Langsung ke konten utama

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan.

Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai isu hukum kontemporer. Kita akan menelaah bagaimana filsafat hukum, sebagai disiplin yang mempertanyakan hakikat kebenaran di balik peraturan, bersinggungan dengan hukum tata negara, yang bertindak sebagai arsitek kekuasaan dan pelindung hak dalam sebuah negara. Melalui kacamata dialektika antara positivisme hukum dan realisme hukum, kita akan mencoba memahami pergulatan ini, dengan menyoroti contoh-contoh aktual yang mengguncang sendi-sendi demokrasi kita hari ini.

Bagian 1: Fondasi Filosofis: Ketika Hukum Bertanya tentang Dirinya Sendiri

Jauh sebelum hukum diwujudkan dalam bentuk undang-undang atau putusan pengadilan, ia telah menjadi subjek perenungan mendalam para pemikir. Filsafat hukum, sebagai cabang filsafat yang paling relevan dengan disiplin kita, adalah upaya tanpa henti untuk menggali hakikat, tujuan, dan nilai-nilai fundamental yang mendasari keberadaan hukum itu sendiri. Ia tak puas dengan sekadar mengetahui "apa itu hukum" dari teks, melainkan terus bertanya "mengapa hukum itu ada," "apa tujuan akhir hukum," dan "bagaimana hukum seharusnya berlaku". Ini adalah disiplin yang melampaui batas-batas teknis, mencari kebenaran esensial yang membentuk jiwa dan raga setiap norma.

Dalam perjalanan panjang pemikiran hukum, dua aliran besar telah mendominasi perdebatan tentang hakikat hukum: positivisme hukum dan realisme hukum. Keduanya menawarkan perspektif yang kontradiktif namun esensial untuk memahami kompleksitas sistem hukum modern.

Positivisme Hukum: Otoritas Teks dan Kepastian Normatif

Positivisme hukum muncul sebagai respons terhadap kebutuhan akan kepastian dan ketertiban dalam masyarakat yang semakin kompleks. Aliran ini menekankan pemisahan yang tegas antara hukum dan moral, antara "hukum yang ada" (lex lata atau das sein) dan "hukum yang seharusnya" (lex ferenda atau das sollen). Bagi penganut positivisme, hukum adalah produk dari otoritas yang sah, baik itu perintah penguasa (sebagaimana diusung oleh John Austin) maupun sistem norma yang hierarkis dan murni (seperti pandangan Hans Kelsen).

Dalam pandangan Austin, hukum adalah perintah dari yang berdaulat (command of the sovereign) yang didukung oleh ancaman sanksi. Titik beratnya terletak pada ketaatan formal terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Sementara itu, Kelsen, dengan Teori Hukum Murni-nya, berusaha memurnikan hukum dari segala unsur non-hukum, seperti moral, politik, atau sosiologi. Baginya, suatu norma hukum sah jika ia diturunkan dari norma yang lebih tinggi dalam suatu hierarki, yang puncaknya adalah Grundnorm atau norma dasar.

Tujuan utama positivisme hukum adalah mencapai kepastian hukum (legal certainty). Ini berarti hukum harus jelas, dapat diprediksi, dan diterapkan secara seragam. Masyarakat perlu mengetahui dengan pasti apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, sehingga setiap individu dapat merencanakan perilakunya tanpa rasa takut akan diskresi yang sewenang-wenang. Hukum, dalam perspektif ini, adalah "hukum dalam buku" (law in books), kumpulan teks-teks formal yang tersusun secara sistematis dan logis. Keberlakuan hukum didasarkan pada legalitas prosedural dan otoritas pembentuknya, bukan pada keadilan substantifnya semata. Argumentasinya kuat: tanpa kepastian, mustahil ada ketertiban; tanpa ketertiban, mustahil masyarakat dapat berfungsi.

Realisme Hukum: Dinamika Praktik dan Peran Hakim

Sebagai antitesis terhadap formalisme positivisme, realisme hukum muncul dengan klaim bahwa hukum tidak hanya sekedar teks di atas kertas; ia adalah apa yang benar-benar terjadi dalam praktik, terutama di tangan para hakim dan penegak hukum. Aliran ini, yang berkembang di Amerika Serikat dan Skandinavia pada awal abad ke-20, menggeser fokus dari "hukum dalam buku" ke "hukum dalam tindakan" (law in action). Para realis berpendapat bahwa putusan pengadilan tidak semata-mata hasil deduksi logis dari norma-norma abstrak, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor non-hukum, seperti latar belakang sosial hakim, kepentingan ekonomi, pandangan politik, bahkan emosi pribadi.

Realisme hukum menyoroti diskresi yang inheren dalam setiap proses penegakan hukum. Hakim, dalam pandangan realis, bukanlah "corong undang-undang" belaka, melainkan aktor kreatif yang membentuk hukum melalui interpretasi dan aplikasinya dalam kasus konkret. Oleh karena itu, hukum dipandang sebagai alat yang dinamis, yang harus responsif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat.

