Kompleksitas persoalan sosial yang terus bergelombang di tengah masyarakat menuntut hukum tak ubahnya menjadi sebuah mercusuar yang memandu arah, menawarkan kepastian di tengah ketidakpastian. Namun, mercusuar itu tak akan berfungsi tanpa cahaya, dan cahaya itu adalah logika serta penalaran hukum. Keduanya bukan sekadar teori abstrak yang tertera di lembar-lembar buku, melainkan sebuah denyut nadi yang tak pernah berhenti, mengalir dalam setiap putusan hakim, setiap argumen advokat, dan setiap regulasi yang dibentuk. Mari kita selami lebih dalam hakikat logika dan penalaran ini, menyingkap bagaimana ia membingkai keadilan di tengah tantangan zaman, merujuk pada pemikiran Basuki Kurniawan dalam buku "Logika dan Penalaran Hukum".
Bayangkan logika sebagai instrumen vital—sebuah kompas sekaligus filter—yang membantu kita menavigasi lautan informasi. Secara etimologis, "logika" berasal dari "Logos" dalam bahasa Latin, berarti "perkataan" atau "pikiran", dan "Mantiq" dalam bahasa Arab, yang merujuk pada "berkata" atau "berucap". Lebih dari sekadar ilmu yang mempelajari cara berpikir lurus, tepat, dan teratur, logika adalah seni yang memungkinkan kita membedakan penalaran yang valid dari yang sesat. Dalam praktik hukum, perannya sungguh fundamental. Seorang hakim, misalnya, sangat bergantung pada logika untuk menimbang setiap pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan, seperti yang diungkapkan oleh Basuki Kurniawan bahwa logika sangat berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Bagi para praktisi hukum, seperti pengacara, logika menjadi fondasi untuk menggali dasar suatu peristiwa hukum, menghindari pelanggaran di kemudian hari, dan menyusun argumentasi kuat dalam sengketa. Sementara itu, para penyusun undang-undang menggunakannya untuk mencari dasar filosofis dan praktis mengapa sebuah regulasi harus dilahirkan. Tanpa logika, putusan bisa goyah, argumen bisa rapuh, dan undang-undang bisa kehilangan relevansinya, bahkan menimbulkan "kesesatan" berpikir yang menghalangi terwujudnya kebenaran material.
Menelusuri jejak historis, konsep kausalitas—hubungan sebab-akibat—telah menjadi inti perdebatan filosofis dari masa ke masa. Di Yunani Kuno, Plato telah mengemukakan prinsip bahwa "segala sesuatu yang menjadi atau berubah harus demikian karena suatu sebab". Aristoteles memperkaya pandangan ini dengan memperkenalkan empat aitia, yaitu sebab material, formal, efisien, dan final, untuk menjelaskan asal-usul suatu peristiwa. Misalnya, pembuatan kursi melibatkan kayu (material), bentuk kursi (formal), tukang kayu (efisien), dan tujuannya (final). Pandangan-pandangan ini berlanjut hingga Abad Pertengahan, di mana Thomas Aquinas berusaha mendamaikan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen, membedakan antara causa prima (Tuhan sebagai sumber asli) dan causa secunda (sebab-sebab dalam benda ciptaan).
Lompatan besar terjadi di Zaman Modern, ditandai dengan munculnya ilmu pengetahuan yang lebih empiris. Penjelasan kausalitas tidak lagi bersandar pada sebab formal atau final, melainkan berfokus pada sebab efisien. Filosof seperti Descartes, Hobbes, Spinoza, dan Leibniz mengupas tuntas hubungan sebab-akibat ini, seringkali mengaitkannya dengan kehendak Tuhan atau hukum deterministik alam. Namun, puncak pemikiran tentang kausalitas modern mungkin ada pada David Hume, yang berargumen bahwa hubungan sebab-akibat ditandai oleh kedekatan dalam ruang dan waktu, prioritas sebab, dan hubungan yang dibutuhkan. Bagi Hume, keharusan yang kita pahami dalam hubungan sebab-akibat itu sendiri hanyalah "khayalan" yang lahir dari kebiasaan dan pengharapan. Pemikiran ini menjadi fondasi bagi Immanuel Kant yang mencoba membenarkan kausalitas sebagai gambaran apriori, bukan dari pengalaman, melainkan dari struktur akal budi itu sendiri.
