Ahmad Khozinuddin – Profil Seorang Advokat Kontroversial di Persimpangan Hukum, Aktivisme, dan Ideologi
Bagian 1: Pendahuluan – Memetakan Kontroversi
Ahmad Khozinuddin muncul sebagai sebuah fenomena sosio-legal yang signifikan dalam lanskap politik dan hukum Indonesia kontemporer. Ia bukanlah sekadar seorang pengacara biasa; sosoknya merepresentasikan titik temu yang kompleks antara advokasi hukum, aktivisme politik, dan propaganda ideologis. Namanya menjadi sentral dalam beberapa kontroversi politik paling tajam selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, menempatkannya sebagai figur yang dipuja oleh para pengikutnya sekaligus dicerca oleh para pengkritiknya. Aktivitas publiknya yang menonjol, baik di dalam maupun di luar ruang sidang, memaksakan sebuah analisis yang lebih mendalam untuk memahami motivasi, strategi, dan tujuan akhir dari gerakannya.
Laporan ini berargumen bahwa Ahmad Khozinuddin secara strategis memanfaatkan profesi hukum dan ruang litigasi—sebuah pilar fundamental dari negara demokrasi Indonesia—sebagai arena untuk mendelegitimasi negara itu sendiri. Praktik hukum yang ia jalankan seringkali bukan merupakan tujuan akhir, melainkan berfungsi sebagai sarana (wasilah) untuk mempromosikan sebuah tatanan ideologis alternatif, yaitu Khilafah, yang secara doktrinal bertentangan dengan fondasi negara Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, setiap kasus hukum yang ia tangani, setiap pernyataan publik yang ia lontarkan, dan setiap aksi yang ia organisir dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah proyek yang lebih besar dan terkoordinasi.
Untuk membedah kompleksitas ini, penelitian ini akan mengkaji tiga pilar utama aktivitas Khozinuddin. Pertama, aktivisme hukumnya melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat dan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), di mana ia secara konsisten membingkai proses hukum terhadap klien-kliennya sebagai bentuk "kriminalisasi" oleh rezim yang berkuasa.1 Kedua, aktivisme politiknya, yang termanifestasi dalam keterlibatannya pada gerakan-gerakan yang secara terbuka menantang kebijakan pemerintah dan legitimasi pemimpin negara, seperti gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas dan polemik ijazah Presiden Joko Widodo yang berkepanjangan.3 Ketiga, dan yang paling mendasar, adalah aktivisme ideologisnya, yang ditandai oleh afiliasinya yang kuat dengan organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan promosi gagasan Khilafah secara terbuka sebagai sistem pemerintahan alternatif.6
Analisis dalam laporan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis konten. Sumber data primer dan sekunder mencakup dokumen hukum seperti berkas permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi 3, pemberitaan media massa nasional 8, transkrip dan klip video dari pernyataan publiknya di media sosial dan program televisi 11, serta artikel-artikel opini yang ditulis olehnya maupun yang mengkritik dirinya.6 Melalui pendekatan ini, laporan bertujuan untuk menyajikan sebuah potret yang utuh dan bernuansa mengenai peran Ahmad Khozinuddin di persimpangan jalan yang rawan konflik antara hukum, politik, dan ideologi di Indonesia.
Bagian 2: Fondasi Aktivisme – LBH Pelita Umat dan Narasi Kritis Rezim
Aktivisme Ahmad Khozinuddin berakar kuat pada platform yang ia pimpin, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat. Melalui lembaga ini, ia membangun fondasi narasi dan strategi yang akan ia terapkan secara konsisten dalam skala yang lebih besar di kemudian hari. LBH Pelita Umat menjadi inkubator bagi pembentukan citranya sebagai pembela "umat" yang tertindas oleh kekuasaan.
2.1. Peran dan Visi LBH Pelita Umat
Sebagai Ketua LBH Pelita Umat, Ahmad Khozinuddin memposisikan organisasinya secara berbeda dari lembaga bantuan hukum pada umumnya.2 Visi utamanya bukanlah sekadar memberikan bantuan hukum bagi masyarakat miskin, melainkan secara spesifik menjadi garda terdepan dalam pembelaan terhadap "tokoh-tokoh umat Islam" dan "lawan politik rezim yang berkuasa".1 Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa hukum di Indonesia telah mengalami pergeseran fungsi. Menurutnya, hukum tidak lagi mencerminkan keadilan, tetapi telah berubah menjadi "alat penguasa untuk melawan rival politik".2
Narasi sentral yang dibangun adalah adanya ketidakadilan sistemik, di mana hukum menjadi "tajam ke bawah dan tumpul ke atas".2 Framing ini menjadi kunci yang ia gunakan secara berulang untuk melegitimasi setiap tindakan advokasinya. Dengan membingkai negara sebagai entitas yang represif dan hukum sebagai instrumen penindasan, LBH Pelita Umat menempatkan dirinya sebagai benteng perlawanan yang memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya.
2.2. Studi Kasus Awal: Pembelaan dan Kriminalisasi Diri
Strategi dan narasi LBH Pelita Umat diwujudkan melalui penanganan kasus-kasus yang memiliki signifikansi politik tinggi. Khozinuddin secara vokal membela tokoh-tokoh kritis seperti Sugi Nur Raharja (Gus Nur) dan Ahmad Dhani. Ia berargumen bahwa kasus-kasus yang menjerat mereka tidak layak menjadi kasus pidana, melainkan merupakan bentuk "persekusi dari penguasa" yang bertujuan untuk "membungkam daya kritis" dan daya saing rival politik.2 Pemilihan klien ini bukanlah kebetulan; kasus mereka dengan mudah diperkuat menjadi simbol perlawanan terhadap rezim, sejalan dengan visi LBH Pelita Umat.
