Langsung ke konten utama

Pemakzulan Wakil Presiden Indonesia: Analisis dari Perspektif Hukum Tata Negara dan Konstitusi


I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Konstitusional Pemakzulan Wakil Presiden di Indonesia

Mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia mengalami transformasi fundamental pasca-amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebelum perubahan tersebut, proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden cenderung kurang terdefinisi secara yuridis dan lebih rentan terhadap manuver politik, sebagaimana tercermin dalam sejarah pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Amandemen UUD 1945 bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial dengan menyediakan landasan prosedur yang lebih jelas dan berbasis hukum untuk pemakzulan. Perubahan ini menandai pergeseran dari proses yang didominasi oleh pertimbangan politik menuju mekanisme yang melibatkan peninjauan yudisial oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah cerminan dari upaya penguatan negara hukum (Rechtstaat) dan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) dalam sistem presidensial Indonesia. Meskipun ketentuan pemakzulan seringkali menyebut Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan, dinamika politik dan persepsi publik terkait pemakzulan seorang Wakil Presiden dapat berbeda secara signifikan dibandingkan dengan Presiden, yang berpotensi memunculkan pertimbangan strategis tersendiri bagi para aktor politik, sekalipun kerangka hukumnya identik. Kurangnya pengaturan yang jelas sebelum amandemen UUD 1944 bahkan sempat dinilai menciptakan kekosongan konstitusional terkait pemberhentian Presiden Pasca-amandemen, konsep pemakzulan lahir dengan penekanan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan semata-mata melalui proses politik, melainkan harus didahului oleh proses hukum.

B. Definisi dan Konsep Dasar Pemakzulan dalam Hukum Tata Negara Indonesia

Dalam konteks hukum tata negara Indonesia, pemakzulan (impeachment) didefinisikan sebagai proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya oleh lembaga legislatif, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang disebabkan oleh pelanggaran hukum tertentu.Istilah "pemakzulan" sendiri diserap dari bahasa Arab, yang bermakna "diberhentikan dari jabatan" atau "turun takhta". Secara esensial, pemakzulan berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap pejabat publik yang memegang kekuasaan besar. Konsep ini berbeda dengan mosi tidak percaya yang lazim dalam sistem parlementer, karena pemakzulan di Indonesia merupakan sebuah proses hukum-politik yang kompleks.

Pasca-amandemen UUD 1945, sistem pemakzulan di Indonesia dirancang sebagai model hibrida, yang menggabungkan unsur "model yudisial" melalui peran Mahkamah Konstitusi dalam memverifikasi dasar hukum, dengan "model kongresional" di mana DPR menginisiasi dan MPR mengambil keputusan akhir.3 Definisi pemakzulan di Indonesia juga lebih sempit, terfokus pada pelanggaran hukum spesifik, dibandingkan dengan beberapa yurisdiksi lain yang menggunakan istilah lebih luas seperti "high crimes and misdemeanors" di Amerika Serikat. Pilihan konstitusional ini bertujuan untuk membatasi alasan pemberhentian dan meningkatkan stabilitas jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, meskipun interpretasi terhadap salah satu alasan, yakni "perbuatan tercela", masih menyisakan potensi ambiguitas.

II. Dasar Hukum Pemakzulan Wakil Presiden Indonesia

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 7A, 7B, Pasal 6, dan relevansi pasal lainnya)

Landasan konstitusional utama bagi pemakzulan Wakil Presiden Indonesia tertuang dalam UUD 1945, khususnya Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 6.

  • Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan-alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal ini menjadi payung konstitusional yang menegaskan bahwa pemberhentian harus didasarkan pada alasan hukum, bukan politik semata.

  • Pasal 7B UUD 1945 menguraikan prosedur pemakzulan yang melibatkan tiga lembaga negara: DPR, MK, dan MPR. Pasal ini merinci mekanisme pengajuan usul oleh DPR, pemeriksaan dan putusan oleh MK, hingga pengambilan keputusan final oleh MPR, termasuk ketentuan mengenai kuorum rapat dan mayoritas suara yang dibutuhkan.

  • Pasal 6 UUD 1945 mengatur syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.Apabila seorang Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat-syarat tersebut selama masa jabatannya, hal itu dapat menjadi dasar pemakzulan berdasarkan Pasal 7A.

  • Pasal 20A UUD 1945 menyebutkan fungsi pengawasan DPR, yang menjadi dasar bagi DPR untuk menginisiasi proses pemakzulan melalui penggunaan hak menyatakan pendapat

Frasa "Presiden dan/atau Wakil Presiden" yang digunakan secara konsisten dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945  secara yuridis mengimplikasikan bahwa Wakil Presiden dapat dimakzulkan secara independen dari Presiden, atau bersamaan dengan Presiden. Meskipun dipilih sebagai satu pasangan calon, pertanggungjawaban atas tindakan yang dapat dimakzulkan bersifat individual. Hal ini memiliki implikasi signifikan terhadap stabilitas politik dan dinamika pasangan eksekutif.

Selain itu, persyaratan prosedural yang detail dan ambang batas suara yang tinggi dalam Pasal 7B UUD 1945, seperti dukungan minimal 2/3 anggota DPR untuk mengajukan permintaan ke MK, serta kehadiran minimal 3/4 anggota MPR dan persetujuan minimal 2/3 anggota MPR yang hadir untuk pemberhentian, dirancang untuk menjadikan proses pemakzulan sebagai mekanisme yang sulit ditempuh. Desain ini mencerminkan intensi untuk menjamin stabilitas eksekutif dan mencegah pemberhentian yang terlalu sering atau bermotif politik semata. Namun, kesulitan ini juga dapat dipandang sebagai penghalang akuntabilitas apabila terdapat alasan yang sah untuk pemakzulan.