Dalam konteks hukum pidana, kausalitas adalah penentu mutlak pertanggungjawaban. Ia diperlukan untuk membuktikan hubungan antara perbuatan dan akibat yang dilarang undang-undang, khususnya dalam tindak pidana material. Ambil contoh kasus yang sering menjadi sorotan publik di Indonesia, seperti meninggalnya aktivis Munir, kasus tewasnya Nasruddin Zulkarnaen, atau Mirna Salihin yang meninggal akibat kopi bersianida. Dalam kasus-kasus ini, seperti yang diulas dalam buku, sangat sulit menentukan perbuatan yang menjadi sebab tunggal kematian karena adanya "rantai yang panjang" dari peristiwa yang saling terkait. Ajaran kausalitas berfungsi sebagai "filter" untuk menyaring perbuatan-perbuatan yang relevan sebagai penyebab, sehingga kebenaran material dapat ditegakkan.
Penerapan kausalitas dalam hukum pidana Indonesia secara spesifik terlihat pada:
- Tindak pidana materiel: Dimana rumusan delik secara eksplisit menyebutkan akibat yang dilarang. Misalnya, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Tanpa akibat itu, delik tidak sempurna.
- Tindak pidana yang dikualifikasi oleh akibatnya: Di sini, akibatlah yang memberatkan ancaman pidana. Contoh paling jelas adalah penganiayaan (Pasal 351 KUHP) yang ancaman hukumannya berjenjang sesuai dengan akibatnya: luka ringan, luka berat, hingga kematian. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya melihat perbuatan, tetapi juga dampak yang ditimbulkannya.
- Tindak pidana omisi tidak murni (commissio per omission): Area ini lebih kompleks, melibatkan pertanggungjawaban pidana karena kelalaian atau pembiaran, meskipun ada kewajiban hukum untuk bertindak. Misalnya, seorang dokter yang tidak melanjutkan infus pada pasien koma dan pasien tersebut meninggal. Kasus-kasus seperti Barber vs. Superior Court di California, atau Pope vs. State di Maryland, menunjukkan disparitas dalam pembatasan tanggung jawab atas omisi, karena seringkali "kewajiban hukum" lebih dianggap sebagai "kewajiban moral". Ini menjadi relevan ketika kita menghadapi situasi di mana seseorang mampu mencegah bahaya fatal tetapi memilih untuk tidak melakukannya.
Perbandingan antara sistem hukum Civil Law dan Common Law juga memberikan perspektif yang kaya dalam memahami kausalitas. Keluarga hukum Civil Law, seperti di Indonesia, akrab dengan ajaran conditio sine qua non (ajaran ekuivalen) yang dipopulerkan oleh Von Buri. Ajaran ini memandang semua syarat yang berkontribusi pada suatu akibat adalah sama pentingnya, tidak membedakan antara sebab dan syarat. Akibatnya, jika dalam sebuah kasus keracunan, yang meninggal bukan hanya karena racun yang diberikan, tetapi juga karena alat seperti gelas yang digunakan, maka pembuat gelas dan produsen sianida pun bisa ikut terseret dalam rantai kausalitas yang panjang ini.
Sebaliknya, Common Law memiliki pendekatan yang lebih terfilter dengan dua doktrin utama: cause in fact (sering diuji dengan but for test) dan proximate cause (legal cause). But for test bertanya, "Apakah kerugian atau kematian akan terjadi jika tidak ada perbuatan pelaku?". Ini mencari hubungan faktual. Sementara proximate cause melangkah lebih jauh, menanyakan apakah risiko yang timbul dari perbuatan tersebut bisa diprediksi secara wajar oleh pelaku, dan apakah ada hubungan hukum antara pelaku dan korban. Contohnya, jika seorang pengendara motor menabrak pejalan kaki yang menyeberang sembarangan, pengadilan bisa saja membebaskan pengendara motor jika kecepatan normal dan tidak ada unsur kelalaian, karena pejalan kaki sendirilah yang berkontribusi terhadap akibat kematian tersebut—sebuah putusan yang pernah terjadi dan disinggung dalam buku. Ini menunjukkan bahwa dalam Common Law, ada pertimbangan tentang keadilan dan kewajaran dalam membebankan tanggung jawab.
