Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"
Buku ini dengan cerdas membuka cakrawala dengan menunjuk figur Mohammad Hatta
Esai ini adalah upaya untuk melanjutkan keberanian Hatta dan Ramly. Dengan menggunakan Peta Pemikiran Karl Marx
Materialisme Dialektis di Abad Digital
Untuk memahami Marx, kita harus memulai dari fondasinya yang paling dasar sekaligus paling sering disalahpahami: materialisme dialektis. Filsafat, bagi Marx, bukanlah menara gading tempat para pemikir berkontemplasi tentang dunia abstrak. Dalam tesisnya yang kesebelas dan paling membakar terhadap Feuerbach, ia menyatakan dengan lugas: "Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; padahal yang pokok adalah mengubahnya"
Di sinilah letak perbedaan fundamentalnya dengan G.W.F. Hegel, sang raksasa idealisme Jerman yang sangat memengaruhinya
Realitas, dalam pandangan materialisme dialektis, adalah sebuah proses perubahan tanpa henti yang didorong oleh kontradiksi-kontradiksi internal
Lalu, apa relevansi "materialisme" ini di era kita, di mana "materi" yang paling dominan seolah-olah tak berwujud? Pabrik-pabrik berasap mungkin telah digantikan oleh ruang kerja minimalis dengan laptop menyala, dan rantai pasok global dikendalikan oleh algoritma yang tak terlihat. Apakah ini berarti materialisme Marx sudah usang?
Justru sebaliknya. Jika kita memahami "materi" dalam pengertian Marx—sebagai kondisi objektif yang menentukan keberadaan sosial kita (social being)—maka dunia digital adalah arena materialisme yang paling canggih. Server, kabel fiber optik bawah laut, pusat data yang mengonsumsi energi setara sebuah kota, dan mineral tanah jarang yang ditambang untuk gawai kita adalah infrastruktur material yang sangat nyata. Algoritma yang mengatur apa yang kita lihat, siapa yang kita kencani, pekerjaan apa yang kita dapatkan, bahkan bagaimana perasaan kita, adalah "kekuatan produksi" baru yang membentuk kesadaran kita dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dialektika—pertentangan—juga bekerja dengan dahsyat di sini. Teknologi digital menjanjikan koneksi global (tesis), namun pada saat yang sama melahirkan epidemi kesepian dan isolasi sosial (antitesis). Ia memberi kita akses informasi tak terbatas (tesis), tetapi juga menjerumuskan kita ke dalam ruang gema disinformasi dan polarisasi (antitesis). Ia memberdayakan individu untuk bersuara (tesis), namun juga menciptakan sistem pengawasan dan kontrol yang paling efisien dalam sejarah (antitesis). Sintesis dari pertentangan-pertentangan ini masih terus kita perjuangkan, dan hasilnya akan menentukan wajah peradaban kita di masa depan. Di sinilah tugas untuk "mengubah dunia" menjadi relevan: bukan sekadar menjadi pengguna pasif teknologi, melainkan secara kritis mempertanyakan dan berjuang untuk mengubah arsitektur materialnya demi kemanusiaan.
Tafsiran Ekonomi dan Hantu Pertentangan Kelas
Jika materialisme dialektis adalah mesinnya, maka materialisme historis adalah cara mesin itu bekerja dalam panggung sejarah manusia. Ini adalah aplikasi dialektika pada perkembangan masyarakat
Bagi Marx, "keberadaan sosial" ini pada dasarnya ditentukan oleh cara masyarakat memproduksi kebutuhan materielnya. Ia membagi struktur masyarakat menjadi dua bagian: infrastruktur (basis ekonomi) dan suprastruktur
Dari sini, Marx memetakan sejarah manusia sebagai serangkaian tahapan yang ditentukan oleh mode produksinya: dari masyarakat komunal primitif, perbudakan, feodalisme, hingga kapitalisme, yang menurutnya secara tak terelakkan akan melahirkan sosialisme
Kritik paling umum terhadap kerangka ini adalah sifatnya yang terlalu deterministis dan reduksionis. Sejarah ternyata tidak berjalan serapi dan selinier yang diprediksikan Marx
Pertanyaan-pertanyaan ini valid dan penting. Namun, membuang seluruh analisis kelas Marx karena prediksinya meleset adalah seperti membuang bayi bersama air mandinya. Mungkin kita tidak lagi bisa menerima determinisme sejarahnya yang kaku, tetapi wawasannya tentang bagaimana relasi ekonomi menstrukturkan kekuasaan dan membentuk masyarakat masih sangat relevan.
Kelas sosial di abad ke-21 memang tidak lagi sesederhana borjuis dan proletar versi abad ke-19. Namun, pertentangan itu tetap ada dalam bentuk-bentuk baru. Kita punya kelas miliarder teknologi yang kekayaannya melampaui PDB banyak negara. Kita punya prekariat, kelas pekerja lepas di ekonomi gig yang tidak memiliki jaminan sosial, jam kerja pasti, atau kekuatan tawar kolektif. Kita punya kelas "petani data," yaitu kita semua, yang "lahan"-nya adalah kehidupan pribadi kita, yang "panen"-nya adalah data yang kita berikan secara cuma-cuma kepada korporasi raksasa untuk diolah menjadi keuntungan.