B. Undang-Undang Organik Terkait

1. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (beserta perubahannya)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020, memberikan kerangka kerja statutori bagi peran MK dalam proses pemakzulan. Pasal 10 UU MK (dalam versi aslinya dan sebagaimana diubah sebelumnya) mengelaborasi kewenangan MK untuk memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta merinci lebih lanjut definisi pelanggaran yang dapat dimakzulkan.

Definisi legislatif mengenai jenis pelanggaran yang dapat dimakzulkan dalam UU MK, seperti "tindak pidana berat lainnya" yang diartikan sebagai tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara, memberikan parameter hukum yang lebih konkret dibandingkan UUD 1945 semata. Hal ini bertujuan mengurangi ambiguitas. Meskipun demikian, definisi "perbuatan tercela" sebagai "perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden" masih bersifat relatif luas dan berpotensi menimbulkan interpretasi subjektif baik oleh MK maupun aktor politik. Amandemen terhadap UU MK, seperti UU No. 7 Tahun 2020 yang berfokus pada masa jabatan dan pengangkatan hakim konstitusi, secara tidak langsung dapat memengaruhi proses pemakzulan dengan memengaruhi komposisi, persepsi independensi, dan stabilitas MK itu sendiri sebagai lembaga peradilan kunci dalam proses ini.

2. Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) (beserta perubahannya)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), beserta perubahannya (terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2019) , mengatur secara rinci tata cara prosedural bagi DPR dalam menggunakan "hak menyatakan pendapat" yang dapat berujung pada usulan pemakzulan. Ini mencakup persyaratan bagi pengusul, pembentukan panitia khusus (Pansus), dan kuorum pengambilan keputusan di DPR. UU MD3 juga menggariskan prosedur persidangan di MPR terkait pengambilan keputusan pemakzulan.

Persyaratan prosedural yang berlapis-lapis di DPR dan MPR sebagaimana diatur dalam UU MD3, seperti ambang batas pengusulan awal, pembentukan Pansus, dan kuorum spesifik untuk berbagai tahapan pemungutan suara, meskipun dimaksudkan untuk menjamin ketelitian dan konsensus yang luas, dapat secara strategis dimanfaatkan oleh faksi-faksi politik untuk mempercepat atau justru menghalangi proses pemakzulan. Dengan demikian, penerapan UU MD3 sangat bergantung pada lanskap politik yang ada. Lebih lanjut, ketentuan dalam UU MD3 mengenai kewenangan DPR untuk memanggil paksa individu dan potensi penggunaan upaya paksa dengan bantuan kepolisian selama proses penyelidikan (misalnya terkait Hak Angket yang dapat mendahului Hak Menyatakan Pendapat), bisa menjadi relevan dalam pengumpulan bukti untuk pemakzulan. Namun, penggunaan kewenangan tersebut dapat bersifat kontroversial secara politik dan memunculkan pertanyaan terkait pemisahan kekuasaan serta proses hukum yang adil.

3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 (PMK No. 21/2009)

Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi landasan hukum acara bagi MK dalam menjalankan fungsi yudisialnya pada proses pemakzulan. PMK ini menguraikan tahapan persidangan, jenis alat bukti yang dapat diajukan, dan kemungkinan amar putusan MK.

Langkah-langkah prosedural yang rinci dalam PMK No. 21/2009, termasuk kesempatan bagi DPR maupun Wakil Presiden untuk menyampaikan bukti dan argumen, mencerminkan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip proses hukum yang adil (audi alteram partem) dalam yurisdiksi khusus pemakzulan MK. Hal ini memperkuat aspek "yudisial" dari tahapan ini. Batas waktu 90 hari bagi MK untuk mengeluarkan putusannya, sebagaimana diamanatkan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 dan dioperasionalkan dalam PMK ini, memberlakukan batasan yang signifikan. Meskipun menjamin ketepatan waktu, batasan ini berpotensi memengaruhi kedalaman pemeriksaan yang mungkin dilakukan untuk dugaan yang sangat kompleks, yang dapat menciptakan tekanan yang mungkin memengaruhi ketelitian peninjauan yudisial.

Berikut adalah tabel yang merangkum landasan hukum utama pemakzulan Wakil Presiden di Indonesia:

Tabel 1: Landasan Hukum Utama Pemakzulan Wakil Presiden Indonesia

PeraturanPasal Relevan UtamaIsi Pokok Ketentuan Terkait Pemakzulan
UUD 1945Pasal 7A, 7B, Pasal 6Mengatur alasan pemberhentian, prosedur pemakzulan yang melibatkan DPR, MK, dan MPR, serta syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
UU Mahkamah Konstitusi (UU No. 24/2003 jo. UU No. 7/2020 dan perubahannya)Pasal 10 (atau padanannya dalam UU terbaru)Merinci kewenangan MK dalam memutus pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden dan memberikan definisi lebih lanjut mengenai alasan-alasan pemakzulan.
UU MD3 (UU No. 17/2014 jo. UU No. 13/2019 dan perubahannya)Pasal-pasal terkait Hak Menyatakan Pendapat DPR (mis. Pasal 79, 210-216 dalam kompilasi UU MD3) dan Tata Cara Sidang MPR (mis. Pasal 36-40, 63-64)Mengatur tata cara penggunaan Hak Menyatakan Pendapat oleh DPR, pembentukan Pansus, kuorum rapat dan pengambilan keputusan di DPR, serta tata cara persidangan dan pengambilan keputusan di MPR terkait usul pemberhentian Presiden/Wakil Presiden.
PMK No. 21/2009Seluruh pasal yang mengatur hukum acaraMenyediakan pedoman beracara bagi Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, termasuk tahapan sidang, alat bukti, dan jenis putusan.