Tentu, kausalitas tak lepas dari elemen kesalahan (mens rea) dan pertanggungjawaban pidana. Secara doktrinal, kausalitas berada di area perbuatan (actus reus)—elemen objektif—bukan di area kesalahan—elemen subjektif. Namun, debat ini terus bergulir. Sebagian ahli berpendapat bahwa kausalitas juga bisa berada di area kesalahan, terutama ketika akibat tindak pidana tidak diniatkan atau di luar kendali pelaku. Ini seperti yang diulas oleh Joreon Blomsma, bahwa kausalitas subjektif lebih cocok dibahas dalam konteks kesalahan. Prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan" (nulla poena sine culpa) tetap menjadi landasan kuat, menegaskan bahwa pemidanaan seseorang harus didasari adanya sikap batin yang salah.
Dalam setiap rantai kausalitas, intervensi pihak ketiga adalah faktor yang seringkali memutarbalikkan keadaan. Seorang pelaku bisa saja berargumen bahwa tindakan pihak ketiga telah memutus mata rantai kausalitas, sehingga tanggung jawab tidak lagi padanya. Misalnya, jika seorang wanita digigit suaminya dan kemudian meninggal karena luka gigitan itu memicu penyakit sensitif yang ia miliki setelah ia melarikan diri secara sukarela dan ditemukan tewas di trotoar, hakim bisa saja memutuskan bahwa kematiannya bukan disebabkan gigitan suami, karena ia melarikan diri secara sukarela tanpa merundingkan. Kuncinya terletak pada penilaian apakah intervensi tersebut bersifat normal atau abnormal. Jika intervensi sukarela terjadi dalam situasi yang tidak normal, tanggung jawab pelaku awal tetap diperhitungkan. Namun, jika intervensi itu tergolong normal, seperti seseorang yang merasa lapar atau butuh uang, ia tidak akan memutus mata rantai kausalitas.
Pada akhirnya, keseluruhan bangunan hukum di Indonesia disemangati oleh Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (staatsfundamentalnorm), yang memuat nilai-nilai etis dan moral bangsa. Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar tertulis tertinggi yang mengikat semua elemen negara dan menjadi alat kontrol terhadap norma hukum di bawahnya. Hierarki peraturan perundang-undangan, dari UUD 1945 hingga Peraturan Daerah, menjamin kepastian dan ketertiban hukum, memastikan bahwa setiap regulasi memiliki landasan yang kuat.
Di tengah hierarki yang terstruktur ini, ada satu instrumen yang memberikan fleksibilitas vital bagi administrasi negara: diskresi. Diskresi adalah kewenangan pejabat untuk mengambil keputusan atau tindakan dalam situasi di mana peraturan tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan tidak ada sama sekali, demi kepentingan umum. Ini sangat relevan dalam kondisi Indonesia yang serba dinamis dan sering menghadapi persoalan mendesak yang belum diatur secara rigid. Tanpa diskresi, pelayanan publik bisa mandek, pembangunan terhambat, dan pemerintah akan kaku dalam merespons kebutuhan masyarakat. Namun, seperti pedang bermata dua, diskresi juga rentan penyalahgunaan. Oleh karena itu, penggunaannya harus tetap dalam koridor hukum dan dapat dipertanggungjawabkan, seperti yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Melihat kembali benang merah antara logika, kausalitas, penalaran hukum, hingga sistem hukum dan diskresi, jelaslah bahwa hukum bukanlah sekadar kumpulan pasal mati. Ia adalah organisme hidup yang terus bernapas, beradaptasi, dan berjuang untuk mencapai keadilan. Di sinilah peran pencerahan dari literatur-literatur hukum menjadi sangat relevan. Ia mengajak kita tidak hanya memahami hukum secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual, filosofis, dan praktis. Dengan bekal penalaran hukum yang tajam dan logis, kita dapat membingkai setiap persoalan hukum, menyingkap kebenaran, dan pada akhirnya, turut mewujudkan keadilan yang menjadi cita-cita luhur bangsa.
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar