Langsung ke konten utama

Dua Materialisme: Mekanis dan Dialektis Menurut Tan Malaka

Tan Malaka, dalam pandangannya, mengidentifikasi dua jenis utama materialisme: materialisme mekanis dan materialisme dialektis. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada cara mereka memandang interaksi antara manusia dan lingkungannya, serta konsep gerak dan perubahan dalam materi.

Berikut adalah penjelasan rinci mengenai kedua jenis materialisme tersebut:

1. Materialisme MekanisMaterialisme mekanis adalah aliran pemikiran yang berpendapat bahwa manusia dan jiwanya (pikiran, perasaan, dan keinginan) bersifat pasif di hadapan alam semesta dan hukum-hukumnya. Penganut materialisme mekanis memandang manusia sebagai mesin pasif yang hanya menerima nasib dari kekuatan eksternal, seolah-olah individu tidak memiliki kekuatan untuk mengubah lingkungannya atau kondisi di sekitarnya.

• Asal-usul dan Tokoh: Aliran materialisme ini berkembang di Prancis, dengan tokoh-tokoh seperti Diderot dan Lamartine. Mereka mendasarkan pandangan mereka pada matematika dan fisika yang berkembang pesat pada masanya, menyangkal kemahakuasaan spiritualitas dan mengakui kemahakuasaan materi dalam gerak.

• Keterbatasan: Tan Malaka mengkritik pandangan ini karena mengabaikan kekuatan manusia untuk bertindak dan mengubah lingkungan. Pandangan ini dianggap keliru jika materialis dianggap fatalis yang hanya pasif menerima kekuatan alam dan hanya memikirkan kesenangan hidup. Sebaliknya, hasil realisasi keinginan manusia dibatasi oleh kondisi eksternal dan internal masyarakat (pengetahuan, teknik, produksi, fitur sosial, politik, budaya, sejarah). Bahkan, Hegel (sebagai idealis) dan Marx (sebagai materialis) sama-sama mengakui bahwa "semangat" dapat menjadi kekuatan pendorong sejarah atau kekuatan yang ditentukan arahnya oleh kondisi ekonomi.

2. Materialisme DialektisMaterialisme dialektis, yang dikembangkan oleh Marx dan Engels, juga berbasis pada materi sebagai yang primer dan fundamental, asal-usul alam semesta. Namun, berbeda dengan materialisme mekanis, materialisme dialektis mendekati materi dan penciptaan alam semesta dalam kondisi kontradiksi dan gerak, yaitu dalam kondisi muncul, tumbuh, dan runtuh.

• Interaksi Manusia dan Lingkungan: Bagi Marx, Engels, dan para pengikutnya, dalam batasan kondisi masyarakat, manusia dan jiwanya tidak pasif seperti mesin. Sebaliknya, ada interaksi atau "wissel werking" (interaksi timbal balik) antara manusia dan lingkungannya.

  ◦ Lingkungan geografis memengaruhi manusia melalui kemajuan ekonomi, yang didasarkan pada kekuatan produksi tertentu (energi manusia, alat, dan mesin) yang karakteristiknya ditentukan oleh bumi.

   ◦ Kekuatan produksi (seperti uap, listrik, dan tenaga atom) meningkatkan kekuatan manusia atas dunia di sekitarnya.

   ◦ Kondisi ini menciptakan hubungan baru antara manusia dan lingkungannya.

   ◦ Manusia, saat bertindak terhadap lingkungannya, mengubah lingkungan tersebut dan, dalam prosesnya, mengubah diri mereka sendiri (jiwa mereka).

• Tujuan Revolusioner: Materialisme dialektis bukan hanya teori tentang alam, tetapi juga alat pemikiran bagi proletariat revolusioner di seluruh dunia. Marx menekankan bahwa "Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, hal yang penting adalah mengubah dunia". Ini membantah pandangan fatalistik tentang materialisme dan menegaskan peran aktif manusia dalam mengubah realitas.

• Hubungan dengan Sosialisme Ilmiah dan Materialisme Historis: Dengan ditemukannya penyebab atau kondisi kemajuan sosial (perubahan mode produksi), sosialisme utopis berubah menjadi "sosialisme ilmiah". Ilmu sejarah yang didasarkan pada realitas material disebut "materialisme historis" (konsepsi materialis tentang sejarah), dan filosofi yang terkait dengan materi dalam gerak dikenal sebagai "materialisme dialektis".

• Penerapan oleh Bolshevik: Di tangan kaum Bolshevik, cara berpikir materialisme dialektis mampu membentuk partai massa yang menghancurkan Rusia feodal-borjuis dan mendirikan kediktatoran massa Rusia.

Perbedaan Kunci antara Materialisme Mekanis dan Materialisme Dialektis:

1. Sikap Manusia terhadap Lingkungan: Materialisme mekanis memandang manusia sebagai penerima pasif nasib dari luar, tanpa kemampuan untuk mengubah lingkungan. Sebaliknya, materialisme dialektis melihat adanya interaksi dinamis antara manusia dan lingkungannya, di mana manusia mampu mengubah lingkungan dan dirinya sendiri melalui tindakan.

2. Konsep Gerak dan Perubahan: Materialisme mekanis cenderung melihat materi dalam kondisi statis atau hanya gerak linier, sedangkan materialisme dialektis menekankan bahwa materi selalu dalam kondisi kontradiksi, gerak, perubahan, muncul, dan runtuh (tesis, antitesis, sintesis). Konsep "kuantitas berubah menjadi kualitas" (quantity into quality) adalah inti dari dialektika, yang tidak dapat dijelaskan oleh logika formal atau pengukuran statistik saja.

3. Tujuan Filosofis: Materialisme mekanis lebih berfokus pada penjelasan tentang bagaimana alam semesta bekerja secara mekanis. Materialisme dialektis, di sisi lain, tidak hanya menjelaskan dunia tetapi juga menyediakan kerangka kerja untuk mengubahnya, menjadikannya senjata revolusioner.

Secara keseluruhan, Tan Malaka menyoroti bahwa materialisme dialektis memberikan pemahaman yang lebih kaya dan dinamis tentang realitas dibandingkan dengan materialisme mekanis, karena mengintegrasikan konsep gerak, kontradiksi, dan peran aktif manusia dalam pembentukan sejarah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...