Meskipun terkadang dituduh mengabaikan norma dan terlalu menekankan pragmatisme, realisme hukum sesungguhnya bertujuan untuk mengungkap realitas sesungguhnya dari sistem hukum. Mereka ingin melihat bagaimana hukum berfungsi di masyarakat, bukan hanya bagaimana ia didefinisikan secara teoritis. Bagi realis, keadilan substantif seringkali lebih utama daripada sekadar kepastian formal.

Dialektika Abadi di Tengah Persinggungan dan Ketegangan 

Positivisme dan realisme hukum, meskipun tampak bertentangan, sebenarnya saling melengkapi dalam memberikan pemahaman komprehensif tentang hukum. Positivisme memberikan kerangka struktural dan fondasi normatif yang esensial untuk keteraturan. Ia menyediakan "aturan main" dasar yang memungkinkan sistem hukum berfungsi. Tanpa positivisme, hukum bisa menjadi sewenang-wenang dan tak terprediksi, karena tidak ada patokan yang jelas.

Namun, tanpa sentuhan realisme, hukum bisa menjadi kaku, buta terhadap konteks sosial, dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Realisme mengingatkan kita bahwa hukum, pada akhirnya, diciptakan dan diterapkan oleh manusia, untuk manusia. Ia menuntut agar hukum tidak hanya benar secara formal, tetapi juga adil dan bermanfaat secara substantif dalam kehidupan nyata.

Ketegangan antara keduanya adalah manifestasi dari pergulatan hukum untuk mencapai idealisme sekaligus tetap relevan dengan realitas. Kepastian hukum tanpa keadilan bisa menjadi tirani, sementara keadilan tanpa kepastian bisa berujung pada anarki. Oleh karena itu, sistem hukum yang matang akan selalu mencari titik keseimbangan dinamis antara keduanya, sebuah harmoni yang terus-menerus diuji dan disempurnakan. Inilah fondasi filosofis yang akan kita gunakan untuk menelaah bagaimana arsitektur konstitusional Indonesia berhadapan dengan badai realitas kontemporer.

Bagian 2: Hukum Tata Negara: Arsitektur Kekuasaan dan Perlindungan Hak dalam Konstitusi

Jika filsafat hukum menyelami hakikat dan tujuan hukum di alam ide, maka hukum tata negara bertindak sebagai insinyur dan arsitek yang mewujudkan hukum dalam struktur konkret sebuah negara. Ia adalah cetak biru fundamental yang menentukan bagaimana kekuasaan diorganisasikan, bagaimana hak-hak individu dijamin, dan bagaimana interaksi antara negara dan warganya dijalankan. Di jantung hukum tata negara bersemayam konstitusi, sebuah dokumen yang melampaui sekadar kumpulan pasal-pasal, menjadi manifestasi tertulis dari cita-cita luhur dan komitmen kolektif suatu bangsa.

Konstitusi, dalam pengertiannya yang luas, bukan hanya naskah formal yang mengatur tata negara, melainkan juga cerminan kehidupan sosial-politik yang nyata, nilai-nilai yang diyakini, serta pandangan tokoh-tokoh bangsa yang ingin diwujudkan. Ia adalah jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, merekam sejarah, menetapkan dasar, dan mengarahkan tujuan. Fungsi utamanya adalah sebagai penentu dan pembatas kekuasaan organ negara, pengatur hubungan antar-lembaga negara, serta pengatur hubungan antara negara dan warga negara.

Konstitusi sebagai Fondasi Negara Hukum dan Konstitusionalisme

Dalam setiap negara hukum modern, konstitusi memegang peranan sentral sebagai supreme law of the land atau hukum tertinggi di suatu negara. Kedudukannya berada di atas semua peraturan perundang-undangan lainnya, memastikan bahwa tidak ada aturan di bawahnya yang boleh bertentangan dengannya. Fungsi ini krusial karena negara, pada hakikatnya, adalah organisasi kekuasaan yang berpotensi memaksakan kehendak dan menyalahgunakan kewenangannya. Di sinilah konsep konstitusionalisme menjadi relevan.

Konstitusionalisme adalah gagasan fundamental bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Ia muncul sebagai reaksi terhadap absolutisme yang memusatkan kekuasaan di tangan satu entitas, seperti raja, dan berupaya mencegah tirani. Konstitusi yang mencerminkan konstitusionalisme secara tegas mencantumkan pembatasan kekuasaan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negara. Pembatasan ini, yang sering diabadikan dalam konstitusi, mengarah pada apa yang disebut sebagai constitutional government atau limited government.

Mencegah Tirani dengan Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan

Salah satu instrumen utama untuk membatasi kekuasaan dan mewujudkan konstitusionalisme adalah melalui mekanisme pembagian atau pemisahan kekuasaan. Konsep ini, yang paling terkenal dirumuskan oleh John Locke dan kemudian dikembangkan oleh Montesquieu, dikenal sebagai Trias Politica.

John Locke membedakan tiga jenis kekuasaan: legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (menjalankan undang-undang), dan federatif (urusan luar negeri). Ia berpendapat bahwa kemerdekaan individu hanya terjamin jika kekuasaan tidak terpusat. Montesquieu kemudian menyempurnakan gagasan ini dengan secara tegas memisahkan kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif (kehakiman). Bagi Montesquieu, setiap kekuasaan ini harus dilaksanakan secara terpisah, baik mengenai fungsi maupun organ yang melaksanakannya, untuk menjamin kebebasan individu dan menghindari tirani. Penumpukan semua kekuasaan di tangan yang sama, tanpa terkecuali, akan selalu berujung pada despotisme.

