereka adalah kaum yang percaya bahwa dunia ini berhutang pada mereka hanya karena fakta eksistensi mereka yang (menurut mereka) begitu agung. Kesuksesan, perhatian, fasilitas VVIP, semua dianggap hak asasi yang datang tanpa perlu keringat apalagi kontribusi. Usaha dan jerih payah adalah konsep untuk kaum proletar. Rasa syukur? Itu untuk amatiran yang tak mengerti nilai dirinya. Mereka adalah VIP di pesta kehidupan yang tiket masuknya, entah bagaimana, selalu tersedia.
Dan sebagai penutup parade, sambutlah Ahli Nujum Nasib Buruk, dengan Negativity Bias yang tak pernah meleset. Mereka adalah spesialis dalam menemukan awan kelabu di langit paling biru sekalipun. Segelas air bagi mereka selalu setengah kosong, dan di ujung terowongan yang terang, pasti ada saja potensi bohlam putus. Mengeluh adalah hobi, pesimisme adalah agama, dan optimisme adalah delusi kaum yang kurang baca berita. Mereka adalah pengingat getir bahwa seindah apapun skenario hidup, pasti ada saja plot twist yang menyebalkan.
Mentalitas-mentalitas "adiluhung" ini, jika kita jujur pada diri sendiri, mungkin tidak hanya menghuni etalase pameran. Jangan-jangan, satu-dua, atau bahkan beberapa di antaranya, diam-diam telah menyewa kamar permanen dalam pikiran kita, menghambat kemajuan tanpa kita sadari. Di era yang katanya serba cepat dan penuh peluang ini, ironisnya kita masih sering terjebak menjadi kurator setia dari museum kepesimisan ini. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, tiket keluar dari pameran ini sebenarnya ada di mana? Jangan-jangan jawabannya ada pada kesediaan kita untuk berhenti menjadi pengunjung pasif, dan mulai berani membongkar koleksi pribadi kita sendiri. Atau, apakah kita memang sudah terlalu nyaman di dasar ember yang hangat dan penuh sesama ini?
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar