Langsung ke konten utama

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir

Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog, bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut.

Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula

Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu memahami "iklim" atau atmosfer yang melingkupinya. Tan Malaka menulisnya sebagai seorang pelarian, seorang paria politik yang telah menghabiskan lebih dari dua puluh tahun di luar tanah air. Ia menggambarkan kepulangannya dengan sebuah kontras yang tajam dan pahit. Sementara pemimpin nasionalis lain seperti Soekarno kembali ke panggung politik dengan fasilitas kapal motor Jepang , Tan Malaka justru tiba setelah terombang-ambing di atas perahu layar tua dan bocor yang bernama "Sri Renyet".

Perbedaan ini bukan sekadar soal transportasi, melainkan soal posisi politik. Ketika para pemimpin lain mulai "bekerja bersama-sama dengan Dai Nippon" untuk mencapai "Indonesia Raya dalam lingkungan Asia Raya", Tan Malaka mengamati dari kejauhan dengan skeptisisme seorang revolusioner independen. Tan Malaka melihat mereka telah mulai menjalankan cita-citanya, "ialah di bawah ujung pedang Samurai".

Kondisi inilah yang membentuk perspektifnya. Dirinya adalah seorang orang dalam sekaligus orang luar; berada "di tengah-tengah Rakyat dan kaum yang sebentuk badan dan mukanya dengan saya", namun pada saat yang sama, seorang Tan Malaka adalah seorang buronan yang terpaksa hidup dalam penyamaran dan hidup dalam sebuah ironi yang pedih:

"Saya berada di tengah-tengah rakyat Jelata Indonesia, dekat keluarga dan para sahabat. Tetapi keadaan dan paham saya memaksa saya tinggal sendiri di tengah-tengah masyarakat yang sering menyebut-nyebut nama, tetapi tak mengenal rupa saya."

Dari posisi terpencil inilah, dirinya merasa perlu melahirkan sebuah karya yang paling cocok dengan "keadaan diri dan luar diri saya".

Mengapa Madilog Harus Lahir Terlebih Dahulu

Di dalam benaknya, ada tiga buku yang telah lama dikandungnya, yaitu sebuah buku tentang cara berpikir kaum proletar (yang kemudian menjadi Madilog), sebuah buku tentang federasi geopolitik di Asia-Australia, dan memoar pengalamannya. Dalam keadaan normal, ketiganya bisa ditulis bersamaan. Namun, dalam urgensi zaman perang, pikiran idealisnya harus memilih satu yang paling fundamental.

Pilihannya jatuh pada Madilog. Mengapa? Karena Tan Malaka mendiagnosis masalah paling mendasar yang menjangkiti bangsanya, terutama kaum pekerja, bukanlah kekurangan semangat, melainkan kekeliruan dalam cara berpikir. Tan Malaka lekas melihat realitas bahwa kaum proletar Indonesia:

"...didikannya masih sangat tipis dan tiada cocok dengan keperluan dan kewajiban klasnya di hari depan. Mereka kekurangan pandangan dunia (Weltanschauung). Kekurangan Filsafat. Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahyul campur aduk."

Menurutnya, percuma saja menyodorkan buku-buku Marxisme dari Barat, karena "otak proletar mesin Indonesia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat" yang berbeda. Yang dibutuhkan adalah sebuah alat baru, sebuah "jembatan kepada filsafatnya Proletar Barat".

Madilog dirancang untuk menjadi jembatan itu. Sadar bahwa mungkin ada otak yang lebih terlatih atau pena yang lebih tajam darinya, dirinya merasa tidak punya pilihan lain. Karena tak ada yang melakukannya, maka "terpaksalah saya mempelopori".

Otoritas Seorang Intelektual Tanpa Buku

Sebagai seorang pemikir, apalagi yang sedang menulis karya monumental, tentu membutuhkan perpustakaan. Tan Malaka sangat menyadari hal ini. Ia menyebut bahwa catatan yang akurat adalah senjata yang "bisa menaklukan musuh secepat kilat". Namun, bagian "Perpustakaan" dalam pendahuluan ini justru merupakan sebuah narasi tragis tentang perpustakaan yang selalu hilang.

Tuan Tan Malaka menceritakan dengan detail bagaimana koleksi bukunya lenyap berulang kali. Satu peti ditinggalkan di Belanda untuk menghindari pemeriksaan saat menuju Moskow. Buku-buku yang dikumpulkan di Tiongkok habis dijarah saat perang meletus di Shanghai, koleksi lainnya terpaksa dilepaskan saat ia melarikan diri dari penangkapan di Hong Kong. Bahkan buku-buku catatan yang paling berharga harus ia "lemparkan ke laut dekat Merqui" untuk menghindari penyitaan. Puncaknya, buku Das Kapital karya Marx, pinjaman dari Raffles Library, terpaksa ia sembunyikan "di dalam tebat (empang)" di Singapura saat Jepang masuk.

Kisah ini bukanlah sekadar keluhan, melainkan sebuah pernyataan otoritas yang unik. Tan Malaka menegaskan bahwa sumber pengetahuannya bukanlah rak-rak buku yang bisa disita, melainkan sesuatu yang telah terinternalisasi. Ia menjelaskan metodenya yang disebut "jembatan keledai" (ezelbruggece), sebuah sistem mnemonik atau singkatan untuk menyimpan kerangka pengetahuan yang kompleks di dalam otaknya. Katanya lugas memberikan contoh:

"Buat menjawab pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya pakai jembatan keledai saya: 'AFIAGUMMI'."

Akronim ini, jelasnya, adalah singkatan dari Armament, Finance, dan seterusnya—sebuah kerangka analisis geopolitik lengkap yang tersimpan dalam satu kata. Dengan ini, ia membangun kredibilitasnya bukan sebagai seorang kutu buku, melainkan sebagai seorang pemikir-pejuang yang ilmunya telah teruji oleh pelarian dan pertempuran, sebuah pustaka yang hidup di dalam dirinya sendiri.

Bedah MADILOG sebagai Kerangka untuk Memahami dan Mengubah Dunia

Inilah inti dari pendahuluan, di mana Tan Malaka akhirnya memperkenalkan senjatanya. Nama MADILOG adalah sebuah "jembatan keledai" itu sendiri, sebuah akronim dari tiga pilar cara berpikir yang ia ajukan:

"MADILOG, ialah paduan dari permulaan suku kata :

(MA)-TTER, (DI)-ALECTICA dan (LOG)-ICA"

Tan Malaka menjelaskan hubungan ketiganya sebagai sebuah bangunan yang kokoh:

  • Materialisme (Benda): Ini adalah pondasinya. Titik berangkat dari semua pemikiran yang benar haruslah dunia material, yaitu "barang yang nyata yang bisa diperiksa dengan panca indera". Ia menegaskan, "Dari penjuru matter inilah kita memandang. Inilah buat kita yang jadi lantai, yang menjadi tingkat pertama dalam sesuatu penyelidikan".

  • Logika (Undang Berpikir): Ini adalah alat untuk menganalisis benda-benda dalam keadaan yang relatif stabil dan untuk membangun argumen yang lurus. Ia mengakui bahwa "Kebanyakan persoalan bisa diselesaikan dengan logika, undang berpikir saja", terutama dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat Indonesia yang masih diselimuti mistisisme, Logika adalah "tongkat pertama dalam dunia berpikir".

  • Dialektika (Pertentangan/Pergerakan): Ini adalah alat yang lebih tinggi, yang diperlukan ketika menghadapi persoalan yang kompleks, bergerak, dan penuh pertentangan. Dirinya menyatakan, "...kalau kita tenggelam dalam ombak gelora filsafat, ke dalam persoalan yang berhubungan dengan alam, masyarakat politik, yang hilang atau timbul, bergerak dan berhenti... maka kita tiada bisa sampai ke ujung dengan perkakas logika semata-mata. Kita mesti memakai dialektika".

Madilog, dengan demikian, bukanlah sekadar filsafat, melainkan sebuah "cara berpikir" yang sistematis, yang dimulai dari realitas material dan diolah dengan perkakas Logika dan Dialektika.

Panggilan untuk Aksi dari Cara Berpikir Menuju Indonesia Merdeka

Tan Malaka tidak berhenti pada penjelasan teoritis. Ia langsung menghubungkan Madilog dengan proyek politik paling mendesak: kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka mengidentifikasi "tulang belakangnya ekonomi Indonesia" adalah para "Pekerja di dalam tambang minyak, besi, timah, bengkel dan pabrik dan pada pengangkutan". Namun, kelas ini belum menyadari kekuatannya karena cara berpikirnya masih terbelenggu.

Di sinilah Madilog menemukan tujuan praktisnya. Madilog ditulisnya untuk menjadi alat dalam rangka membangkitkan kesadaran kelas pekerja. Tan Malaka menyerukan kepada para pejuang untuk:

"...kupas masyarakat sekarang, dengan cara berpikir yang beralasan benda, bukan roh, yang bertentangan, bukan perdamaian, memakai undang berpikir yang bukan fantastis, bertahyul, sembarangan. Jelaskan pentingnya benda buat kesehatan kecerdasan, kebudayaan, kemerdekaan dan kesenangan. Kupaslah pertentangan upah dan untung, pertentangan proletar dan kapitalis."

Pada akhirnya, ia menyodorkan dengan "blakasutha" kehadapan pembaca pada sebuah pilihan fundamental. Pilihlah cara berpikir yang membebaskan, atau tetap terlelap dalam cara berpikir yang meninabobokan. Kaum pekerja, menurutnya, harus bisa "memilih mana yang baik di antara Madilog atau Logika Mistika". Dengan ini, Tan Malaka menegaskan bahwa karyanya bukanlah sekadar latihan intelektual, melainkan sebuah panggilan untuk aksi revolusioner yang dimulai dari revolusi cara berpikir.

Bab 1: Membedah Logika Mistika

Menurutnya, sebelum membangun sebuah gedung pemikiran yang kokoh, seorang arsitek gagasan harus terlebih dahulu meruntuhkan bangunan tua yang lapuk di atas tanah yang sama. Inilah yang dilakukan Tan Malaka dalam bab pembuka ini. Tidak memulai dengan teori yang rumit, melainkan dengan sebuah cerita purba yang sederhana namun mewakili sebuah cara berpikir yang menurutnya harus dibongkar sampai ke akarnya: Logika Mistika.

