Catatan: Konten ini tersedia juga dalam format video di chanel YouTube: Podcast Pengantar Tidur
Perjalanan kita dimulai bukan di sebuah teras berdebu di Athena kuno, melainkan di ruang praktek seorang psikiater. Di sanalah Henry Manampiring, sang penulis, dihadapkan pada sebuah diagnosis yang mengubah hidupnya yaitu Major Depressive Disorder. Ini bukanlah kesedihan biasa yang sering diobral di media sosial, melainkan sebuah kondisi medis nyata yang membuatnya diselimuti pikiran-pikiran mendung dan kecemasan yang tak berkesudahan. Selama ini, ia dikenal sebagai pribadi yang cenderung pesimis, selalu membayangkan skenario terburuk dari setiap situasi. Nasihat populer seperti "positive thinking" atau "pikirkan yang baik-baik saja" terasa hampa dan tidak mempan baginya. Baginya, mengubah pikiran negatif menjadi positif tak semudah membalik saklar lampu.
Meskipun terapi obat-obatan dari psikiater terbukti efektif dan memperbaiki suasana hatinya secara signifikan, Henry menyadari bahwa obat saja tidaklah cukup. Ia mendambakan sebuah solusi jangka panjang, sebuah "terapi tanpa obat" yang bisa dipraktekkan seumur hidup. Pencarian inilah yang secara tak sengaja membawanya ke sebuah toko buku, di mana ia menemukan sebuah karya berjudul How To Be A Stoic. Dari sanalah matanya terbuka pada sebuah mazhab filsafat berusia lebih dari 2.000 tahun yang terasa begitu relevan dan praktis: Stoisisme.
Henry menemukan bahwa Stoisisme, yang ia terjemahkan menjadi "Filosofi Teras" untuk membuatnya lebih mudah diakses, menawarkan sebuah "sistem operasi" (OS) mental yang kokoh. Filosofi ini tidak menjanjikan hidup tanpa masalah, melainkan membekali kita dengan mental tangguh untuk menghadapi naik turunnya kehidupan. Ia pun melakukan sebuah "Survei Khawatir Nasional" secara daring dan menemukan fakta yang mengejutkan: hampir dua dari tiga responden merasa "lumayan khawatir/sangat khawatir" tentang hidup mereka. Kekhawatiran ini merentang dari urusan pekerjaan, keuangan, hingga kondisi sosial politik. Penemuan ini semakin mengukuhkan relevansi Filosofi Teras sebagai penawar bagi penyakit zaman now yaitu kecemasan yang berlebihan.
Hidup Selaras dengan Alam dan Dikotomi Kendali
Pilar utama Filosofi Teras adalah sebuah prinsip yang terdengar sederhana namun sangat mendalam: "Hidup selaras dengan Alam" (in accordance with nature). Ini bukanlah sekedar ajakan untuk menjadi pecinta lingkungan. "Alam" dalam Stoisisme berarti tatanan rasional alam semesta, dan hidup selaras dengannya berarti menggunakan fitur paling istimewa yang membedakan manusia dari makhluk lain: nalar atau akal sehat (rasio). Ketika kita dikuasai emosi, bertindak impulsif, dan kehilangan kepala dingin, kita sejatinya sedang tidak selaras dengan Alam dan tidak berbeda jauh dari binatang.
Selain sebagai makhluk bernalar, nature manusia juga adalah sebagai makhluk sosial (social creatures). Kita diciptakan untuk hidup bersama dan saling membantu. Konsep ini diperluas menjadi gagasan kosmopolitan, bahwa kita semua adalah "warga dunia" (citizen of the world), di mana lingkaran kepedulian kita harus meluas dari keluarga, komunitas, bangsa, hingga seluruh umat manusia.
Dari fondasi ini, muncullah perangkat paling fundamental dan praktis dari Filosofi Teras, yang disebut "Dikotomi Kendali" (dichotomy of control). Epictetus, seorang filsuf Stoa yang terlahir sebagai budak, merumuskannya dengan begitu jernih: "Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita".
Apa saja yang sepenuhnya di bawah kendali kita? Jawabannya adalah dunia internal kita: pertimbangan (judgment), opini, persepsi, keinginan, dan semua tindakan kita sendiri. Sebaliknya, apa saja yang tidak di bawah kendali kita? Hampir semua hal lainnya: tindakan dan opini orang lain, reputasi kita, kekayaan, kesehatan, kondisi saat kita lahir, cuaca, dan hasil akhir dari setiap usaha kita.
