Langsung ke konten utama

Analisis Konstitusionalitas, Kinerja, dan Arah Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

 

Pendahuluan

Wacana publik di Indonesia secara berkala diwarnai oleh gelombang ketidakpuasan yang tajam terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sentimen ini, yang dipicu oleh berbagai faktor mulai dari rendahnya produktivitas legislasi, kualitas undang-undang yang kontroversial, hingga dugaan pelanggaran etika oleh para anggotanya, seringkali memuncak pada sebuah seruan populis yang radikal: "bubarkan DPR". Seruan ini, meskipun emosional, mencerminkan krisis representasi dan defisit kepercayaan yang mendalam antara rakyat dan lembaga perwakilannya. Namun, seruan tersebut seringkali dilontarkan tanpa pemahaman yang memadai mengenai kerangka konstitusional yang menopang arsitektur ketatanegaraan Indonesia.

Laporan ini disusun untuk memberikan jawaban komprehensif dan analisis mendalam terhadap isu fundamental tersebut. Tujuannya bukan sekadar menjawab pertanyaan legal-formal, tetapi membedah akar permasalahan yang memicu krisis kepercayaan dan merumuskan jalan ke depan. Untuk mencapai tujuan tersebut, laporan ini akan menjawab empat pertanyaan utama: (1) Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat dibubarkan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)? (2) Bagaimana model parlemen di negara-negara demokrasi maju berfungsi sebagai tolok ukur untuk fungsi pengawasan, legislasi, dan akuntabilitas? (3) Apa saja akar masalah sistemik yang menghambat fungsi-fungsi inti DPR dan merusak rantai akuntabilitasnya? (4) Langkah-langkah reformasi konkret dan sistemik apa yang dapat ditempuh untuk membangun DPR yang efektif, kredibel, dan akuntabel di masa depan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, laporan ini menggunakan pendekatan kualitatif interdisipliner. Analisis yuridis-normatif diterapkan untuk membedah teks konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan risalah-risalah historis yang relevan. Analisis komparatif digunakan untuk membandingkan sistem parlemen Indonesia dengan model-model di Inggris (parlementer), Amerika Serikat (presidensial), dan Jerman (konsensus), guna mengidentifikasi praktik-praktik terbaik dan alternatif kelembagaan. Terakhir, analisis data kinerja dari laporan-laporan yang diterbitkan oleh lembaga riset independen seperti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dan Indonesian Parliamentary Center (IPC) digunakan untuk mendiagnosis defisiensi DPR secara empiris.

Struktur laporan ini dirancang untuk memandu pembaca melalui alur argumentasi yang logis dan sistematis. Bagian Pertama akan mengupas tuntas kedudukan konstitusional DPR, menegaskan mengapa pembubaran secara hukum tidak dimungkinkan dalam sistem presidensial Indonesia. Bagian Kedua akan memperluas cakrawala dengan menyajikan analisis komparatif, menyoroti berbagai model fungsi dan akuntabilitas parlemen di dunia. Bagian Ketiga akan menjadi jantung diagnosis, mengidentifikasi secara mendalam defisiensi sistemik dalam fungsi legislasi, pengawasan, dan mekanisme akuntabilitas DPR. Berdasarkan diagnosis tersebut, Bagian Keempat akan menyajikan sebuah cetak biru reformasi yang komprehensif dan dapat ditindaklanjuti. Laporan ini ditutup dengan sebuah kesimpulan yang merangkum temuan-temuan utama dan menegaskan bahwa jalan untuk memulihkan kepercayaan publik bukanlah melalui pembubaran, melainkan melalui reformasi kelembagaan yang fundamental dan berkelanjutan.

Bagian 1: Kedudukan Konstitusional DPR: Mandat yang Tak Tergoyahkan

Pertanyaan mengenai kemungkinan pembubaran DPR harus dijawab pertama-tama dari perspektif hukum tata negara. Konstitusi Indonesia pasca-amandemen secara tegas dan sadar membangun sebuah arsitektur kekuasaan yang menempatkan DPR pada posisi yang tidak dapat diganggu gugat oleh cabang kekuasaan eksekutif. Ketentuan ini bukan sekadar aturan teknis, melainkan sebuah pilar filosofis yang menopang sistem presidensial Indonesia.

1.1 Analisis Pasal 7C UUD 1945: Larangan Mutlak Pembubaran oleh Presiden

Landasan hukum paling fundamental yang menjawab pertanyaan ini tertuang dalam Pasal 7C UUD 1945, yang menyatakan secara eksplisit: "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat".1 Pasal ini ditambahkan pada Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001, sebuah momen krusial dalam transisi demokrasi Indonesia.2 Kehadiran pasal ini merupakan respons langsung terhadap trauma sejarah dan keinginan untuk mengoreksi ketidakseimbangan kekuasaan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Risalah-risalah sidang di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama proses amandemen menunjukkan bahwa para perumus konstitusi memiliki tujuan yang jelas: memperkuat sistem presidensial dengan memastikan adanya pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang tegas dan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) yang efektif.4 Sebelum reformasi, meskipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa "Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat" dan "Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden", praktik ketatanegaraan menunjukkan dominasi eksekutif yang luar biasa.5 Dengan memasukkan larangan ini ke dalam batang tubuh UUD 1945, statusnya ditingkatkan dari sekadar penjelasan menjadi norma konstitusional yang mengikat dan tidak dapat ditawar.4

Dengan demikian, Pasal 7C berfungsi sebagai benteng konstitusional yang melindungi eksistensi DPR dari intervensi Presiden. Pasal ini memastikan bahwa DPR, sebagai lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat, dapat menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasannya tanpa berada di bawah bayang-bayang ancaman pembubaran oleh eksekutif. Ini adalah fondasi utama yang menjadikan kedudukan DPR dan Presiden sejajar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.6

1.2 Logika Sistem Presidensial: Legitimasi Ganda dan Pemisahan Kekuasaan

Larangan dalam Pasal 7C bukanlah sebuah anomali, melainkan konsekuensi logis dari pilihan Indonesia untuk menganut sistem pemerintahan presidensial. Ciri utama dari sistem ini adalah adanya legitimasi ganda (dual democratic legitimacy).9 Baik Presiden (sebagai kepala eksekutif) maupun anggota DPR (sebagai lembaga legislatif) sama-sama dipilih secara langsung dan terpisah oleh rakyat dalam pemilihan umum.10 Keduanya memiliki mandat yang independen dan setara, yang bersumber langsung dari kedaulatan rakyat.

Dalam logika ini, hubungan antara Presiden dan DPR bukanlah hubungan atasan-bawahan atau hubungan pertanggungjawaban seperti dalam sistem parlementer. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, melainkan kepada rakyat yang memilihnya dan kepada konstitusi.9 Sebaliknya, DPR juga tidak dapat dijatuhkan oleh Presiden. Keduanya "terkunci" dalam masa jabatan yang tetap (fixed term) dan dipaksa untuk bekerja sama dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam proses pembentukan undang-undang yang memerlukan persetujuan bersama.4

Mekanisme pembubaran parlemen oleh kepala eksekutif adalah ciri khas sistem parlementer, di mana eksekutif (perdana menteri dan kabinet) lahir dari dan bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam sistem tersebut, pembubaran adalah alat untuk menyelesaikan krisis kepercayaan atau kebuntuan politik. Namun, menerapkan mekanisme ini dalam sistem presidensial akan merusak fondasi pemisahan kekuasaan. Jika Presiden dapat membubarkan DPR, maka prinsip kesetaraan lembaga akan runtuh, dan sistem akan bergeser menjadi sangat dominan eksekutif (executive-heavy), membuka jalan bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang ingin dihindari oleh para reformis.7 Sebaliknya, DPR juga tidak memiliki mekanisme mosi tidak percaya untuk menjatuhkan Presiden; satu-satunya jalan adalah melalui prosedur pemakzulan (impeachment) yang sangat rumit dan hanya dapat dilakukan atas dasar pelanggaran hukum yang berat, bukan atas dasar politik.7

1.3 Preseden Historis: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai Peringatan

Untuk memahami mengapa para perumus amandemen UUD 1945 begitu bersikeras memasukkan Pasal 7C, kita harus melihat kembali pada salah satu episode paling dramatis dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia: Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit ini, Presiden Soekarno membubarkan Badan Konstituante, lembaga yang dipilih melalui Pemilu 1955 dengan tugas menyusun UUD baru.12 Tindakan ini diambil dalam konteks darurat, di mana Konstituante dianggap gagal mencapai konsensus setelah bertahun-tahun bersidang, yang mengakibatkan ketidakstabilan politik yang membahayakan persatuan bangsa.15

Dekrit tersebut secara efektif mengakhiri era Demokrasi Parlementer dan memulai era Demokrasi Terpimpin, yang ditandai dengan konsentrasi kekuasaan yang sangat besar di tangan Presiden.13 Meskipun sebagian pihak memandang dekrit sebagai langkah penyelamatan negara dari krisis 15, banyak ahli hukum tata negara menganggapnya sebagai tindakan ekstra-konstitusional, sebuah coup d'état oleh eksekutif terhadap tatanan hukum yang berlaku saat itu (UUDS 1950).15

Penting untuk ditegaskan bahwa peristiwa Dekrit 1959 bukanlah sebuah preseden hukum yang dapat melegitimasi pembubaran DPR di masa sekarang. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai sebuah "kisah peringatan historis" (historical cautionary tale) yang membekas dalam memori kolektif bangsa. Pengalaman ini menjadi justifikasi utama bagi para arsitek reformasi konstitusi untuk membangun pagar-pagar yang kokoh guna mencegah terulangnya dominasi eksekutif dan intervensi terhadap lembaga legislatif. Pasal 7C adalah manifestasi konkret dari pelajaran sejarah tersebut, sebuah jaminan konstitusional bahwa jalan menuju otoritarianisme melalui pembubaran parlemen telah ditutup rapat.