Logika Mistika, bagi Tan Malaka, adalah cara berpikir yang meyakini bahwa dunia material (benda, zat) diciptakan dan diatur oleh kekuatan non-material (roh, ide, firman). Ini adalah logika yang bekerja dari alam gaib ke alam nyata, dari ide ke benda. Untuk membedahnya, ia menyajikan sebuah studi kasus yang gamblang.

Mantra Penciptaan: "Ptah!"

Tan Malaka membawa kita ke peradaban Mesir Kuno, kehadapan Dewa Matahari, Maha Dewa Rah. Dengan gaya seorang pencerita, ia melukiskan proses penciptaan alam semesta menurut logika ini:

"Demikianlah Firmannya Maha Dewa Rah:

Ptah : maka timbullah bumi dan langit.

Ptah : maka timbullah bintang dan udara.

Ptah : maka timbullah sungai Nil dan daratan.

Ptah : maka timbullah tanah-subur dan gurun." 

Hanya dengan satu kata sakti, "Ptah!", seluruh realitas tercipta dalam sekejap mata. Inilah inti dari Logika Mistika. Tan Malaka menggarisbawahi tiga karakteristik utamanya:

  1. Rohani adalah Primer: Roh (Dewa Rah) ada lebih dulu sebelum alam semesta. Seperti yang ia simpulkan, "Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua. Zat ini berasal dari Rohani. Bukan sebaliknya, yakni rohani yang berasal dari zat.".

  2. Penciptaan Instan: Proses ini terjadi di luar hukum waktu. "Timbulnya itu adalah pada satu saat saja, sesudah perkataan Ptah tadi difirmankan.".

  3. Kekuasaan Absolut: Sang Pencipta tidak tunduk pada hukum alam apa pun. "Ringkasnya, Maha Dewa Rah itu terkuasa, tidak takluk kepada Zat dan waktu.".

Setelah menyajikan "tesis" dari Logika Mistika ini, Tan Malaka kemudian menghabiskan sisa bab ini untuk membantahnya secara sistematis menggunakan senjata utama dari cara berpikir yang ia tawarkan yakni Ilmu Pasti atau Sains.

Tantangan dari Dunia Nyata: Lima Bantahan Saintifik

Tan Malaka menegaskan bahwa seluruh bangunan ilmu pengetahuan modern berdiri di atas fondasi yang berlawanan dengan Logika Mistika. Dalam sains, "Kodrat itu, terkandung oleh Matter, oleh benda. Dimana ada benda disana baru ada Kodrat.". Berdasarkan prinsip ini, ia melancarkan lima serangan telak terhadap mitos penciptaan "Ptah!".

1. Bantahan dari Evolusi: Proses Jutaan Tahun vs. Sekejap Mata

Logika Mistika mengklaim penciptaan terjadi dalam sekejap. Sains, melalui teori evolusi, menunjukkan sebaliknya. Tan Malaka mengutip karya Charles Darwin dan Immanuel Kant untuk membuktikan bahwa alam semesta dan kehidupan adalah produk dari sebuah proses yang luar biasa panjang.

"Syahdan menurut Darwin, maka tumbuhan-tumbuhan, hewan dan manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan yang lama, beratus, beribu, malah berjuta-juta tahun... Menurut Kant dan para ahli bintang lainnya di zaman sekarang, maka ribuan juta-jutaan bintang dan bumi di langit itu, adalah pertumbuhan yang lama, juta-jutaan tahun pula dari permulaan molten Mass, benda lebur sampai ke bentuk dunia yang sekarang." 

Kontrasnya sangat jelas. Di satu sisi ada firman "PTAH" yang ajaib, di sisi lain ada proses evolusi jutaan tahun yang dapat ditelusuri sebab-akibatnya. Logika Mistika, dengan demikian, "mendapat tantangan hebat dari ILMU PASTI dalam hal pelaksanaan UNDANG PERTUMBUHAN (The Law of Evolution)".

2. Bantahan dari Kekekalan Energi: Dari Mana Datangnya Kodrat?

Menggunakan "The Law of Conservation of Force" atau Hukum Kekekalan Energi dari Joule, Tan Malaka menyerang ide "penciptaan dari ketiadaan". Hukum ini menyatakan bahwa energi di alam semesta tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya dapat berubah bentuk. Ia menggunakan analogi seorang hartawan:

"...seorang hartawan yang umpamanya mempunyai uang yang nilainya R. 1.000.000., tetapi yang R. 500.000. dia belikan rumah, kapal dan sebagainya. Sebagian dari hartanya sudah bertukar rupa, ialah menjelma menjadi rumah, kapal dsb. Tetapi jumlah nilainya tetap R. 1.000.000. juga." 

Jika Dewa Rah menciptakan energi alam semesta, dari mana energi itu berasal? Secara logis, energi itu harus berasal dari dirinya sendiri. Ini berarti, "RAH itu sendiri tak mempunyai kodrat lagi, RAH sendiri sudah bertukar menjadi kodrat Alam, Natural Force, yang berupa panas, cahaya, listrik dll. Yang semuanya terkandung dalam benda di seluruh alam kita.". Dengan demikian, Sang Pencipta tidak lagi berada di luar sistem, tetapi menjadi bagian dari sistem itu sendiri, dan hukum kekekalan tetap berlaku.

3. Bantahan dari Kekekalan Materi, Mustahilnya Zat dari Ketiadaan

Prinsip yang sama berlaku untuk materi. Merujuk pada Hukum Kekekalan Massa, Tan Malaka menyatakan, "Seperti jumlahnya kodrat itu tetap di alam ini, begitu juga jumlah benda (mass).". Zat tidak muncul dari ketiadaan.

"Garam yang terkandung oleh bangkai hewan atau mayat manusia yang hilang, bisa dicari pada tumbuhan yang mengisap garam tadi. Yang hilang ialah garamnya atau airnya kucing atau manusia, yang timbul ialah bambu atau pohon kelapa. Jumlah zat atau benda di alam tetap, seperti dahulu juga.".

Kesimpulannya, alam semesta tidak mungkin muncul dari "firman" kosong, melainkan harus berasal dari "benda-asal" yang sudah ada sebelumnya.

4. Bantahan dari Keteraturan Kimia, Hukum Alam vs. Kehendak Gaib

Tan Malaka kemudian menggunakan Hukum Komposisi Tetap dari Dalton untuk menunjukkan bahwa alam semesta beroperasi berdasarkan keteraturan, bukan kehendak sesaat. Hukum ini menyatakan bahwa unsur-unsur kimia selalu bergabung dalam perbandingan yang tetap dan dapat diprediksi untuk membentuk senyawa.

"Bagaimanapun air itu diperoleh, dalam kamar ilmu pisah (laboratorium) ataupun di udara, sebagai air hujan, air itu tetap satu perpaduan Oxygen dan Hydrogen, atas perbandingan yang tetap pula.".

Keteraturan absolut ini menunjukkan sebuah sistem yang berjalan menurut hukumnya sendiri, bukan alam yang kacau dan bergantung pada intervensi gaib.

5. Bantahan dari Akal Sehat (Common Sense)

Pada akhirnya, Tan Malaka kembali pada pengalaman manusia yang paling mendasar. Ia menantang pembaca untuk menemukan satu saja bukti nyata di mana sebuah kata bisa melahirkan benda.

"Baik dalam kamarnya ahli pisah ataupun di luarnya tak pernah kita menyaksikan satu kata bisa menimbulkan benda... Rohani, kata kosong, menurut pikiran sehat tak bisa menimbulkan benda. Tak ada itu tak bisa menimbulkan ada.".

Ujian Logika Murni

Setelah menghancurkan Logika Mistika dengan bukti-bukti dari ilmu alam, Tan Malaka melancarkan serangan terakhirnya dengan menggunakan logika murni. Dirinya mengabaikan sementara bukti sains dan hanya menguji konsistensi dari gagasan "Dewa yang Mahakuasa" dan kemudian menyederhanakan masalah menjadi sebuah pertanyaan: "siapa yang terkuasa Dewa RAH ataukah ALAM?". Ia menawarkan tiga kemungkinan jawaban, yang ia sebut dengan "menghitung dengan memakai jari".

  1. Skenario Pertama: Dewa Lebih Kuasa dari Alam.
    Jika ini benar, maka Dewa seharusnya bisa sesekali melanggar atau menghentikan hukum alam untuk menunjukkan kekuasaannya. Namun, kenyataannya, "selama Ilmu Pasti lahir dan ahli-ilmu-pasti memperhatikan jalannya Bumi dan Bintang ini, belumlah satu saat juga undang gerakan bintang itu dapat perkosaan.". Hukum alam berjalan dengan kepastian mutlak. Kesimpulannya adalah skenario ini tidak terbukti.

  2. Skenario Kedua: Dewa Sama Kuasa dengan Alam.
    Jika keduanya setara, untuk apa menyembah Dewa yang gaib dan tak diketahui? Tan Malaka berargumen, "Jadi lebih baik sembah junjung dan puja alam saja, barang yang nyata itu.". Jika Dewa dan Alam sama kuat, mereka akan selamanya sibuk bertarung satu sama lain, dan manusia tidak perlu khawatir akan campur tangan keduanya. Skenario ini membuat penyembahan pada Dewa menjadi tidak relevan.

  3. Skenario Ketiga: Dewa Kurang Kuasa dari Alam.
    Skenario ini adalah yang paling absurd. Tan Malaka menganalogikannya dengan "nasibnya Dr. Frankenstein" yang menciptakan raksasa yang kemudian tidak bisa ia kendalikan dan justru menjadi musuhnya. "Kasihan pula kita kalau Dewa Rah membikin Alam yang lebih berkuasa dari pembikin, ialah Rah sendiri, sampai terpaksa lari bersembunyi.". Skenario ini meruntuhkan citra kemahakuasaan Dewa itu sendiri.

Kesimpulan

Setelah melalui serangkaian bantahan dari ilmu alam dan uji logika yang ketat, Tan Malaka sampai pada satu kesimpulan tegas. Berpikir bahwa roh menciptakan zat adalah sebuah jalan buntu, sebuah gagasan yang "bertentangan dengan akal.".

