Beban utang yang tinggi dari periode pemerintahan 2014-2024, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memiliki implikasi signifikan terhadap kerangka fiskal dan tantangan yang dihadapi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. Analisis ini akan menguraikan lanskap utang yang diwariskan, visi fiskal RAPBN 2026, dan bagaimana beban utang sebelumnya memengaruhi ruang gerak serta risiko kebijakan fiskal pemerintahan baru.
Pengantar: Warisan Utang dan Tantangan Fiskal Pemerintahan Baru
Periode 2014-2024 ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil namun juga peningkatan utang pemerintah yang substansial, terutama akibat guncangan global seperti pandemi COVID-19 yang memaksa pemerintah menerapkan kebijakan fiskal countercyclical yang sangat ekspansif. Kondisi ini mewariskan beban utang yang tinggi kepada pemerintahan baru Prabowo Subianto, yang kini dihadapkan pada "pivot ideologis dan fiskal" signifikan melalui RAPBN 2026 yang mengusung agenda pembangunan ambisius, khususnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan investasi besar di modal manusia. Beban utang yang diwariskan ini secara inheren membatasi ruang fiskal dan meningkatkan kompleksitas pengelolaan anggaran di era kepemimpinan baru.
Lanskap Utang Periode 2014-2024: Tren, Kritik, dan Risiko
Selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024), utang pemerintah pusat mengalami peningkatan drastis:
• Peningkatan Nominal dan Rasio: Utang publik mencapai Rp 7.879 triliun per Maret 2023, melonjak 3,2 kali lipat dari awal pemerintahan pada 2014. Per April 2024, total utang mencapai Rp 8.338,43 triliun. Rasio utang terhadap PDB melonjak menjadi 38% pada 2023, dan sempat mencapai 41% pada 2021, yang dianggap "sedikit melewati batas maksimal kerentanan fiskal" menurut Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah (SPUNJM). Meskipun rasio utang pada April 2024 sebesar 36,5% masih di bawah batas legal 60% dari PDB, peningkatannya sangat signifikan.
• Beban per Kapita: Setiap warga negara Indonesia per Maret 2023 menanggung beban utang sebesar Rp 28,7 juta, naik dari Rp 10 juta per kepala pada akhir pemerintahan sebelumnya.
• Pelebaran Defisit APBN: Rata-rata defisit APBN melebar dari Rp 90,9 triliun per tahun (2005-2014) menjadi Rp 313,2 triliun per tahun (2015-2019), dan melonjak dua kali lipat menjadi Rp 638,48 triliun per tahun (2020-2024) akibat pandemi.
• Kritik dan Tanggapan Pemerintah: Peningkatan utang ini memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR dari berbagai fraksi, yang bahkan melabeli pemerintahan Jokowi sebagai "rezim paling doyan utang". Sri Mulyani Indrawati mengakui sensitivitas publik terhadap isu utang, menyebutnya sebagai "histeris". Pemerintah membela diri dengan menyatakan bahwa utang tersebut bersifat "produktif", digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur besar (30-40% didanai negara) dan mengatasi dampak pandemi. Selain itu, pemerintah mengklaim rasio utang masih "sangat aman" dibandingkan dengan negara lain dan dikelola secara hati-hati serta berkelanjutan.
• Potensi Risiko Fiskal dari Warisan Utang: Meskipun ada pembelaan, kekhawatiran tentang kerentanan fiskal tetap ada. Kesenjangan antara pertumbuhan utang dan pertumbuhan PDB/penerimaan menunjukkan potensi masalah dalam kapasitas melayani utang. Akumulasi utang yang cepat berisiko memicu "efek bola salju" atau bahkan krisis keuangan. Risiko refinancing, risiko suku bunga yang lebih tinggi, dan tantangan pembiayaan utang jatuh tempo juga menjadi perhatian.
Visi Fiskal RAPBN 2026 dan Tantangan Inherennya
RAPBN 2026 yang diajukan oleh pemerintahan Prabowo Subianto mengisyaratkan arah kebijakan fiskal yang sangat ekspansif, dengan Belanja Negara ditargetkan mencapai Rp 3.786,5 triliun. Anggaran ini berfokus pada investasi masif dalam modal manusia (pendidikan Rp 757,8 triliun, kesehatan Rp 244 triliun) dan kedaulatan nasional (ketahanan pangan Rp 164,4 triliun, ketahanan energi Rp 402,4 triliun). Program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) direncanakan dengan alokasi fantastis Rp 335 triliun, meningkat dramatis dari pagu tahun sebelumnya.
Meskipun belanja meningkat tajam, pemerintah menargetkan rasio defisit anggaran terhadap PDB pada kisaran 2,48%-2,53%, sedikit lebih rendah dari proyeksi defisit APBN 2025. Postur ini menciptakan "pertaruhan dengan risiko tinggi". Penurunan rasio defisit di tengah lonjakan belanja hanya dapat tercapai jika target Pendapatan Negara yang sangat optimistis sebesar Rp 3.147,7 triliun (lonjakan 9,8% dari outlook 2025) dapat terealisasi.
RAPBN 2026 diidentifikasi memiliki tiga kategori risiko utama:
1. Risiko Fiskal: Potensi shortfall penerimaan negara dapat memperlebar defisit dan meningkatkan beban utang.
2. Risiko Ekonomi: Injeksi likuiditas masif berisiko memicu tekanan inflasi (demand-pull inflation) dan pelemahan nilai tukar.
3. Risiko Implementasi: Tantangan besar dalam tata kelola, logistik, dan pengawasan untuk program berskala raksasa seperti MBG, mengingat kapasitas pemerintah daerah yang bervariasi.
Dampak Beban Utang Tinggi 2014-2024 pada Pemerintahan Presiden Prabowo
Beban utang yang diwariskan dari periode 2014-2024 memberikan dampak multidimensional pada pemerintahan Prabowo Subianto:
1. Penyempitan Ruang Fiskal (Fiscal Space):
◦ Beban Pembayaran Bunga Utang: Meskipun tidak disebutkan secara spesifik dalam sumber berapa porsi anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran bunga utang, secara umum, stok utang yang besar berarti beban pembayaran bunga yang lebih tinggi. Ini secara langsung mengurangi fiscal space atau ruang gerak anggaran yang tersedia bagi pemerintahan baru untuk membiayai program-program baru yang ambisius. Dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan atau belanja produktif kini harus dibagi untuk melayani kewajiban utang masa lalu.
◦ Kebutuhan Refinancing: Dengan utang yang terus bertumbuh, pemerintahan Prabowo akan mewarisi kewajiban refinancing (pembiayaan kembali) utang jatuh tempo. Risiko refinancing ini diperparah jika kondisi pasar keuangan global memburuk atau jika persepsi pasar terhadap risiko fiskal Indonesia meningkat, yang dapat menyebabkan biaya pinjaman lebih mahal.
2. Peningkatan Tekanan dan Pengawasan Publik serta Politik:
◦ Sensitivitas Publik: Isu utang pemerintah sangat dipolitisasi dan emosional, dengan adanya "histeris" publik terhadap peningkatan utang di periode sebelumnya. Kondisi ini berarti pemerintahan Prabowo akan menghadapi pengawasan yang jauh lebih ketat dari masyarakat, DPR, dan lembaga think tank independen terkait setiap kebijakan fiskal yang akan diambil, terutama yang melibatkan peningkatan belanja atau potensi penambahan utang.
◦ Kesenjangan Konsensus: Terdapat "kesenjangan konsensus" antara dukungan politik di DPR terhadap RAPBN 2026 yang ambisius dan kekhawatiran teknokratis dari para ahli ekonomi serta pengawas anggaran mengenai keberlanjutan fiskal. Beban utang sebelumnya memperdalam kesenjangan ini, membuat pemerintah harus lebih persuasif dalam meyakinkan bahwa kebijakan ekspansifnya berkelanjutan dan tidak akan memperburuk kondisi utang.
3. Amplifikasi Risiko Kebijakan Fiskal Ekspansif:
◦ Risiko Shortfall Pendapatan yang Lebih Akut: Target pendapatan RAPBN 2026 yang ambisius (lonjakan 9,8%) menjadi lebih berisiko mengingat tren penerimaan pajak yang melambat pada akhir periode sebelumnya. Jika target ini gagal dicapai di tengah beban utang yang sudah tinggi, konsekuensinya—pelebaran defisit, peningkatan kebutuhan pembiayaan utang, atau pemotongan program—akan menjadi lebih serius.
◦ Potensi Tekanan Inflasi yang Lebih Besar: Injeksi fiskal masif dari program-program seperti MBG dapat memicu inflasi. Dengan posisi utang yang sudah tinggi, kebijakan moneter mungkin perlu lebih hawkish untuk mengendalikan inflasi, yang bisa berdampak pada biaya pinjaman pemerintah melalui kenaikan suku bunga SBN. Kenaikan suku bunga akan memperburuk beban utang yang sudah ada.
◦ Kecurigaan terhadap Produktivitas Utang Baru: Narasi pemerintah sebelumnya tentang "utang produktif" di tengah peningkatan nominal utang yang signifikan mungkin telah menimbulkan skeptisisme. Pemerintahan Prabowo harus membuktikan bahwa program-programnya benar-benar produktif dan tidak hanya menambah beban utang tanpa dampak ekonomi yang sepadan, terutama mengingat adanya risiko "kontrak memberatkan" dan "penjajahan modern berbasis utang" yang disoroti sebelumnya.
4. Tantangan Mempertahankan Kepercayaan Investor:
◦ Meskipun rasio utang Indonesia diklaim "sangat aman" dan lebih baik dari banyak negara maju, tren peningkatan utang yang cepat selama dekade terakhir dapat membuat investor lebih waspada terhadap prospek fiskal jangka panjang. Pemerintahan Prabowo harus menunjukkan komitmen kuat terhadap disiplin fiskal dan manajemen utang yang hati-hati untuk menjaga kepercayaan investor, yang krusial untuk menarik pembiayaan dengan biaya yang wajar. Target defisit yang sedikit lebih rendah di RAPBN 2026 mungkin merupakan upaya untuk mengirimkan sinyal positif kepada pasar, namun keberhasilannya sangat bergantung pada realisasi asumsi makro dan penerimaan yang optimistis.
Sebagai kesimpulan, beban utang yang tinggi dari periode 2014-2024 menempatkan pemerintahan Prabowo pada posisi yang lebih rentan. Meskipun visi fiskalnya ambisius untuk mencapai "lompatan kuantum" dalam pembangunan, ruang gerak fiskal yang terbatas, pengawasan yang intensif, dan risiko yang diperbesar mengharuskan pemerintahan baru untuk melakukan manajemen fiskal yang sangat cermat, transparan, dan efisien. Kegagalan dalam mengelola warisan utang dan risiko yang melekat pada kebijakan ekspansif RAPBN 2026 dapat mengancam stabilitas makroekonomi dan keberlanjutan fiskal Indonesia dalam jangka panjang.
Zlamitan
Komentar
Posting Komentar