Langsung ke konten utama

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital


Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme. Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi. Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan. Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 (TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual. Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering. Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini.

Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah". Di tengah kevakuman inilah buku Ramly, yang aslinya adalah skripsi dari awal 1980-an, hadir sebagai sebuah tindakan keberanian. Ia adalah upaya sadar untuk "berteman" dengan "hantu" tersebut , bukan untuk menjadi kerasukan, melainkan untuk memahami anatominya, memetakan logikanya, dan pada akhirnya, menempatkannya pada posisi yang semestinya: sebagai objek studi yang kritis, terbuka, dan diskursif.

Buku ini dengan cerdas membuka cakrawala dengan menunjuk figur Mohammad Hatta. Hatta, seorang Muslim yang teguh imannya, adalah pembaca Marx yang paling sistematis di zamannya di Indonesia. Ia memadukan implikasi sosial Islam dengan wawasan sosiologis Marx, namun tak pernah menganggap dirinya seorang Marxis. Hatta adalah antitesis sempurna bagi ketakutan kolektif bahwa mempelajari Marx secara otomatis akan membuat seseorang menjadi Marxis. Ia membuktikan bahwa pisau analisis Marx bisa diasah dan digunakan tanpa harus menelan seluruh pandangan dunianya secara dogmatis.

Esai ini adalah upaya untuk melanjutkan keberanian Hatta dan Ramly. Dengan menggunakan Peta Pemikiran Karl Marx sebagai kompas, kita akan mencoba menavigasi kembali gagasan-gagasan inti sang filsuf berjenggot lebat itu. Bukan untuk mencari jawaban final atau ideologi baru, melainkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan bagi zaman kita: sebuah zaman yang diwarnai oleh kapitalisme digital, krisis ekologis, politik identitas yang meruncing, dan keterasingan dalam keramaian media sosial. Apakah hantu Marx masih memiliki sesuatu untuk dikatakan kepada kita, manusia-manusia abad ke-21 yang hidup dalam kecurigaan, tetapi juga mendamba perubahan?

Materialisme Dialektis di Abad Digital

Untuk memahami Marx, kita harus memulai dari fondasinya yang paling dasar sekaligus paling sering disalahpahami: materialisme dialektis. Filsafat, bagi Marx, bukanlah menara gading tempat para pemikir berkontemplasi tentang dunia abstrak. Dalam tesisnya yang kesebelas dan paling membakar terhadap Feuerbach, ia menyatakan dengan lugas: "Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; padahal yang pokok adalah mengubahnya". Pernyataan ini bukan sekadar slogan, melainkan inti dari seluruh proyek intelektualnya. Filsafat harus turun dari langit ide ke bumi materi, dari kontemplasi ke praksis.

Di sinilah letak perbedaan fundamentalnya dengan G.W.F. Hegel, sang raksasa idealisme Jerman yang sangat memengaruhinya. Marx mengambil metode dialektika Hegel—sebuah proses gerak melalui tesis, antitesis, dan sintesis—namun ia membalikkannya secara radikal. Jika bagi Hegel realitas adalah manifestasi dari Ide atau Roh Absolut yang bergerak secara dialektis, bagi Marx justru sebaliknya: dunialah yang material, yang nyata, dan ide atau kesadaran hanyalah refleksi dari dunia material itu. Marx, dengan metaforanya yang terkenal, merasa perlu untuk "menjungkirbalikkan" dialektika Hegel yang "berdiri di atas kepalanya" agar bisa menemukan inti rasionalnya.

Realitas, dalam pandangan materialisme dialektis, adalah sebuah proses perubahan tanpa henti yang didorong oleh kontradiksi-kontradiksi internal. Segala sesuatu, dari partikel terkecil hingga tatanan masyarakat, mengandung pertentangan di dalam dirinya. Pertentangan inilah—bukan kehendak ilahi atau ide-ide agung—yang menjadi mesin penggerak perubahan. Perubahan ini tidak terjadi secara lamban dan evolutif, melainkan melalui lompatan-lompatan kualitatif yang dramatis ketika akumulasi perubahan kuantitatif mencapai titik kritis, atau node. Air tidak perlahan-lahan menjadi uap, ia mendidih pada suhu 100 derajat Celsius dalam sebuah transformasi mendadak.

Lalu, apa relevansi "materialisme" ini di era kita, di mana "materi" yang paling dominan seolah-olah tak berwujud? Pabrik-pabrik berasap mungkin telah digantikan oleh ruang kerja minimalis dengan laptop menyala, dan rantai pasok global dikendalikan oleh algoritma yang tak terlihat. Apakah ini berarti materialisme Marx sudah usang?

Justru sebaliknya. Jika kita memahami "materi" dalam pengertian Marx—sebagai kondisi objektif yang menentukan keberadaan sosial kita (social being)—maka dunia digital adalah arena materialisme yang paling canggih. Server, kabel fiber optik bawah laut, pusat data yang mengonsumsi energi setara sebuah kota, dan mineral tanah jarang yang ditambang untuk gawai kita adalah infrastruktur material yang sangat nyata. Algoritma yang mengatur apa yang kita lihat, siapa yang kita kencani, pekerjaan apa yang kita dapatkan, bahkan bagaimana perasaan kita, adalah "kekuatan produksi" baru yang membentuk kesadaran kita dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dialektika—pertentangan—juga bekerja dengan dahsyat di sini. Teknologi digital menjanjikan koneksi global (tesis), namun pada saat yang sama melahirkan epidemi kesepian dan isolasi sosial (antitesis). Ia memberi kita akses informasi tak terbatas (tesis), tetapi juga menjerumuskan kita ke dalam ruang gema disinformasi dan polarisasi (antitesis). Ia memberdayakan individu untuk bersuara (tesis), namun juga menciptakan sistem pengawasan dan kontrol yang paling efisien dalam sejarah (antitesis). Sintesis dari pertentangan-pertentangan ini masih terus kita perjuangkan, dan hasilnya akan menentukan wajah peradaban kita di masa depan. Di sinilah tugas untuk "mengubah dunia" menjadi relevan: bukan sekadar menjadi pengguna pasif teknologi, melainkan secara kritis mempertanyakan dan berjuang untuk mengubah arsitektur materialnya demi kemanusiaan.

Tafsiran Ekonomi dan Hantu Pertentangan Kelas

Jika materialisme dialektis adalah mesinnya, maka materialisme historis adalah cara mesin itu bekerja dalam panggung sejarah manusia. Ini adalah aplikasi dialektika pada perkembangan masyarakat. Tesis sentralnya, yang diungkapkan dalam The German Ideology, adalah bahwa "bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi sebaliknya, keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka".

Bagi Marx, "keberadaan sosial" ini pada dasarnya ditentukan oleh cara masyarakat memproduksi kebutuhan materielnya. Ia membagi struktur masyarakat menjadi dua bagian: infrastruktur (basis ekonomi) dan suprastruktur. Infrastruktur adalah fondasinya, yang terdiri dari kekuatan-kekuatan produksi (alat, teknologi, tenaga kerja) dan hubungan-hubungan produksi (sistem kepemilikan, relasi kelas). Di atas fondasi inilah berdiri suprastruktur, yang mencakup hukum, politik, agama, filsafat, dan kebudayaan. Suprastruktur, menurut Marx, bukanlah sesuatu yang otonom; ia adalah cerminan dan sekaligus alat legitimasi bagi infrastruktur yang menopangnya. Perubahan sejarah yang fundamental tidak datang dari perubahan ide atau pergantian raja, melainkan dari kontradiksi yang terjadi di dalam basis ekonomi itu sendiri.

Dari sini, Marx memetakan sejarah manusia sebagai serangkaian tahapan yang ditentukan oleh mode produksinya: dari masyarakat komunal primitif, perbudakan, feodalisme, hingga kapitalisme, yang menurutnya secara tak terelakkan akan melahirkan sosialisme. Mesin penggerak transisi dari satu tahap ke tahap berikutnya adalah pertentangan kelas. "Sejarah dari setiap masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah pertentangan kelas," demikian kalimat pembuka Manifesto Komunis yang menggelegar. Orang merdeka melawan budak, bangsawan melawan jelata, dan di era modern, borjuis (pemilik modal) melawan proletar (kelas pekerja).

Kritik paling umum terhadap kerangka ini adalah sifatnya yang terlalu deterministis dan reduksionis. Sejarah ternyata tidak berjalan serapi dan selinier yang diprediksikan Marx. Revolusi tidak meletus di negara-negara industri maju seperti Inggris atau Jerman, melainkan di Rusia yang agraris. Dan alih-alih "melenyap," negara di bawah rezim komunis justru menjadi monster totaliter yang jauh lebih perkasa. Lebih jauh lagi, apakah semua fenomena sejarah bisa direduksi menjadi faktor ekonomi? Bagaimana dengan peran nasionalisme, agama, atau bahkan kebetulan dan kebodohan manusia?

Pertanyaan-pertanyaan ini valid dan penting. Namun, membuang seluruh analisis kelas Marx karena prediksinya meleset adalah seperti membuang bayi bersama air mandinya. Mungkin kita tidak lagi bisa menerima determinisme sejarahnya yang kaku, tetapi wawasannya tentang bagaimana relasi ekonomi menstrukturkan kekuasaan dan membentuk masyarakat masih sangat relevan.