1.4 Jalan Amandemen MPR: Sebuah Kemustahilan Teoritis dan Politis

Secara teoritis, satu-satunya jalan hukum untuk memungkinkan pembubaran DPR adalah dengan mengubah UUD 1945 itu sendiri, khususnya dengan menghapus atau merevisi Pasal 7C. Kewenangan untuk mengubah UUD berada di tangan MPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945. Namun, prosedur perubahannya dibuat sangat sulit dan berlapis, seperti yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.1

Proses tersebut mensyaratkan:

  1. Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

  2. Sidang MPR untuk mengubah UUD harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (kuorum sidang).

  3. Putusan untuk mengubah UUD harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR (kuorum putusan).

Struktur keanggotaan MPR sendiri menciptakan sebuah paradoks politik yang membuat jalur ini hampir mustahil ditempuh untuk tujuan membubarkan DPR. Anggota MPR terdiri dari seluruh anggota DPR dan seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).1 Jumlah anggota DPD saat ini tidak mencapai 1/3 dari total anggota MPR. Artinya, untuk memenuhi syarat pengusulan (1/3 anggota MPR) saja, diperlukan dukungan dari sebagian besar anggota DPD ditambah dengan dukungan dari sejumlah anggota DPR.1

Ini mengarah pada sebuah skenario yang secara politik tidak masuk akal: untuk membubarkan DPR, dibutuhkan dukungan yang signifikan dari anggota DPR itu sendiri untuk membubarkan lembaga tempat mereka bernaung. Sulit membayangkan para legislator secara kolektif akan mendukung sebuah amandemen yang bertujuan mengakhiri eksistensi institusi mereka sendiri. Dengan demikian, meskipun secara teoritis dimungkinkan, jalan amandemen untuk membubarkan DPR secara praktis tertutup rapat karena hambatan prosedural yang berat dan, yang lebih penting, karena kemustahilan politik yang inheren.

Desain konstitusional ini secara sadar menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "stabilitas paksa" (forced stability). Berbeda dengan sistem parlementer yang memiliki katup pengaman—seperti mosi tidak percaya atau pemilihan umum sela—untuk mengatasi kebuntuan, sistem presidensial Indonesia tidak menyediakan jalan keluar yang mudah. Eksekutif dan legislatif dipaksa untuk terus bernegosiasi dan mencari kompromi selama masa jabatan lima tahun mereka. Pilihan ini diambil oleh para perumus konstitusi pasca-reformasi yang lebih memprioritaskan stabilitas pemerintahan dan pencegahan intervensi eksekutif, setelah mengalami trauma instabilitas era parlementer dan otoritarianisme di era-era sesudahnya. Namun, kekuatan ini juga menjadi sumber kelemahan. Ketika DPR berkinerja buruk dan kehilangan kepercayaan publik, tidak ada mekanisme institusional untuk "mengatur ulang" sistem. Tekanan publik yang tidak tersalurkan secara institusional dapat berujung pada apatisme politik yang meluas atau, dalam skenario terburuk, mendorong gerakan-gerakan di luar parlemen karena saluran formal untuk perubahan dianggap tersumbat.

Bagian 2: Parlemen dalam Perspektif Komparatif: Model Fungsi dan Akuntabilitas

Untuk memahami kekuatan dan kelemahan sistem DPR di Indonesia, penting untuk menempatkannya dalam konteks internasional. Dengan membandingkannya dengan parlemen di negara-negara demokrasi yang mapan, kita dapat mengidentifikasi berbagai model kelembagaan, praktik terbaik, dan alternatif solusi untuk tantangan yang dihadapi. Laporan ini akan menyoroti tiga model utama: model parlementer Inggris, model presidensial Amerika Serikat, dan model konsensus Jerman.

2.1 Model Parlementer (Inggris): Fleksibilitas melalui Mosi Tidak Percaya

Sistem Westminster di Inggris adalah arketipe dari sistem parlementer. Di sini, hubungan antara eksekutif (Pemerintah yang dipimpin Perdana Menteri) dan legislatif (Parlemen) bersifat menyatu dan didasarkan pada prinsip kepercayaan (confidence). Pemerintah harus setiap saat mempertahankan kepercayaan dari mayoritas anggota House of Commons.18

Mekanisme sentral dalam sistem ini adalah mosi tidak percaya (vote of no confidence). Jika pihak oposisi berhasil meloloskan mosi ini, atau jika pemerintah gagal memenangkan mosi percaya yang diajukannya sendiri, maka pemerintah secara konstitusional wajib melakukan salah satu dari dua hal: mengundurkan diri untuk memberi jalan bagi pembentukan pemerintahan baru, atau meminta Monarki (Raja/Ratu) untuk membubarkan Parlemen.18 Pembubaran ini akan segera diikuti oleh penyelenggaraan pemilihan umum baru untuk memilih anggota parlemen yang baru.20

Pembubaran parlemen dalam konteks ini bukanlah sebuah krisis konstitusional, melainkan sebuah mekanisme yang sah dan terintegrasi untuk menyelesaikan kebuntuan politik dan mengembalikan mandat langsung kepada rakyat. Ini memberikan fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh sistem presidensial. Namun, penting untuk membedakan antara pembubaran (dissolution), yang mengakhiri masa jabatan seluruh anggota parlemen dan memicu pemilu, dengan prorogation (pengakhiran sesi parlemen) atau recess (masa reses), yang hanya merupakan jeda sementara dalam kegiatan legislatif tanpa mengosongkan kursi anggota parlemen.22 Model ini menekankan akuntabilitas kolektif pemerintah kepada parlemen, sebuah logika yang fundamental berbeda dari sistem Indonesia.

2.2 Model Presidensial (Amerika Serikat): Pengawasan sebagai Kekuatan Utama

Amerika Serikat menawarkan model sistem presidensial yang paling mapan, di mana Kongres (terdiri dari Senat dan House of Representatives) berfungsi sebagai penyeimbang yang kuat bagi kekuasaan Presiden. Karena tidak ada mekanisme pembubaran, kekuatan Kongres terletak pada kemampuannya yang luar biasa dalam menjalankan fungsi pengawasan melalui proses investigasi yang mendalam.23

Kekuatan ini dijalankan melalui sistem komite yang sangat terspesialisasi dan berkuasa. Komite-komite di Kongres memiliki wewenang luas untuk mengadakan dengar pendapat (hearings) dan melakukan penyelidikan terhadap semua departemen dan lembaga eksekutif.23 Alat paling ampuh yang mereka miliki adalah subpoena, yaitu sebuah perintah hukum yang dapat memaksa individu atau lembaga (baik pemerintah maupun swasta) untuk menyerahkan dokumen atau memberikan kesaksian di bawah sumpah.24

Kegagalan untuk mematuhi subpoena Kongres bukanlah tanpa konsekuensi. Kongres memiliki tiga jalur penegakan:

  1. Tuntutan Pidana (Criminal Contempt): Kongres dapat merekomendasikan Departemen Kehakiman untuk menuntut individu yang mangkir secara pidana. Pelanggaran ini dapat dihukum denda dan penjara.24

  2. Gugatan Perdata (Civil Enforcement): Kongres dapat mengajukan gugatan di pengadilan federal untuk meminta hakim memerintahkan kepatuhan terhadap subpoena.27

  3. Kekuasaan Bawaan (Inherent Contempt): Meskipun sangat jarang digunakan, Kongres secara teoritis memiliki kekuasaan untuk menahan dan memenjarakan individu yang tidak patuh secara langsung.26

Kemampuan untuk memaksa kesaksian dan dokumen ini memberikan "gigi" yang tajam pada fungsi pengawasan Kongres, sesuatu yang tidak dimiliki oleh DPR di Indonesia.