Tan Malaka tegas menutup bab ini dengan menunjukkan bahwa bahkan para pemikir mistik terbesar sekalipun, seperti Buddha Gautama, akan terdiam atau memberikan jawaban menghindar ketika didesak dengan pertanyaan-pertanyaan logis tentang hakikat Roh Alam. Dengan ini, Tan Malaka telah membersihkan lapangan. Ia telah menunjukkan bahwa Logika Mistika adalah cara berpikir yang rapuh dan tidak dapat dipertahankan. Kini, ia siap untuk membangun cara berpikir alternatif di atas fondasi yang menurutnya jauh lebih kokoh yaitu pondasi materialisme, logika, dan dialektika.

Bab 2: Filsafat, Memilih Antara Dua Kubu Gagasan

Tan Malaka membuka bab ini dengan sebuah analogi yang cemerlang dan membumi. Ia mengajak kita untuk membayangkan sebuah pertandingan sepak bola. Mustahil kita bisa memahami permainan, apalagi menentukan siapa yang menang atau kalah, jika kita tidak bisa membedakan pemain dari kedua tim yang berlaga.

"Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita... Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya, ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli filsafat."

Dengan analogi ini, dirinya menegaskan bahwa untuk memahami filsafat, langkah pertama adalah mengidentifikasi dua "kesebelasan" utama yang selalu bertanding di sepanjang sejarah pemikiran manusia.

Idealisme Melawan Materialisme

Untuk memetakan kedua kubu ini, Tan Malaka menggunakan panduan dari Friedrich Engels. Menurutnya, seluruh sejarah filsafat dapat dibagi menjadi dua barisan besar yang saling bertentangan: Idealisme dan Materialisme.

Pertarungan fundamental di antara keduanya berkisar pada satu pertanyaan krusial: "...mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea."

  1. Kubu Idealisme: Tim ini berpendapat bahwa Pikiran (Idea/Rohani) adalah yang utama dan pertama. Bagi mereka, dunia materi (Benda) yang kita rasakan ini hanyalah manifestasi, bayangan, atau produk dari sebuah kesadaran atau ide yang lebih tinggi. "Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis."

  2. Kubu Materialisme: Tim ini mengambil posisi sebaliknya. Benda (Materi/Zat) adalah yang utama dan pertama. Pikiran, ide, dan kesadaran adalah produk dari materi yang telah berevolusi hingga mencapai tingkat kompleksitas tertentu, seperti otak manusia. "Yang mengikut materialisme, itulah yang materialis."

Tan Malaka tidak berhenti pada definisi filosofis. Ia langsung menarik garis pertempuran ini ke arena politik dan sosial. Menurutnya, kedua kubu ini tidak netral, melainkan mewakili kepentingan kelas yang berbeda.

"Kaum Idealis 'umumnya' memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas."

Dengan demikian, perdebatan filsafat bukanlah sekadar perdebatan di menara gading, melainkan cerminan dari perjuangan kelas yang nyata di dalam masyarakat.

Mengupas Taktik Kaum Idealis

Tan Malaka kemudian secara sistematis mengkritik argumen dari para "pemain bintang" di kubu Idealisme, mulai dari Plato, Berkeley, Hume, hingga puncaknya pada Hegel.

  • David Hume dan Realitas yang Lenyap. Tan Malaka memberikan perhatian khusus pada David Hume. Ia menjelaskan argumen Hume dengan jernih: ketika kita mengamati sebuah jeruk, kita tidak pernah benar-benar mengetahui "jeruk" itu sendiri. Yang kita tahu hanyalah sekumpulan persepsi inderawi—rasa manis, warna kuning, tekstur licin—yang ia sebut sebagai "bundles of conceptions" atau "bergulung-gulung pengertian" di dalam otak kita. "Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma 'ide', pikiran, pengertian, tentang benda itu dalam otak saya." Setelah memaparkan argumen Hume, Tan Malaka melancarkan serangan balik yang mematikan dengan menggunakan logika Hume sendiri. Jika orang lain hanyalah sebuah "ide" di kepala Hume, maka Hume sendiri juga hanyalah sebuah "ide" di kepala orang lain. Dengan menolak eksistensi materi, sang filsuf idealis pada akhirnya terpaksa menolak eksistensi dirinya sendiri. "Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada. Beginilah akibatnya yang konsekuen dari Idealisme..."

  • Immanuel Kant dan Jalan Tengah yang Pengecut. Berikutnya adalah Immanuel Kant, yang mencoba menyelamatkan idealisme dengan membedakan antara fenomena (apa yang tampak) dan "Ding an Sich" (benda pada dirinya sendiri). Menurut Kant, kita hanya bisa mengetahui penampakannya, bukan esensi sejatinya. Bagi Tan Malaka, ini adalah sikap "maju mundur". Ia mengutip jawaban telak dari Engels yaitu seiring kemajuan sains, apa yang tadinya misterius (Ding an Sich) perlahan menjadi dapat kita ketahui dan manfaatkan (ia menjadi "Ding an Furuns" atau "benda kita"). Apa gunanya lagi bersembunyi di balik konsep gaib?

  • Hegel dan Roh Absolutnya. Hegel dianggap sebagai puncak filsafat idealis. Baginya, sejarah digerakkan oleh sebuah "absolute Idee" atau Ide Absolut—semacam Roh Semesta atau Kesadaran Kosmik. Negara dan seluruh realitas adalah perwujudan dari Ide ini. Tan Malaka melihat ini tak lebih dari bentuk mistisisme yang disajikan dengan bahasa yang sangat rumit dan canggih, "gaib di luar Ilmu Alam, rohani".

Strategi Kaum Materialis dengan Membalik Logika untuk Mengubah Dunia

Setelah membongkar kelemahan kubu idealis, Tan Malaka beralih ke kubu jagoannya: Materialisme. Puncak dari pemikiran materialis, menurutnya, adalah karya Karl Marx dan Friedrich Engels.

Langkah jenius Marx adalah "memasang Hegelisme di atas kakinya.". Marx tidak membuang metode dialektika Hegel yang kuat (tesis-antitesis-sintesis), tetapi ia membuang landasan idealisnya. Tan Malaka membalik total logika Hegel:

"Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran."

Bagi Marx, motor penggerak sejarah bukanlah Ide Absolut yang gaib, melainkan Perjuangan Kelas yang nyata dan material. Pertentangan antara budak dan tuannya, antara petani dan bangsawan, dan akhirnya antara "buruh dan kaum modal", yang didasarkan pada pertentangan ekonomi, itulah yang mendorong masyarakat berubah dari satu tahap ke tahap berikutnya. Pertentangan ini "bukan pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel... tetapi pertentangan barang yang nyata". Sejarah masyarakat, dengan demikian, berjalan menurut hukum materialnya sendiri, sama seperti alam berjalan menurut hukum evolusi Darwin atau hukum gerak Newton.

Filsafat sebagai Senjata di Medan Perang Modern

Tan Malaka menegaskan bahwa pertarungan antara Idealisme dan Materialisme bukanlah sekadar perdebatan akademis. Gelanggang pertarungan ide adalah cerminan dari perjuangan kelas yang terus berlangsung. Kaum berkuasa akan selalu menggunakan idealisme sebagai senjatanya:

"Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari... dan kesenangan kekal akhirat."

Tan Malaka kemudian menerapkan analisis ini pada berbagai "isme" di zamannya, menunjukkan bagaimana semuanya dapat dipetakan ke dalam dua kubu besar ini. Filsafat pragmatisme John Dewey di Amerika ia lihat sebagai idealisme yang cocok untuk borjuasi yang sedang makmur. Sementara itu, Fasisme di Italia, yang mengklaim sebagai "aksi-baru dan paham-baru", ia bongkar sebagai bentuk reaksioner tua yang juga berakar pada idealisme dan mistisisme tentang "pergerakan kekal buat perpaduan manusia dan Tuhan".

Tugas Akhir Seorang Pemikir

Di akhir bab, Tan Malaka merefleksikan bagaimana peran filsafat telah berevolusi. Banyak pertanyaan yang dulu menjadi domain filsafat—tentang alam semesta, tentang zat, tentang kehidupan—kini telah menjadi cabang-cabang ilmu pengetahuan yang spesifik, dari astronomi hingga biologi dan psikologi.

Lalu, apa yang tersisa dari filsafat? Mengutip Engels, Tan Malaka menyimpulkan bahwa yang tersisa adalah dua alat berpikir yang paling fundamental:

"Dialektika dan Logika".

Namun, Tan Malaka menutup bab ini bukan dengan sebuah kesimpulan yang pasif, melainkan dengan sebuah panggilan untuk bertindak. Dirinya menggemakan Tesis ke-11 Marx yang termasyhur sebagai tugas akhir dari semua pemikiran yang berpihak pada perubahan:

"Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu!"

Dengan ini, Tan Malaka telah selesai memetakan arena. Ia telah menunjukkan bahwa filsafat bukanlah permainan kata yang netral, melainkan sebuah medan pertempuran ideologis. Ia telah memilih kubunya—Materialisme—dan menegaskan bahwa tujuan akhir dari cara berpikir yang benar bukanlah untuk menafsirkan dunia, melainkan untuk mengubahnya.

Bab 3: Sains – Cara Berpikir untuk Meraih Kemerdekaan

Bagi Tan Malaka, perbincangan tentang sains tidak dapat dipisahkan dari perjuangan politik. Ia membuka bab ini dengan sebuah tesis yang tegas dan politis yakni kemajuan sebuah bangsa tergantung pada industri, dan industri adalah buah dari "perkawinan sains dan teknik, ilmu pengetahuan dan teknologi." Dari titik berangkat ini, ia membangun argumen bahwa kemerdekaan sebuah bangsa dan kemerdekaan ilmu pengetahuan adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

"Kemerdekaan sains itu sehidup dan semati dengan kemerdekaan negara. Begitu juga kemerdekaan sains bagi satu kelas, sehidup dan semati dengan kemerdekaan kelas itu."

Selama sebuah bangsa masih terjajah, ilmu pengetahuannya pun akan terbelenggu. Kekayaan alam yang melimpah—seperti di Indonesia—tidak akan membawa kesejahteraan, melainkan hanya akan menjadi objek eksploitasi oleh bangsa lain yang menguasai sains dan teknologi. Oleh karena itu, menguasai sains bukan hanya soal kemajuan, tetapi soal kelangsungan hidup dan kedaulatan.