III. Alasan-Alasan Pemakzulan Wakil Presiden Menurut Konstitusi dan Perundang-undangan

Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan pemakzulan Wakil Presiden Indonesia secara limitatif diatur dalam konstitusi dan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Secara garis besar, alasan-alasan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.

A. Pelanggaran Hukum

Pasal 7A UUD 1945 dan Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi merinci jenis-jenis pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar pemakzulan Wakil Presiden. Pelanggaran tersebut adalah:

  1. Pengkhianatan terhadap negara: Diartikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Ini merupakan delik yang paling serius karena menyangkut integritas dan kedaulatan negara.
  2. Korupsi: Diartikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Tindakan ini dianggap merusak sendi-sendi pemerintahan yang bersih dan kepercayaan publik.
  3. Penyuapan: Diartikan sebagai tindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sama halnya dengan korupsi, penyuapan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi.
  4. Tindak pidana berat lainnya: Didefinisikan sebagai tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Ketentuan ini memberikan batasan objektif mengenai keseriusan tindak pidana lain yang dapat dijadikan dasar pemakzulan.
  5. Perbuatan tercela: Diartikan sebagai perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Penjabaran eksplisit mengenai jenis-jenis pelanggaran hukum sebagai dasar pemakzulan ini menandakan komitmen konstitusional terhadap proses hukum yang adil dan supremasi hukum, yang mensyaratkan pembuktian atas perbuatan spesifik, bukan sekadar ketidakpuasan politik umum. Ini adalah salah satu pilar utama mekanisme stabilitas dalam sistem presidensial pasca-amandemen. Namun, di antara alasan-alasan tersebut, "perbuatan tercela" menjadi yang paling problematik dari segi interpretasi hukum. Berbeda dengan pengkhianatan, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya yang memiliki rujukan definisi dalam undang-undang pidana, "perbuatan tercela" didefinisikan secara lebih luas dan subjektif sebagai tindakan yang "dapat merendahkan martabat". Meskipun terdapat contoh-contoh seperti perzinaan atau mabuk-mabukan, ketiadaan batasan yuridis yang tegas membuka ruang bagi interpretasi yang dipengaruhi oleh moralitas publik yang berlaku dan manuver politik. Hal ini menempatkan Mahkamah Konstitusi pada posisi krusial untuk mengembangkan yurisprudensi yang konsisten guna mencegah "perbuatan tercela" menjadi pasal karet yang dapat dieksploitasi untuk tujuan politik.

B. Tidak Lagi Memenuhi Syarat sebagai Wakil Presiden

Selain pelanggaran hukum, seorang Wakil Presiden juga dapat dimakzulkan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUD 1945. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Wakil Presiden.

Alasan ini berbeda secara fundamental dari pelanggaran hukum karena berkaitan dengan kelayakan dasar untuk menduduki jabatan. Ini mengindikasikan bahwa perubahan status atau kondisi tertentu (misalnya, kehilangan kewarganegaraan Indonesia atau terbukti mengalami ketidakmampuan fisik atau mental yang permanen) dapat membuat seorang Wakil Presiden secara konstitusional tidak layak untuk melanjutkan jabatannya, bahkan tanpa melakukan "tindak pidana" atau "perbuatan tercela". Pembuktian bahwa seorang Wakil Presiden "tidak lagi memenuhi syarat", khususnya terkait kemampuan rohani dan jasmani, dapat melibatkan penentuan faktual yang kompleks dan berpotensi memerlukan penilaian medis. Hal ini akan menjadi tugas Mahkamah Konstitusi untuk mengadili, yang mungkin memerlukan kesaksian ahli dan penanganan informasi pribadi yang sensitif, menambah lapisan kompleksitas lain pada peran MK dalam proses pemakzulan.

Berikut adalah tabel yang merangkum alasan-alasan pemakzulan Wakil Presiden:

Tabel 2: Alasan-Alasan Pemakzulan Wakil Presiden

Kategori AlasanRincian Alasan PemakzulanDasar HukumDeskripsi/Definisi Singkat (berdasarkan UU MK)
Pelanggaran HukumPengkhianatan terhadap negaraPasal 7A UUD 1945; UU MKTindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
KorupsiPasal 7A UUD 1945; UU MKTindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
PenyuapanPasal 7A UUD 1945; UU MKTindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Tindak pidana berat lainnyaPasal 7A UUD 1945; UU MKTindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Perbuatan tercelaPasal 7A UUD 1945; UU MKPerbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Tidak Lagi Memenuhi SyaratTidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUD 1945 (misalnya terkait kewarganegaraan, kemampuan jasmani/rohani)Pasal 7A UUD 1945; UU MK; Pasal 6 UUD 1945Kehilangan kelayakan konstitusional untuk menjabat berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 6 UUD 1945.

IV. Mekanisme dan Prosedur Pemakzulan Wakil Presiden

Proses pemakzulan Wakil Presiden di Indonesia merupakan sebuah mekanisme yang kompleks dan melibatkan tiga lembaga negara utama: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Setiap lembaga memiliki peran dan prosedur spesifik yang diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait.

A. Peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Inisiasi proses pemakzulan berada di tangan DPR, yang menjalankan fungsi pengawasannya terhadap jalannya pemerintahan.

