Langsung ke konten utama

Terjemahan Strategi Perjuangan Total dan Gema Kritis Tan Malaka di Indonesia Masa Kini

Ditulis dari balik jeruji penjara Madiun pada tahun 1948, "Gerpolek" (Gerilya-Politik-Ekonomi) karya Tan Malaka bukan sekadar risalah militer, melainkan sebuah manifesto strategi perjuangan total yang visioner. Lahir di tengah situasi genting, ketika sisa-sisa kedaulatan Republik Indonesia terancam oleh agresi militer dan manuver diplomasi kolonial, "Gerpolek" menawarkan sebuah kerangka integral untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan 100%. Tan Malaka, dengan ketajaman analisisnya, melihat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak bisa diparsegmentasi; aspek gerilya (militer kerakyatan), politik (ideologi dan diplomasi), serta ekonomi (kemandirian dan kerakyatan) adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hari ini, lebih dari tujuh dekade kemudian, di tengah lanskap sosial-politik dan ekonomi Indonesia yang jauh berbeda, pertanyaan mendasar muncul: sejauh mana prinsip-prinsip "Gerpolek" masih relevan sebagai pisau analisis kritis dan, mungkin, sebagai inspirasi strategis?

Tan Malaka membuka "Gerpolek" dengan kritik tajam terhadap kondisi Republik yang ia sebut telah merosot akibat "musim runtuh berdiplomasi," yang mengorbankan kedaulatan, daerah, perekonomian, dan semangat juang rakyat demi perundingan yang ia anggap merugikan. Baginya, penangkapan para pemimpin Persatuan Perjuangan adalah titik balik dari perjuangan massa aksi menuju diplomasi yang lemah, yang memberi kesempatan pada musuh untuk memperkuat diri. Semangat revolusi awal, di mana rakyat serentak mengambil inisiatif, memegang sumber ekonomi, dan membentuk laskar, telah pudar. Solusi yang ia tawarkan adalah pembentukan Laskar Gerilya di mana-mana sebagai daya upaya untuk menyelamatkan kapal negara yang terancam karam.

Gerilya: Lebih dari Sekadar Taktik Militer

Dalam "Gerpolek," konsep gerilya melampaui taktik perang konvensional. Ia adalah perang rakyat semesta, di mana "Sang Gerilya"—Putera/Puteri, Pemuda/Pemudi, Murba Indonesia—menjadi tulang punggungnya. Mereka adalah pejuang yang taat setia pada Proklamasi dan kemerdekaan 100%, tak gentar oleh lamanya perjuangan maupun persenjataan musuh yang modern.

Di era damai dan demokrasi (sekalipun dengan berbagai catatannya), "gerilya" fisik ala Tan Malaka tentu tidak lagi kontekstual. Namun, spirit gerilya—kelincahan, kreativitas, daya tahan, mobilisasi rakyat, dan serangan pada titik-titik lemah sistem yang korup atau tidak adil—memiliki relevansi abadi. Kita bisa menyaksikan "gerilya" dalam bentuk gerakan sosial sipil yang memperjuangkan isu lingkungan, hak asasi manusia, atau transparansi pemerintahan. "Gerilya" informasi melawan disinformasi dan hoaks yang mengancam kohesi sosial juga menjadi medan perang baru. Namun, di sini letak tantangan kritisnya: bagaimana memastikan "gerilya" modern ini tetap berada dalam koridor demokrasi, tidak terperosok dalam anarkisme, dan tidak dimanipulasi untuk kepentingan sempit? Bagaimana membedakan antara kritik konstruktif ala "Sang Gerilya" dengan ujaran kebencian yang justru memecah belah? Tan Malaka menekankan Sang Gerilya berjuang untuk kepentingan rakyat; parameter inilah yang perlu terus diuji dalam setiap "gerilya" kontemporer.

Politik: Kedaulatan Ideologi dan Diplomasi yang Tegas

Tan Malaka membedakan antara siasat perang dengan politik, namun menegaskan bahwa bagi bangsa yang berjuang, politik dalam arti paham dan ideologi adalah "otak-jantung" tentara rakyat. Ia mengkritik diplomasi yang mengorbankan prinsip ("Berunding Atas Pengakuan Kemerdekaan 100%"). Penyerahan hak dan konsesi kepada musuh, seperti yang ia lihat dalam penangkapan tokoh Persatuan Perjuangan atas "permintaan" delegasi, adalah pelanggaran kedaulatan.

Gagasan Tan Malaka tentang politik yang berdaulat dan berprinsip tetap menjadi dambaan. Dalam pusaran geopolitik global dan jerat kepentingan ekonomi internasional, pertanyaan tentang sejauh mana politik luar negeri dan kebijakan dalam negeri Indonesia benar-benar independen dan mengabdi pada kepentingan nasional selalu relevan. Tan Malaka mewanti-wanti agar UNO (PBB) pada masanya, yang didominasi negara imperialis, tidak menjadi sandaran utama. Peringatan ini masih bergema: bagaimana Indonesia menavigasi lembaga-lembaga internasional dan tekanan global tanpa mengorbankan kedaulatan fundamentalnya? Di dalam negeri, fragmentasi politik, pragmatisme yang mengalahkan ideologi, dan "politik dagang sapi" adalah antitesis dari politik perjuangan yang diidealkan Tan Malaka. Bagaimana membangun kembali politik yang berakar pada kesadaran rakyat dan bertujuan untuk kemerdekaan sejati di segala bidang?

Ekonomi: Kemandirian dan Kesejahteraan Murba

Aspek ekonomi dalam "Gerpolek" sangat sentral. Kemerdekaan politik tanpa kedaulatan ekonomi adalah semu. Tan Malaka menegaskan bahwa minimal 60% aset ekonomi modern harus berada di tangan rakyat dan negara Indonesia, bukan dikuasai asing. Ia menyerukan penyitaan hak milik musuh sebagai hak negara yang diserang. Perang ekonomi melawan Belanda, menurutnya, harus dilakukan dengan memboikot produk dan pekerjaan dari pihak musuh, sambil membangun produksi dan distribusi rakyat melalui koperasi.

Debat tentang penguasaan sumber daya alam, dominasi modal asing, ketimpangan ekonomi, dan nasib UMKM serta koperasi di tengah gempuran korporasi besar adalah isu-isu kontemporer yang sangat relevan dengan analisis ekonomi Tan Malaka. Meskipun model "penyitaan" aset asing secara frontal mungkin tidak lagi berlaku dalam tatanan ekonomi global saat ini, pertanyaan tentang bagaimana memastikan kekayaan alam Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (amanat konstitusi) tetap urgen. Bagaimana membangun kemandirian ekonomi di tengah arus globalisasi? Bagaimana memberdayakan koperasi dan ekonomi rakyat agar tidak sekadar menjadi pelengkap, tetapi menjadi soko guru perekonomian nasional? Peringatan Tan Malaka tentang "Braintrust" (gabungan otak) yang merencanakan ekonomi tanpa melibatkan rakyat, dan hanya bersandar pada "kerja sama" dengan modal asing yang berujung pada eksploitasi, adalah kritik yang masih tajam terasa hingga kini.

Keterpaduan Ger-Pol-Ek dan Warisan Abadi

Inti dari "Gerpolek" adalah keterpaduan yang tak terpisahkan antara gerilya, politik, dan ekonomi. Perjuangan militer membutuhkan landasan politik yang kokoh dan dukungan ekonomi yang mandiri. Tujuan politik tidak akan tercapai tanpa kekuatan riil (militer dan ekonomi). Dan ekonomi kerakyatan tidak akan terwujud tanpa kedaulatan politik dan keamanan yang terjamin.

Di Indonesia masa kini, keterpaduan ini dapat dimaknai sebagai kebutuhan akan sinergi kebijakan dan gerakan dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. Misalnya, pemberantasan korupsi membutuhkan tidak hanya penegakan hukum (aspek "gerilya" hukum), tetapi juga reformasi politik yang komprehensif dan sistem ekonomi yang transparan serta adil. Pembangunan sumber daya manusia membutuhkan strategi pendidikan ("gerilya" intelektual), kebijakan sosial-politik yang mendukung, dan alokasi ekonomi yang memadai.

"Gerpolek" Tan Malaka, meskipun lahir dari konteks perjuangan fisik merebut kemerdekaan, menawarkan lebih dari sekadar strategi perang. Ia adalah sebuah cara pandang, sebuah mindset perjuangan total yang menekankan kemandirian, keberpihakan pada rakyat murba, dan integrasi berbagai aspek kehidupan bangsa. Sikapnya yang tanpa kompromi terhadap imperialisme dan kapitalisme, serta visinya tentang masyarakat yang adil dan berdaulat, tetap menjadi sumber inspirasi sekaligus bahan kritik tajam terhadap realitas Indonesia kontemporer.

Meskipun beberapa mekanisme spesifik yang ia usulkan mungkin perlu dikaji ulang sesuai perkembangan zaman, pertanyaan-pertanyaan fundamental yang diajukan Tan Malaka tentang hakikat kemerdekaan, kedaulatan rakyat, dan tujuan bernegara adalah pertanyaan abadi yang harus terus dijawab oleh setiap generasi bangsa Indonesia. Semangat "Gerpolek"—semangat berjuang secara cerdas, integral, dan tanpa henti demi kepentingan rakyat banyak—adalah warisan yang tak lekang oleh waktu.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...