Meskipun menyadari pentingnya sains, Tan Malaka menyatakan bahwa maksud utama bab ini bukanlah untuk menguraikan setiap cabang ilmu yang ada, melainkan untuk mengemukakan "cara berpikir tangkas yang dipakai oleh sains."

Tiga Wajah Sains

Untuk membedah "cara berpikir tangkas" ini, Tan Malaka menyajikannya melalui tiga definisi kunci yang ia ingat dari berbagai bacaannya. Ketiga definisi ini menjadi kerangka utama dari seluruh pembahasan dalam bab ini. "...tiga definisi yang pendek dan jitu yang saya ingat tentang sains adalah:

  1. Sains ialah accurate thought, ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata.

  2. Sains, ialah organizations of fact, penyusunan bukti. 

  3. Sains, ialah simplification by generalisation, penyederhanaan generalisasi."

Ketiga definisi ini, menurutnya, saling berhubungan dan saling melengkapi. Wajah pertama menyoroti soal ketepatan berpikir, wajah kedua tentang bagaimana bukti-bukti disusun secara sistematis, dan wajah ketiga tentang bagaimana dari susunan itu ditarik sebuah kesimpulan umum atau hukum. Untuk menjelaskannya, ia memilih matematika, khususnya Geometri, sebagai model sempurna dari cara kerja sains.

Wajah Pertama – Accurate Thought: Kekuatan Sebuah Definisi

Pilar pertama dari cara berpikir ilmiah adalah ketepatan (accuracy). Dan fondasi dari ketepatan adalah Definisi. Tan Malaka menegaskan bahwa tanpa definisi yang jelas, "maka morat marit, cantang perenang dan kacau balaulah sains." Sebuah definisi yang baik harus memenuhi dua syarat utama:

  1. Menentukan Golongan (Kelas): Menempatkan suatu hal ke dalam kategori yang lebih luas.

  2. Menentukan Perbedaan (Sifat Utama): Menunjukkan ciri khas yang membedakannya dari anggota lain dalam kategori yang sama.

Tan Malaka menggunakan contoh klasik untuk mendefinisikan "manusia". Pertama, kita menempatkannya dalam golongan atau kelas yang lebih umum, yaitu "hewan". Namun ini tidak cukup, karena kera dan kerbau juga hewan. Maka, kita perlu mencari perbedaannya: kemampuan berpikir. Dengan demikian, lahirlah sebuah definisi yang jitu:

"manusia ialah hewan yang berpikir."

Definisi ini memenuhi kedua syarat: "hewan" adalah golongannya, dan "berpikir" adalah perbedaannya yang paling hakiki dengan hewan lain. Tan Malaka juga menguraikan serangkaian aturan lain agar sebuah definisi menjadi sempurna, diantaranya harus singkat, tidak berputar-putar (sirkular), tidak menggunakan kiasan (metafor), dan tidak bersifat negatif. Dengan penguasaan definisi, seorang pemikir dapat membangun argumen yang kokoh dan terhindar dari kekacauan makna.

Wajah Kedua & Ketiga – Organization & Simplification: Belajar dari Logika Geometri

Setelah menjelaskan pentingnya ketepatan, Tan Malaka beralih ke wajah sains berikutnya: bagaimana dia menyusun bukti-bukti (organization of facts) dan menyederhanakannya menjadi sebuah kaidah umum (simplification by generalisation). Pikirannya melihat Geometri sebagai laboratorium pemikiran yang paling ideal untuk mempelajari proses ini.

Dia memilih Geometri, bukan Aljabar, karena Aljabar sudah terlalu "abstrak, terpisah dari pada benda", sedangkan Geometri, meskipun juga abstrak, masih dapat digambarkan dan dibuktikan dengan cara yang dapat diikuti oleh akal sehat. Baginya, melatih otak dengan matematika adalah sebuah keharusan.

"...otak yang sudah dilatih oleh matematika, lain sikapnya terhadap suatu persoalan daripada otak mentah."

Dalam Geometri, bukti-bukti (fakta) disusun secara sistematis untuk menghasilkan sebuah "teori" atau "hukum" umum. Proses pembuktian teori inilah yang menunjukkan bagaimana sains bekerja.

Tiga Metode Pengujian Kebenaran

Tan Malaka menguraikan tiga metode fundamental yang digunakan dalam Geometri untuk menguji sebuah kebenaran (teori). Ketiga metode ini, menurutnya, adalah inti dari cara berpikir logis-deduktif.

  1. Metode Sintesis (Memasang) Metode ini bekerja dengan cara "memasang teori yang sudah dikenal, sampai teori yang mesti diuji nyata kebenarannya." Ini adalah proses membangun argumen selangkah demi selangkah dari premis-premis yang sudah terbukti kebenarannya menuju sebuah kesimpulan baru. Ia menggunakan pembuktian Teori Pythagoras sebagai contoh sempurna, di mana kebenaran dari dalil tersebut dibangun di atas serangkaian teori lain tentang kesebangunan dan sudut siku-siku yang sudah diketahui sebelumnya.

  2. Metode Analitis (Mengungkai) Metode ini adalah kebalikan dari sintesis. Ia digunakan ketika kita tidak tahu harus memulai dari mana. Caranya adalah dengan mengasumsikan teori yang akan diuji itu benar, lalu mengurainya ke belakang untuk melihat apakah asumsi itu berujung pada kebenaran-kebenaran lain yang sudah mapan dan tidak menimbulkan kontradiksi. "Kita berjalan dari yang mau tetapi belum kita kenal, kepada jalan yang sudah kita kenal. Kita ungkap segala yang tersembunyi dalam rahasia baru..."

  3. Metode Reductio ad Absurdum (Menyesatkan) Ini adalah senjata pamungkas ketika dua metode pertama buntu. Caranya adalah dengan mengambil posisi yang berlawanan dari teori yang akan dibuktikan. Kita mengasumsikan bahwa teori itu salah. Kemudian, kita tunjukkan bahwa asumsi yang salah ini akan membawa kita pada sebuah kesimpulan yang mustahil, tidak masuk akal, atau bertentangan dengan hukum lain yang sudah pasti benar (absurd). Dengan demikian, kita membuktikan bahwa asumsi awal kita (bahwa teori itu salah) pastilah keliru, yang berarti teori aslinya benar. "Kita jerumuskan, sengaja sesatkan siapa yang tak percaya pada teori itu supaya insyaf, bahwa teori itu saja yang benar."

Tan Malaka menekankan bahwa ketiga cara berpikir logis ini tidak hanya berlaku di dunia matematika. Seorang advokat yang menyusun pembelaan, seorang jenderal yang merancang strategi, hingga seorang pemimpin revolusioner seperti Lenin yang menganalisis syarat-syarat kemenangan, semuanya menggunakan prinsip-prinsip ini.

Menggunakan Logika Sains untuk Kehidupan dan Perjuangan

Melalui uraian panjang tentang definisi dan metode pembuktian dalam Geometri, Tan Malaka berhasil menunjukkan esensi dari cara berpikir ilmiah. Sains bukanlah sekadar hafalan fakta, melainkan sebuah metode yang aktif, jitu, dan terstruktur untuk mencari kebenaran. Ia adalah sebuah cara berpikir yang dimulai dari definisi yang akurat, menyusun bukti-bukti secara logis, dan mengujinya dengan berbagai metode pembuktian yang ketat.

Dengan menguasai cara berpikir ini, seseorang tidak hanya akan mampu memahami dunia dengan lebih baik, tetapi juga memiliki perkakas yang kuat untuk bertindak di dalamnya. Bagi Tan Malaka, logika sains adalah logika yang dibutuhkan untuk membangun industri, mengelola negara, dan yang terpenting, meraih kemerdekaan bangsa.

Bab 4: Sains (Lanjutan) – Memasuki Dunia Dialektika

Tan Malaka membuka bab ini dengan sebuah masalah fundamental. Logika yang telah kita pelajari—di mana "ya itu ya dan tidak itu tidak"—bekerja dengan sempurna untuk persoalan yang pasti dan statis. Namun, bagaimana jika kita dihadapkan pada sebuah realitas yang mengandung kontradiksi di dalam dirinya? Bagaimana kita berpikir tentang proses, tentang perubahan dari satu wujud ke wujud lainnya?

"Sekarang sudah sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tiada bisa lagi dijawab dengan ya atau tidak... Pertanyaan yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika itu, adalah bermacam-macam, masing-masing mengandung salah satu atau beberapa perkara yang dibawah ini."

Perkara-perkara itu adalah Tempo (perubahan seiring waktu), Kena-Mengenaan (saling keterkaitan), Pertentangan, dan Gerakan. Di sinilah, menurut Tan Malaka, "Logika semata-mata menjadi gagal."

Untuk mengilustrasikan kegagalan Logika formal dan kebutuhan akan Dialektika, ia menyajikan sebuah analogi yang sangat kuat dan jernih: seorang penumpang di dalam kereta api yang bergerak.

  • Dari sudut pandang Logika Formal: Jika kita berada di dalam gerbong yang sama dan bertanya pada seorang penumpang, "Apakah Anda bergerak?", ia akan menjawab, "Tidak, saya sedang duduk diam." Jawaban ini 100% benar menurut kerangka acuannya di dalam kereta.

  • Dari sudut pandang Dialektika: Namun, jika seorang pengamat berdiri di stasiun dan melihat kereta itu melintas, ia akan berkata, "Orang itu sedang bergerak dengan sangat cepat." Jawaban ini juga 100% benar.

Lalu, mana yang benar? Apakah penumpang itu diam atau bergerak? Dialektika menjawab: keduanya. Ia diam relatif terhadap keretanya, dan pada saat yang sama, ia bergerak relatif terhadap stasiun. Dialektika adalah cara berpikir yang mampu memahami bahwa suatu hal bisa menjadi "A dan non-A" secara bersamaan, dengan melihatnya sebagai bagian dari sebuah sistem yang lebih besar, dinamis, dan penuh hubungan.

Tiga Hukum Gerak Semesta: Perkakas Utama Dialektika

Dialektika bukanlah sekadar cara berpikir yang kabur atau "relatif". Ia adalah sebuah ilmu yang memiliki hukum-hukumnya sendiri, yang menurut Tan Malaka (mengikuti Engels), merupakan hukum universal yang berlaku di alam, masyarakat, dan pikiran.

A. Hukum Perubahan Kuantitas menjadi Kualitas

Hukum ini menjelaskan bagaimana perubahan fundamental terjadi. Ia tidak terjadi secara perlahan dan mulus, melainkan melalui sebuah lompatan. Konsepnya adalah akumulasi dari perubahan-perubahan kecil yang bersifat kuantitatif (menyangkut jumlah, ukuran, atau derajat) pada akhirnya akan mencapai sebuah titik kritis, yang kemudian memicu sebuah transformasi mendadak yang bersifat kualitatif (perubahan wujud, sifat, atau esensi).

Tan Malaka menggunakan contoh klasik yang sangat mudah dipahami: memanaskan air.

"Dalam ilmu alam kita mengetahui bahwa, air kalau dipanaskan sesudah beberapa lamanya, hilang menjadi uap. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang uap. Tetapi ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air atau sudah menjadi uap."

Prosesnya adalah sebagai berikut:

  • Perubahan Kuantitatif: Suhu air naik derajat demi derajat: 20°C, 21°C, 22°C, dan seterusnya. Ini adalah perubahan jumlah panas yang gradual. Air masih tetaplah air.

  • Titik Puncak (Nodal Point): Pada suhu 100°C (di tekanan normal), air mencapai titik kritisnya.

  • Lompatan Kualitatif: Tepat di titik itu, terjadi sebuah transformasi. Air (cair) secara drastis berubah menjadi uap (gas). Sifatnya, wujudnya, dan kemampuannya (misalnya untuk menggerakkan turbin) berubah total.

Perubahan jumlah (kuantitas) panas telah menjelma menjadi perubahan sifat (kualitas). Hukum ini juga ia terapkan dalam masyarakat. Penumpukan modal, meningkatnya jumlah kaum buruh, dan menajamnya kesenjangan adalah perubahan kuantitatif. Pada titik tertentu, akumulasi ini akan meledak dalam sebuah revolusi—sebuah lompatan kualitatif yang mengubah seluruh tatanan sosial.

B. Hukum Persatuan dan Perjuangan Hal-hal yang Berlawanan

Jika hukum pertama menjelaskan bagaimana perubahan terjadi, hukum kedua ini menjelaskan mengapa perubahan terjadi. Menurut Dialektika, motor penggerak dari semua gerak dan perkembangan adalah pertentangan internal yang ada di dalam segala hal.

  • Konsepnya: Segala sesuatu di alam semesta ini merupakan sebuah "kesatuan dari hal-hal yang berlawanan" (unity of opposites). Di dalamnya terkandung dua kutub yang saling bertentangan namun juga saling membutuhkan. Keduanya tidak bisa ada tanpa satu sama lain, tetapi mereka berada dalam perjuangan abadi. Perjuangan inilah yang menciptakan dinamika dan perubahan.

  • Contoh Alam: Tan Malaka merujuk pada kutub Utara dan Selatan pada sebuah magnet, serta muatan positif dan negatif dalam listrik. Keduanya adalah kutub berlawanan yang membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan.

  • Contoh Sosial: Aplikasi terpenting dari hukum ini adalah dalam analisis masyarakat. Bagi Tan Malaka, masyarakat kapitalis adalah sebuah kesatuan dari dua kelas yang berlawanan: kaum borjuis (pemilik alat produksi) dan kaum proletar (pekerja yang menjual tenaganya). Keduanya tidak bisa ada tanpa satu sama lain dalam sistem tersebut, tetapi kepentingan mereka bertentangan secara fundamental. Perjuangan kelas inilah yang menjadi mesin sejarah.

C. Hukum Negasi dari Negasi

Hukum ini menjelaskan arah dan bentuk dari perkembangan. Perkembangan tidak berjalan dalam garis lurus yang membosankan, juga tidak berputar dalam lingkaran yang sia-sia. Ia bergerak dalam sebuah spiral yang terus menanjak.

  • Konsepnya: Sebuah kondisi awal (tesis) akan berhadapan dengan lawannya dan dibatalkan atau diatasi (negasi atau antitesis). Konflik antara keduanya kemudian akan melahirkan sebuah kondisi baru yang lebih tinggi dan lebih kompleks (sintesis), yang merupakan "pembatalan dari kebatalan" (negation of the negation). Sintesis ini tidak sepenuhnya menghapus tesis awal, melainkan mengangkatnya ke dalam tingkatan yang baru.

  • Contoh Alam: Tan Malaka menggunakan contoh dari Engels tentang sebutir padi. "Pertama kita lihat seekor rama-rama. Rama-rama melahirkan ulat (Negation) pertama. Ulat sesudah beberapa lama lagi menjadi rama-rama pula (Negation kedua). Pada pembatalan kebatalan kita melihat beberapa rama-rama. Pembatalan kebatalan memberi hasil yang lebih baik dan lebih banyak."

Di sini, seekor rama-rama (tesis) "dibatalkan" oleh ulat (antitesis), dan ulat kemudian "dibatalkan" oleh kemunculan beberapa rama-rama baru (sintesis). Ini adalah sebuah kembali ke bentuk "rama-rama", tetapi pada level yang lebih tinggi (lebih banyak jumlahnya).

  • Contoh Sosial: Masyarakat komunal primitif (tesis) dibatalkan oleh lahirnya masyarakat kelas dengan hak milik pribadi (antitesis). Masyarakat kelas ini, dengan segala pertentangannya, pada akhirnya akan dibatalkan oleh masyarakat komunis masa depan (sintesis), yang kembali pada kepemilikan bersama namun pada tingkat teknologi dan produktivitas yang jauh lebih maju.

Dua Cara Pandang Dunia dalam Sudut Pandang Dialektis vs. Metafisis

Tan Malaka mengkontraskan cara berpikir dialektis ini dengan apa yang ia sebut sebagai cara berpikir "metafisis". Perlu dicatat, istilah "metafisis" di sini ia gunakan dalam pengertian Marxis, bukan dalam pengertian filsafat klasik. Cara pandang metafisis adalah cara pandang yang melihat dunia sebagai kumpulan benda-benda yang statis, terisolasi, dan terkotak-kotak secara kaku. Ini adalah cara berpikirnya Logika formal yang dipaksa untuk menjelaskan seluruh realitas. Ia melihat hitam sebagai hitam, putih sebagai putih, dan menolak adanya area abu-abu atau proses perubahan dari satu ke yang lain. Sebaliknya, cara pandang dialektis melihat segala sesuatu sebagai sebuah proses yang saling terhubung, dinamis, dan penuh kontradiksi.

Dialektika sebagai Sains Perubahan

Dengan menguraikan ketiga hukum fundamental ini, Tan Malaka telah selesai membangun argumennya. Dialektika, yang ia perkenalkan sebagai "Science (Lanjutan)", bukanlah sebuah filsafat yang mengawang-awang. Ia adalah sebuah ilmu tentang hukum-hukum gerak yang paling umum, sebuah "Ilmu Berpikir dalam Gerakan". Ia adalah perkakas nalar yang memungkinkan kita untuk tidak hanya memahami dunia sebagaimana adanya pada satu momen, tetapi juga untuk memahami dari mana ia berasal, bagaimana ia bergerak, dan kemana ia akan menuju.

Bagi seorang pemikir revolusioner seperti Tan Malaka, penguasaan dialektika adalah sebuah keharusan. Ia memberikan keyakinan teoritis bahwa perubahan itu niscaya dan dapat dipahami secara ilmiah. Ia adalah kompas untuk menavigasi lautan sejarah yang penuh badai, dan yang terpenting, sebuah peta untuk merancang perubahan itu sendiri.

Bab 5: Riwayat Hidup Sebuah Gagasan: Jejak Evolusi Dialektika

Tan Malaka membuka bab ini dengan menegaskan kembali posisi dialektika sebagai cara berpikir yang melampaui logika formal. Logika formal, dengan segala kepastiannya, hanya mampu memotret dunia yang seolah-olah diam. Namun, realitas sesungguhnya adalah sebuah sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Untuk memahami aliran ini—dengan segala gerak, perubahan, dan pertentangannya—kita membutuhkan dialektika.

Untuk melegitimasi metode ini, Tan Malaka tidak hanya menyajikannya sebagai sebuah teori, tetapi sebagai sebuah puncak evolusi pemikiran. Dirinya mengajak kita semua menelusuri jejak kelahirannya.

1. Benih Pertama di Yunani Kuno – Dialektika Intuitif Heraclitus

Tan Malaka memulai perjalanannya di Yunani kuno, dan melihat para filsuf awal ini sebagai pemikir-pemikir alamiah yang cemerlang. Tanpa terbebani oleh dogma agama atau sistem filsafat yang kaku, mereka mengamati dunia secara langsung dan sampai pada kesimpulan yang secara fundamental bersifat dialektis. Di antara mereka, ia menobatkan Heraclitus sebagai Bapak Dialektika.

Heraclitus, melalui pengamatannya, menangkap esensi utama dari alam semesta: perubahan abadi. Tan Malaka merangkum pandangan Heraclitus yang revolusioner pada masanya:

"Ada itu berarti tak-ada karena semua barang itu menjadi bertukar, dalam keadaan tumbuh dan tumbang. Tidak ada, yang tetap, semuanya bertukar. Kita tak bisa dua kali pergi ke sesuatu sungai, karena sungai pada saat ini sudah mengalir diganti dengan sungai yang lain."

Gagasan ini—bahwa segala sesuatu terus-menerus mengalir dan berubah, dan bahwa suatu hal bisa menjadi "ada" sekaligus "tak-ada" karena ia berada dalam proses menjadi—adalah benih dari pemikiran dialektis. Ini adalah sebuah materialisme yang intuitif, lahir dari pengamatan langsung terhadap alam. Namun, Tan Malaka juga melihatnya sebagai pemikiran yang masih "naif"—brilian, tetapi belum tersusun secara sistematis dan ilmiah.

2. Jeda Panjang Filsafat Statis

Setelah permulaan yang gemilang di Yunani, Tan Malaka berargumen bahwa pemikiran filosofis di Barat memasuki periode stagnasi selama hampir dua ribu tahun. Cara berpikir dialektis yang dinamis tertidur, digantikan oleh cara pandang yang ia sebut "metafisis".

Dalam konteks ini, "metafisis" adalah cara memandang realitas sebagai sesuatu yang statis, abadi, dan terkotak-kotak secara kaku. Dunia dilihat sebagai kumpulan entitas yang terpisah dan tidak berubah, diatur oleh kebenaran absolut dan dogma yang tak terbantahkan. Bagi Tan Malaka, cara berpikir yang beku ini sangat sesuai dengan struktur masyarakat feodal yang hierarkis dan tidak dinamis, serta hegemoni Gereja yang menempatkan kebenaran di luar jangkauan kritik akal manusia.

3. Kebangkitan Raksasa di Jerman: Puncak dan Keterbatasan Dialektika Idealis Hegel

Api dialektika, menurut Tan Malaka, baru menyala kembali dengan dahsyat dalam tradisi Filsafat Idealisme Jerman. Ia memberikan kredit pada Immanuel Kant sebagai sosok yang mulai mendobrak kebekuan dengan memasukkan kembali gagasan tentang proses dan evolusi dalam memahami alam semesta. Namun, panggung utama ia berikan kepada Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

Bagi Tan Malaka, Hegel adalah seorang raksasa pemikiran. Dialah yang mengangkat dialektika dari sekadar intuisi menjadi sebuah sistem filsafat yang komprehensif dan luar biasa rumit. Hegel menerapkan metode dialektis (Tesis – Antitesis – Sintesis) untuk menjelaskan segala hal, mulai dari sejarah, hukum, negara, hingga seni dan agama.

Namun, dibalik kehebatan metodenya, Tan Malaka mengidentifikasi satu kelemahan yang fatal pada sistem Hegel: ia sepenuhnya idealis.

"Buat Marx, Dialektika itu bukanlah semata-mata gerakan pikiran, melainkan Hukum dari Wirkliche Logik der wirkliche gegenstande, Hukum berpikir sebenarnya, tentang benda sebenarnya."

Bagi Hegel, seluruh drama pertentangan dan perkembangan sejarah terjadi di dalam alam pikiran, di dalam sebuah entitas gaib yang ia sebut "Absolute Idee" (Ide Absolut). Dunia material yang kita tinggali ini hanyalah bayang-bayang, jejak, atau perwujudan dari gerak-gerik sang Ide Absolut. Tan Malaka melukiskan kekeliruan fundamental ini dengan sebuah metafora yang sangat tajam, bahwa filsafat Hegel itu:

"...dianggap berkepala di kaki dan berkaki di kepala..."

Artinya, metode dialektikanya sudah benar, tetapi ia berdiri di atas fondasi yang terbalik. Ia memprioritaskan dunia ide yang abstrak dan menempatkan dunia material yang nyata sebagai produk sekundernya.

4. Marx Menegakkan Kembali Dialektika di Atas Kaki Materialisme

Inilah klimaks dari perjalanan intelektual yang dipaparkan Tan Malaka. Karl Marx dan Friedrich Engels muncul sebagai tokoh yang tidak membunuh Hegel, tetapi justru menyelamatkannya dari kungkungan idealismenya. Mereka melakukan sebuah "operasi" filsafat yang paling menentukan: membalik Hegel.

Mereka mempertahankan metode dialektis Hegel yang sangat kuat, tetapi membuang cangkang idealisnya yang mistis. Mereka "memasang Hegelisme di atas kakinya" , yang berarti menerapkan metode dialektis tersebut bukan pada dunia ide, melainkan pada dunia material yang nyata.

Dengan pembalikan ini, lahirlah Dialektika Materialisme. Dalam kerangka baru ini:

  • Hukum gerak dialektika bukan lagi hukum gerak pikiran, melainkan hukum gerak dari alam dan sejarah itu sendiri.

  • Motor penggerak sejarah bukan lagi pertentangan antar ide, melainkan pertentangan material yang konkret, yaitu perjuangan kelas antara kaum penindas dan kaum tertindas, yang berakar pada cara mereka memproduksi kebutuhan hidup.

  • Hubungan antara pikiran dan benda dibalik total: "Kemajuan benda itu menentukan kemajuan pikiran.", bukan sebaliknya.

Kesimpulan

Dengan menuturkan riwayat hidup dialektika ini, Tan Malaka berhasil menempatkan Dialektika Materialisme pada posisi puncaknya. Ia bukan lagi sekadar satu dari sekian banyak filsafat, melainkan hasil akhir dari proses evolusi pemikiran yang panjang, yang telah membersihkan dirinya dari kabut mistisisme dan idealisme.

Perjalanan ini menunjukkan sebuah alur yang jelas: dari materialisme yang intuitif (Heraclitus), menuju idealisme yang sistematis (Hegel), dan akhirnya mencapai sintesisnya pada materialisme yang ilmiah dan revolusioner (Marx). Bagi Tan Malaka, ini adalah bukti terkuat bahwa dialektika materialis adalah alat analisis yang paling canggih, paling akurat, dan paling sahih untuk memahami—dan pada akhirnya, seperti yang selalu ia tekankan—untuk mengubah dunia.

Bab 6: Logika – Perkakas Berpikir di Dunia yang Tampak Diam

Tan Malaka memulai bab ini dengan sebuah refleksi tentang urutan argumennya. Ia menjelaskan bahwa ia sengaja menempatkan Logika di bagian akhir bukan karena tidak penting, tetapi untuk menunjukkan posisinya dalam evolusi cara berpikir. Ia bergerak dari Logika Mistika, ke Filsafat, ke Ilmu Bukti (Sains) dan Dialektika, baru kemudian membedah Logika secara khusus. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Logika formal yang ilmiah adalah produk dari sebuah sejarah panjang, dan perannya harus dipahami dalam hubungannya dengan Dialektika yang merupakan tingkatan analisis yang lebih tinggi.

Peran Krusial Logika di Indonesia

Tan Malaka memberikan sebuah penekanan yang sangat penting dan relevan bagi konteksnya. Di Eropa, di kalangan pemikir Marxis, terkadang Logika formal dianggap remeh dibandingkan Dialektika. Namun, untuk Indonesia, situasinya berbeda. Dalam sebuah masyarakat yang menurutnya masih "gelap gulita, diselimuti macam-macam ilmu kegaiban", penguasaan Logika adalah sebuah keharusan absolut.

Logika adalah senjata utama untuk membongkar takhayul dan cara berpikir yang tidak kritis. Ia adalah "tongkat pertama" yang memungkinkan sebuah bangsa untuk berdiri tegak dan berjalan keluar dari alam mistisisme menuju alam ilmu pengetahuan. Tanpa fondasi berpikir lurus yang disediakan oleh Logika, mustahil seseorang dapat melompat ke pemahaman dialektis yang lebih kompleks.

Tiga Hukum Utama Logika Formal

Apa sebenarnya Logika itu? Tan Malaka mendefinisikannya sebagai ilmu tentang undang-undang berpikir yang benar. Inti dari Logika formal, yang membedakannya dari Dialektika, terletak pada tiga hukum dasarnya yang memastikan pikiran tetap konsisten dan tidak kacau.

"Menurut Logika ya itu ya dan tidak itu tidak (A itu A, non A itu, ialah non A). Ya tak pernah sama dengan tidak (A bukan non A)."

Tiga hukum fundamental ini adalah:

  1. Hukum Identitas (A adalah A): Setiap hal adalah dirinya sendiri. Sebuah meja adalah sebuah meja. Ini adalah dasar dari kejelasan dan definisi.

  2. Hukum Kontradiksi (A bukan non-A): Sesuatu tidak bisa menjadi dirinya sekaligus lawannya pada saat yang bersamaan dan dalam konteks yang sama. Seseorang tidak bisa hidup dan mati pada detik yang identik.

  3. Hukum Jalan Tengah yang Disingkirkan: Sebuah pernyataan harus benar atau salah. Tidak ada kemungkinan ketiga. Suatu benda adalah "meja" atau "bukan meja".

Hukum-hukum inilah yang menjadi tulang punggung dari semua argumen yang jernih, matematika, dan ilmu pengetahuan dalam menganalisis suatu keadaan yang relatif stabil.

Batas Kekuasaan Logika pada Realitas yang Bergerak dan Berubah

Setelah memaparkan kekuatan Logika dalam menciptakan kejernihan, Tan Malaka dengan cerdas langsung menunjukkan dimana kekuasaan Logika itu berakhir. Batas itu adalah gerak, perubahan, dan proses. Logika formal yang kaku akan gagal total ketika dihadapkan pada realitas yang dinamis dan penuh kontradiksi. Ia kembali menggunakan contoh-contoh tajam untuk mengilustrasikan ini:

  • Air yang Mendidih: Bagi Logika, air pada suhu 99°C adalah tetap air. Ia kesulitan menjelaskan momen transisi pada 100°C di mana air tersebut "masih air atau sudah menjadi uap".

  • Tumbuhnya Padi: Logika memisahkan antara "biji" dan "pohon". Namun, proses dialektis menunjukkan bagaimana biji (tesis) "dibatalkan" oleh pohon (antitesis), yang kemudian "dibatalkan" lagi oleh munculnya biji-biji baru yang lebih banyak (sintesis).

  • Kotak Dua Warna: Ia mengutip contoh dari Ueberweg. Sebuah pertanyaan Logis yang pasti adalah: "Apakah warna kotak ini, kalau dipandang dari muka?" Jawabannya pasti: "Putih". Namun, sebuah pertanyaan Dialektis adalah: "Apa warna seluruh kotak itu?" Jawabannya menjadi kontradiktif: "Putih dan hitam."

Logika unggul dalam menganalisis bagian-bagian yang statis, sementara Dialektika diperlukan untuk memahami keseluruhan yang dinamis.