  1. Penggunaan Hak Menyatakan Pendapat: Proses dimulai ketika DPR menggunakan "Hak Menyatakan Pendapat" untuk menduga bahwa Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.
  2. Syarat Pengusulan dan Materi Usulan: Usul penggunaan Hak Menyatakan Pendapat harus diajukan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR yang berasal lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut harus disertai dengan dokumen yang memuat materi dugaan pelanggaran atau ketidakpenuhan syarat, beserta alasan pengajuan pendapat.
  3. Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) oleh DPR: Apabila DPR menerima usul Hak Menyatakan Pendapat, maka DPR akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR. Pansus ini bertugas melakukan penyelidikan dan melaporkan hasilnya kepada rapat paripurna DPR. Kekuasaan Pansus, terutama jika dapat menggunakan upaya paksa, dapat menjadi titik perdebatan hukum dan politik terkait due process bagi Wakil Presiden bahkan sebelum tahap MK. Pengumpulan bukti oleh badan politik (DPR) untuk digunakan dalam proses yudisial (MK) memunculkan pertanyaan mengenai standar bukti dan potensi bias politik dalam fase investigasi.
  4. Kuorum Rapat dan Pengambilan Keputusan DPR untuk Mengajukan Pendapat ke Mahkamah Konstitusi: Usul Hak Menyatakan Pendapat baru menjadi sikap resmi DPR apabila disetujui dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir. Namun, untuk secara resmi mengajukan pendapat DPR (bahwa Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran) ke Mahkamah Konstitusi, Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 mensyaratkan usul tersebut didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Mekanisme pemungutan suara dua tingkat di DPR ini—mayoritas sederhana untuk penerimaan awal usul Hak Menyatakan Pendapat, kemudian mayoritas super 2/3 untuk pengajuan resmi ke MK—menciptakan filter yang signifikan. Hal ini memungkinkan keluhan politik awal untuk disuarakan tetapi memerlukan konsensus lintas fraksi yang substansial untuk meningkatkannya menjadi proses pemakzulan formal yang melibatkan MK.

B. Peran Mahkamah Konstitusi (MK)

Setelah menerima pendapat DPR, Mahkamah Konstitusi memainkan peran yudisial yang krusial.

  1. Pemeriksaan dan Persidangan Pendapat DPR: MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan diterima. Peran MK adalah untuk menilai validitas hukum dari tuduhan DPR.
  2. Tahapan Persidangan dan Alat Bukti: Berdasarkan PMK No. 21/2009, persidangan di MK meliputi enam tahap: Pemeriksaan Pendahuluan; Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden; Pembuktian oleh DPR; Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden; Kesimpulan oleh kedua belah pihak; dan Pengucapan Putusan. Baik DPR maupun Wakil Presiden dapat mengajukan alat bukti berupa surat/dokumen, keterangan saksi, keterangan ahli, dan alat bukti lainnya. Wakil Presiden berhak hadir dan didampingi oleh kuasa hukum.
  3. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi: MK dapat mengeluarkan tiga jenis putusan: (1) Permohonan tidak dapat diterima, jika syarat formil tidak terpenuhi; (2) Permohonan ditolak, jika pendapat DPR tidak terbukti; atau (3) Membenarkan pendapat DPR, jika Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran atau tidak lagi memenuhi syarat. Peran MK pada tahap ini adalah murni yuridis, berfokus pada penilaian dasar hukum dan faktual klaim DPR, bukan membuat penilaian politik tentang pemberhentian. Putusannya adalah "pendapat" atau "temuan" hukum yang memungkinkan atau menonaktifkan tahap politik berikutnya di MPR. Sifat finalitas putusan MK bersifat unik: final dalam menentukan apakah dasar hukum terpenuhi bagi DPR untuk melanjutkan ke MPR, tetapi tidak final dalam menentukan pemberhentian Wakil Presiden itu sendiri. "Finalitas antara" ini menjadi ciri khas sistem Indonesia dan sumber perdebatan hukum berkelanjutan mengenai bobot sebenarnya dari putusan MK.

C. Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Apabila MK membenarkan pendapat DPR, proses berlanjut ke MPR sebagai lembaga pemutus akhir.

  1. Tata Cara Sidang MPR dalam Memutuskan Usul Pemberhentian: MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Tata cara persidangan diatur lebih lanjut dalam Peraturan MPR No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR.
  2. Hak Membela Diri Wakil Presiden: Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan (pembelaan) dalam sidang paripurna MPR sebelum keputusan diambil. MPR tetap dapat mengambil keputusan meskipun Wakil Presiden tidak hadir. Hak Wakil Presiden untuk "menyampaikan penjelasan" di MPR lebih bersifat sebagai pembelaan politik atau pernyataan akhir daripada pembelaan hukum adversarial penuh, karena pertarungan hukum-bukti utamanya telah terjadi di tahap MK. Sidang MPR dengan demikian kurang bersifat peradilan dan lebih merupakan kamar penilaian politik.
  3. Kuorum Rapat dan Pengambilan Keputusan MPR: Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Jika MPR menerima penjelasan Wakil Presiden, maka yang bersangkutan tidak diberhentikan. Peran MPR sebagai penentu akhir, dengan proses pengambilan keputusan berdasarkan pemungutan suara politik (meskipun dengan ambang batas tinggi), menggarisbawahi sifat politik tertinggi dari pemakzulan di Indonesia, terlepas dari tinjauan yudisial sebelumnya oleh MK. Hal ini dapat menyebabkan situasi di mana pelanggaran yang terbukti secara hukum tidak mengakibatkan pemberhentian karena kalkulasi politik di MPR.