Relasi kita terhadap "alat-alat produksi" baru—platform digital, kode, dan data—masih menentukan posisi kita dalam hierarki sosial-ekonomi
Kritik Kapitalisme yang Tetap Menyengat (Candu, Mesin, dan Keterasingan)
Di jantung kritik Marx terhadap kapitalisme terletak analisisnya yang brilian tentang nilai lebih (surplus value)
Dari sini, Marx merumuskan tiga hukum gerak kapitalisme yang ia yakini akan membawanya pada kehancuran: hukum akumulasi modal (yang besar akan memangsa yang kecil), hukum konsentrasi modal (kekayaan akan menumpuk di tangan segelintir orang), dan hukum bertambahnya kemelaratan (kelas pekerja akan semakin miskin)
Lagi-lagi, sejarah menunjukkan ramalan ini tidak sepenuhnya akurat. Di negara-negara maju, kemelaratan absolut berhasil diredam oleh negara kesejahteraan dan perjuangan serikat buruh (yang notabene adalah buah dari kesadaran kelas yang dibicarakan Marx). Kapitalisme terbukti jauh lebih adaptif dan tangguh daripada yang ia perkirakan.
Namun, jika kita melihat melampaui kemelaratan ekonomi semata, kritik Marx yang paling abadi mungkin terletak pada konsep keterasingan atau alienasi
Deskripsi tentang alienasi ini terasa begitu relevan hari ini. Pekerja di pusat logistik Amazon yang setiap gerakannya diatur oleh algoritma dan diawasi oleh pemindai. Karyawan kantoran yang terjebak dalam "pekerjaan omong kosong" (bullshit jobs), mengisi laporan yang tak pernah dibaca dan menghadiri rapat yang tak bertujuan, merasa hampa dan tak berguna. Pengguna media sosial yang terasing dari interaksi otentik, sibuk membangun citra diri yang terkurasi demi "nilai lebih" baru berupa likes dan engagement. Kita bekerja lebih lama, lebih produktif, namun merasa lebih cemas dan terputus. Marx telah mendiagnosis penyakit ini satu setengah abad yang lalu.
Dan bagaimana sistem ini menenangkan jiwa-jiwa yang terasing dan menderita? Di sinilah Marx mengajukan kritiknya yang paling kontroversial terhadap agama sebagai "candu bagi rakyat"
Di zaman kita, "candu" ini mungkin telah mengambil bentuk-bentuk baru yang lebih sekuler. Konsumerisme yang menjanjikan kebahagiaan melalui kepemilikan barang. Industri hiburan yang membanjiri kita dengan tontonan untuk mengalihkan perhatian dari kehampaan. Kultus produktivitas dan self-help yang menempatkan tanggung jawab atas kegagalan struktural pada pundak individu. Semua ini berfungsi sama seperti yang dideskripsikan Marx tentang agama: memberikan pelipur lara sesaat, sambil melanggengkan sistem yang menjadi sumber penyakitnya.
Membaca Peta Marx Setelah Pesta Usai
Jawabannya terletak pada kekuatan diagnostiknya, bukan pada resepnya. Marx mungkin keliru tentang tujuan akhir perjalanan, tetapi peta yang ia gambar tentang medan kapitalisme—dengan jurang-jurang eksploitasi, gunung-gunung akumulasi modal, dan sungai-sungai keterasingan yang mengalir deras—masih luar biasa akurat. Ia memberi kita bahasa dan kerangka untuk memahami kekuatan-kekuatan tak terlihat yang membentuk hidup kita. Ia mengajarkan kita untuk tidak menerima begitu saja ketidakadilan sebagai takdir, melainkan sebagai hasil dari relasi kekuasaan yang historis dan bisa diubah.
Inilah nilai abadi dari buku seperti Peta Pemikiran Karl Marx karya Andi Muawiyah Ramly. Ia tidak menyajikan Marx sebagai ikon suci yang harus disembah, melainkan sebagai teman berpikir yang menantang
Pada akhirnya, pelajaran terpenting dari Marx, terutama bagi konteks Indonesia, mungkin bukanlah tentang diktator proletariat atau revolusi dunia. Pelajaran itu tersirat dalam seruan penutup buku Ramly. Bahwa cara terbaik untuk melawan hantu komunisme bukanlah dengan sensor dan represi, melainkan dengan memberantas kondisi-kondisi yang membuatnya menarik: ketidakadilan, kemiskinan struktural, dan perampasan hak-hak rakyat
Hantu itu memang masih bergentayangan, bukan karena ia sakti, tetapi karena kita sendiri yang terus memberinya makan dengan melanggengkan ketimpangan. Tugas kita hari ini bukanlah mengusir hantu itu dengan mantra-mantra usang, melainkan dengan berani menatapnya, memahami peta yang ia wariskan
Zlamitan
.jpg)

Komentar
Posting Komentar