Kelas sosial di abad ke-21 memang tidak lagi sesederhana borjuis dan proletar versi abad ke-19. Namun, pertentangan itu tetap ada dalam bentuk-bentuk baru. Kita punya kelas miliarder teknologi yang kekayaannya melampaui PDB banyak negara. Kita punya prekariat, kelas pekerja lepas di ekonomi gig yang tidak memiliki jaminan sosial, jam kerja pasti, atau kekuatan tawar kolektif. Kita punya kelas "petani data," yaitu kita semua, yang "lahan"-nya adalah kehidupan pribadi kita, yang "panen"-nya adalah data yang kita berikan secara cuma-cuma kepada korporasi raksasa untuk diolah menjadi keuntungan.

Relasi kita terhadap "alat-alat produksi" baru—platform digital, kode, dan data—masih menentukan posisi kita dalam hierarki sosial-ekonomi. Perjuangan atas upah minimum, hak berserikat bagi pengemudi ojek daring, perdebatan tentang kedaulatan data, dan gerakan melawan monopoli teknologi adalah manifestasi kontemporer dari pertentangan kelas yang dibicarakan Marx. Isu-isu seperti krisis iklim pun, pada akarnya, adalah isu kelas: siapa yang paling diuntungkan dari ekonomi ekstraktif, dan siapa yang paling menderita akibat dampaknya? Analisis kelas Marx, jika dilepaskan dari jubah determinismenya, masih menyediakan pisau bedah yang tajam untuk menguliti ketidakadilan struktural di zaman kita.

Kritik Kapitalisme yang Tetap Menyengat (Candu, Mesin, dan Keterasingan)

Di jantung kritik Marx terhadap kapitalisme terletak analisisnya yang brilian tentang nilai lebih (surplus value). Ini bukanlah konsep yang rumit. Sederhananya, seorang pekerja dibayar untuk sekian jam kerja, tetapi dalam jam-jam tersebut, ia menghasilkan nilai yang jauh lebih besar daripada upah yang diterimanya. Selisih inilah—waktu kerja tak berbayar—yang menjadi sumber keuntungan bagi kaum kapitalis. Inilah mekanisme "penghisapan" yang tersembunyi di balik transaksi "bebas" dan "setara" di pasar tenaga kerja.

Dari sini, Marx merumuskan tiga hukum gerak kapitalisme yang ia yakini akan membawanya pada kehancuran: hukum akumulasi modal (yang besar akan memangsa yang kecil), hukum konsentrasi modal (kekayaan akan menumpuk di tangan segelintir orang), dan hukum bertambahnya kemelaratan (kelas pekerja akan semakin miskin). Pada akhirnya, sistem ini akan menghasilkan krisis yang begitu parah sehingga kaum proletar, yang telah "disiplinkan, dipersatukan, dan diorganisir oleh mekanisme produksi kapitalis itu sendiri," akan bangkit untuk merebut kekuasaan.

Lagi-lagi, sejarah menunjukkan ramalan ini tidak sepenuhnya akurat. Di negara-negara maju, kemelaratan absolut berhasil diredam oleh negara kesejahteraan dan perjuangan serikat buruh (yang notabene adalah buah dari kesadaran kelas yang dibicarakan Marx). Kapitalisme terbukti jauh lebih adaptif dan tangguh daripada yang ia perkirakan.

Namun, jika kita melihat melampaui kemelaratan ekonomi semata, kritik Marx yang paling abadi mungkin terletak pada konsep keterasingan atau alienasi. Dalam sistem kapitalis, manusia terasing dalam empat dimensi. Pertama, ia terasing dari produk hasil kerjanya; ia membuat sesuatu yang tidak ia miliki dan tidak ia kontrol. Kedua, ia terasing dari aktivitas kerja itu sendiri; pekerjaan menjadi sarana untuk bertahan hidup, bukan ekspresi kreatif dari potensi kemanusiaan. Ketiga, ia terasing dari hakikat kemanusiaannya (Gattungswesen atau species-essence); ia direduksi menjadi sekadar pelengkap mesin, fragmen dari manusia. Keempat, ia terasing dari sesamanya; hubungan antarmanusia dimediasi oleh hubungan komoditas dan persaingan.

Deskripsi tentang alienasi ini terasa begitu relevan hari ini. Pekerja di pusat logistik Amazon yang setiap gerakannya diatur oleh algoritma dan diawasi oleh pemindai. Karyawan kantoran yang terjebak dalam "pekerjaan omong kosong" (bullshit jobs), mengisi laporan yang tak pernah dibaca dan menghadiri rapat yang tak bertujuan, merasa hampa dan tak berguna. Pengguna media sosial yang terasing dari interaksi otentik, sibuk membangun citra diri yang terkurasi demi "nilai lebih" baru berupa likes dan engagement. Kita bekerja lebih lama, lebih produktif, namun merasa lebih cemas dan terputus. Marx telah mendiagnosis penyakit ini satu setengah abad yang lalu.