Berikut adalah tabel tahapan kunci dan kuorum dalam proses pemakzulan di Indonesia:

Tabel 3: Tahapan Kunci dan Kuorum dalam Proses Pemakzulan di Indonesia

TahapanLembaga TerlibatDeskripsi Proses KunciKuorum RapatKuorum Pengambilan Keputusan
Pengajuan Usul Hak Menyatakan PendapatDPRAnggota DPR mengajukan usul kepada Pimpinan DPR.-Diusulkan min. 25 Anggota dari >1 Fraksi.
Persetujuan Usul Hak Menyatakan PendapatDPRRapat Paripurna DPR membahas dan menyetujui usul menjadi Hak Menyatakan Pendapat DPR.Dihadiri >1/2 jumlah Anggota DPR.Disetujui >1/2 jumlah Anggota DPR yang hadir.
(Jika dibentuk) Penyelidikan oleh Panitia KhususPansus DPRPansus melakukan penyelidikan atas dugaan dan melaporkan hasilnya ke Rapat Paripurna DPR.Sesuai ketentuan Pansus.Sesuai ketentuan Pansus.
Keputusan DPR untuk Mengajukan Pendapat ke MKDPRRapat Paripurna DPR memutuskan untuk mengajukan pendapat bahwa Wakil Presiden melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat ke MK.Dihadiri min. 2/3 jumlah Anggota DPR.Disetujui min. 2/3 jumlah Anggota DPR yang hadir.
Pemeriksaan, Pengadilan, dan Putusan oleh MKMKMK memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR dalam waktu paling lama 90 hari.Sidang Pleno dihadiri min. 7 Hakim Konstitusi.23Amar putusan (Tidak Dapat Diterima, Ditolak, atau Membenarkan Pendapat DPR).
Sidang Paripurna MPR untuk Memutuskan Usul PemberhentianMPRMPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR (jika MK membenarkan pendapat DPR), paling lambat 30 hari setelah usul diterima. Wakil Presiden diberi hak membela diri.Dihadiri min. 3/4 jumlah Anggota MPR.Disetujui min. 2/3 jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memberhentikan.

V. Analisis Yuridis dan Pandangan Pakar Hukum Tata Negara

Analisis mendalam terhadap mekanisme pemakzulan Wakil Presiden memerlukan tinjauan atas interpretasi pasal-pasal terkait, identifikasi problematika hukum, serta pemahaman atas keseimbangan antara proses hukum dan pertimbangan politik yang inheren dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

A. Interpretasi Pasal-Pasal Pemakzulan dalam UUD 1945

Interpretasi terhadap Pasal 7A dan 7B UUD 1945 menjadi kunci dalam memahami kerangka pemakzulan. Penekanan pada frasa "terbukti" dalam Pasal 7A mengisyaratkan pendekatan legalistik yang berbasis bukti, bukan semata-mata penilaian politik. Penggunaan frasa "Presiden dan/atau Wakil Presiden" secara konsisten menunjukkan bahwa keduanya dapat dimakzulkan secara terpisah maupun bersamaan. Salah satu area interpretasi yang paling krusial dan sering diperdebatkan adalah makna "perbuatan tercela".Ketidakjelasan definisi yuridis yang presisi untuk "perbuatan tercela" memberikan ruang diskresi yang luas bagi Mahkamah Konstitusi dalam menilainya, sekaligus membuka potensi bagi unsur subjektivitas dan pengaruh politik untuk menyusup dalam pertimbangan hukum.

B. Problematika Hukum dan Potensi Kekosongan Hukum

Sejumlah pakar hukum tata negara, seperti Jimly Asshiddiqie dan Laica Marzuki, telah menyoroti berbagai tantangan dalam mekanisme pemakzulan di Indonesia. Kesulitan dalam memenuhi ambang batas suara di MPR dan sifat politis dari keputusan akhir MPR yang berpotensi mengesampingkan temuan hukum MK adalah beberapa di antaranya. Terdapat pandangan bahwa belum ada peraturan yang mengatur secara lebih khusus dan detail mengenai mekanisme pembuktian pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 7A UUD 1945, yang mengindikasikan adanya persepsi kekosongan atau setidaknya kelemahan dalam peraturan pelaksana yang sangat rinci. "Kekosongan hukum" yang dirasakan ini mungkin bukan terletak pada ketiadaan aturan formal—mengingat UUD 1945, UU MD3, dan PMK MK telah menyediakan kerangka kerja—melainkan pada efektivitas dan koherensi aturan-aturan tersebut dalam mencapai keseimbangan antara akuntabilitas hukum dan stabilitas politik. "Celah" tersebut bisa jadi berada pada kemauan politik untuk secara konsisten menerapkan semangat hukum atau pada desain konstitusional UUD 1945 itu sendiri yang secara inheren memberikan finalitas politik kepada MPR.

Perdebatan mengenai apakah proses pemakzulan seharusnya mengikuti prinsip-prinsip hukum acara pidana secara penuh  juga menyoroti tantangan konseptual mendasar. Pemakzulan adalah sebuah proses sui generis, yang tidak murni bersifat pidana maupun politik. Memaksakannya sepenuhnya ke dalam kerangka hukum acara pidana mungkin tidak tepat untuk sebuah proses yang pada akhirnya bertujuan untuk akuntabilitas politik berdasarkan alasan hukum.