Perdebatan mengenai Trias Politica, baik dalam bentuk pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang ketat maupun pembagian kekuasaan (division of powers) yang lebih longgar, selalu menjadi topik hangat dalam konteks praktik ketatanegaraan. Di Amerika Serikat, model separation of powers cenderung ketat, di mana setiap cabang kekuasaan—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—bekerja secara mandiri dengan sedikit tumpang tindih fungsi. Hal ini bertujuan untuk menciptakan mekanisme checks and balances yang kuat, mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu entitas. Sebaliknya, Indonesia dalam sejarah ketatanegaraannya, cenderung menganut konsep pembagian kekuasaan yang lebih longgar, yang lebih menekankan pada distribusi kewenangan dan kolaborasi antar-lembaga, meskipun tetap ada diferensiasi fungsi. Konsep ini, dalam teori, diharapkan menciptakan sinergi dan efisiensi dalam penyelenggaraan negara, namun dalam realitasnya, seringkali menunjukkan sisi kontraproduktif yang menjauhkan kita dari cita-cita luhur bernegara. 

Cita-cita luhur negara Indonesia, sebagaimana terpatri dalam Pembukaan UUD NRI 1945, adalah mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pembagian kekuasaan seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan ini, bukan justru menghambatnya. Namun, dalam banyak kasus, terutama di tengah tarik-menarik kepentingan politik dan godaan kekuasaan, pembagian kekuasaan yang longgar ini dapat menjadi celah bagi penyimpangan yang kontraproduktif.

Kontra Produktivitas dalam Praktik

Mari kita lihat bagaimana pembagian kekuasaan di Indonesia, meskipun secara normatif diatur, seringkali kontraproduktif terhadap cita-cita luhur melalui studi kasus nyata.

Pertama, dalam konteks dominasi eksekutif-legislatif, kita sering menyaksikan fenomena undang-undang "titipan" atau "sapuan jagat." Dalam sistem pembagian kekuasaan yang longgar, terutama di Indonesia yang cenderung menganut sistem presidensial dengan anasir parlementer, kolaborasi antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) sangat dianjurkan. Bahkan, undang-undang dibentuk bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam teori, ini adalah bentuk sinergi yang efisien untuk menghasilkan regulasi. Namun, dalam praktiknya, kolaborasi ini seringkali bergeser menjadi dominasi atau kongkalikong kepentingan yang mengabaikan prinsip partisipasi publik dan proses yang transparan, menghasilkan undang-undang yang dipertanyakan kualitas dan legitimasinya. Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan disahkan kembali menjadi undang-undang, adalah contoh monumental dari kecenderungan ini. Proses pembentukannya dituding minim partisipasi publik yang bermakna, dilakukan secara tergesa-gesa, dan seringkali mengabaikan kritik dari akademisi dan masyarakat sipil. Dari perspektif positivisme, UU Ciptaker adalah sah karena melalui prosedur formal yang ada. Namun, dari kacamata realisme, prosesnya menunjukkan bagaimana kekuatan eksekutif dan legislatif dapat berkolaborasi untuk mempercepat pengesahan regulasi yang sarat kepentingan, mengabaikan aspirasi yang lebih luas, dan berpotensi merugikan kelompok masyarakat tertentu demi kepentingan investasi dan ekonomi makro. Ini kontraproduktif terhadap cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan umum yang berlandaskan pada Pancasila, sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI 1945 Pasal 33. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat karena cacat formil semakin memperkuat argumen kontra produktivitas ini, meskipun pada akhirnya undang-undang ini tetap berlaku setelah melalui revisi.

Kedua, kemandirian yudikatif yang terkikis menjadi sorotan, seringkali melalui intervensi politik dalam rekrutmen dan putusan hakim. Salah satu pilar utama negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lain, untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ini adalah esensi dari Trias Politica ala Montesquieu yang menempatkan yudikatif sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dan independen. Namun, dalam realitas Indonesia, kemandirian ini seringkali terkikis, terutama melalui proses rekrutmen dan bahkan dalam pembuatan putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden adalah contoh paling mutakhir dan paling menyakitkan dari kontra produktivitas ini. Meskipun MK secara normatif memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD, putusan ini dituduh bersifat ultra petita (memutus melebihi atau di luar permohonan) dan "cawe-cawe" politik, yaitu campur tangan politik dalam proses yudisial. Perubahan frasa "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" menjadi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" secara substansial menciptakan norma baru, bukan sekadar menafsirkan atau membatalkan. Dari perspektif positivisme, ini adalah pelanggaran terhadap batas kewenangan MK sebagai "negative legislator." Namun, dari kacamata realisme, putusan ini terang-terangan menunjukkan bagaimana faktor politik—terutama kepentingan politik yang sangat kasat mata pada saat itu—dapat mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman, menodai cita-cita peradilan yang merdeka dan tidak memihak. Hal ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi peradilan sebagai benteng terakhir keadilan, dan menjadi kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kualitas demokrasi.

Ketiga, hukum yang bergeser menjadi "alat" kekuasaan, bukan pelindung rakyat, terlihat dalam implementasi KUHP dan RUU KUHAP. Konsep Law as a Tool of Social Engineering yang dipopulerkan Roscoe Pound, menghendaki hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat yang progresif, harmonis, dan mewujudkan kesejahteraan. Namun, ketika pembagian kekuasaan yang longgar dimanfaatkan, hukum bisa bergeser dari "alat rekayasa sosial" menjadi "alat kekuasaan" semata, dimana kepentingan elit mendominasi perumusan dan penegakannya. Pemberlakuan Undang-Undang KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), meskipun digembar-gemborkan sebagai produk unifikasi dan kodifikasi hukum pidana nasional yang mengakomodasi "hukum yang hidup di masyarakat" (living law), tidak luput dari kritik kontraproduktif. Pasal-pasal karet, seperti delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, atau pengaturan tentang penyebaran berita bohong, dituduh dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang merupakan hak asasi manusia fundamental. Sementara "hukum yang hidup" diharapkan membawa keadilan substantif, realisme menunjukkan bahwa implementasinya akan sangat bergantung pada diskresi penegak hukum dan hakim di lapangan. 

Potensi interpretasi yang berbeda-beda dan bias kepentingan dalam penerapan living law ini justru dapat menciptakan ketidakpastian dan diskriminasi, jauh dari cita-cita kepastian hukum dan keadilan yang luhur. Demikian pula dengan Rancangan Undang-Undang KUHAP (RUU KUHAP). Hukum acara pidana, secara positivistik, haruslah tegas dan prosedural untuk menjamin hak-hak tersangka dan terdakwa. Namun, jika RUU KUHAP dirumuskan tanpa partisipasi yang memadai dan dituduh memiliki celah yang dapat disalahgunakan oleh penegak hukum (misalnya, terkait kewenangan penyidikan atau penahanan), maka ia akan kontraproduktif terhadap cita-cita perlindungan HAM dan prinsip due process of law. Kekhawatiran ini mencerminkan realisme yang melihat bagaimana kekuatan dan kepentingan dapat membentuk hukum, bahkan hukum acara, yang pada akhirnya mempengaruhi nasib individu di hadapan hukum.

Implikasi dari kontra produktivitas pembagian kekuasaan ini memiliki dampak serius terhadap cita-cita luhur bernegara. Ketika satu cabang kekuasaan, atau dua cabang kekuasaan berkolaborasi erat (eksekutif-legislatif) dapat mendominasi proses hukum, maka mekanisme checks and balances yang seharusnya menjadi pengaman, menjadi tumpul. Ini mengarah pada abuse of power dan penyalahgunaan kewenangan, menjauhkan negara dari karakter limited government. Setiap kasus di mana hukum tampak ditekuk demi kepentingan politik atau kelompok tertentu akan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan negara. Hilangnya kepercayaan ini adalah ancaman serius bagi legitimasi pemerintahan dan stabilitas demokrasi, karena masyarakat akan merasa bahwa hukum tidak lagi adil atau tidak lagi melindungi mereka. Pembagian kekuasaan yang kontraproduktif memperlebar jurang antara "hukum dalam buku" (norma ideal) dan "hukum dalam tindakan" (praktik nyata). 

Norma-norma luhur yang tercantum dalam konstitusi dan undang-undang menjadi sekadar formalitas, sementara praktik di lapangan didominasi oleh kepentingan dan kekuatan. Ini menciptakan hipokrisi hukum yang merugikan masyarakat. Demokrasi yang berkualitas membutuhkan hukum yang berintegritas, peradilan yang independen, dan partisipasi publik yang berarti. Ketika pembagian kekuasaan justru menjadi arena tarik-menarik kepentingan yang kontraproduktif, maka upaya peningkatan kualitas demokrasi menjadi sangat terhambat. 

Maka, jelaslah bahwa pembagian kekuasaan di Indonesia, meskipun secara konsep longgar dan kolaboratif, dalam realitasnya seringkali menjadi kontraproduktif pada cita-cita luhur negara. Ini menuntut kita untuk senantiasa kritis dan realistis dalam memandang hukum, tidak hanya terpaku pada teks, tetapi juga memahami dinamika yang melingkupinya. Tantangannya adalah bagaimana mengembalikan pembagian kekuasaan ini pada jalur yang benar, di mana kolaborasi berarti sinergi untuk keadilan, bukan kongkalikong untuk kepentingan.

Pilar Demokrasi sebagai Pelindung Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi 

Prinsip kedaulatan rakyat adalah jantung dari setiap negara demokratis. Secara etimologis, kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi, dan ketika dikaitkan dengan rakyat, ia bermakna bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat itu sendiri. Rakyat, sebagai pemegang daulat tertinggi, berhak menentukan jalannya negara dan hukum. Abraham Lincoln merangkumnya dengan adagium klasik: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dalam konstitusi Indonesia, prinsip kedaulatan rakyat secara tegas tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Ketentuan ini menegaskan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dimonopoli oleh satu lembaga (seperti MPR sebelum amandemen), melainkan dilaksanakan melalui mekanisme yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, yaitu melalui pemilihan umum (Pemilu) yang demokratis. Pemilu menjadi instrumen krusial untuk mengukur berjalannya sistem demokrasi, memungkinkan rakyat memilih wakil-wakilnya (DPR, DPD) serta pemimpin eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah) secara langsung. Prinsip-prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil adalah manifestasi konkrit dari kedaulatan rakyat.

Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi sebagai Jaminan Martabat Manusia

Tidak lengkap rasanya membicarakan arsitektur kekuasaan tanpa menyinggung jaminan perlindungan hak-hak dasar manusia. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak kodrati yang melekat pada diri setiap individu sejak lahir, anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah.

Konstitusi berfungsi sebagai benteng perlindungan HAM. Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya HAM telah ada jauh sebelum kemerdekaan, dan perdebatan mengenai pencantumannya dalam konstitusi telah mewarnai sejarah pembentukan UUD 1945. Meskipun pada awalnya HAM diatur secara minimal dan tersebar dalam UUD 1945 naskah asli, perkembangan konstitusi pasca-Reformasi telah membawa perubahan signifikan. Amandemen UUD 1945, khususnya dengan penambahan Bab XA, secara komprehensif merinci berbagai hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, dan hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pencantuman HAM dalam konstitusi menjadi bentuk perimbangan terhadap kekuasaan negara yang besar, memastikan bahwa otoritas tidak digunakan secara berlebihan atau melanggar martabat manusia. Ia juga menegaskan tanggung jawab negara untuk tidak hanya melindungi, tetapi juga memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM. Jaminan ini semakin diperkuat dengan adanya mekanisme penegakan HAM, termasuk pembentukan Pengadilan HAM, yang menjadi bagian integral dari sistem peradilan.

Singkatnya, hukum tata negara, dengan konstitusi sebagai intinya, membangun struktur kekuasaan yang didasarkan pada prinsip demokrasi dan dibatasi oleh perlindungan hak asasi manusia. Ini adalah kerangka ideal yang diimpikan oleh para pendiri bangsa, sebuah panggung tempat cita-cita filosofis hukum akan berdialektika dengan realitas, sebagaimana akan kita lihat dalam berbagai isu kontemporer yang mengguncang Indonesia.

Bagian 3: Dialektika Positivisme dan Realisme dalam Penegakan Hukum Tata Negara di Indonesia

Setelah menjejakkan kaki pada landasan filosofis positivisme dan realisme hukum, serta mengamati arsitektur kekuasaan dalam hukum tata negara, kini saatnya kita masuk ke medan pertempuran sesungguhnya, pada praktik penegakan hukum di Indonesia. Di sinilah idealisme konstitusional bertemu dengan realitas sosial, politik, dan bahkan individu, seringkali menciptakan ketegangan yang menguji batas-batas pemahaman kita tentang hukum itu sendiri. Peristiwa-peristiwa kontemporer di Indonesia menjadi arena yang sempurna untuk mengamati dialektika antara "hukum dalam buku" dan "hukum dalam tindakan," serta pergulatan antara kepastian formal dan keadilan substantif.

Positivisme dalam Teks Konstitusi dan Perundang-undangan

Sistem hukum Indonesia, yang berakar pada tradisi Civil Law atau Eropa Kontinental, secara inheren sangat mengedepankan positivisme. Konstitusi, dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), adalah manifestasi paling konkret dari positivisme. Ia adalah naskah tertulis yang menjadi hukum dasar tertinggi, menetapkan kerangka organisasi negara, pembagian kekuasaan, dan jaminan hak asasi manusia secara sistematis dan formal. Keberadaan konstitusi dan hierarki peraturan perundang-undangan di bawahnya (seperti undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah) mencerminkan keyakinan kuat pada norma yang tertulis, jelas, dan dapat diprediksi.

Setiap undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden, misalnya, adalah produk dari proses legislasi yang diatur secara ketat, mencerminkan otoritas negara dalam menciptakan hukum yang mengikat umum. Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, agar setiap warga negara dan penyelenggara negara mengetahui dengan jelas hak dan kewajibannya, serta konsekuensi dari setiap tindakan. Ini adalah janji positivisme: keteraturan melalui norma yang objektif dan formal.

Namun, sebagaimana realisme hukum ajarkan, hukum tak selalu semurni yang tertera dalam teks. Praktik penegakan hukum seringkali diwarnai oleh faktor-faktor di luar formalitas norma, mengikis kepastian yang dijanjikan positivisme.

Ketika Teks Berhadapan dengan Realitas

Dinamika hukum di Indonesia, layaknya sebuah cermin, memantulkan pergulatan abadi antara cita-cita ideal yang terukir dalam teks dan realitas praktik yang seringkali sarat pragmatisme. Fondasi positivisme hukum, yang mengagungkan kepastian melalui norma yang tertulis dan terstruktur, tak jarang diuji oleh gelombang realisme yang menyingkap bagaimana hukum sesungguhnya bekerja di lapangan. Beberapa kasus faktual, baik dari sejarah yurisprudensi klasik hingga peristiwa paling kontemporer di Tanah Air, secara mencolok menunjukkan titik gesek antara "hukum dalam buku" dan "hukum dalam tindakan," memaksa kita untuk merenungkan kembali hakikat keadilan dan kepastian.

Ambillah contoh kasus klasik Riggs v. Palmer, yang kerap diangkat dalam diskusi filsafat hukum untuk mengilustrasikan pertentangan fundamental ini. Dalam kasus seorang cucu bernama Elmer yang meracuni kakeknya demi warisan, positivisme akan dengan lugas berargumen bahwa karena tidak ada satu pun statuta tertulis di New York pada waktu itu yang secara eksplisit menyatakan bahwa seorang pembunuh kehilangan hak warisnya, maka Elmer secara formal berhak mendapatkan warisan tersebut. Bagi penganut positivisme, hukum adalah apa yang tertera dalam teks, dan kepastianlah yang utama. Emosi, moralitas, atau rasa keadilan di luar teks adalah domain non-hukum yang tidak relevan dalam penerapan norma. Namun, realisme, beririsan dengan prinsip hukum alam, akan menentang keras pandangan ini. Pengadilan pada akhirnya memutuskan bahwa Elmer tidak berhak atas warisan, dengan mendasarkan pada prinsip universal bahwa "tidak seorang pun boleh mengambil keuntungan dari kesalahannya sendiri." Putusan ini, yang melampaui keheningan teks formal, secara gamblang menunjukkan bagaimana hakim, sebagai aktor sentral dalam "hukum dalam tindakan," dapat menginterpretasikan dan bahkan "menciptakan" hukum untuk memenuhi tuntutan keadilan substantif yang hidup di masyarakat, sekalipun harus melawan kekakuan positivisme.

Gesekan serupa, bahkan lebih kompleks dan melibatkan intrik kekuasaan, juga terjadi di ranah hukum pidana Indonesia. Kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, adalah gambaran nyata bagaimana positivisme dan realisme berdialektika di tengah sorotan publik. Secara positivistik, kasus ini berlandaskan pada kerangka hukum pidana yang rigid, dari Pasal 340 KUHP hingga prosedur detail dalam KUHAP. Sistem telah menyediakan norma dan prosedur yang jelas untuk menjamin kepastian dan keadilan. Namun, realisme dengan cepat menyingkap sisi lain dari mata uang hukum ini. Upaya rekayasa kasus, penghilangan barang bukti, dan manipulasi keterangan oleh Ferdy Sambo yang memiliki posisi kekuasaan tinggi, menunjukkan bagaimana "hukum dalam tindakan" pada awalnya dapat ditekuk dan dikendalikan oleh pengaruh dan jabatan. Ini adalah bukti nyata bahwa sejelas apa pun teks hukum, implementasinya bisa bias di hadapan kekuatan. Realisme menyoroti adanya diskresi dalam setiap tahapan penegakan hukum, dari penyidik hingga hakim, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Namun, menariknya, dalam kasus ini, justru tekanan publik yang masif dan kegigihan media massa menjadi "faktor realis" yang positif, memaksa proses hukum kembali ke relnya, menegaskan bahwa keadilan substantif yang disuarakan masyarakat bisa menjadi penyeimbang kuat terhadap formalisme yang dimanipulasi.

Arena lain di mana pertentangan ini secara konsisten mengemuka adalah dalam kasus-kasus uji materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Dari kacamata positivisme, ketentuan presidential threshold adalah norma hukum yang sah, produk dari kewenangan legislatif yang konstitusional. Selama proses pembentukannya mengikuti prosedur formal, maka MK sebagai penjaga konstitusi seharusnya menghormati "kebijakan hukum terbuka" (open legal policy) pembentuk undang-undang, yang berarti ranah tersebut ada dalam kebebasan legislator untuk mengatur, sepanjang tidak ada larangan eksplisit dalam UUD. Namun, para pemohon uji materi, dengan argumen yang sangat realis, kerap menuding ketentuan ini inkonstitusional karena menghambat hak warga negara untuk dicalonkan dan membatasi pilihan rakyat dalam pemilu, yang pada gilirannya dapat melemahkan prinsip kedaulatan rakyat dan kualitas demokrasi yang substansial. Ini adalah pertarungan antara kepastian formal yang menjamin stabilitas sistem dengan tuntutan keadilan substansif yang menghendaki demokrasi yang lebih partisipatif dan inklusif. Putusan MK yang seringkali menolak permohonan dengan dalih "open legal policy" justru sering memicu kritik dari masyarakat bahwa MK terlalu kaku dan tidak cukup berani untuk menegakkan keadilan substantif demi kualitas demokrasi yang lebih baik.

Lebih jauh, fenomena Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden menjadi titik kulminasi ketegangan antara positivisme dan realisme, bahkan memicu krisis legitimasi yang serius. Peran MK sebagai "negative legislator" secara positivistik seharusnya terbatas pada membatalkan undang-undang yang inkonstitusional, bukan menciptakan norma baru. Namun, putusan ini dituduh melampaui kewenangannya dengan mengubah dan menambah frasa pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang memungkinkan seseorang yang belum berusia 40 tahun tetapi pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah dapat mencalonkan diri. Tindakan ini, yang dianggap ultra petita (memutus melebihi atau di luar apa yang dimohonkan), secara substansial menciptakan norma hukum baru. Dari kacamata positivisme, putusan ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip supremasi konstitusi dan pembagian kekuasaan, mengaburkan batas yudikatif dan legislatif, serta merusak kepastian hukum. Namun, dari sudut pandang realisme, putusan ini terang-terangan menunjukkan bagaimana faktor politik atau kepentingan tertentu dapat mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman, menodai cita-cita peradilan yang merdeka dan tidak memihak. Ini adalah judicial overreach yang berbahaya, menunjukkan bahwa realisme, meskipun mengakui faktor non-hukum, tetap membutuhkan batas-batas untuk mencegah sewenang-wenangnya.

Terakhir, pemberlakuan Undang-Undang KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) dan wacana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) adalah arena lain di mana positivisme dan realisme berdialektika. Penyusunan KUHP baru adalah upaya monumental positivisme, di mana negara menetapkan norma-norma pidana yang komprehensif untuk kepastian hukum. Namun, pengakuan terhadap konsep "hukum yang hidup di masyarakat" (living law) sebagai salah satu sumber hukum pidana, meskipun niatnya mulia untuk responsivitas dan keadilan lokal, juga menimbulkan tantangan bagi kepastian. Realisme akan bertanya: bagaimana norma adat yang tidak tertulis dan bervariasi dapat diintegrasikan ke dalam sistem pidana yang membutuhkan presisi dan keseragaman? Ini membuka ruang interpretasi luas bagi penegak hukum dan hakim, yang bisa menjadi subjektif dan inkonsisten, berpotensi menciptakan ketidakpastian dan diskriminasi. Demikian pula dengan RUU KUHAP. Hukum acara, secara positivistik, haruslah tegas dan prosedural. Namun, realisme akan bertanya: apakah prosedur ini benar-benar efektif dalam praktik, ataukah ada celah yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum? Perdebatan ini mencerminkan tarik-menarik antara keinginan untuk formalisasi dan kepastian di satu sisi, dan kebutuhan akan fleksibilitas serta keadilan substantif di sisi lain.

Ketegangan antara positivisme dan realisme ini tidak hanya menciptakan tantangan, tetapi juga mendorong evolusi hukum. Setiap isu kontemporer ini memaksa kita untuk tidak hanya membaca teks hukum, tetapi juga memahami konteks di baliknya, menganalisis implikasi praktisnya, dan mempertanyakan apakah hukum benar-benar melayani tujuan keadilan dan ketertiban yang kita impikan. Di sinilah relevansi filsafat hukum, khususnya dialektika positivisme dan realisme, menjadi sangat nyata dalam memahami badai demokrasi Indonesia.

Bagian 4: Harmoni atau Konflik Abadi?

Dinamika hukum di Indonesia, seperti yang terpapar jelas dalam isu-isu kontemporer mulai dari dugaan ijazah palsu, wacana pemakzulan, putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi, hingga pemberlakuan KUHP baru, adalah cerminan nyata dari pergulatan abadi antara cita-cita ideal hukum dan realitas praktik penegakannya. Pertarungan antara positivisme dan realisme hukum bukanlah sekadar perdebatan teoretis di menara gading filsafat, melainkan sebuah dialektika yang membentuk wajah hukum di lapangan, dengan segala kompleksitas dan kontradiksinya.

Tantangan Mewujudkan Negara Hukum Demokratis Sejati

Setiap kasus yang kita bahas, dengan caranya sendiri, menyoroti tantangan besar dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis sejati di Indonesia. Idealnya, sebuah negara hukum demokratis adalah di mana prinsip demokrasi (kedaulatan rakyat), kedaulatan hukum (supremasi konstitusi dan hukum yang jelas), dan perlindungan hak asasi manusia berjalan seiring, saling menguatkan, dan menciptakan keseimbangan. Namun, realitas seringkali menunjukkan bahwa ketiga pilar ini bisa saling menegasikan, atau bahkan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

  • Ketika Kedaulatan Hukum Diuji: Kasus putusan MK Nomor 90 yang ultra petita adalah pukulan telak bagi prinsip kedaulatan hukum. Ketika lembaga yudikatif, yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan memastikan kepastian norma, justru bertindak sebagai pembuat norma baru yang melampaui kewenangannya, maka kepercayaan pada supremasi hukum menjadi terkikis. Publik bertanya-tanya, jika hakim saja bisa melampaui batas yang ditetapkan konstitusi, bagaimana dengan entitas lain? Ini adalah tantangan fundamental terhadap konsep rule of law, yang menghendaki bahwa tidak ada seorangpun, termasuk lembaga negara, yang berada di atas hukum.

  • Demokrasi di Persimpangan Jalan: Isu pemakzulan, dugaan ijazah palsu, hingga polemik seputar KUHP baru, semuanya menyentuh esensi demokrasi. Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, yang diekspresikan melalui pemilihan umum dan lembaga perwakilan. Namun, ketika proses-proses ini diwarnai oleh dugaan manipulasi, interpretasi hukum yang kontroversial, atau kebijakan yang dianggap mengabaikan aspirasi rakyat, maka legitimasi demokrasi itu sendiri dipertanyakan. Realisme hukum menunjukkan bahwa di balik formalitas Pemilu atau proses legislasi, ada kekuatan-kekuatan politik yang bekerja, yang bisa jadi memanfaatkan celah hukum atau bahkan mencoba membengkokkan interpretasi demi kepentingan tertentu.

  • Perlindungan HAM dalam Bayang-bayang Interpretasi: Perdebatan seputar "hukum yang hidup di masyarakat" dalam KUHP baru, meskipun niatnya adalah untuk menghormati nilai-nilai lokal dan mengakomodasi realisme hukum, juga menimbulkan kekhawatiran terhadap kepastian dan keseragaman perlindungan HAM. Dalam sebuah negara majemuk seperti Indonesia, interpretasi living law yang berbeda-beda bisa berujung pada diskriminasi atau ketidaksetaraan di hadapan hukum, sebuah tantangan serius bagi universalitas HAM yang dijamin konstitusi.

Relevansi Filsafat Hukum sebagai Kompas

Di sinilah relevansi filsafat hukum, khususnya dialektika antara positivisme dan realisme, menjadi sangat nyata. Dalam menghadapi kompleksitas ini, hukum tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan dogmatis yang terpaku pada teks. Filsafat hukum menyediakan kompas moral dan intelektual untuk menavigasi badai ini:

  • Menyediakan Kerangka Kritis: Filsafat hukum memaksa kita untuk tidak menerima begitu saja setiap norma atau praktik hukum. Ia mendorong pertanyaan kritis: Apakah hukum ini adil? Apakah ia relevan dengan konteks sosial? Apakah ia sungguh-sungguh mencerminkan kehendak rakyat atau hanya kepentingan segelintir elite? Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, kita dapat mengevaluasi tidak hanya formalitas hukum, tetapi juga substansi dan dampaknya.

  • Menantang Asumsi: Positivisme dengan asumsi formalitasnya, dan realisme dengan asumsi pragmatismenya, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Filsafat hukum menantang kita untuk melihat melampaui asumsi-asumsi ini, untuk memahami bahwa hukum adalah konstruksi sosial yang kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ini membantu kita menyadari bahwa hukum bukanlah sesuatu yang statis atau netral sepenuhnya.

  • Mencari Solusi Holistik: Dengan mengintegrasikan perspektif positivisme (kebutuhan akan kepastian dan struktur) dan realisme (kebutuhan akan responsivitas dan keadilan kontekstual), filsafat hukum membantu kita mencari solusi yang lebih holistik. Ini berarti merumuskan hukum yang tidak hanya kuat secara formal, tetapi juga adil secara substantif dan dapat diterapkan secara efektif di tengah dinamika masyarakat.

Menuju Keadilan Substantif

Pada akhirnya, tujuan utama dari setiap sistem hukum adalah mewujudkan keadilan. Positivisme mengingatkan kita akan pentingnya kepastian hukum: nullum crimen sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang) adalah pilar keadilan formal yang melindungi individu dari kesewenang-wenangan negara. Namun, realisme mengisyaratkan bahwa kepastian tanpa keadilan substantif adalah zalim, karena hukum yang kaku dapat menindas atau melanggengkan ketidaksetaraan. Sebaliknya, keadilan tanpa kepastian dapat berujung pada anarki, di mana setiap kasus diputus berdasarkan subjektivitas belaka.

Maka, tantangannya adalah mencari keseimbangan dinamis antara kepastian dan keadilan, sebuah harmoni yang terus-menerus diperjuangkan. Ini bukan tentang memilih salah satu dari positivisme atau realisme, melainkan tentang memahami kekuatan dan kelemahan keduanya, untuk membangun sistem hukum yang responsif, adaptif, dan berintegritas. Hukum harus menjadi law as a tool of social engineering yang progresif, mampu merespons perubahan sosial, mengatasi ketidakadilan, dan mendorong kemajuan masyarakat. Ini menuntut penegak hukum dan hakim yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan moral dan keberanian untuk menegakkan keadilan, bahkan ketika itu berarti menantang status quo atau interpretasi yang sempit.

Penutup

Perjalanan hukum di Indonesia adalah cerminan dari pergulatan panjang antara idealisme konstitusional dan pragmatisme realitas. Isu ijazah palsu, wacana pemakzulan, putusan kontroversial MK, hingga implementasi KUHP baru, adalah babak-babak dalam drama hukum yang tak berkesudahan ini. Setiap babak menyoroti kompleksitas dalam menyelaraskan kepastian formal dan keadilan substantif, serta menegaskan kembali bahwa hukum adalah bidang yang terus-menerus bergerak, beradaptasi, dan berdialektika.

Sebagai masyarakat yang peduli akan masa depan hukum, kita tidak boleh berhenti pada sekadar membaca pasal-pasal atau mengikuti berita. Kita dituntut untuk terlibat aktif dalam memahami, menganalisis, dan mengkritisi setiap fenomena hukum dengan kacamata filosofis yang tajam. Hanya dengan demikian, kita dapat terus mendorong sistem hukum Indonesia menuju cita-cita yang lebih tinggi, mewujudkan negara hukum yang demokratis, berintegritas, dan pada akhirnya, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Pergulatan ini mungkin tak berkesudahan, tetapi di dalamnya, terletak harapan akan kemajuan dan kesempurnaan.

Zlamitan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...