Selain itu, Khozinuddin menjadi salah satu kritikus paling keras terhadap pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Perppu Ormas. Ia menilai penerbitan Perppu tersebut sebagai tindakan inkonstitusional karena secara esensial "menghilangkan proses hukum" yang seharusnya berjalan melalui lembaga yudisial.2 Pembelaan ini tidak hanya menyangkut aspek prosedural hukum, tetapi juga merupakan pembelaan terhadap eksistensi organisasi yang menjadi basis ideologinya.
Puncak dari strategi ini terjadi ketika narasi yang ia bangun untuk kliennya berbalik menimpa dirinya sendiri. Pada Januari 2020, Khozinuddin ditangkap oleh Direktorat Cyber Crime Mabes Polri dengan status tersangka. Tuduhannya adalah menyebarkan berita bohong (hoax) dan melawan penguasa, berdasarkan Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 serta Pasal 207 KUHP.16 Pemicunya adalah unggahan lima artikel tulisan seorang penulis bernama Nasrudin Joha di akun Facebook miliknya, yang berisi kritik tajam terhadap kebijakan rezim Jokowi terkait isu Jiwasraya, Pancasila, dan Khilafah.16
Dalam klarifikasi yang ia sampaikan, Khozinuddin mengakui mengunggah tulisan tersebut dan bertanggung jawab penuh, meskipun ia mengklaim tidak mengenal secara pribadi sosok Nasrudin Joha. Ia membela tindakannya dengan menyatakan bahwa tulisan-tulisan tersebut bersifat "kritis, mencerahkan, [dan] memberi alternatif perspektif".16 Secara signifikan, ia membingkai penangkapannya sebagai bukti konkret dari kebenaran narasinya selama ini: bahwa rezim saat ini memang represif terhadap suara-suara kritis. Dengan demikian, ia secara efektif mengubah status hukumnya dari seorang tersangka menjadi seorang "martir" kebebasan berpendapat dalam kerangka narasinya sendiri.
2.3. Analisis: Strategi Kooptasi Narasi Korban
Rangkaian peristiwa ini menyingkap sebuah pola strategi yang canggih. Khozinuddin secara konsisten membangun narasi bahwa klien-kliennya adalah "korban persekusi" dan "kriminalisasi" oleh rezim yang zalim.1 Ketika ia sendiri terjerat proses hukum, ia tidak berusaha menghindar dari sorotan, melainkan justru menerapkan narasi yang sama persis pada dirinya. Ia mengklaim bahwa proses hukum yang menimpanya "dipaksakan" semata-mata karena posisi kritisnya terhadap pemerintah.
Ini bukanlah sekadar pembelaan hukum pasif, melainkan sebuah strategi kooptasi narasi yang aktif dan performatif. Dengan menjadi "korban", ia seolah-olah membuktikan secara empiris validitas dari seluruh klaim yang telah ia bangun. Pengalaman pribadinya menjadi testimoni hidup yang memperkuat legitimasinya di mata para pengikutnya. Dalam kalkulasi strategi ini, status sebagai "tersangka" atau "terdakwa" tidak lagi menjadi sebuah liabilitas hukum atau sosial, melainkan bertransformasi menjadi sebuah aset politik yang berharga. Status tersebut memberinya panggung yang lebih luas untuk berbicara sebagai saksi hidup dari "kezaliman rezim," sebuah taktik yang kelak juga digunakan oleh TPUA untuk membingkai tokoh seperti Rizieq Shihab sebagai seorang martir yang dizalimi oleh negara.17 Proses hukum diubah menjadi amunisi untuk perang politik yang lebih besar.
Bagian 3: Eskalasi Gerakan – Peran dalam Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA)
Setelah mematangkan strategi dan narasi di LBH Pelita Umat, Ahmad Khozinuddin membawa aktivismenya ke panggung yang lebih besar melalui Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Di dalam aliansi ini, perannya bergeser dari sekadar pembela individu menjadi salah satu arsitek gerakan yang lebih terstruktur dan memiliki dampak politik yang lebih luas. TPUA menjadi kendaraan untuk mengeskalasi perlawanan dari ranah hukum murni ke ranah sosio-politik.
3.1. Misi dan Komposisi TPUA
TPUA adalah sebuah aliansi yang terdiri dari para advokat dan aktivis dengan tujuan yang dideklarasikan untuk membela para ulama dan aktivis yang mereka anggap menjadi korban kriminalisasi.3 Organisasi ini secara formal menggunakan jalur hukum sebagai medium perjuangannya. Salah satu aksi paling awal dan signifikan adalah pengajuan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, khususnya setelah diubah melalui Perppu. Argumen utama mereka adalah bahwa UU tersebut berpotensi merugikan hak asasi para pemohon dalam beraktivitas dan mengkritik kebijakan pemerintah, karena menerapkan sanksi administratif dan pidana tanpa proses peradilan yang adil.3
Daya tarik dan bobot politik TPUA diperkuat oleh komposisi anggotanya. Kelompok ini diisi oleh tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak panjang sebagai oposisi pemerintah, seperti politikus senior Amien Rais, mantan menteri Roy Suryo, serta aktivis-advokat Rizal Fadillah dan Eggi Sudjana.4 Kehadiran figur-figur ini memberikan gravitasi politik pada setiap langkah hukum yang diambil TPUA, mengubahnya dari sekadar sengketa legal menjadi peristiwa politik nasional.
3.2. Aksi-Aksi Kunci TPUA
Aktivitas TPUA menunjukkan strategi multi-cabang yang tidak terbatas pada ruang sidang. Selain upaya litigasi seperti judicial review UU Ormas 3, TPUA juga pernah mengambil langkah yang jauh lebih provokatif dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada intinya menuntut agar Presiden Jokowi mundur dari jabatannya. Langkah ini memicu pro dan kontra serta tudingan bahwa gerakan tersebut mengarah pada tindakan makar.8
Di luar jalur litigasi, TPUA sangat aktif dalam memobilisasi tekanan publik. Isu mengenai keaslian ijazah Presiden Jokowi menjadi fokus utama mereka. TPUA menggelar serangkaian aksi yang dirancang untuk menjaga isu ini tetap hidup di ruang publik. Mereka mengadakan aksi yang diklaim damai di Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk menuntut klarifikasi langsung dari almamater Presiden.4 Aksi ini dilanjutkan dengan audiensi formal antara perwakilan TPUA (seperti Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma, dan Rismon Hasiholan) dengan jajaran pimpinan UGM.5 Tidak berhenti di situ, TPUA bahkan melakukan konfrontasi simbolis dengan mendatangi kediaman pribadi Joko Widodo di Solo untuk membahas isu yang sama.20 Rangkaian aksi ini menunjukkan sebuah strategi terpadu yang menggabungkan litigasi, tekanan publik melalui media, dan konfrontasi simbolis.
3.3. Peran Ahmad Khozinuddin dalam TPUA
Meskipun tokoh lain seperti Rizal Fadillah lebih sering tampil sebagai pimpinan formal dengan jabatan Wakil Ketua TPUA 9, peran Ahmad Khozinuddin dalam aliansi ini sangat krusial. Ia berfungsi sebagai arsitek dan juru bicara hukum dalam kasus-kasus kunci, terutama dalam polemik ijazah Jokowi. Dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum untuk para tokoh yang dilaporkan terkait isu ini, seperti Roy Suryo dan kawan-kawan, Khozinuddin menjadi wajah TPUA di ranah perdebatan hukum publik.11 Ia kerap tampil di berbagai program bincang-bincang di televisi dan aktif di media sosial untuk memaparkan argumen hukum, menantang narasi pemerintah, dan membingkai kasus tersebut sesuai dengan agenda TPUA.
3.4. Analisis: Simbiosis Aktivisme Hukum dan Politik Massa
Struktur dan operasionalisasi TPUA menyingkapkan adanya sebuah model gerakan yang canggih. Aksi-aksi yang mereka lakukan tidak berjalan secara terpisah, melainkan berada dalam sebuah hubungan simbiosis yang saling memperkuat. Gugatan hukum yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi atau pengadilan negeri 3 memberikan legitimasi formal dan kerangka legal bagi gerakan mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengklaim bahwa perjuangan mereka berada dalam koridor konstitusional.
Di sisi lain, aksi-aksi massa seperti demonstrasi di UGM 5 dan manuver politik seperti pertemuan dengan Jokowi 20 berfungsi untuk membangun tekanan politik dan memastikan isu tersebut mendapatkan sorotan media yang luas. Dalam simbiosis ini, Ahmad Khozinuddin sebagai ahli hukum menyediakan "amunisi" legalistik yang dibutuhkan untuk pertempuran di ranah formal. Sementara itu, tokoh-tokoh politik seperti Amien Rais memberikan "gravitasi" politik yang menarik perhatian publik dan media.
Model ini merupakan contoh gerakan sosial hibrida dimana batas antara litigasi strategis dan mobilisasi politik menjadi sangat kabur. Tujuan utamanya tidak lagi murni untuk memenangkan sebuah kasus di pengadilan. Sebaliknya, proses hukum itu sendiri digunakan sebagai katalisator untuk menyulut dan menopang sebuah gerakan politik yang lebih luas. Strategi ini sejalan dengan teori gerakan sosial yang menekankan pentingnya Worthiness, Unity, Numbers, and Commitment (WUNC) untuk mencapai keberhasilan, di mana TPUA menunjukkan elemen-elemen ini melalui kombinasi aksi hukum dan kampanye solidaritas massa.17
Bagian 4: Studi Kasus Sentral – Perang Narasi dalam Polemik Ijazah Jokowi
Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo menjadi puncak dari strategi aktivisme TPUA dan panggung utama bagi Ahmad Khozinuddin. Dalam kasus ini, ia tidak hanya bertindak sebagai pengacara, tetapi sebagai panglima perang narasi yang berupaya membongkar legitimasi kepala negara melalui jalur hukum dan opini publik.
Tabel 1: Kronologi dan Analisis Perang Narasi dalam Polemik Ijazah Jokowi
4.1. Posisi Khozinuddin sebagai Panglima Hukum
Dalam pusaran kasus ijazah, Ahmad Khozinuddin menempatkan dirinya di pusat komando. Ia bertindak sebagai Koordinator Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis 12 dan menjadi kuasa hukum utama bagi para tokoh yang dilaporkan ke polisi, termasuk Roy Suryo, dr. Tifauzia Tyassuma, dan Rizal Fadillah.11 Untuk memperkuat posisi dan signifikansi kasus ini, tim hukumnya diperluas dengan melibatkan nama-nama besar seperti mantan Ketua KPK Abraham Samad dan pengacara terkemuka Habib Rizieq Shihab, Aziz Yanuar. Menurut Khozinuddin, bergabungnya tokoh-tokoh ini adalah bukti bahwa isu tersebut bukan lagi sekadar masalah personal para terlapor, melainkan telah menjadi "masalah legasi sebuah bangsa" yang menyangkut keabsahan pemimpin.23
4.2. Retorika dan Argumen Kunci
Strategi Khozinuddin dalam perang narasi ini sangat terukur dan dieksekusi melalui berbagai platform. Beberapa argumen dan taktik kuncinya meliputi:
Menantang Pembuktian: Argumen sentralnya dibangun di atas keraguan. Ia secara konsisten menuntut Presiden Jokowi untuk menunjukkan ijazah asli di hadapan publik atau pengadilan dan mempertanyakan mengapa dokumen tersebut tidak pernah dihadirkan dalam persidangan sebelumnya yang serupa.13 Tantangannya yang terkenal, "Apakah Bareskrim atau Jokowi yang berbohong, kita akan buktikan," dirancang untuk menciptakan dilema dan menempatkan beban pembuktian pada pihak lawan.13
Memposisikan Rakyat sebagai Korban: Dengan cerdik, ia mengalihkan fokus dari pembelaan kliennya yang terancam pidana ke narasi yang lebih besar tentang "rakyat". Ia berargumen bahwa rakyat adalah korban utama dari polemik ini karena ketidakpastian tersebut membuat mereka sulit untuk percaya lagi kepada pemimpinnya. Pertanyaan retorisnya, "Jika Jokowi tersinggung, bagaimana dengan rakyat?" adalah contoh sempurna dari taktik ini, yang bertujuan untuk merebut simpati publik dan membingkai kliennya sebagai penyambung lidah rakyat.11
Menuduh Institusi Berpihak: Untuk meruntuhkan kredibilitas proses hukum, ia secara terbuka menuding institusi negara telah berpihak. Ia mengklaim bahwa Jokowi telah "meminjam otoritas Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kepolisian" untuk membentengi dirinya.12 Ia bahkan menuduh kepolisian "takut kepada Jokowi," menyiratkan bahwa proses hukum tidak akan berjalan adil.24
Tantangan Terbuka dan Teori Konspirasi: Untuk menjaga agar isu tetap panas, ia melayangkan tantangan terbuka kepada Jokowi untuk mengungkap siapa "orang besar" yang diduga berada di balik isu ini.12 Taktik ini efektif untuk menyiratkan adanya konspirasi yang lebih dalam dan rumit, yang membuat publik terus berspekulasi.
4.3. Narasi Tandingan dan Kritik
Strategi Khozinuddin tidak berjalan tanpa perlawanan. Pihak berwenang dan para pengamat melontarkan kritik tajam. Seorang Penasihat Ahli Kapolri secara terbuka menyayangkan sikap Khozinuddin yang dinilai "seperti menghasut publik," sebuah tuduhan yang dibantah Khozinuddin dengan dalih bahwa ia hanya "berpendapat dengan melewati jalur hukum".12 Para pengkritiknya di ruang maya menuduhnya melakukan "framing busuk" yang bertujuan "melemahkan institusi negara" dan hanya memainkan "drama hukum ala panggung sinetron".25 Di media sosial, ia dicap sebagai "penghasut dan provokator" 12, dan logikanya dipertanyakan karena ia berani mengklaim ijazah itu palsu tanpa pernah melihat dokumen aslinya.24
4.4. Analisis: Litigasi sebagai Teater Politik
Analisis mendalam terhadap perilaku Khozinuddin dalam kasus ijazah ini mengungkapkan bahwa fokus utamanya tidak terletak di dalam ruang sidang, melainkan di panggung opini publik yang ia akses melalui media massa dan kanal digital.11 Pernyataan-pernyataannya lebih bersifat provokatif dan menantang secara politis daripada argumen hukum yang kering dan teknis. Ia secara eksplisit menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk memperjelas "legalitas pemimpin bangsa" 23, sebuah tujuan yang jelas-jelas bersifat politik, bukan sekadar membela klien dari tuduhan pencemaran nama baik.
Dalam kerangka ini, setiap tahapan proses hukum—mulai dari pemanggilan saksi, gelar perkara, hingga pemeriksaan—tidak dilihat sebagai upaya mencari kebenaran yudisial, tetapi dieksploitasi sebagai episode-episode dalam sebuah drama politik yang disiarkan secara massal. Setiap perkembangan dalam kasus menjadi kesempatan baginya untuk merilis "episode" baru di kanal YouTube-nya, memberikan pernyataan pers yang sensasional, atau melontarkan tudingan baru.
Dengan demikian, kemenangan atau kekalahan di pengadilan menjadi tujuan sekunder. Kemenangan yang sesungguhnya, dalam strategi ini, adalah keberhasilan menanamkan keraguan yang persisten di benak sebagian publik dan secara terus-menerus mendelegitimasi institusi-institusi kunci negara, mulai dari kepresidenan, kepolisian, hingga universitas. Ruang sidang telah diubah fungsinya menjadi sebuah panggung teater untuk pertunjukan politik, dimana audiens utamanya adalah para pengikutnya di dunia maya dan masyarakat luas yang terpapar oleh narasinya.
Bagian 5: Jantung Ideologis – Afiliasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Visi Khilafah
Di balik manuver hukum dan politik Ahmad Khozinuddin, terdapat sebuah fondasi ideologis yang kokoh dan konsisten. Untuk memahami secara utuh sosoknya, penelusuran terhadap keterkaitannya dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan gagasannya tentang Khilafah menjadi sebuah keharusan. Pilar inilah yang memberikan kerangka makna dan tujuan akhir bagi seluruh aktivismenya.
5.1. Keterkaitan dengan HTI
Para pengkritik Khozinuddin secara tegas mengidentifikasinya bukan sekadar sebagai simpatisan, melainkan sebagai "aktivis HTI tulen".6 Identifikasi ini bukan tanpa dasar. Sejumlah sumber menyebutkan jabatan struktural yang pernah atau sedang diembannya, termasuk sebagai Direktur Pusat Kajian dan Bantuan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (PKBH HTI) dan Ketua LBH Pelita Umat.6 Keterlibatan struktural ini menunjukkan perannya yang sentral dalam mesin organisasi HTI, khususnya di bidang hukum, jauh sebelum organisasi tersebut dibubarkan.
HTI sendiri merupakan cabang dari Hizbut-Tahrir, sebuah organisasi politik pan-Islamist transnasional yang didirikan di Yerusalem pada tahun 1953. Tujuan utamanya yang dideklarasikan adalah untuk mendirikan kembali Daulah Khilafah Islamiyah (negara kekhalifahan Islam) yang akan menyatukan seluruh umat Muslim di bawah satu kepemimpinan dan menerapkan syariah secara global.26 Di Indonesia, HTI resmi dibubarkan oleh pemerintah melalui Perppu Ormas pada tahun 2017 dengan alasan bahwa ideologinya bertentangan secara fundamental dengan Pancasila dan UUD 1945.27
5.2. Propaganda Khilafah
Keterkaitan Khozinuddin dengan HTI termanifestasi secara jelas dalam pemikiran dan propaganda yang disebarkan. Ia dituduh secara aktif menyebarkan narasi yang menolak pilar-pilar kebangsaan, seperti yang terangkum dalam slogan "Syariah yes, khilafah yes, Pancasila no, NKRI no".6 Bagi para kritikusnya, slogan ini adalah bukti tak terbantahkan adanya niat makar ideologis untuk mengganti dasar dan bentuk negara.
Lebih dari sekadar slogan, Khozinuddin juga secara aktif mempromosikan gagasan Khilafah sebagai sebuah sistem alternatif yang solutif dan superior dibandingkan sistem yang ada saat ini. Dalam salah satu tulisannya, ia menguraikan visi ekonomi-politik Khilafah yang mencakup beberapa poin utama 7:
Penataan Ulang Sistem Kepemilikan: Khilafah akan mengembalikan seluruh konsesi tambang dan sumber daya alam kepada rakyat, karena dalam doktrin HTI, sumber daya tersebut terkategori sebagai "milik umum" (al milkiyatul ummah) yang haram dikuasai oleh individu atau swasta (termasuk asing).
Politik Ekonomi Islam: Negara Khilafah diwajibkan untuk menjamin pemenuhan enam kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) secara gratis dan berkualitas bagi seluruh warganya.
Penghapusan Ekonomi Riba: Sistem ini akan menghapus seluruh sektor ekonomi non-riel dan transaksi berbasis riba, serta kembali menerapkan mata uang yang didasarkan pada standar emas (Dinar) dan perak (Dirham) untuk mengakhiri hegemoni mata uang fiat.
Di sisi lain, ketika gagasan Khilafah dikritik atau dianggap sebagai ancaman, Khozinuddin akan membelanya dari perspektif syariat. Ia berargumen bahwa merendahkan atau melecehkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah sebuah bentuk penghinaan terhadap hukum-hukum Islam (istikhfaaf bi al ahkam al syar'iyyah). Menurutnya, perbedaan pendapat mengenai Khilafah seharusnya tidak direspons dengan ujaran kebencian atau represi oleh pejabat negara.15
5.3. Strategi Gerakan Pasca-Pembubaran HTI
Pembubaran HTI sebagai organisasi formal pada tahun 2017 tidak serta-merta mematikan gerakannya. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa HTI mengubah strategi perjuangannya. Gerakan ini beralih dari aktivitas offline berskala besar (seperti rapat akbar di stadion) ke aktivitas online yang lebih terdesentralisasi, memanfaatkan platform seperti YouTube, film pendek, dan media sosial. Selain itu, mereka juga menggunakan jaringan informal seperti Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) dan komunitas populer untuk melanjutkan rekrutmen dan penyebaran ideologi.28
Aktivitas Ahmad Khozinuddin pasca-pembubaran HTI sangat cocok dengan pola strategi baru ini. Melalui kanal YouTube-nya yang masif dan perannya sebagai advokat kritis, ia secara efektif melanjutkan "dakwah" ideologis HTI dengan kemasan yang berbeda. Ia tidak lagi berbicara atas nama HTI secara formal, tetapi substansi pemikiran dan tujuannya tetap selaras dengan agenda organisasi tersebut.
5.4. Analisis: Dualisme Strategis – Beroperasi di Dalam Sistem untuk Menghancurkan Sistem
Fenomena Ahmad Khozinuddin menyingkap sebuah kontradiksi yang pada dasarnya adalah sebuah strategi. Di satu sisi, ia adalah seorang advokat yang terdaftar secara resmi, yang dalam praktiknya menggunakan instrumen-instrumen hukum negara—seperti pengadilan, KUHP, dan bahkan UUD 1945—untuk membela klien-kliennya.3 Disisi lain, ia secara terbuka berafiliasi dan mempromosikan ideologi HTI yang secara fundamental menolak demokrasi, Pancasila, dan konsep negara-bangsa (NKRI) sebagai sistem "kufur" yang harus diganti.6
Ini bukanlah sebuah kebingungan ideologis, melainkan sebuah dualisme strategis yang disengaja. Sejalan dengan analisis terhadap strategi HTI, meskipun organisasi ini menolak partisipasi dalam pemilu (sebagai bagian dari sistem demokrasi), mereka tidak menolak untuk "terlibat" dengan institusi-institusi pendukung sistem demokrasi tersebut dengan tujuan untuk mendelegitimasinya dari dalam.30 Khozinuddin mempraktikkan apa yang oleh ilmuwan politik Timothy Garton Ash disebut sebagai "revolution" (sebuah portmanteau dari reformasi dan revolusi). Ia menggunakan hak-hak dan platform yang dijamin oleh sistem demokrasi (seperti kebebasan berpendapat dan profesi advokat) sebagai senjata untuk menyerang fondasi dari sistem itu sendiri. Ia menggunakan UUD 1945 untuk menggugat UU Ormas di Mahkamah Konstitusi 3, sementara ideologi yang ia bela pada akhirnya bertujuan untuk mengganti UUD 1945 itu sendiri.
Implikasinya, fenomena Khozinuddin menghadirkan sebuah tantangan dilematis bagi negara demokrasi. Ia mengeksploitasi "paradoks toleransi": sebuah masyarakat yang toleran harus sejauh mana menoleransi intoleransi? Memberangus aktivitasnya secara total berisiko melanggar prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan berserikat yang justru menjadi pilar demokrasi. Namun, membiarkannya terus beroperasi berarti memberikan ruang subur bagi aktor-aktor yang secara aktif dan terstruktur bekerja untuk meruntuhkan demokrasi itu sendiri dari dalam.
Bagian 6: Arena Digital – Kanal YouTube sebagai Mimbar Modern
Di era pasca-pembubaran HTI, medan pertempuran ideologis bergeser secara signifikan ke ruang digital. Ahmad Khozinuddin menunjukkan adaptasi yang luar biasa terhadap perubahan ini dengan menjadikan kanal YouTube sebagai mimbar modernnya. Platform ini bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan telah menjadi arena utama untuk diseminasi gagasan, mobilisasi dukungan, dan perang narasi.