C. Keseimbangan antara Proses Hukum dan Pertimbangan Politik

Meskipun amandemen UUD 1945 bertujuan untuk memberi bobot lebih pada aspek yuridis, pertimbangan politik tetap dominan, terutama pada tahap inisiasi di DPR dan pengambilan keputusan final di MPR.1 Pakar seperti Laica Marzuki dan Mahfud MD telah mengomentari interaksi kompleks ini. Model pemakzulan Indonesia secara inheren menerima peran signifikan bagi penilaian politik pada tahap akhir di MPR. Ini dapat dilihat sebagai sebuah mekanisme demokratis, memastikan bahwa pemberhentian seorang Wakil Presiden yang dipilih secara nasional (sebagai bagian dari pasangan dengan Presiden) pada akhirnya bergantung pada konsensus luas dari perwakilan rakyat. Namun, hal ini juga berisiko membuat temuan hukum dari MK dapat dikesampingkan oleh politik partisan, yang dapat melemahkan akuntabilitas. Dr. Ellectrananda A.A. menyatakan bahwa "Realitas politik harus dianggap sebagai realitas hukum, dan konstitusi harus menjadi pijakan dalam menyikapi tuntutan masyarakat," yang menggarisbawahi perlunya konstitusi sebagai dasar dalam menghadapi dinamika politik.

D. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Proses Pemakzulan

Putusan MK yang membenarkan pendapat DPR tidak secara otomatis berujung pada pemberhentian Wakil Presiden, melainkan hanya membuka jalan bagi MPR untuk melanjutkan proses. Sebaliknya, putusan MK yang menolak pendapat DPR atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima akan menghentikan proses pemakzulan. Sifat tidak mengikatnya putusan afirmatif MK terhadap keputusan akhir MPR menjadi salah satu poin diskusi utama dalam hukum tata negara Indonesia. Hal ini menciptakan potensi divergensi antara temuan hukum dan hasil politik, di mana pelanggaran yang telah terbukti secara hukum tidak selalu berujung pada sanksi politik berupa pemberhentian.

VI. Studi Kasus dan Wacana Pemakzulan Wakil Presiden di Indonesia

Meskipun belum ada preseden historis pemakzulan Wakil Presiden di Indonesia, analisis terhadap kasus-kasus pemakzulan Presiden dan wacana yang pernah muncul terkait Wakil Presiden dapat memberikan perspektif berharga.

A. Preseden Historis Pemakzulan Presiden (Soekarno, Abdurrahman Wahid) dan Relevansinya terhadap Kerangka Hukum Pemakzulan Wakil Presiden

Pemakzulan Presiden Soekarno pada tahun 1967 dan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 terjadi di bawah kerangka konstitusional yang berbeda (UUD 1945 sebelum amandemen) dan lebih kental nuansa politiknya dibandingkan proses yudisial. Relevansi kasus-kasus ini terletak pada pemahaman konteks historis yang membentuk mekanisme pemakzulan yang berlaku saat ini, yang dirancang untuk lebih terstruktur dan berbasis hukum. Sifat kontroversial dan sarat muatan politik dari pemakzulan presiden di masa lalu tersebut sangat memengaruhi para reformis konstitusi untuk merancang proses yang lebih terukur dan melibatkan lembaga yudisial dalam UUD 1945 hasil amandemen, dengan maksud menerapkan proses reformasi ini secara setara baik kepada Presiden maupun Wakil Presiden.

B. Analisis Yuridis terhadap Wacana Pemakzulan Wakil Presiden (Contoh: Kasus Bank Century terkait Wapres Boediono, Wacana terkini)

Wacana mengenai potensi pemakzulan Wakil Presiden Boediono terkait skandal Bank Century dan diskusi-diskusi yang lebih baru, meskipun kurang terformalisasi, terkait Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, memberikan kesempatan untuk menganalisis bagaimana kerangka hukum saat ini dapat diterapkan. Dalam kasus Boediono, meskipun terdapat investigasi oleh Pansus Hak Angket DPR dan diskursus publik yang luas, tidak ada usulan pemakzulan formal (Hak Menyatakan Pendapat yang berlanjut ke MK) yang diajukan terhadapnya. Kegagalan wacana pemakzulan Wakil Presiden di masa lalu (seperti kasus Boediono) untuk berlanjut menjadi usulan formal DPR ke MK, meskipun terdapat keriuhan politik yang signifikan, menunjukkan bahwa ambang batas prosedural dan politik untuk memulai pemakzulan Wakil Presiden memang sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa kontroversi politik atau kecurigaan publik semata, tanpa bukti yang kuat dan diterima secara luas mengenai pelanggaran spesifik yang dapat dimakzulkan, kemungkinan besar tidak akan mampu memicu mekanisme formal tersebut.

Diskusi publik dan akademik seputar potensi pemakzulan Wakil Presiden, bahkan jika tidak mengarah pada proses formal, memainkan peran krusial dalam akuntabilitas demokratis. Diskusi ini menguji perilaku Wakil Presiden terhadap standar konstitusional dan menjaga mekanisme pemakzulan sebagai sebuah pengawasan laten.

VII. Perbandingan Singkat dengan Mekanisme Pemakzulan di Negara Lain

Membandingkan mekanisme pemakzulan Wakil Presiden di Indonesia dengan negara lain dapat memberikan perspektif yang lebih luas mengenai desain dan praktik konstitusional.

A. Dasar Hukum dan Alasan Pemakzulan

  • Amerika Serikat: Alasan pemakzulan adalah "treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors". Ini berlaku untuk Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat sipil lainnya.
  • Korea Selatan: Alasan pemakzulan adalah pelanggaran terhadap Konstitusi atau undang-undang lain dalam pelaksanaan tugas resmi. Ini berlaku untuk Presiden, Perdana Menteri, menteri, hakim, dan pejabat publik lainnya.
  • Filipina: Alasan pemakzulan adalah "culpable violation of the Constitution, treason, bribery, graft and corruption, other high crimes, or betrayal of public trust". Ini berlaku untuk Presiden, Wakil Presiden, Hakim Agung, anggota Komisi Konstitusional, dan Ombudsman.