Perangkat Praktis dalam Ilmu Logika

Untuk menunjukkan bahwa ia tidak meremehkan Logika, Tan Malaka kemudian menguraikan secara detail beberapa perkakas teknis dari Logika formal. Ini menunjukkan bahwa ia menghargai Logika sebagai sebuah keterampilan yang harus dikuasai. Ia membahas antara lain:

  1. Conversion (Pembalikan): Yaitu seni membalik posisi subjek dan predikat dalam sebuah pernyataan tanpa mengubah kebenarannya. Misalnya, simpulan "Semua S masuk P" jika dibalik menjadi "Sebagian dari P masuk S". Ia dengan teliti menguraikan aturan pembalikan untuk berbagai jenis proposisi.

  2. Obversion (Perlipatan) & Contraposition (Perlipatan-terbalik): Ini adalah teknik-teknik yang lebih rumit untuk mengubah bentuk sebuah pernyataan sambil mempertahankan maknanya, menunjukkan kekayaan dan presisi yang dimiliki Logika.

  3. Syllogism (Silogisme): Ia menganggap ini sebagai bentuk utama dari penalaran deduktif. Ia membedahnya menjadi komponen-komponennya: "mayor-premise, simpulan besar," "minor-premise, simpulan kecil," dan "conclusion, simpulan akibat." Ia menunjukkan bagaimana dari dua premis yang benar, sebuah kesimpulan yang tak terhindarkan dapat ditarik.

Membedah Lima Golongan Kesilapan yang Menjadi Ranjau Pemikiran

Bagian paling orisinal dari analisis Tan Malaka adalah saat ia membahas tentang kesilapan berpikir (logical fallacies). Ia tidak sekadar mendaftarkannya, tetapi memberikan sebuah kritik materialis dan dialektis terhadapnya. Ia berargumen bahwa banyak dari kesilapan ini bukanlah murni kesalahan logika, melainkan berakar pada cara pandang dunia yang keliru.

"Kesilapan itu tidak berdasarkan Logika atau Psychology belaka. Marilah kita periksa kesilapan itu satu persatu."

Beberapa poin kritiknya yang tajam:

  • Kesilapan Pertama (Paham Dijadikan Bukti): Ia menyebut ini "mystification". Ini adalah kesalahan kaum idealis dan mistikus yang menganggap apa yang bisa mereka bayangkan dengan jelas di kepala (Tuhan, naga, gunung emas) pasti ada di dunia nyata.

  • Kesilapan Ketiga (Salah Menyusun Bukti): Khususnya dalam ilmu sosial, kesalahan seperti analogi yang keliru atau menganggap satu sebab sebagai sebab tunggal (post hoc...) sering kali bukan karena kurang cerdas, melainkan karena "berhubung dengan Point of View, penjuru dari mana si pemeriksa memandang." Seorang pemikir kapitalis dan seorang pemikir sosialis akan menyusun bukti yang sama secara berbeda karena titik berangkat ideologis mereka berbeda.

Kesimpulan: Logika dan Dialektika, Foto dan Film dalam Pikiran Revolusioner

Tan Malaka menyimpulkan bab ini dengan sebuah sintesis yang mendamaikan kedua cara berpikir tersebut. Logika dan Dialektika bukanlah musuh, melainkan mitra dengan tugas yang berbeda. Hubungan keduanya dapat diibaratkan seperti foto dan film.

  • Logika adalah sebuah foto: Ia menangkap sebuah momen realitas dengan sangat jernih, tajam, dan detail. Ia sangat diperlukan untuk analisis yang presisi, klasifikasi, dan membangun argumen yang runut pada keadaan yang relatif stabil.

  • Dialektika adalah sebuah film: Ia adalah keseluruhan cerita yang bergerak, yang menunjukkan bagaimana setiap "foto" (momen) saling terhubung, bagaimana konflik muncul, dan bagaimana alur cerita berkembang dari awal hingga akhir.

Seorang pemikir yang menggunakan Madilog, dengan demikian, harus menjadi seorang "fotografer" andal yang mampu menganalisis setiap detail dengan Logika, sekaligus menjadi seorang "sutradara" ulung yang mampu memahami keseluruhan proses gerak dan perubahan dengan Dialektika. Semuanya ini, tentu saja, harus selalu berpijak di atas landasan Materialisme—bahwa yang dianalisis adalah dunia nyata, bukan dunia khayalan.

Bab 7: Madilog dalam Praktik – Membedah Ulang Makna Kemerdekaan, Pengetahuan, dan Kebenaran

Tan Malaka membuka bab ini dengan sebuah pernyataan tujuan yang jelas. Setelah melalui perjalanan panjang membangun metode, kini saatnya metode itu digunakan. Ia tidak lagi ingin berbicara tentang Madilog, melainkan berbicara dengan Madilog.

"Dalam pasal ini kita akan pergunakan MADILOG itu buat meninjau beberapa persoalan yang penting bagi seorang yang hidup dalam masyarakat yang bergerak."

Inilah momen pembuktian, di mana sebuah cara berpikir diuji kemampuannya untuk menerangi persoalan-persoalan nyata.

1. Meninjau "Kemerdekaan" – Lebih dari Sekadar Kata di Angkasa

Konsep pertama yang ia bedah adalah "kemerdekaan". Di tengah gelora perjuangan, kata ini sering kali diromantisasi menjadi sebuah ide yang suci dan abstrak. Tan Malaka, dengan pisau Materialisme-nya, menolak pandangan tersebut. Ia menarik konsep kemerdekaan dari langit dan menancapkannya kuat-kuat di bumi persoalan sehari-hari. Baginya, kemerdekaan sejati bukanlah soal kebebasan jiwa yang abstrak, melainkan pembebasan dari penderitaan material yang konkret.

Tan Malaka menyindir bahwa bagi seseorang yang terbelenggu oleh kemiskinan dan ketakutan, kebebasan-kebebasan idealis tidaklah cukup.

"Seseorang yang lapar, telanjang, sakit-sakitan, dalam ketakutan dan tertindas, tiadalah bisa memuaskan dirinya dengan kemerdekaan berpikir, beragama dan kemerdekaan pers saja."

Dengan demikian, seorang Madilogis akan mendefinisikan kemerdekaan dari titik berangkat yang material. Kemerdekaan adalah merdeka dari kelaparan, merdeka dari kedinginan, merdeka dari penyakit, merdeka dari pengangguran, dan merdeka dari penindasan.

Setelah menurunkannya ke bumi dengan Materialisme dan kemudian menganalisisnya dengan kacamata Dialektika. Kemerdekaan bukanlah sebuah keadaan yang harmonis atau hadiah yang diberikan begitu saja. Kemerdekaan adalah hasil dari sebuah pertentangan yang tak terdamaikan antara dua kutub yang berlawanan. Dalam konteks Indonesia, pertentangan itu sangat jelas.

"Kemerdekaan Indonesia berarti kematian imperialisme Belanda. Sebaliknya hidupnya imperialisme Belanda berarti kematian kemerdekaan Indonesia. Keduanya tak bisa sekawan, seperti anjing dengan kucing."

Ini adalah pernyataan dialektis yang murni. Tidak ada jalan tengah. Eksistensi yang satu meniscayakan ketiadaan yang lain. Kemerdekaan, dengan demikian, harus dipahami bukan sebagai sebuah cita-cita damai, melainkan sebagai tujuan dari sebuah perjuangan untuk meniadakan lawannya.

2. Meninjau "Pengetahuan" – Alat untuk Menguasai Dunia

Selanjutnya, Tan Malaka mengarahkan lensanya pada konsep "pengetahuan". Ia menyerang gagasan idealis tentang "ilmu untuk ilmu", sebuah pandangan yang melihat pengetahuan sebagai tujuan itu sendiri, terpisah dari dunia material. Dengan pisau Materialisme, ia menegaskan bahwa pengetahuan harus memiliki basis dan tujuan yang bendawi.

"Pengetahuan yang tiada berdasarkan benda dan tiada bisa dipakai buat menguasai benda dan masyarakat itu adalah pengetahuan yang palsu, suatu permainan otak belaka."

Pengetahuan yang sejati adalah alat. Ia lahir dari interaksi manusia dengan dunia material dan berfungsi untuk memungkinkan manusia menguasai dunia material tersebut. Pandangan ini diperdalam dengan lensa Dialektika, yang menjelaskan bahwa dorongan untuk mencari pengetahuan itu sendiri lahir dari perjuangan material. Manusia purba tidak mengembangkan pengetahuan tentang api atau berburu karena iseng, melainkan karena terdesak oleh kebutuhan untuk bertahan hidup.

"Buat menguasai alam ini ia mesti mengetahui alam."

Jadi, pengetahuan bukanlah anugerah gaib, melainkan produk dari pergulatan dialektis yang abadi antara manusia dan alam.

3. Meninjau "Kebenaran" – Sebuah Konsep yang Bergerak dan Berkembang

Terakhir, ia membedah konsep yang paling agung dalam filsafat: "kebenaran". Lagi-lagi, ia menolak pandangan idealis atau mistis yang menganggap kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak, abadi, dan tidak berubah. Dengan Materialisme, ia memberikan definisi yang lugas dan fungsional:

"Kebenaran itu ialah persesuaian antara pikiran dengan benda."

Sebuah ide dianggap "benar" jika ia sesuai atau cocok dengan realitas material yang coba digambarkannya. Namun, pemahaman manusia tentang realitas material itu sendiri tidaklah statis. Pada titik inilah Dialektika masuk. Karena pengetahuan kita tentang "benda" terus berkembang dan berubah, maka "kebenaran" itu sendiri juga dinamis dan historis.

Tan Malaka menggunakan contoh evolusi ilmu fisika untuk mengilustrasikan hal ini. Selama berabad-abad, hukum gerak Newton dianggap sebagai kebenaran mutlak. Namun, teori relativitas Einstein kemudian datang dan menunjukkan bahwa hukum Newton hanyalah kebenaran yang berlaku dalam kondisi-kondisi tertentu (kecepatan rendah) dan merupakan kasus khusus dari sebuah kebenaran yang lebih luas.

"Undang Newton yang sudah dipandang sebagai kebenaran mutlak, akhirnya mesti memberi tempat pada undang Einstein. … Jadi kebenaran itu tiadalah mutlak, melainkan relatif, nisbi."

Kebenaran, dalam pandangan Madilog, bukanlah sebuah tujuan akhir yang statis untuk dicapai, melainkan sebuah proses pendekatan yang terus-menerus terhadap pemahaman realitas material yang juga terus bergerak dan menyingkap dirinya.