Lebih lanjut, efektivitas Kongres didukung oleh dua lembaga pendukung non-partisan yang sangat profesional dan independen:

  • Government Accountability Office (GAO): Dikenal sebagai "anjing penjaga Kongres", GAO adalah lembaga audit dan investigasi independen yang bekerja untuk Kongres. GAO memiliki wewenang luas untuk memeriksa "semua hal yang berkaitan dengan penerimaan, pencairan, dan penggunaan uang publik".28 Setiap tahun, GAO menerbitkan ribuan laporan dan rekomendasi yang mengidentifikasi pemborosan, penipuan, dan inefisiensi dalam program-program pemerintah, menghasilkan penghematan miliaran dolar bagi pembayar pajak.29 Lembaga eksekutif diwajibkan secara hukum untuk memberikan laporan tertulis tentang tindakan yang mereka ambil atas rekomendasi GAO.28

  • Congressional Research Service (CRS): Beroperasi di bawah naungan Library of Congress, CRS berfungsi sebagai "think tank" internal dan eksklusif bagi Kongres. CRS menyediakan analisis kebijakan yang komprehensif, objektif, otoritatif, dan rahasia kepada anggota Kongres dan komite-komite mereka.31 Dengan staf yang terdiri dari para ahli di berbagai bidang, CRS membantu para legislator memahami isu-isu kompleks, menganalisis RUU, dan membuat keputusan kebijakan yang terinformasi, tanpa memberikan rekomendasi kebijakan.32

Kombinasi antara komite yang kuat, subpoena power, dan dukungan dari lembaga independen seperti GAO dan CRS menjadikan Kongres AS sebagai tolok ukur emas (gold standard) untuk pengawasan legislatif dalam sistem presidensial.

2.3 Model Konsensus (Jerman): Legislasi Berbasis Bukti dan Kualitas

Jerman, dengan sistem parlementer federalnya, menawarkan model yang berbeda, yang menekankan pada kualitas, konsensus, dan pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policymaking). Proses legislasi di Bundestag (Parlemen Federal) sangat terstruktur, deliberatif, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.34

Sebuah rancangan undang-undang (RUU) umumnya melewati tiga kali pembacaan di sidang paripurna Bundestag. Setelah pembacaan pertama, RUU tersebut akan dirujuk ke komite-komite yang relevan untuk pembahasan mendalam.35 Di sinilah proses inti berlangsung. Komite-komite akan mengadakan dengar pendapat publik (public hearings) dan mengundang para pakar eksternal—seperti akademisi, perwakilan asosiasi industri, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil—untuk memberikan masukan dan analisis teknis.37 Keterlibatan para ahli ini memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan tidak hanya solid secara politis, tetapi juga cermat secara teknis dan dapat diimplementasikan dengan baik.

Selain itu, sebagai negara federal, proses legislasi juga melibatkan Bundesrat, majelis yang mewakili pemerintah negara-negara bagian (Länder). Untuk undang-undang yang menyangkut kewenangan negara bagian, persetujuan Bundesrat adalah wajib.35 Hal ini memastikan bahwa perspektif daerah terintegrasi ke dalam kebijakan nasional dan mendorong tercapainya konsensus yang lebih luas. Jika terjadi perselisihan antara Bundestag dan Bundesrat, sebuah Komite Mediasi (Mediation Committee) akan dibentuk untuk mencari kompromi.36

Model Jerman ini memprioritaskan deliberasi dan kualitas di atas kecepatan. Prosesnya yang inklusif dan berbasis keahlian bertujuan untuk menghasilkan undang-undang yang tahan lama, efektif, dan memiliki legitimasi yang kuat di mata publik.

Tabel 1: Analisis Komparatif Mekanisme Parlemen

Untuk merangkum perbedaan-perbedaan fundamental ini, tabel berikut menyajikan perbandingan sistematis antara Indonesia dan tiga negara model.

Fitur Kelembagaan

Indonesia

Inggris (Britania Raya)

Amerika Serikat

Jerman

Sistem Pemerintahan

Presidensial Multipartai

Parlementer Monarki Konstitusional

Presidensial Federal

Parlementer Federal

Mekanisme Pembubaran

Dilarang secara mutlak oleh konstitusi (Pasal 7C UUD 1945).1

Dimungkinkan; Perdana Menteri dapat meminta Monarki untuk membubarkan Parlemen setelah kalah dalam mosi tidak percaya atau untuk mencari mandat baru.18

Tidak ada. Eksekutif dan legislatif memiliki masa jabatan tetap yang terpisah.9

Dimungkinkan dalam situasi khusus (misalnya, kegagalan memilih Kanselir), tetapi sangat jarang terjadi dan menjadi kewenangan Presiden Federal.35

Instrumen Pengawasan Kunci

Hak Angket (menghasilkan rekomendasi tidak mengikat), Rapat Dengar Pendapat (RDP).40

Question Time (sesi tanya jawab dengan Perdana Menteri), komite-komite selektif (select committees) yang melakukan penyelidikan.

Investigasi komite dengan subpoena power (kekuatan panggilan paksa) yang dapat ditegakkan secara hukum.24

Hak interpelasi, komite investigasi (Untersuchungsausschuss).

Proses Legislasi Kunci

Pembahasan bersama antara DPR dan Presiden; perencanaan melalui Prolegnas.4

RUU dibahas dan dapat diamandemen di House of Commons dan House of Lords; persetujuan Kerajaan (Royal Assent) bersifat formalitas.

RUU harus disetujui oleh kedua kamar (House of Representatives dan Senat) dalam bentuk yang identik sebelum dikirim ke Presiden untuk ditandatangani atau di-veto.42

Pembahasan mendalam di komite dengan dengar pendapat ahli; persetujuan Bundesrat diperlukan untuk UU yang berdampak pada negara bagian.35

Lembaga Pendukung

Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR.

Staf komite, House of Commons Library.

Government Accountability Office (GAO), Congressional Research Service (CRS), Congressional Budget Office (CBO).28

Layanan riset internal Bundestag (Wissenschaftliche Dienste), staf ahli komite.

Akuntabilitas Legislator

Pergantian Antar Waktu (PAW) yang diinisiasi oleh partai politik.43

Akuntabilitas utama kepada partai dan pemilih di distriknya; dapat tidak dicalonkan kembali oleh partai.

Akuntabilitas utama kepada pemilih di distriknya; dapat dikalahkan dalam pemilu primer atau pemilu umum.

Sistem pemilu campuran (MMP) menciptakan akuntabilitas ganda: kepada pemilih di distrik dan kepada partai (melalui daftar partai).

Bagian 3: Diagnosis Defisiensi DPR: Analisis Sistemik Kinerja dan Akuntabilitas

Meskipun dilindungi oleh konstitusi dari pembubaran, DPR secara konsisten menghadapi krisis legitimasi yang bersumber dari kinerjanya yang dinilai tidak memuaskan. Diagnosis terhadap permasalahan ini menunjukkan adanya defisiensi yang bersifat sistemik dan saling terkait, mencakup ketiga fungsi utamanya—legislasi, pengawasan, dan representasi—serta mekanisme akuntabilitas yang mendasarinya.

3.1 Fungsi Legislasi: Kuantitas vs. Kualitas

Salah satu kritik paling tajam yang ditujukan kepada DPR adalah kinerjanya yang buruk dalam fungsi legislasi. Masalah ini memiliki dua dimensi: kuantitas yang rendah dan kualitas yang seringkali problematis.

Secara kuantitas, laporan evaluasi dari lembaga pemantau parlemen seperti Formappi dan IPC secara konsisten menunjukkan bahwa DPR gagal mencapai target legislasi yang ditetapkannya sendiri dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahunan.45 Kinerja ini cenderung memburuk secara signifikan menjelang tahun politik, di mana para anggota dewan lebih memfokuskan energi dan waktu mereka untuk kegiatan kampanye demi terpilih kembali, yang mengakibatkan penurunan jumlah rapat dan produktivitas legislasi.46

Namun, masalah yang lebih fundamental terletak pada kualitas. Banyak produk legislasi DPR yang dihasilkan secara terburu-buru, minim partisipasi publik yang bermakna, dan tidak transparan. Menurut laporan IPC, produk legislasi DPR pada tahun 2023 didominasi oleh RUU Kumulatif Terbuka, sebuah kategori RUU yang proses pembahasannya cenderung lebih cepat dan kurang melibatkan publik.48 Dari 18 RUU yang disahkan menjadi UU pada tahun itu, hanya naskah akademik dan draf dari 2 RUU yang dipublikasikan untuk diakses publik.48 Kasus pengesahan UU Cipta Kerja menjadi contoh paling gamblang, di mana proses yang cepat dan tertutup mengabaikan kritik luas dari masyarakat sipil, akademisi, dan serikat pekerja, bahkan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).48

Sikap DPR yang cenderung defensif terhadap kritik juga menjadi sorotan. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyoroti adanya gejala "otoritarianisme legislasi," di mana DPR memandang MK hanya sebagai "tukang koreksi" yang mengganggu dan enggan proses legislatifnya diawasi.49 Pola pikir ini menunjukkan keengganan untuk terlibat dalam deliberasi publik yang sehat dan menghormati prinsip checks and balances, yang pada akhirnya merusak kualitas dan legitimasi undang-undang yang dihasilkannya.

3.2 Fungsi Pengawasan: Instrumen yang Tumpul

Fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem presidensial, juga dinilai sangat lemah dan tidak efektif.40 DPR seringkali dianggap "absen" dalam mengawasi isu-isu strategis yang berdampak luas bagi masyarakat.40 Kelemahan ini sebagian besar disebabkan oleh tumpulnya instrumen pengawasan yang dimiliki DPR, terutama Hak Angket.

Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.51 Meskipun terdengar kuat, kelemahan fatal dari instrumen ini adalah hasil akhirnya. Penyelidikan oleh Panitia Khusus (Pansus) Angket hanya menghasilkan sebuah rekomendasi yang disampaikan dalam Rapat Paripurna.41 Rekomendasi ini tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa (non-binding) dan tidak ada sanksi bagi pemerintah atau lembaga lain yang mengabaikannya.41

Dua studi kasus menonjol menggambarkan ketidakefektifan Hak Angket:

  1. Hak Angket Pelindo II: Pada tahun 2015-2016, DPR membentuk Pansus Angket untuk menyelidiki dugaan korupsi dan pelanggaran hukum dalam perpanjangan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh PT Pelindo II.52 Dengan bantuan audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pansus menemukan adanya indikasi kerugian negara yang sangat besar, mencapai minimal Rp 4,08 triliun.53 Namun, setelah proses penyelidikan yang panjang dan menyita perhatian publik, tindak lanjut utama dari Pansus adalah menyerahkan laporan dan hasil audit BPK tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ditindaklanjuti secara hukum.53 DPR, dalam hal ini, hanya bisa berfungsi sebagai "pelapor", bukan sebagai lembaga pengawas yang dapat memaksakan sebuah konsekuensi langsung.

  2. Hak Angket KPK: Penggunaan Hak Angket terhadap KPK pada tahun 2017-2018 menjadi salah satu episode paling kontroversial. Banyak pihak dari masyarakat sipil menilainya sebagai upaya intervensi politik dan pelemahan terhadap lembaga antikorupsi, terutama karena angket ini digulirkan di tengah penyidikan kasus korupsi e-KTP yang menyeret nama-nama besar di parlemen.51 Pansus menghasilkan 11 poin temuan yang sangat kritis terhadap KPK, mulai dari aspek kelembagaan, SDM, hingga penggunaan anggaran.57 Namun, lagi-lagi, hasil ini tidak memiliki dampak hukum langsung terhadap KPK. Polemik ini lebih menunjukkan bagaimana Hak Angket dapat digunakan sebagai panggung politik untuk menyerang lembaga lain daripada sebagai alat pengawasan yang objektif dan konstruktif.58

Kedua kasus ini membuktikan bahwa tanpa mekanisme penegakan yang kuat seperti subpoena power yang dimiliki Kongres AS, fungsi pengawasan DPR akan selalu bergantung pada kemauan baik dari pihak yang diawasi. Ini adalah sebuah kelemahan struktural yang menjadikan pengawasan DPR lebih bersifat seremonial daripada fungsional.

3.3 Defisit Akuntabilitas: Kepada Siapa Anggota DPR Bertanggung Jawab?

Akar dari buruknya kinerja legislasi dan pengawasan terletak pada masalah akuntabilitas yang mendalam. Rantai pertanggungjawaban antara rakyat, legislator, dan partai politik tampak terputus atau terdistorsi oleh berbagai faktor sistemik.

Tekanan Sistem Pemilu

Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem ini memungkinkan pemilih untuk memilih langsung calon legislator, bukan hanya partai.59 Tujuannya adalah untuk mendekatkan wakil rakyat dengan konstituennya dan meningkatkan akuntabilitas personal.61 Namun, dalam praktiknya, sistem ini menghasilkan sejumlah konsekuensi negatif yang serius.

Pertama, ia menciptakan "politik berbiaya sangat tinggi" (high-cost politics). Karena kompetisi tidak hanya terjadi antar partai tetapi juga antar calon di dalam partai yang sama, setiap calon harus membangun popularitas dan jaringan personalnya sendiri, yang seringkali membutuhkan modal finansial yang masif.63 Biaya politik yang mahal ini menciptakan insentif bagi legislator terpilih untuk mencari cara "mengembalikan modal", yang pada gilirannya menyuburkan praktik korupsi politik.61 Kedua, sistem ini cenderung memprioritaskan popularitas di atas kompetensi. Calon yang memiliki modal besar atau popularitas tinggi lebih berpeluang terpilih daripada kader partai yang mungkin lebih kompeten tetapi kurang dikenal.65 Akibatnya, hubungan antara pemilih dan wakilnya menjadi sangat transaksional dan personal, menggerus peran partai politik sebagai agregator kepentingan dan entitas programatik.66

Mekanisme Recall (PAW) oleh Partai

Di sisi lain dari spektrum akuntabilitas, terdapat mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) atau recall. Secara konstitusional, anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya.43 UU MD3 dan UU Partai Politik mengatur bahwa salah satu alasan pemberhentian adalah "diusulkan oleh partai politiknya".44 Ketentuan ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada elite partai politik untuk mengontrol para kadernya di parlemen.

Mekanisme ini secara efektif menyandera akuntabilitas legislator. Loyalitas utama mereka menjadi terarah ke atas, kepada pimpinan partai, bukan ke bawah, kepada konstituen yang telah memilih mereka.68 Seorang anggota DPR yang bersikap vokal, kritis terhadap kebijakan pemerintah yang didukung partainya, atau menyuarakan aspirasi rakyat yang bertentangan dengan garis partai, dapat menghadapi ancaman PAW.44 Hal ini menciptakan efek gentar (chilling effect) yang membungkam perbedaan pendapat di dalam fraksi dan melemahkan fungsi pengawasan DPR secara keseluruhan.

Sebagai perbandingan, beberapa negara bagian di AS menerapkan mekanisme recall election yang diinisiasi oleh pemilih (constituent recall).70 Dalam sistem ini, jika sejumlah pemilih yang ditetapkan undang-undang berhasil mengumpulkan tanda tangan, maka sebuah pemilihan umum khusus akan diadakan untuk menentukan apakah pejabat terpilih tersebut harus diberhentikan dari jabatannya atau tidak.72 Ini adalah bentuk akuntabilitas langsung kepada rakyat, sebuah konsep yang sangat berbeda dari PAW yang dikendalikan oleh elite partai di Indonesia.

Penegakan Etik Internal (MKD)

Lini pertahanan terakhir untuk akuntabilitas adalah penegakan etika internal melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD dibentuk dengan tujuan luhur untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.74 Namun, dalam praktiknya, efektivitas MKD sering dipertanyakan.

MKD kerap dinilai lamban, tidak transparan, dan cenderung memberikan sanksi yang ringan, terutama dalam kasus-kasus besar yang melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh. Proses persidangan yang seringkali tertutup dan keputusan yang lebih bernuansa politis daripada penegakan etika murni telah menggerus kepercayaan publik.76 Ada persepsi kuat bahwa MKD lebih berfungsi sebagai mekanisme untuk melindungi citra korps dan menjaga solidaritas antar-anggota dewan daripada sebagai lembaga peradilan etik yang independen dan tegas.75

Kombinasi dari ketiga faktor ini—sistem pemilu yang mahal dan personal, mekanisme PAW yang dikontrol partai, dan badan etik internal yang lemah—menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "Segitiga Disfungsi Akuntabilitas". Seorang legislator terjepit di antara tiga tarikan. Di satu sisi, sistem pemilu mendorongnya untuk membangun hubungan transaksional-personal dengan pemilih. Di sisi lain, mekanisme PAW memaksanya untuk tunduk pada kehendak elite partai. Sementara itu, pengawasan horizontal dari lembaga negara lain dan penegakan etika internal dari MKD sangat lemah. Dalam kalkulasi politik yang rasional, seorang legislator akan memprioritaskan kelangsungan hidup politiknya dengan mengamankan basis massa transaksional dan menjaga hubungan baik dengan pimpinan partai. Akibatnya, akuntabilitas yang paling fundamental—yaitu pertanggungjawaban kepada kepentingan publik yang lebih luas dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik—menjadi korban.

Bagian 4: Cetak Biru Reformasi: Membangun Legislatif yang Kredibel dan Efektif

Diagnosis terhadap defisiensi sistemik DPR menuntut solusi yang juga bersifat sistemik, bukan tambal sulam. Jawaban atas krisis kepercayaan publik bukanlah pembubaran, melainkan reformasi kelembagaan yang fundamental dan komprehensif. Cetak biru reformasi ini berfokus pada tiga pilar utama: merevitalisasi fungsi pengawasan, meningkatkan kualitas legislasi, dan merestrukturisasi mekanisme akuntabilitas.

4.1 Merevitalisasi Pengawasan Legislatif

Fungsi pengawasan DPR yang saat ini tumpul harus diasah kembali agar menjadi instrumen checks and balances yang efektif. Hal ini membutuhkan penguatan pada dua level: instrumen pengawasan itu sendiri dan kapasitas kelembagaan yang mendukungnya.

  1. Amandemen UU MD3 untuk Memperkuat Hak Angket: Kelemahan utama Hak Angket adalah rekomendasinya yang tidak mengikat. Perlu dilakukan kajian mendalam untuk mengamandemen Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) guna memberikan kekuatan hukum yang lebih besar pada hasil penyelidikan Pansus Angket. Opsi yang dapat dipertimbangkan antara lain: (a) Mewajibkan pemerintah atau lembaga negara yang menjadi objek angket untuk memberikan jawaban dan rencana tindak lanjut resmi secara tertulis dalam jangka waktu yang ditentukan; (b) Menjadikan temuan Pansus Angket, terutama yang didukung oleh bukti dari lembaga audit seperti BPK, sebagai dasar yang wajib ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum tanpa memerlukan laporan ulang. Ini akan mengubah Hak Angket dari sekadar panggung politik menjadi alat investigasi yang memiliki konsekuensi nyata.

  2. Membentuk Lembaga Pendukung Parlemen Independen: DPR tidak dapat melakukan pengawasan yang mendalam dan berbasis bukti tanpa dukungan kapasitas teknis yang memadai. Mengadopsi model yang terbukti berhasil di Amerika Serikat, Indonesia perlu membentuk lembaga pendukung parlemen yang profesional, independen, dan non-partisan. Dua lembaga krusial yang perlu dibentuk adalah:

  • Kantor Akuntabilitas Pemerintah (KAP): Sebuah lembaga yang setara dengan Government Accountability Office (GAO) di AS. KAP akan bertindak sebagai auditor eksternal dan investigator utama bagi DPR, dengan mandat untuk memeriksa efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas program-program pemerintah. Laporan dan rekomendasi dari KAP akan memberikan data objektif bagi komite-komite di DPR untuk melakukan pengawasan yang terarah dan berbasis fakta.28

  • Badan Riset Parlemen (BRP): Sebuah lembaga yang setara dengan Congressional Research Service (CRS) di AS. BRP akan diisi oleh para peneliti dan analis ahli dari berbagai disiplin ilmu yang bertugas menyediakan analisis kebijakan yang mendalam, objektif, dan non-partisan secara eksklusif untuk kebutuhan anggota dan alat kelengkapan DPR. Kehadiran BRP akan meningkatkan kualitas perdebatan, membantu perumusan RUU inisiatif yang berkualitas, dan membekali legislator dengan informasi yang mereka butuhkan untuk mengawasi kebijakan pemerintah yang semakin kompleks.31

4.2 Meningkatkan Kualitas Legislasi

Proses pembentukan undang-undang harus diubah dari proses yang seringkali tertutup dan politis menjadi proses yang deliberatif, transparan, dan berbasis bukti. Praktik terbaik dari negara seperti Jerman dapat menjadi inspirasi.

  1. Mewajibkan Dengar Pendapat Publik yang Bermakna (Meaningful Public Hearing): Proses legislasi, terutama untuk RUU yang strategis dan berdampak luas, harus diwajibkan melalui serangkaian dengar pendapat publik yang terstruktur. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah forum dimana masukan dari akademisi, pakar di bidangnya, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok yang terdampak harus didengar, didokumentasikan secara transparan, dan dipertimbangkan secara serius dalam naskah RUU. Mekanisme ini, yang terinspirasi dari praktik di Bundestag Jerman, akan meningkatkan kualitas teknis dan legitimasi sosial dari undang-undang yang dihasilkan.35

  2. Memperkenalkan Evaluasi Undang-Undang Pasca-Pemberlakuan (Post-Legislative Scrutiny - PLS): Fungsi legislasi tidak berhenti saat sebuah undang-undang disahkan. DPR perlu membangun mekanisme PLS, di mana komite-komite terkait secara sistematis mengevaluasi implementasi, dampak, dan efektivitas dari undang-undang yang telah berlaku selama periode tertentu (misalnya, 3-5 tahun). Hasil evaluasi ini dapat menjadi dasar untuk melakukan revisi, perbaikan, atau bahkan pencabutan undang-undang yang terbukti tidak efektif atau menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan. PLS akan menciptakan siklus pembelajaran kebijakan yang berkelanjutan di parlemen.

4.3 Merestrukturisasi Mekanisme Akuntabilitas

Rantai akuntabilitas yang terputus antara rakyat, legislator, dan partai harus disambung kembali. Ini memerlukan reformasi yang berani pada tiga area fundamental: sistem pemilu, mekanisme recall, dan penegakan etika.

  1. Reformasi Sistem Pemilu dan Partai Politik: Perlu dibuka kembali wacana publik dan kajian akademis yang serius mengenai alternatif sistem pemilu. Sistem proporsional daftar terbuka yang berlaku saat ini terbukti memiliki ekses negatif yang signifikan. Salah satu alternatif yang patut dipertimbangkan adalah sistem Proporsional Campuran (Mixed-Member Proportional - MMP), seperti yang digunakan di Jerman dan Selandia Baru. Sistem MMP menggabungkan pemilihan calon di distrik-distrik (seperti sistem distrik) dengan pemilihan daftar partai (seperti sistem proporsional). Tujuannya adalah untuk mendapatkan yang terbaik dari kedua dunia: akuntabilitas personal legislator kepada daerah pemilihannya yang jelas, sekaligus memastikan keterwakilan partai di parlemen tetap proporsional sesuai perolehan suara nasional. Sistem ini diharapkan dapat mengurangi politik biaya tinggi dan pada saat yang sama memperkuat partai politik sebagai institusi programatik. Sistem ini pada dasarnya mencoba mengambil kebaikan dari dua sistem yang berbeda dan menggabungkannya, layaknya membuat secangkir kopi susu yang ideal: Anda mendapatkan tendangan kafein dari kopi (akuntabilitas personal sistem distrik) sekaligus kelembutan dan rasa dari susu (keterwakilan adil sistem proporsional).

Bagaimana Penjelasannya? Konsep Dua Suara ✌️

Bayangkan saat Anda datang ke bilik suara, Anda tidak hanya diberi satu, tetapi dua surat suara (atau satu surat suara dengan dua kolom pilihan). Masing-masing suara memiliki fungsi yang berbeda:

  1. Suara Pertama (Untuk Calon di Distrik Anda):

    • Fungsi: Memilih orang/individu yang Anda inginkan untuk mewakili daerah pemilihan (distrik) Anda secara langsung. Ini persis seperti sistem distrik murni.

    • Tujuan: Menciptakan ikatan akuntabilitas yang kuat. Warga di Kecamatan A tahu persis siapa anggota DPR yang mewakili mereka, dan legislator tersebut harus bekerja keras untuk warga di sana jika ingin terpilih kembali.

  2. Suara Kedua (Untuk Partai Politik):

    • Fungsi: Memilih partai politik yang ideologi atau programnya paling Anda setujui.

    • Tujuan: Menentukan komposisi keseluruhan parlemen secara adil dan proporsional. Suara ini adalah yang paling penting untuk menentukan berapa total kursi yang akan didapatkan oleh setiap partai di tingkat nasional.

Singkatnya: Suara pertama menentukan SIAPA wakil lokalmu, suara kedua menentukan BERAPA BANYAK kursi yang didapat partaimu secara nasional.

Ilustrasi: Pemilu di Negara Fiktif "Cendekia" 🗳️

Mari kita buat sebuah contoh sederhana untuk melihat bagaimana sistem ini bekerja dalam praktik.

  • Total Kursi di Parlemen Cendekia: 100 kursi

  • Jumlah Distrik Pemilihan: 70 distrik (artinya ada 70 kursi yang diperebutkan secara langsung)

  • Partai Peserta Pemilu: Partai Cerdas (PC), Partai Bijak (PB), dan Partai Inovasi (PI)

Langkah 1: Hasil Pemungutan Suara

Setelah pemilu, didapatkan dua hasil yang berbeda:

Hasil Pemilu

Partai Cerdas (PC)

Partai Bijak (PB)

Partai Inovasi (PI)

Pemenang Kursi Distrik (dari Suara Pertama)

45 kursi

25 kursi

0 kursi

Persentase Suara Partai Nasional (dari Suara Kedua)

40%

40%

20%

Perhatikan: Partai Inovasi (PI) adalah partai baru yang suaranya tersebar di seluruh negeri, sehingga tidak cukup kuat untuk memenangkan satu distrik pun.

Langkah 2: Menghitung Alokasi Kursi Parlemen

Sekarang, KPU Cendekia akan menghitung total kursi akhir berdasarkan hasil suara kedua (suara partai) untuk memastikan parlemen menjadi cerminan proporsional dari keinginan pemilih.

  • Hak Kursi Partai Cerdas (PC): 40% dari 100 kursi = 40 kursi

  • Hak Kursi Partai Bijak (PB): 40% dari 100 kursi = 40 kursi

  • Hak Kursi Partai Inovasi (PI): 20% dari 100 kursi = 20 kursi

Langkah 3: Mengisi Kursi dan Memberikan "Kursi Penyeimbang"

Sekarang kita bandingkan hak kursi setiap partai dengan kursi distrik yang sudah mereka menangkan.

  1. Partai Cerdas (PC):

    1. Hak total: 40 kursi

    2. Sudah menang: 45 kursi distrik

    3. Catatan: Partai ini memenangkan lebih banyak kursi distrik daripada hak proporsionalnya. Ini disebut overhang seats (kursi berlebih) dan biasanya parlemen akan ditambah beberapa kursi sementara agar proporsionalitas tetap terjaga. Namun, untuk contoh ini, kita anggap mereka tetap dengan 45 kursinya.

  2. Partai Bijak (PB):

    1. Hak total: 40 kursi

    2. Sudah menang: 25 kursi distrik

    3. Kekurangan: 40 - 25 = 15 kursi.

    4. Maka, PB mendapat 15 kursi tambahan yang diisi oleh kandidat dari daftar partai mereka.

  3. Partai Inovasi (PI):

    1. Hak total: 20 kursi

    2. Sudah menang: 0 kursi distrik

    3. Kekurangan: 20 - 0 = 20 kursi.

    4. Maka, PI mendapat 20 kursi tambahan dari daftar partainya. Ini memastikan 20% pemilih yang memilih PI tidak sia-sia suaranya.

Hasil Akhir Komposisi Parlemen:

Partai

Kursi dari Distrik

Kursi Tambahan (Daftar Partai)

Total Kursi di Parlemen

% Suara vs % Kursi

Partai Cerdas (PC)

45

0

45 kursi

40% suara vs 42% kursi (sedikit overhang)

Partai Bijak (PB)

25

15

40 kursi

40% suara vs 38% kursi (mendekati)

Partai Inovasi (PI)

0

20

20 kursi

20% suara vs 19% kursi (sangat adil)

Kesimpulan Ilustrasi: Sistem MMP berhasil memberikan dua keuntungan sekaligus:

  1. Akuntabilitas Personal: Ada 70 anggota parlemen (45 dari PC dan 25 dari PB) yang punya tanggung jawab langsung ke pemilih di distriknya.

  2. Keadilan Proporsional: Partai Inovasi, yang akan tersingkir dalam sistem distrik murni, tetap mendapatkan perwakilan yang adil di parlemen sesuai dengan dukungan nasional mereka. Suara pemilihnya tidak terbuang percuma.

Bagaimana Praktek Eksisting di Indonesia?

Meskipun sama-sama bertujuan untuk proporsionalitas, cara kerja dan dampaknya sangat berbeda. Sistem di Indonesia disebut Sistem Proporsional Daftar Terbuka (Open-List Proportional Representation).

Mari kita bandingkan secara langsung agar perbedaannya jelas.

Tabel Perbandingan: Sistem MMP vs. Sistem Indonesia

Fitur Kunci

Sistem Proporsional Campuran (MMP)

Sistem Proporsional Daftar Terbuka (Indonesia)

Jumlah Suara Pemilih

Dua Suara ✌️

Satu Suara ☝️

Fungsi Suara

Suara 1: Pilih orang/calon di distrik.
Suara 2: Pilih partai untuk parlemen nasional.

Satu suara untuk memilih partai ATAU langsung memilih salah satu calon dari daftar partai tersebut.

Jenis Daerah Pemilihan (Dapil)

Campuran:
1. Distrik kecil (1 kursi per distrik).
2. Tingkat Nasional (untuk alokasi total).

Dapil Besar (Multi-Member District):
Satu dapil memilih banyak wakil sekaligus (misalnya, Dapil Jawa Tengah VIII memperebutkan 8 kursi).

Penentuan Caleg Terpilih

1. Pemenang di setiap distrik otomatis lolos.
2. Sisa kursi partai diisi dari daftar urut partai (kursi penyeimbang).

1. Jumlah kursi partai di satu dapil ditentukan oleh total suara partai.
2. Caleg yang lolos adalah mereka yang mendapat suara terbanyak di internal partai tersebut.

Akuntabilitas Personal

Sangat Kuat & Jelas. Sebagian besar anggota DPR punya tanggung jawab langsung ke pemilih di distrik kecilnya.

Tersebar & Kurang Jelas. Satu dapil diwakili banyak orang dari berbagai partai. Sulit menunjuk siapa satu orang yang paling bertanggung jawab.

Apa Akibat dari Perbedaan Ini?

Perbedaan cara kerja tersebut menimbulkan konsekuensi yang sangat berbeda dalam praktik politik di Indonesia:

  1. Tidak Ada Ikatan Personal yang Kuat: Di sistem Indonesia, karena satu dapil bisa memiliki 8 atau 10 wakil dari berbagai partai, rasa tanggung jawab personal menjadi tersebar. Jika ada masalah di dapil Anda, kepada siapa dari 8 wakil tersebut Anda akan mengadu? Ini berbeda dengan MMP di mana ada satu wakil yang jelas untuk satu distrik.

  2. "Perang Internal" dan Politik Biaya Tinggi: Karena penentuan caleg terpilih di Indonesia berdasarkan suara terbanyak di internal partai, maka para caleg dari partai yang sama harus saling bersaing untuk merebut suara. Ini mendorong terjadinya "kanibalisme" politik dan memaksa setiap caleg untuk membangun tim sukses dan logistik sendiri yang sangat mahal, yang menjadi salah satu akar dari politik biaya tinggi.

  3. Fokus pada Popularitas Individu, Bukan Program Partai: Persaingan internal ini membuat popularitas personal (seringkali karena uang, ketenaran, atau kekerabatan) menjadi lebih penting daripada kualitas programatik partai. Partai hanya menjadi "kendaraan", sementara mesin politik sebenarnya dijalankan oleh masing-masing caleg.

  4. Tidak Ada "Kursi Penyeimbang" Nasional: Di Indonesia, semua kursi dihitung dan dialokasikan di tingkat dapil. Tidak ada mekanisme koreksi di tingkat nasional seperti pada sistem MMP. Akibatnya, bisa saja persentase suara nasional sebuah partai tidak persis sama dengan persentase kursi yang didapatkannya di DPR.

Secara singkat, sistem Indonesia saat ini memang memungkinkan pemilih untuk memilih langsung orangnya (aspek "daftar terbuka"), namun menciptakan masalah baru terkait akuntabilitas yang tersebar dan politik biaya tinggi. Sistem MMP dirancang untuk menjawab masalah ini dengan memberikan dua hal sekaligus: wakil yang bertanggung jawab secara personal di distriknya dan komposisi parlemen yang adil secara nasional.

  1. Reformasi Mekanisme Recall: Dominasi partai politik dalam mekanisme PAW harus dikurangi untuk mengembalikan akuntabilitas legislator kepada pemilih. Sebuah gagasan transformatif adalah memperkenalkan mekanisme Constituent Recall. Dalam model ini, pemberhentian seorang legislator tidak lagi menjadi monopoli partai politik. Sebaliknya, jika sejumlah tertentu pemilih (misalnya, persentase dari total pemilih di daerah pemilihan tersebut) berhasil mengumpulkan petisi yang valid, maka hal itu dapat memicu sebuah proses evaluasi atau bahkan pemungutan suara khusus untuk menentukan nasib legislator tersebut. Reformasi ini akan secara fundamental menggeser loyalitas utama anggota DPR dari elite partai kepada konstituen yang mereka wakili.

  2. Penguatan Independensi MKD: Untuk memulihkan kepercayaan publik, Mahkamah Kehormatan Dewan harus direformasi agar lebih independen dan tidak rentan terhadap konflik kepentingan. Salah satu langkah kuncinya adalah mengubah komposisi keanggotaannya. Majelis kehormatan tidak seharusnya hanya terdiri dari sesama politisi. Perlu dilibatkan anggota eksternal non-partisan yang memiliki rekam jejak integritas dan keahlian yang tak diragukan di bidang hukum dan etika publik, seperti mantan hakim agung, akademisi senior, atau tokoh masyarakat yang dihormati. Kehadiran unsur eksternal ini akan meningkatkan objektivitas dalam pengambilan keputusan dan memperkuat legitimasi putusan MKD di mata publik.

Kesimpulan

Analisis komprehensif dalam laporan ini membawa pada satu kesimpulan hukum yang tegas dan tidak dapat ditawar: dalam kerangka konstitusional yang berlaku saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tidak dapat dibubarkan. Pasal 7C UUD 1945, yang lahir dari rahim reformasi dan trauma sejarah, berdiri sebagai benteng kokoh yang melarang Presiden untuk membekukan atau membubarkan lembaga legislatif. Larangan ini adalah konsekuensi logis dari pilihan Indonesia untuk menganut sistem pemerintahan presidensial yang didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan dan legitimasi ganda. Oleh karena itu, seruan untuk "membubarkan DPR" sebagai solusi atas kinerjanya yang buruk adalah sebuah jalan buntu yang tidak memiliki landasan konstitusional.

Krisis kepercayaan publik yang mendalam terhadap DPR bukanlah disebabkan oleh keberadaan lembaga itu sendiri, melainkan oleh kinerjanya yang secara sistemik gagal memenuhi harapan publik. Diagnosis yang telah dilakukan menunjukkan adanya defisit yang parah pada tiga fungsi inti: fungsi legislasi yang terhambat oleh rendahnya kuantitas dan kualitas; fungsi pengawasan yang tumpul karena instrumen yang tidak bergigi; dan fungsi representasi yang dirusak oleh "Segitiga Disfungsi Akuntabilitas" yang memutus rantai pertanggungjawaban antara pemilih, legislator, dan partai.

Dengan demikian, jalan ke depan bukanlah melalui pembubaran yang inkonstitusional, melainkan melalui reformasi kelembagaan yang fundamental, terstruktur, dan komprehensif. Laporan ini telah menyajikan sebuah cetak biru reformasi yang bertumpu pada tiga pilar utama:

  1. Pengawasan yang Kuat: Memberikan "gigi" pada parlemen dengan memperkuat instrumen yang ada seperti Hak Angket dan, yang lebih penting, membangun kapasitas kelembagaan melalui pembentukan lembaga pendukung independen yang setara dengan GAO dan CRS di Amerika Serikat.

  2. Legislasi yang Berkualitas: Mengubah proses legislasi menjadi lebih deliberatif, transparan, dan berbasis bukti dengan mengadopsi praktik terbaik internasional seperti dengar pendapat publik yang bermakna dan evaluasi undang-undang pasca-pemberlakuan.

  3. Akuntabilitas yang Nyata: Merestrukturisasi mekanisme akuntabilitas dengan mereformasi sistem pemilu untuk menyeimbangkan akuntabilitas personal dan penguatan partai, mentransformasi mekanisme recall dari kontrol elite partai menjadi kontrol konstituen, dan memperkuat independensi badan etik internal.

Membangun DPR yang efektif, akuntabel, dan dipercaya oleh rakyat adalah sebuah proyek demokrasi jangka panjang. Ini bukanlah tugas yang mudah dan akan menghadapi resistensi politik yang kuat. Namun, ini adalah sebuah keharusan. Proyek ini menuntut adanya kemauan politik (political will) yang luar biasa dari para legislator dan pimpinan partai politik itu sendiri, serta tekanan yang cerdas dan konsisten dari masyarakat sipil, akademisi, dan media. Reformasi ini bukanlah sekadar pilihan, melainkan prasyarat esensial untuk menjaga kesehatan dan keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Daftar Pustaka

  1. Siapa yang Bisa Membubarkan DPR? Inilah Penjelasannya Menurut Undang-undang, diakses  https://kumparan.com/ragam-info/siapa-yang-bisa-membubarkan-dpr-inilah-penjelasannya-menurut-undang-undang-25jU8HBCb1j

  2. Presiden RI Pernah Bubarkan DPR Gara-Gara Tak Capai Kesepakatan - CNBC Indonesia, diakses  https://www.cnbcindonesia.com/news/20250829092650-4-662422/presiden-ri-pernah-bubarkan-dpr-gara-gara-tak-capai-kesepakatan

  3. PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 - Peraturan BPK, diakses Agustus 30, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/92286/UUD45_perubahan3.pdf

  4. BAB III PRESIDEN TIDAK DAPAT MEMBEKUKAN DPR DAN HUBUNGAN PRESIDEN DAN DPR DALAM SISTEM PRESIDENSIIL BERDASARKAN UUD NRI 1945 A - https ://dspace.uii.ac.id., diakses  https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1401/05.3%20bab%203.pdf

  5. UUD 45, UU MK, UU MK perubahan baru.pdf, diakses Agustus 30, 2025, https://www.mkri.id/public/content/infoumum/regulation/pdf/UUD%2045,%20UU%20MK,%20UU%20MK%20perubahan%20baru.pdf

  6. KEKUASAAN MEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 - DPR RI, diakses  https://vs-dprexternal3.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/251/192?csrt=8447698721992246646

  7. Kedudukan Presiden dalam Sistem Presidensial Indonesia Benarkah Tidak Bisa Membubarkan DPR - Alchemist International Group, diakses  https://alchemistgroup.co/kedudukan-presiden-dalam-sistem-presidensial-indonesia-benarkah-tidak-bisa-membubarkan-dpr/

  8. Apakah Presiden Bisa Membubarkan DPR? Simak Kedudukannya - Jurnalzone.id, diakses  https://www.jurnalzone.id/apakah-presiden-bisa-membubarkan-dpr-simak-kedudukannya/

  9. Problematik dan Penguatan Sistem Presidensial Lili Romli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI Staf Pengajar Departemen I, diakses  https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/communitarian/article/download/70/46

  10. PENERAPAN SISTEM PRESIDENSIL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945, diakses  https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16226/10772

  11. PENERAPAN SISTEM PRESIDENSIL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 - Neliti, diakses  https://media.neliti.com/media/publications/40537-ID-penerapan-sistem-presidensil-di-indonesia-pasca-amandemen-uud-1945.pdf

  12. Cerita Dibalik Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Beserta Isinya - Kelas Pintar, diakses Agustus 30, 2025, https://www.kelaspintar.id/blog/inspirasi/dekrit-presiden-5-juli-1959-1022

  13. Sejarah Dekrit 5 Juli 1959 - SMAN 13 Semarang Progresif, diakses Agustus 30, 2025, https://sma13smg.sch.id/materi/sejarah-dekrit-5-juli-1959/

  14. Konstituante Republik Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Agustus 30, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Konstituante_Republik_Indonesia

  15. ANALISIS KONSTITUSIONALITAS DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 MENURUT HUKUM TATA NEGARA INDONESIA, diakses Agustus 30, 2025, https://online-journal.unja.ac.id/Limbago/article/download/15358/12992/48165

  16. (PDF) DIBUBARKANNYA KONSTITUANTE OLEH SOEKARNO TAHUN 1959, diakses Agustus 30, 2025, https://www.researchgate.net/publication/375757631_DIBUBARKANNYA_KONSTITUANTE_OLEH_SOEKARNO_TAHUN_1959

  17. Dekret Presiden 5 Juli 1959: Sejarah dan Dampaknya – Gramedia Literasi, diakses Agustus 30, 2025, https://www.gramedia.com/literasi/dekret-presiden-5-juli-1959/

  18. Mosi tidak percaya di Britania Raya - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses  https://id.wikipedia.org/wiki/Mosi_tidak_percaya_di_Britania_Raya

  19. MOSI TIDAK PERCAYA - ANNAS Indonesia, diakses  https://www.annasindonesia.com/read/2226-mosi-tidak-percaya

  20. PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN - Universitas Sam Ratulangi, diakses  https://repo.unsrat.ac.id/4569/1/Buku%20Perbandingan%20Sistem%20Pemerintahan-1.pdf

  21. Mosi Tidak Percaya Bermula di Inggris & Pernah diterapkan Indonesia - Tirto.id, diakses  https://tirto.id/mosi-tidak-percaya-bermula-di-inggris-pernah-diterapkan-indonesia-f5PY

  22. Pembubaran Parlemen (DPR) : Tinjauan Hukum, Mekanisme, dan Dampak Politik di Berbagai Negara - Ade Parlaungan Nasution, diakses  https://adenasution.com/pembubaran-parlemen-dpr-tinjauan-hukum-mekanisme-dan-dampak-politik-di-berbagai-negara/

  23. Pemerintah Federal Amerika Serikat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses  https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Federal_Amerika_Serikat

  24. Congressional Subpoenas: Enforcing Executive Branch Compliance - Congress.gov, diakses Agustus 30, 2025, https://www.congress.gov/crs-product/R45653

  25. Kongres Amerika Serikat | PDF - Scribd, diakses  https://id.scribd.com/doc/303895781/Kongres-Amerika-Serikat

  26. The Power to Investigate – Table of Authorities of House & Senate 119th Congress, diakses Agustus 30, 2025, https://www.gibsondunn.com/power-to-investigate-table-of-authorities-of-house-senate-119th-congress/

  27. How do congressional subpoenas work? | PBS News, diakses Agustus 30, 2025, https://www.pbs.org/newshour/politics/how-do-congressional-subpoenas-work

  28. GAO and Inspector General Recommendations to Agencies: An Introduction - Congress.gov, diakses Agustus 30, 2025, https://www.congress.gov/crs-product/IF11807

  29. How Does GAO Serve Congress?, diakses Agustus 30, 2025, https://www.gao.gov/blog/how-does-gao-serve-congress

  30. U.S. Government Accountability Office (U.S. GAO), diakses Agustus 30, 2025, https://www.gao.gov/

  31. Congressional Research Service (CRS) | USAGov, diakses Agustus 30, 2025, https://www.usa.gov/agencies/congressional-research-service

  32. Congressional Research Service - Wikipedia, diakses Agustus 30, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Congressional_Research_Service

  33. Congressional Research Service [CRS] Reports, diakses Agustus 30, 2025, https://sgp.fas.org/crs/

  34. Bundestag - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Agustus 30, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Bundestag

  35. Berlin, diakses Agustus 30, 2025, https://kemlu.go.id/berlin/kebijakan/hubungan-bilateral-/jerman?type=publication

  36. The various steps in the procedure - Bundesrat, diakses Agustus 30, 2025, https://www.bundesrat.de/EN/funktionen-en/gesetzgebung-en/verfahren-en/verfahren-en-node.html

  37. laporan recharging program - Mahkamah Konstitusi, diakses Agustus 30, 2025, https://s.mkri.id/microsite/documents/lkewbk_1685335030_81afa9eb5a75395bf56b.pdf

  38. pertanggungjawaban kepala pemerintahan dalam preferensi sistem pemerintahan di beberapa negara - MPR RI, diakses Agustus 30, 2025, https://mpr.go.id/img/jurnal/file/250322_2017%20_%20Pertanggungjawaban%20Kepala%20Pemerintahan%20dalam%20Preferensi%20Sistem%20Pemerintahan%20di%20Beberapa%20Negara.pdf

  39. BAB II SISTEM POLITIK JERMAN DAN PEMBENTUKAN PARTAI AfD (Alternative für Deutschland) Partai Alternative für Deutschland (AfD) - UMY Repository, diakses Agustus 30, 2025, http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/29741/6.%20BAB%20II.pdf?sequence=6

  40. Tak Hanya Legislasi, Fungsi Pengawasan DPR Juga Dianggap Buruk - KOMPAS.com, diakses  https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/20422901/tak-hanya-legislasi-fungsi-pengawasan-dpr-juga-dianggap-buruk

  41. EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HAK ANGKET ... - UMY Repository, diakses Agustus 30, 2025, https://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/19913/Naskah%20Publikasi.pdf?sequence=12&isAllowed=y

  42. Kongres Amerika Serikat (revised edition) | PPTX - SlideShare, diakses  https://www.slideshare.net/slideshow/kongres-organisasi-dan-kekuasaan/18029504

  43. HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 Ol - E-Journal UNSRAT, diakses Agustus 30, 2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/download/42807/37728/93877

  44. analisis hak recall partai politik terhadap anggota dewan perwakilan rakyat, diakses Agustus 30, 2025, https://ejournal.up45.ac.id/index.php/JHCJ/article/download/2192/1299/8097

  45. Laporan Evaluasi Kinerja DPR Periode 2019-2024 - Indonesian ..., diakses Agustus 30, 2025, https://ipc.or.id/laporan-evaluasi-kinerja-dpr-periode-2019-2024/

  46. Formappi Kinerja DPR Memburuk Jelang Pemilu - Media Indonesia, diakses Agustus 30, 2025, https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/625714/formappi-kinerja-dpr-memburuk-jelang-pemilu

  47. Dihubungi terpisah, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad enggan menanggapi penilaian masyarakat terhadap kinerja DPR di tengah masa kampanye Pemilu 2024. - Perpustakaan DPR RI, diakses Agustus 30, 2025, https://perpustakaan.dpr.go.id/epaper/index/popup/id/18711

  48. PERS RILIS “DPR RI Tidak Efektif dalam Mewakili Rakyat”, diakses  https://ipc.or.id/pers-rilis-dpr-ri-tidak-efektif-dalam-mewakili-rakyat/

  49. DPR Ogah Diawasi, MK Dianggap Tukang Koreksi, Pakar Sebut Ini Gejala Otoritarianisme Legislasi - NU Online, diakses  https://nu.or.id/nasional/dpr-ogah-diawasi-mk-dianggap-tukang-koreksi-pakar-sebut-ini-gejala-otoritarianisme-legislasi-BrHoT

  50. Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Lemahnya Fungsi Legislasi dan Pengawasan DPR, diakses  https://www.voaindonesia.com/a/koalisi-masyarakat-sipil-kritik-lemahnya-fungsi-legislasi-dan-pengawasan-dpr/6806353.html

  51. 23 FUNGSI HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT UNTUK MELAKUKAN PENYELIDIKAN TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG Siti Sumartini, - Yustitia, diakses Agustus 30, 2025, https://yustitia.unwir.ac.id/index.php/yustitia/article/download/97/82/168

  52. BENANG KUSUT PELINDO II - DPR RI, diakses Agustus 30, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pemberitaan/majalah-parlementaria/m-129-2015.pdf

  53. KERUGIAN NEGARA DIBALIK PERPANJANGAN KERJA SAMA - BPK RI, diakses Agustus 30, 2025, https://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/_edisi_07___vol__vii_juli_2017_1519095868.pdf

  54. BPK Serahkan Hasil Pemeriksaan Investigatif PT Pelindo II kepada DPR, diakses Agustus 30, 2025, https://www.bpk.go.id/news/bpk-serahkan-hasil-pemeriksaan-investigatif-pt-pelindo-ii-kepada-dpr

  55. Terima Banyak Temuan Baru soal Pelindo II, KPK: Kami Bentuk Tim Gabungan | KBR.ID, diakses Agustus 30, 2025, https://kbr.id/articles/indeks/terima_banyak_temuan_baru_soal_pelindo_ii__kpk__kami_bentuk_tim_gabungan

  56. Hak Angket DPR RI Terhadap KPK: Sudahkah Tepat? - STH Indonesia Jentera, diakses Agustus 30, 2025, https://www.jentera.ac.id/kabar/hak-angket-dpr-ri-terhadap-kpk-sudahkah-tepat

  57. Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Sebagai ..., diakses Agustus 30, 2025, http://repo.jayabaya.ac.id/8/1/Jurnal%20Legalitas%20Kristiawanto.pdf

  58. Hak Angket DPR, KPK dan Pemberantasan Korupsi - Integritas: Jurnal Antikorupsi, diakses Agustus 30, 2025, https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/294

  59. 2023 Kom isi II - DPR RI, diakses Agustus 30, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pa3kn/analisis-tematik-akuntabilitas/public-file/analisis-ringkas-cepat-public-108.pdf

  60. Kesinambungan Sistem Proporsional Terbuka Sebagai Sistem Pemilihan Legislatif di Indonesia - E-Journal UNDIP, diakses Agustus 30, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/56095/27075

  61. SISTEM PEMILU PROPORSIONAL DAFTAR TERBUKA DI INDONESIA: MELAHIRKAN KORUPSI POLITIK? Diah Ayu Pratiwi, diakses Agustus 30, 2025, https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaltriaspolitika/article/download/1235/959

  62. ANALISIS YURIDIS PERBANDINGAN SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP DAN PROPORSIONAL TERBUKA DALAM PEMILU LEGISLATIF - EJournal Fakultas Hukum UKI, diakses Agustus 30, 2025, https://ejournal.fhuki.id/index.php/tora/article/download/529/269/1933

  63. PENGARUH PENGGUNAAN SISTEM PEMILIHAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PROPORSIONAL DAFTAR TERBUKA - Artikel Hukum, diakses Agustus 30, 2025, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/59/53

  64. PERBANDINGAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA DAN SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP DALAM SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA, diakses Agustus 30, 2025, https://bureaucracy.gapenas-publisher.org/index.php/home/article/download/380/402/465

  65. perbandingan antara sistem pemilihan umum proporsional, diakses Agustus 30, 2025, https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/setara/article/download/509/322

  66. Evaluasi sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia dan dampaknya terhadap fragmentasi partai di Pemilu 2024 An evaluation - Journal of Universitas Airlangga, diakses Agustus 30, 2025, https://e-journal.unair.ac.id/POLINDO/article/download/71891/33139/414199

  67. Constituent Recall bagi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI - Journal UII, diakses Agustus 30, 2025, https://journal.uii.ac.id/psha/article/download/32500/16351/107551

  68. HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DPR DAN DPRD PERSPEKTIF DEMOKRASI PANCASILA - UIN Salatiga Repository, diakses Agustus 30, 2025, http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/11957/

  69. KAJIAN YURIDIS TENTANG HAK RECALL PARTAI POLITIK DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh : Nike K. Rumokoy* ABSTRACT This stu, diakses Agustus 30, 2025, https://repo.unsrat.ac.id/49/1/Hal_1_-_7_Nike_K._Rumokoy.pdf

  70. RECALL ELECTION MELALUI PERADILAN SEBAGAI MEKANISME DEMOKRATISASI PASCA PEMILU, diakses Agustus 30, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/v3/MH/article/download/5256/3777

  71. RECALL ELECTION: MEKANISME DEMOKRATISASI PASCA PEMILU, diakses Agustus 30, 2025, https://mhn.bphn.go.id/index.php/MHN/article/view/208

  72. Recall | Arizona Secretary of State, diakses Agustus 30, 2025, https://azsos.gov/elections/ballot-measures/initiative-referendum-recall/recall

  73. Recall Petition Process - Alaska Division of Elections, diakses Agustus 30, 2025, https://www.elections.alaska.gov/petitions-and-ballot-measures/recalls/

  74. PERAN MKD DALAM PENEGAKAN ETIKA KELEMBAGAAN DPR Oleh, diakses Agustus 30, 2025, https://berkas.dpr.go.id/akd/dokumen/MKD-53-ae33612c0cc5bf41bd3c051273dc28d8.pdf

  75. Analisis Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Menjaga Harkat Dan Martabat Dewan Perwakilan Rakyat - Constitution Journal, diakses Agustus 30, 2025, https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/download/79/34/367

  76. MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN (MKD) DAN PENEGAKAN KODE ETIK DPR RI (DPR HONORARY COUNCIL AND THE ENFORCEMENT OF THE CODE OF ETHICS) | Syarifuddin | Kajian - Jurnal DPR RI, diakses Agustus 30, 2025, https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/1494

  77. KEDUDUKAN DAN FUNGSI MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KELEMBAGAAN LEGISLATIF - Repository | Universitas Hasanuddin, diakses Agustus 30, 2025, http://repository.unhas.ac.id/3570/2/B012181067_tesis%20I%20%26%20II.pdf

  78. Studi Kasus Penegakan Hukum MKD-RI Terhadap Pelanggaran Anggota DPR-RI - Journal UPY, diakses Agustus 30, 2025, https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/download/1948/3976/20611

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...