B. Peran Lembaga Legislatif dan Yudikatif

  • Amerika Serikat: House of Representatives mengajukan dakwaan (impeach) dengan suara mayoritas sederhana; Senate mengadili (Ketua Mahkamah Agung memimpin untuk sidang Presiden/Wakil Presiden) dan memutuskan bersalah dengan mayoritas 2/3 suara. Lembaga yudikatif (Mahkamah Agung) umumnya tidak meninjau keputusan Senat.
  • Korea Selatan: National Assembly (parlemen unikameral) menginisiasi (mayoritas suara untuk mempertimbangkan, 2/3 dari seluruh anggota untuk memakzulkan); Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutuskan (6 dari 9 hakim diperlukan untuk pemberhentian). Pejabat yang dimakzulkan diskors sambil menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.
  • Filipina: House of Representatives menginisiasi (1/3 suara dari seluruh anggota untuk memakzulkan); Senate mengadili dan memutuskan bersalah (2/3 dari seluruh Senator untuk pemberhentian). Peran Mahkamah Agung terbatas, umumnya tidak campur tangan kecuali ada penyalahgunaan wewenang berat oleh Senat.

C. Sifat Keputusan Akhir

  • Amerika Serikat: Keputusan politik oleh Senat.
  • Korea Selatan: Keputusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi.
  • Filipina: Keputusan politik oleh Senat (bertindak sebagai pengadilan).
  • Indonesia (sebagai perbandingan): Keputusan politik oleh MPR, yang diinformasikan oleh pendapat hukum MK.

Perbandingan ini mengungkapkan bahwa model hibrida Indonesia (peninjauan hukum oleh MK + keputusan politik MPR) bersifat unik. Sementara AS dan Filipina cenderung pada badan legislatif yang membuat penilaian politik akhir (melalui persidangan Senat), dan Korea Selatan cenderung pada badan yudisial (Mahkamah Konstitusi) yang membuat penilaian hukum akhir, Indonesia mencoba kombinasi berurutan. Struktur khas ini menciptakan kekuatan tersendiri (misalnya, penyaringan hukum) sekaligus kelemahan (misalnya, potensi temuan hukum dikesampingkan secara politik).

Definisi alasan yang dapat dimakzulkan juga sangat bervariasi. Istilah "high crimes and misdemeanors" di AS lebih luas dan terbuka untuk interpretasi politik dibandingkan dengan "pelanggaran Konstitusi atau undang-undang" di Korea Selatan yang lebih ketat, atau daftar terperinci di Indonesia. Filipina menawarkan campuran dengan "betrayal of public trust" yang memungkinkan cakupan luas. Pilihan definisi ini secara fundamental membentuk sifat dan frekuensi upaya pemakzulan.

Berikut adalah tabel perbandingan ringkas mekanisme pemakzulan Wakil Presiden:

Tabel 4: Perbandingan Ringkas Mekanisme Pemakzulan Wakil Presiden

Aspek PerbandinganIndonesiaAmerika SerikatKorea SelatanFilipina
Pejabat Dapat Dimakzulkan (selain Presiden)Wakil PresidenWakil Presiden, pejabat sipil lainnyaWakil Presiden (jika ada), Perdana Menteri, Menteri, Hakim, dll.Wakil Presiden, Hakim Agung, Anggota Komisi Konstitusional, Ombudsman
Dasar/Alasan PemakzulanPelanggaran hukum (pengkhianatan, korupsi, suap, pidana berat lain, perbuatan tercela), tidak lagi memenuhi syarat (Pasal 7A UUD 1945)Treason, bribery, or other high crimes and misdemeanorsPelanggaran Konstitusi atau undang-undang lain dalam pelaksanaan tugas resmiPelanggaran berat Konstitusi, pengkhianatan, suap, korupsi & gratifikasi, kejahatan berat lain, atau pengkhianatan kepercayaan publik
Lembaga InisiatorDPR (Hak Menyatakan Pendapat)House of RepresentativesNational AssemblyHouse of Representatives
Peran YudikatifMK (memeriksa, mengadili, memutus pendapat DPR)Ketua Mahkamah Agung (memimpin sidang Senat untuk Presiden/VP); Mahkamah Agung umumnya tidak meninjau.Mahkamah Konstitusi (mengadili dan memutuskan pemberhentian)Ketua Mahkamah Agung (memimpin sidang Senat untuk Presiden); Mahkamah Agung umumnya tidak meninjau kecuali ada penyalahgunaan wewenang berat.
Lembaga Pemutus AkhirMPRSenateMahkamah KonstitusiSenate
Sifat Keputusan AkhirPolitik (berdasarkan suara MPR setelah mendapat pendapat hukum MK)PolitikHukumPolitik
Konsekuensi Langsung Pasca Putusan Legislatif AwalTidak ada (proses lanjut ke MK)Tidak ada (tetap menjabat sambil menunggu sidang Senat)Diskors dari jabatan sambil menunggu putusan Mahkamah KonstitusiTidak ada (proses lanjut ke Senat)

VIII. Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Sintesis Temuan Utama dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara dan Konstitusi

Analisis terhadap mekanisme pemakzulan Wakil Presiden Indonesia dari perspektif hukum tata negara dan konstitusi menunjukkan sebuah sistem yang dirancang secara kompleks, yang berupaya menyeimbangkan antara akuntabilitas hukum dan stabilitas politik. Landasan hukum utama pemakzulan termaktub dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945, yang kemudian dioperasionalkan melalui UU Mahkamah Konstitusi, UU MD3, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009.