Dan bagaimana sistem ini menenangkan jiwa-jiwa yang terasing dan menderita? Di sinilah Marx mengajukan kritiknya yang paling kontroversial terhadap agama sebagai "candu bagi rakyat". Penting untuk memahami konteksnya. Marx tidak sekadar menghujat agama. Ia melihatnya sebagai "keluh-kesah makhluk tertindas, kalbu dari dunia yang tidak berkalbu". Agama, baginya, adalah ekspresi dari penderitaan yang nyata, sekaligus protes terhadap penderitaan itu. Masalahnya, protes itu dialihkan ke dunia lain. Agama memberikan kebahagiaan ilusi yang membuat manusia sanggup menanggung penderitaan di dunia nyata, dan dengan demikian menghalangi mereka untuk bangkit dan mengubah kondisi yang menyebabkan penderitaan itu. Menghapuskan agama sebagai kebahagiaan palsu, bagi Marx, adalah syarat untuk menuntut kebahagiaan yang nyata.

Di zaman kita, "candu" ini mungkin telah mengambil bentuk-bentuk baru yang lebih sekuler. Konsumerisme yang menjanjikan kebahagiaan melalui kepemilikan barang. Industri hiburan yang membanjiri kita dengan tontonan untuk mengalihkan perhatian dari kehampaan. Kultus produktivitas dan self-help yang menempatkan tanggung jawab atas kegagalan struktural pada pundak individu. Semua ini berfungsi sama seperti yang dideskripsikan Marx tentang agama: memberikan pelipur lara sesaat, sambil melanggengkan sistem yang menjadi sumber penyakitnya.

Membaca Peta Marx Setelah Pesta Usai

Karl Marx bukanlah seorang nabi. Banyak ramalannya yang keliru. Masyarakat sosialis yang ia cita-citakan, ketika dicoba untuk diwujudkan, justru seringkali berubah menjadi mimpi buruk totaliter yang mengkhianati ideal humanisnya. Pesta revolusi yang ia proklamasikan telah lama usai, meninggalkan hangover panjang berupa kekecewaan dan sinisme.

Lalu, untuk apa kita bersusah payah membaca petanya lagi?

Jawabannya terletak pada kekuatan diagnostiknya, bukan pada resepnya. Marx mungkin keliru tentang tujuan akhir perjalanan, tetapi peta yang ia gambar tentang medan kapitalisme—dengan jurang-jurang eksploitasi, gunung-gunung akumulasi modal, dan sungai-sungai keterasingan yang mengalir deras—masih luar biasa akurat. Ia memberi kita bahasa dan kerangka untuk memahami kekuatan-kekuatan tak terlihat yang membentuk hidup kita. Ia mengajarkan kita untuk tidak menerima begitu saja ketidakadilan sebagai takdir, melainkan sebagai hasil dari relasi kekuasaan yang historis dan bisa diubah.

Inilah nilai abadi dari buku seperti Peta Pemikiran Karl Marx karya Andi Muawiyah Ramly. Ia tidak menyajikan Marx sebagai ikon suci yang harus disembah, melainkan sebagai teman berpikir yang menantang. Ia mengajak kita melakukan apa yang dilakukan Hatta: membaca secara kritis, mengambil apa yang relevan, dan membuang apa yang dogmatis.

Pada akhirnya, pelajaran terpenting dari Marx, terutama bagi konteks Indonesia, mungkin bukanlah tentang diktator proletariat atau revolusi dunia. Pelajaran itu tersirat dalam seruan penutup buku Ramly. Bahwa cara terbaik untuk melawan hantu komunisme bukanlah dengan sensor dan represi, melainkan dengan memberantas kondisi-kondisi yang membuatnya menarik: ketidakadilan, kemiskinan struktural, dan perampasan hak-hak rakyat. Selama masih ada "makhluk tertindas" yang "mengeluh," akan selalu ada mereka yang mencari "kalbu di dunia yang tak berkalbu."

Hantu itu memang masih bergentayangan, bukan karena ia sakti, tetapi karena kita sendiri yang terus memberinya makan dengan melanggengkan ketimpangan. Tugas kita hari ini bukanlah mengusir hantu itu dengan mantra-mantra usang, melainkan dengan berani menatapnya, memahami peta yang ia wariskan, dan kemudian, dengan kesadaran penuh, mulai membangun sebuah dunia di mana hantu-hantu semacam itu tidak lagi punya tempat untuk bersemayam. Itulah, barangkali, cara paling otentik untuk "mengubah dunia."


Zlamitan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...