Kesimpulan: Puncak dari Semua Pemikiran – Mengubah Dunia

Setelah menunjukkan bagaimana Madilog mampu menguliti dan memberikan makna baru yang material dan dinamis pada konsep-konsep kemerdekaan, pengetahuan, dan kebenaran, Tan Malaka sampai pada kesimpulan puncaknya. Ia menegaskan bahwa tujuan dari semua aktivitas berpikir ini bukanlah untuk kepuasan intelektual semata. Memiliki cara pandang dunia yang benar dan jernih hanyalah langkah pertama. Tujuan akhirnya adalah aksi.

Sebagai kalimat pamungkas, ia menggemakan kembali Tesis ke-11 Karl Marx tentang Feuerbach, yang merangkum seluruh semangat aktivis dari Madilog:

"Para ahli filsafat cuma berlain-lainan menafsirkan dunia; tetapi yang perlu ialah merobah dunia itu."

Dengan ini, Bab VII berfungsi sebagai jembatan terakhir yang menghubungkan seluruh bangunan teoretis Madilog dengan tujuan praktisnya di dunia nyata. Ia adalah demonstrasi bahwa cara berpikir yang benar bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan perkakas yang paling tajam untuk perjuangan yang paling nyata: mengubah dunia.

Catatan Penulis: Warisan Intelektual Seorang Pejuang

Menutup halaman terakhir Madilog selalu meninggalkan kesan yang sama yaitu sebuah campuran antara kekaguman intelektual dan keharuan. Kekaguman atas ambisinya yang luar biasa untuk menempa sebuah "cara berpikir" bagi sebuah bangsa yang sedang berjuang, dan keharuan saat membayangkan konteks kelahirannya. Karya ini tidak lahir di ruang perpustakaan yang senyap atau dari menara gading akademis. Madilog ditulis "di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata", dalam persembunyian, tanpa pustaka, di bawah ancaman patroli polisi militer Kempetai Jepang, oleh seorang revolusioner yang telah mengorbankan hampir seluruh hidupnya dalam pelarian.

Kondisi penciptaan yang penuh derita ini bukan saja sekedar seonggok catatan kaki sejarah, melainkan kunci untuk memahami jiwa dari Madilog itu sendiri. Ini bukanlah buku filsafat untuk berfilsafat. Ini adalah sebuah senjata yang ditempa di tengah kecamuk perang, sebuah perkakas yang dirancang untuk membebaskan. Setelah menelusuri kembali setiap argumennya, saya ingin merangkum jantung pemikirannya, menawarkan beberapa catatan kritis, dan merefleksikan relevansinya bagi kita di abad ke-21.

Jantung Pemikiran Madilog

Inti dari Madilog adalah sebuah ajakan radikal untuk mengubah cara kita memandang dunia. Tan Malaka berargumen bahwa keterbelakangan dan ketertindasan sebuah bangsa tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi atau politik, tetapi juga oleh "penjara berpikir" yang mengungkung rakyatnya. Untuk membongkar penjara itu, ia menawarkan sebuah kunci tripilar: Materialisme, Dialektika, dan Logika.

  1. Materialisme sebagai Fondasi: Pilar pertama dan utama Madilog adalah Materialisme. Ini adalah perang total Tan Malaka terhadap apa yang ia sebut "Logika Mistika"—cara berpikir yang mendasarkan kebenaran pada kepercayaan, takhayul, dan hal-hal gaib. Baginya, semua analisis harus berpijak pada "dunia bukti", pada realitas bendawi yang dapat diverifikasi oleh panca indra dan diuji oleh sains. Dengan tegas ia menyatakan, "Sebab itulah kita namakan Madilog karena berdasarkan matter, benda. Dari penjuru matter inilah kita memandang.". Ini adalah sebuah panggilan untuk turun dari langit angan-angan dan memijak bumi yang nyata.

  2. Dialektika dan Logika sebagai Perkakas: Jika Materialisme adalah pondasinya, maka Dialektika dan Logika adalah dua perkakas utama untuk membangun pemahaman di atas fondasi itu. Di sinilah letak kejeniusan pedagogis Tan Malaka. Ia tidak mempertentangkan keduanya, melainkan menempatkannya dalam sebuah hubungan yang harmonis namun hierarkis.

    • Logika adalah "tongkat pertama", alat berpikir yang jernih, lurus, dan konsisten (A=A, A bukan non-A). Ia mutlak diperlukan untuk membersihkan pikiran dari kabut takhayul dan membangun argumen yang runut. "Kebanyakan persoalan," tulisnya, "bisa diselesaikan dengan logika, undang berpikir saja.".

    • Dialektika adalah perkakas yang lebih tinggi, yang digunakan saat Logika mencapai batasnya—yakni ketika berhadapan dengan gerak, perubahan, dan kontradiksi. Ia adalah cara berpikir untuk memahami proses, di mana "ya itu boleh tidak" dan "A itu pada saat itu juga bisa Non A".

  3. Tujuan Akhir: Mengubah Dunia: Tan Malaka tidak pernah membiarkan pembacanya terlena dalam keindahan bangunan teoritisnya. Di setiap akhir penjelasannya, ia selalu menarik kesimpulannya kembali ke tujuan akhir yang politis. Madilog ditempa bukan untuk akademisi yang pasif, melainkan untuk para aktivis dan kaum pekerja—"tulang belakangnya ekonomi Indonesia" —yang ia yakini sebagai agen sejati perubahan sejarah. Seluruh bangunan Madilog pada akhirnya mengerucut pada satu seruan pamungkas yang dipinjam dari Marx: "Para ahli filsafat cuma berlain-lainan menafsirkan dunia; tetapi yang perlu ialah merubah dunia itu!"

Catatan Kritis: Madilog dalam Timbangan Sejarah

Sebagai sebuah magnum opus, kebesaran Madilog tidak membuatnya luput dari kritik. Membacanya dengan kacamata kontemporer memungkinkan kita untuk mengapresiasi kekuatannya sekaligus memahami keterbatasan historisnya.

  • Kekuatan:

    1. Kontekstualisasi Radikal: Kekuatan terbesar Madilog adalah kemampuannya menjadi "jembatan" intelektual. Tan Malaka tidak sekadar menyalin Marxisme Eropa. Ia sadar betul bahwa tangannya menulis untuk sebuah masyarakat yang "masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahayul campur aduk.". Oleh karena itu, ia menghabiskan begitu banyak waktu untuk menjelaskan dasar-dasar Logika dan Sains sebagai senjata melawan mistisisme, sebelum melangkah ke Dialektika. Ini adalah sebuah adaptasi pedagogis yang brilian.

    2. Pedagogi Revolusioner: Latar belakangnya sebagai guru sangat terasa di sepanjang buku. Seperti yang diamati Franz Magnis-Suseno, nada Madilog memang sangat "menggurui" . Namun, ini bukanlah kelemahan, melainkan cerminan dari tujuannya. Madilog adalah sebuah kuliah umum raksasa bagi sebuah bangsa, penuh dengan analogi sederhana (sepak bola, kereta api, gasing) untuk menerangkan konsep yang paling rumit sekalipun.

    3. Keberanian Intelektual: Fakta bahwa karya filsafat sekompleks ini ditulis "tanpa harus melihat referensi, melainkan hanya berdasar ingatannya saja" dan mengandalkan sistem "jembatan keledai", adalah sebuah bukti ketangguhan intelektual yang nyaris tak tertandingi.

  • Keterbatasan dalam Konteks:

    1. Aura Positivisme Abad ke-19: Madilog sangat mengagungkan Sains dengan semangat positivisme yang khas pada masanya. Pandangannya tentang hukum alam yang "pasti" dan dapat diukur mencerminkan optimisme sains era Newton dan Darwin. Dari kacamata abad ke-21, yang telah melewati revolusi fisika kuantum dengan prinsip ketidakpastiannya, beberapa klaim kepastian ini mungkin terasa sedikit usang. Namun, ini tidak mencederai metode berpikirnya, hanya menunjukkan bahwa contoh-contoh ilmiahnya terikat oleh zaman.

    2. Determinisme Ekonomi?: Meskipun Tan Malaka secara brilian menjelaskan konsep "perlantunan" (efek timbal balik) antara basis material dan pikiran, di beberapa bagian, alur argumennya dapat terkesan mengarah pada determinisme ekonomi yang agak kaku. Penekanannya yang begitu kuat pada "keadaan ekonomi" sebagai pembentuk utama dari kebudayaan, seni, dan filsafat, terkadang berisiko menyederhanakan kompleksitas interaksi antara struktur dan agensi manusia.

Relevansi Madilog di Abad ke-21

Lalu, mengapa kita harus membaca Madilog hari ini? Apakah ia hanya sebuah artefak sejarah pemikiran kiri Indonesia? Saya yakin tidak. Warisan terbesarnya justru semakin relevan di tengah hiruk pikuk zaman kita.

Pertama, perang Tan Malaka melawan "Logika Mistika" hari ini menemukan medan pertempuran barunya dalam perang melawan hoaks, disinformasi, dan teori konspirasi yang merajalela di era digital. Ajakannya untuk mendasarkan argumen pada "bukti", memeriksa sumber, dan berpikir secara logis adalah vaksin intelektual yang sangat kita butuhkan.

Kedua, di tengah kompleksitas masalah global—krisis iklim, ketimpangan ekonomi, pandemi—cara berpikir dialektis yang ia tawarkan adalah penawar bagi simplifikasi berlebihan. Dialektika melatih kita untuk melihat keterkaitan, memahami pertentangan yang mendasari sebuah masalah, dan melihat segala sesuatu sebagai sebuah proses, bukan kejadian yang terisolasi.

Terakhir, Madilog dan sosok Tan Malaka sendiri adalah pengingat abadi tentang peran seorang intelektual. Ia adalah monumen yang menentang intelektualisme menara gading. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati harus diabdikan untuk pembebasan. 

Pada akhirnya, Madilog lebih dari sekadar buku. Ia adalah sebuah undangan untuk sebuah perjalanan—perjalanan untuk membersihkan pikiran, mempertajam nalar, dan yang terpenting, memiliki keberanian untuk tidak hanya menafsirkan dunia, tetapi juga untuk mengubahnya. Medio Desember 2019

Zlamitan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...