Alasan pemakzulan bersifat limitatif, mencakup pelanggaran hukum spesifik (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela) dan kondisi tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden. Hal ini menandai pergeseran dari dasar pemberhentian yang cenderung politis di masa pra-amandemen.

Proses pemakzulan melibatkan tiga lembaga negara dengan peran yang berbeda: DPR sebagai inisiator melalui Hak Menyatakan Pendapat; Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial yang memeriksa dan memutus keabsahan hukum dari pendapat DPR; dan MPR sebagai lembaga yang mengambil keputusan final bersifat politik untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan Wakil Presiden. Keunikan sistem Indonesia terletak pada peran MK yang bersifat yudisial namun putusannya tidak secara otomatis mengikat keputusan politik MPR. Tingginya ambang batas kuorum dan suara di DPR dan MPR menunjukkan adanya intensi konstitusional untuk menjadikan pemakzulan sebagai mekanisme luar biasa yang sulit ditempuh, demi menjaga stabilitas pemerintahan dalam sistem presidensial.

Namun, terdapat beberapa problematika hukum, terutama terkait potensi dominasi pertimbangan politik atas supremasi hukum pada tahap akhir di MPR, serta ambiguitas definisi "perbuatan tercela" yang dapat membuka ruang interpretasi subjektif. Meskipun belum ada preseden pemakzulan Wakil Presiden, wacana yang pernah muncul menunjukkan bahwa mekanisme ini, meskipun sulit, tetap menjadi bagian dari diskursus ketatanegaraan Indonesia.

B. Rekomendasi untuk Penguatan Kerangka Hukum Pemakzulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan untuk penguatan kerangka hukum pemakzulan Wakil Presiden di Indonesia:

  1. Klarifikasi Yuridis "Perbuatan Tercela": Mengingat potensi ambiguitas "perbuatan tercela" sebagai salah satu dasar pemakzulan, perlu dipertimbangkan upaya untuk memberikan klarifikasi yuridis yang lebih konkret. Hal ini dapat dilakukan melalui:

    • Pengembangan Yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi: MK, melalui putusan-putusannya (meskipun belum ada kasus pemakzulan Wakil Presiden), dapat secara bertahap membangun kriteria dan parameter yang lebih jelas mengenai apa yang dapat dikategorikan sebagai "perbuatan tercela" dalam konteks jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
    • Elaborasi Legislatif (jika dimungkinkan secara konstitusional): Meskipun UUD 1945 telah mengatur, DPR bersama Pemerintah dapat mengkaji kemungkinan penjabaran lebih lanjut mengenai "perbuatan tercela" dalam undang-undang organik, dengan tetap memperhatikan batasan agar tidak mengurangi substansi konstitusional atau membuka celah politisasi baru.
  2. Penguatan Peran Putusan Mahkamah Konstitusi: Untuk memperkuat prinsip negara hukum dan akuntabilitas, perlu dikaji ulang mengenai implikasi putusan MK dalam proses pemakzulan. Meskipun perubahan fundamental yang menjadikan putusan MK bersifat final dan mengikat secara langsung terhadap pemberhentian oleh MPR memerlukan amandemen konstitusional terhadap Pasal 7B UUD 1945—sebuah proses yang sangat sulit secara politik —beberapa langkah non-amandemen dapat dipertimbangkan:

    • Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Proses di MPR: Peraturan Tata Tertib MPR dapat lebih menekankan kewajiban MPR untuk secara eksplisit dan transparan mempertimbangkan dan merespons setiap aspek putusan MK dalam risalah dan keputusan sidang paripurna MPR. Hal ini, meskipun tidak mengubah sifat politik keputusan MPR, dapat meningkatkan tekanan moral dan politik bagi MPR untuk bertindak sejalan dengan temuan hukum MK.
  3. Penyempurnaan Hukum Acara di Tingkat DPR: Untuk menjamin due process dan objektivitas pada tahap awal, perlu ada pedoman yang lebih jelas dalam UU MD3 atau Peraturan DPR tentang Tata Tertib mengenai:

    • Standar Pengumpulan Bukti oleh Pansus: Menetapkan standar minimum pengumpulan dan validasi bukti oleh Pansus DPR yang akan diajukan ke MK, untuk memastikan kualitas dan reliabilitas informasi.
    • Hak-Hak Terperiksa (Wakil Presiden) Selama Penyelidikan DPR: Memperjelas hak-hak Wakil Presiden selama proses penyelidikan oleh Pansus DPR, termasuk hak untuk didampingi penasihat hukum dan memberikan sanggahan terhadap materi yang diselidiki.
  4. Pendidikan Publik dan Diskursus Akademik Berkelanjutan: Mendorong diskusi akademik dan pendidikan publik yang berkelanjutan mengenai mekanisme pemakzulan, dasar hukumnya, dan implikasinya bagi sistem demokrasi dan negara hukum di Indonesia. Hal ini penting untuk membangun pemahaman publik yang lebih baik dan mendorong pengawasan yang lebih kritis terhadap pelaksanaan kewenangan oleh pejabat negara, termasuk Wakil Presiden.

Rekomendasi ini diajukan dengan kesadaran bahwa setiap perubahan dalam sistem ketatanegaraan, terutama yang menyangkut pemakzulan, memiliki implikasi politik yang mendalam. Oleh karena itu, setiap upaya perbaikan harus dilakukan melalui kajian yang cermat dan komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...