6.1. Profil Kanal dan Konten
Kanal YouTube dengan nama "AHMAD KHOZINUDIN" telah berkembang menjadi sebuah media alternatif yang kuat. Dengan ratusan ribu pelanggan (subscribers) dan ribuan video yang telah diunggah, kanal ini memiliki jangkauan yang masif dan audiens yang loyal.14 Konten yang disajikan sangat beragam, mencerminkan multi-peran yang ia mainkan. Sebagian besar kontennya adalah respons cepat terhadap isu-isu politik dan hukum yang sedang hangat. Ini mencakup analisis mendalam tentang kasus-kasus hukum yang sedang ia tangani, seperti sengketa tanah di Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2) atau perkembangan kasus ijazah yang melibatkan kliennya, Roy Suryo.31
Selain itu, kanal ini juga berfungsi sebagai platform untuk melancarkan kritik keras terhadap pejabat tinggi negara, seperti Presiden Jokowi dan Menteri Koordinator Luhut Binsar Pandjaitan. Ia juga kerap memberikan pembelaan terhadap figur-figur publik yang dianggap sejalan dengannya, seperti pembelaannya terhadap Rocky Gerung terkait ujaran "bajingan tolol". Lebih jauh, kontennya secara eksplisit mempromosikan agenda ideologis yang lebih luas, seperti kampanye untuk membatalkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).14
6.2. Strategi Komunikasi Digital
Keberhasilan kanal YouTube Khozinuddin tidak terlepas dari strategi komunikasi digital yang efektif. Beberapa elemen kunci dari strateginya adalah:
Respons Cepat dan Relevansi: Ia memiliki kemampuan untuk merespons isu-isu yang sedang viral dengan sangat cepat. Hal ini menjadikannya sumber informasi dan perspektif alternatif yang dicari oleh para pengikutnya, yang mungkin tidak puas atau tidak percaya dengan narasi media arus utama.
Framing Konfrontatif dan Provokatif: Judul-judul videonya dirancang untuk menarik perhatian dan membangun narasi pertarungan. Judul seperti "GEGER❗️SAKSI JAKSA GAK HADIR, TAKUT DIBENTAK ATAU DIBONGKAR KASUS PESANANNYA?" 14 secara efektif membingkai proses hukum sebagai sebuah drama yang penuh konspirasi dan kelemahan di pihak lawan. Bahkan video kritik terhadapnya pun mengakui efektivitas framing ini, dengan judul seperti "POLRI GAK BOLEH DIAM! Framing Ahmad Khozinuddin Lemahkan Institusi Negara!".25
Membangun Komunitas Digital: Kanal ini lebih dari sekadar platform siaran satu arah. Melalui kolom komentar yang aktif dan tautan yang mengarah ke grup privat seperti di aplikasi Telegram 14, ia berhasil membangun sebuah komunitas digital. Interaksi ini memperkuat ikatan solidaritas di antara para pendukung, menciptakan rasa memiliki, dan memfasilitasi koordinasi lebih lanjut.
6.3. Analisis: Digitalisasi Aktivisme Ideologis
Migrasi aktivitas Khozinuddin ke YouTube adalah sebuah studi kasus yang sempurna tentang bagaimana gerakan ideologis beradaptasi di era digital, terutama setelah mengalami represi di dunia nyata. Sebagaimana diidentifikasi oleh para peneliti, setelah pembubaran formal, gerakan HTI tidak mati, melainkan bermetamorfosis dan berpindah ke ruang online.28 Kanal YouTube Khozinuddin adalah manifestasi paling jelas dari migrasi dan metamorfosis ini.
Di platform ini, ia memadukan secara sempurna antara aktivisme hukum (membahas detail kasus yang ia tangani) dan aktivisme ideologis (mengkritik sistem, pejabat, dan kebijakan secara fundamental). Ia tidak lagi memerlukan mimbar fisik atau spanduk HTI untuk berdakwah; YouTube telah menjadi mimbar digital globalnya yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja.
Model operasinya sangat strategis. Ia menggunakan kasus-kasus hukum yang sensasional sebagai "konten pemicu" (trigger content) untuk menarik audiens yang lebih luas. Setelah perhatian audiens berhasil direbut, ia kemudian secara perlahan menyisipkan pesan-pesan ideologis yang menjadi agenda utamanya. Sebagai contoh, kasus ijazah digunakan sebagai pintu masuk untuk membahas tema "kebohongan rezim". Dari sana, narasi dikembangkan lebih lanjut untuk menunjukkan "kegagalan sistem demokrasi," yang pada akhirnya membuka jalan untuk menawarkan Khilafah sebagai satu-satunya solusi yang benar.
Implikasinya sangat signifikan. Ini adalah model baru "dakwah" politik di era digital yang sangat sulit untuk dikendalikan oleh negara. Dengan mem-bypass media arus utama, Khozinuddin dapat mengontrol narasinya seratus persen, berbicara langsung kepada audiensnya tanpa filter atau verifikasi dari pihak ketiga. Hal ini menciptakan "ruang gema" (echo chamber) yang sangat kuat, di mana gagasannya terus-menerus diperkuat dan divalidasi oleh sesama anggota komunitas, sementara suara-suara yang berbeda disingkirkan. Fenomena ini membuat upaya kontra-narasi atau program deradikalisasi dari pemerintah menjadi jauh lebih sulit, karena ia beroperasi dalam sebuah ekosistem media alternatif yang otonom dan memiliki aturannya sendiri.
Bagian 7: Sintesis dan Kesimpulan – Advokat, Aktivis, atau Agitator?
Analisis terhadap jejak langkah Ahmad Khozinuddin dalam lanskap hukum dan politik Indonesia menyingkapkan sebuah pola yang konsisten dan terarah. Tindakannya bukanlah serangkaian aksi sporadis yang didorong oleh oportunisme sesaat, melainkan merupakan bagian integral dari sebuah proyek ideologis jangka panjang yang terkoordinasi. Ia secara sistematis dan strategis menggunakan profesi hukumnya sebagai kendaraan untuk tujuan yang jauh melampaui pembelaan klien di ruang sidang. Setiap kasus menjadi amunisi, setiap mimbar media menjadi panggung, dan setiap pengikut di dunia maya menjadi audiens bagi sebuah narasi besar yang ia bangun.
Menjawab pertanyaan sentral mengenai identitasnya, apakah ia seorang advokat, aktivis, atau agitator, sintesis dari temuan-temuan dalam laporan ini menunjukkan bahwa ia adalah ketiganya sekaligus, dengan peran yang saling terkait dan berjenjang.
Sebagai seorang Advokat, ia secara teknis menjalankan fungsi profesinya. Ia terdaftar, memiliki lisensi, dan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang sah seperti KUHP, UUD 1945, dan prosedur acara di pengadilan untuk membela klien-kliennya.
Sebagai seorang Aktivis, ia melampaui peran teknis seorang advokat. Ia secara sadar memilih dan menangani kasus-kasus yang memiliki dampak politik tinggi, menggunakannya sebagai platform untuk tujuan aktivisme yang lebih luas: menantang kebijakan pemerintah, mengkritik pemegang kekuasaan, dan memobilisasi opini publik untuk mendukung agendanya.
Namun, peran terdalam dan tujuan akhirnya adalah sebagai seorang Agitator Ideologis. Tujuan akhirnya bukanlah sekadar reformasi hukum atau pergantian rezim dalam kerangka demokrasi yang ada, melainkan penggantian sistem secara fundamental, sejalan dengan ideologi Hizbut Tahrir Indonesia. Ia mengagitasi ketidakpuasan dan kemarahan publik, bukan untuk disalurkan melalui mekanisme demokrasi, tetapi untuk diarahkan pada penolakan total terhadap negara-bangsa dan Pancasila, serta penerimaan terhadap Khilafah sebagai satu-satunya alternatif.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, fenomena Ahmad Khozinuddin adalah cerminan dari beberapa isu krusial. Pertama, ia adalah produk dan sekaligus produsen dari polarisasi politik yang mendalam, di mana sistem hukum tidak lagi dilihat sebagai wasit yang netral, melainkan telah menjadi salah satu medan pertempuran utama antar-kubu yang berlawanan. Kedua, kasusnya menyoroti ketegangan abadi dalam sebuah negara demokrasi: antara perlindungan terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi dan kebutuhan untuk menetapkan batas terhadap penyebaran ideologi yang secara aktif berupaya meruntuhkan konstitusi itu sendiri.
Terakhir, ia mewakili evolusi aktivisme Islamis di era digital. Gerakannya menunjukkan pergeseran dari mobilisasi massa di jalanan menjadi perang narasi di dunia maya; dari struktur organisasi formal yang hierarkis menjadi jaringan sel-sel ideologis yang lebih cair, terdesentralisasi, dan sulit dibendung oleh aparatur negara konvensional. Ia adalah prototipe dari seorang ideolog modern yang mahir mengubah proses hukum menjadi konten digital dan mengubah ruang sidang menjadi teater politik global.
Sebagai penutup, fenomena ini membuka beberapa arah penting untuk penelitian di masa depan. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan pembubaran organisasi masyarakat dalam membendung penyebaran ideologi di era digital. Selain itu, analisis komparatif mengenai penggunaan litigasi strategis oleh gerakan-gerakan anti-demokrasi di negara-negara lain dapat memberikan wawasan yang berharga. Yang tidak kalah penting adalah meneliti dampak jangka panjang dari "teater politik" yang dimainkan di ruang sidang terhadap erosi kepercayaan publik pada institusi hukum dan negara secara keseluruhan.
Daftar Pustaka
Diskusi Quo Vadis Hukum Indonesia, Apa dan Bagaimana Solusinya? - Hidayatullah.com, https://hidayatullah.com/berita/nasional/2019/03/04/160770/diskusi-quo-vadis-hukum-indonesia-apa-dan-bagaimana-solusinya.html
Hukum Dinilai Tidak Lagi Cerminkan Keadilan - Kongres Advokat Indonesia, https://www.kai.or.id/berita/14432/hukum-dinilai-tidak-lagi-cerminkan-keadilan.html
Tim Pembela Ulama dan Aktivis - Mahkamah Konstitusi RI, https://mkri.id/public/filesimpp/berkas_2035_1697-Eggi%20Sudjana.pdf
Apa Itu TPUA yang Belakangan Viral di Berbagai Media? Ini ..., https://kumparan.com/berita-terkini/apa-itu-tpua-yang-belakangan-viral-di-berbagai-media-ini-ulasannya-24txGxuUnNo
Amien Rais Serta TPUA Geruduk UGM dan Tuduh Ijazah Jokowi Palsu, UGM Siap ke Pengadilan - TIMES Indonesia, https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/535158/amien-rais-serta-tpua-geruduk-ugm-dan-tuduh-ijazah-jokowi-palsu-ugm-siap-ke-pengadilan
Khozinudin, Aktivis HTI yang Wajib Ditangkap dan Dipenjarakan ..., https://www.harakatuna.com/khozinudin-aktivis-hti-yang-wajib-ditangkap-dan-dipenjarakan.html
Proposal Khilafah Diajukan Golkar dan Demokrat? – semarak.co, https://semarak.co/proposal-khilafah-diajukan-golkar-dan-demokrat/
Mengenal TPUA: Kelompok "Tak Paham Hukum" yang Gugat Presiden Jokowi Mundur, https://dip.or.id/2021/05/10/mengenal-tpua-kelompok-tak-paham-hukum-yang-gugat-presiden-jokowi-mundur/
TPUA Persoalkan Jokowi dan Ijazah Aslinya yang Tak Hadir saat Gelar Perkara Khusus Bareskrim - KOMPAS.com, https://nasional.kompas.com/read/2025/07/09/16155901/tpua-persoalkan-jokowi-dan-ijazah-aslinya-yang-tak-hadir-saat-gelar-perkara?page=all&utm_source=Google&utm_medium=Newstand&utm_campaign=partner
Ketua LBH Pelita Umat: Mengaitkan Perempuan 'Berpistol' dengan HTI Framing Sepihak, https://hidayatullah.com/berita/nasional/2022/10/26/238978/ketua-lbh-pelita-umat-mengaitkan-perempuan-berpistol-dengan-hti-framing-sepihak.html
Ahmad Khozinuddin: Jika Jokowi Tersinggung, Bagaimana dengan Rakyat? - YouTube, https://www.youtube.com/watch?v=AVPRkCeTLN8
Pengacara terlapor Rizal Fadillah, Ahmad Khozinuddin menilai kepolisia... - TikTok, https://www.tiktok.com/@officialinews/video/7506574217698118932
AHMAD KHOZINUDDIN: WHETHER THE CRIMINAL OFFICE OR JOKOWI IS LYING, WE WILL PROVE IT IN A SPECIAL - YouTube, https://www.youtube.com/watch?v=NVThIy37Ejs
AHMAD KHOZINUDIN - YouTube, https://www.youtube.com/channel/UCrAvHLeS5UYfsgpgOCWiiMw
Khilafah Ajaran Islam, Mengapa Dinista? - Muslimah News, https://muslimahnews.net/2022/10/28/13486/
Klarifikasi Status Hukum Ketua LBH Pelita Umat - SuaraMerdeka, https://suaramerdeka.id/status-hukum-ketua-lbh-pelita-umat/
Joko Widodo vs TPUA - Djoko Luknanto, https://luk.staff.ugm.ac.id/AI/JokowiTPUA.html
Deretan Tokoh yang Geruduk UGM Pertanyakan Keaslian Ijazah ..., https://www.viva.co.id/berita/nasional/1815053-deretan-tokoh-yang-geruduk-ugm-pertanyakan-keaslian-ijazah-jokowi
Polresta Sleman mengamankan Aksi TPUA di Fakultas Kehutanan UGM Terkait Klarifikasi Ijazah Mantan Presiden Joko Widodo - Polri, https://jogja.polri.go.id/sleman/tribrata-news/online/detail/polresta-sleman-mengamankan-aksi-tpua-di-fakultas-kehutanan-ugm-terkait-klarifikasi-ijazah-mantan-presiden-joko-widodo.html
Pengakuan Mengejutkan Tim Pembela Ulama dan Aktivis saat Bertemu Jokowi di Solo - PAGE ALL : Okezone Nasional, https://nasional.okezone.com/read/2025/04/23/337/3133034/pengakuan-mengejutkan-tim-pembela-ulama-dan-aktivis-saat-bertemu-jokowi-di-solo?page=all
Wakil Ketua TPUA Ungkap Detik-detik Bertamu ke Rumah Jokowi di Solo - SINDOnews.com, https://nasional.sindonews.com/read/1558349/12/wakil-ketua-tpua-ungkap-detik-detik-bertamu-ke-rumah-jokowi-di-solo-1745366652
Apa Itu TPUA yang Belakangan Viral di Berbagai Media? Ini Ulasannya | kumparan.com, https://m.kumparan.com/berita-terkini/apa-itu-tpua-yang-belakangan-viral-di-berbagai-media-ini-ulasannya-24txGxuUnNo
Abraham Samad dan Kuasa Hukum HRS Gabung Roy Suryo Cs - Law-Justice, https://www.law-justice.co/artikel/185874/abraham-samad-dan-kuasa-hukum-hrs-gabung-roy-suryo-cs/
Ahmad Khozinudin mengingatkan Joko Widodo agar tak lagi berbohong. Men... - TikTok, https://www.tiktok.com/@officialinews/video/7507294203521535252
POLRI GAK BOLEH DIAM! Framing Ahmad Khozinuddin Lemahkan Institusi Negara!, https://m.youtube.com/watch?v=7l4r-eW0lhA&pp=0gcJCY0JAYcqIYzv
Hizb ut-Tahrir - Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Hizb_ut-Tahrir
Can Hizbut Tahrir really be dissolved? - Indonesia at Melbourne, https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/can-hizbut-tahrir-really-be-dissolved/
Hizbut Tahrir Indonesia's (HTI) Efforts the Idea of Caliphate and Recruit Members after being Banned by the Government | Islam Transformatif : Journal of Islamic Studies, https://ejournal.uinbukittinggi.ac.id/index.php/islamt/article/view/6188
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia: An Introduction to its Thoughts and Activities - Institut für Asien- und Afrikawissenschaften - Humboldt-Universität zu Berlin, https://www.iaaw.hu-berlin.de/de/suedostasien/studium/working-papers/soa-wp-044-muslimah-hizbut-tahrir-indonesia-an-introduction-to-its-thoughts-and-activities-claudia-seise.pdf/@@download/file/SOA-WP%20-%20044%20Muslimah%20Hizbut%20Tahrir%20Indonesia%2C%20An%20Introduction%20to%20its%20Thoughts%20and%20Activities%20%28Claudia%20Seise%29.pdf
From Revolution to "Refolution" A Study of Hizb al Tahrir, Its Changes and Trajectories in the Democratic Context of Indonesia (2000-2009), https://openaccess.wgtn.ac.nz/articles/thesis/From_Revolution_to_Refolution_A_Study_of_Hizb_al_Tahrir_Its_Changes_and_Trajectories_in_the_Democratic_Context_of_Indonesia_2000-2009_/17011433
null - YouTube, https://www.youtube.com/channel/UCN1_qvear_dz2_oDK_MQ5JA
Komentar
Posting Komentar