Para filsuf Stoa mengajarkan bahwa sumber dari segala emosi negatif dan penderitaan kita adalah karena kita keliru menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita cemas akan penilaian orang lain, kita frustasi karena kekayaan tak kunjung datang, kita hancur karena reputasi tercoreng. Ini semua adalah tindakan yang tidak rasional. Kebahagiaan sejati, kata mereka, hanya bisa bersumber dari hal-hal yang sepenuhnya ada di tangan kita, yaitu dunia batin kita.
Tentu ada yang bertanya, "Bukankah karier, prestasi, atau kesehatan bisa kita usahakan?" Di sinilah William Irvine, seorang penulis modern, menawarkan modifikasi yang disebut "Trikotomi Kendali", yang membagi realitas menjadi tiga: hal yang bisa kita kendalikan, hal yang tidak bisa kita kendalikan, dan hal yang sebagian bisa kita kendalikan. Untuk kategori ketiga ini, kuncinya adalah memisahkan antara tujuan internal (upaya kita) dengan hasil eksternal (outcome).
Bayangkan Anda menghadapi sidang skripsi. Hasil akhirnya (lulus atau tidak, nilai A atau C) adalah outcome yang dipengaruhi banyak faktor eksternal: mood dosen penguji, kelancaran laptop, dan lainnya. Namun, internal goal Anda—belajar dengan tekun, memahami materi, berlatih presentasi—sepenuhnya berada dalam kendali Anda. Dengan memfokuskan energi dan kepuasan pada internal goal, kita bisa merasa tenang apapun hasil akhirnya. Jika berhasil, kita bersyukur. Jika gagal, kita tidak perlu hancur lebur, karena kita tahu kita sudah melakukan yang terbaik dari apa yang bisa kita kendalikan.
Menguasai Persepsi dan Memperkuat Mental
Jika Dikotomi Kendali adalah petanya, maka kemampuan mengendalikan persepsi adalah kompasnya. Epictetus kembali memberikan pencerahan: "Bukan hal-hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tetapi pertimbangan/pikiran/persepsi akan hal-hal dan peristiwa tersebut". Sebuah peristiwa, seperti terjebak macet, diputus pacar, atau kehilangan pekerjaan, pada dasarnya adalah netral. Yang membuatnya menjadi "buruk" dan memicu emosi negatif adalah label, makna, dan value judgment yang kita lekatkan padanya.
Kabar baiknya adalah, pikiran dan persepsi kita sepenuhnya berada di bawah kendali kita. Kita memiliki kekuatan untuk mengubah narasi dalam kepala kita kapanpun juga. Inilah yang disebut Benteng di Dalam Diri (The Inner Citadel); tempat berlindung terkokoh yang tidak bisa ditembus oleh gejolak dunia eksternal.
Untuk melatih kemampuan ini, buku ini memperkenalkan kerangka praktis S-T-A-R:
Stop: Begitu merasakan emosi negatif (marah, cemas, sedih), berhentilah sejenak. Ambil jeda.
Think & Assess: Gunakan nalar untuk berpikir dan menilai. Apakah pemicunya sesuatu yang bisa saya kendalikan? Apakah saya sudah memisahkan fakta objektif dari interpretasi subjektif saya?.
Respond: Setelah berpikir jernih, barulah pilih respons (ucapan atau tindakan) yang paling bijaksana.
Selain S-T-A-R, ada teknik "imunisasi mental" yang disebut premeditatio malorum, atau membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Setiap pagi, Marcus Aurelius memulai harinya dengan berkata pada diri sendiri bahwa ia akan bertemu dengan orang-orang yang egois, tidak tahu terima kasih, dan menyebalkan. Tujuannya bukan untuk menjadi pesimis, melainkan untuk mengubah potensi "kejutan" yang tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang "telah diantisipasi". Dengan demikian, ketika hal itu benar-benar terjadi, dampaknya tidak akan terlalu mengguncang. Ini adalah cara proaktif untuk memperkuat mental sebelum krisis datang.
Lebih jauh lagi, kita diajak untuk berlatih amor fati, atau "mencintai takdir". Ini lebih dari sekadar menerima, tetapi justru menginginkan apapun yang terjadi seolah-olah itu adalah pilihan kita sendiri. Ketika kita mampu melihat setiap kesulitan—bahkan musibah sekalipun—sebagai kesempatan untuk melatih kebajikan (kesabaran, keberanian, kebijaksanaan), maka tidak ada peristiwa yang benar-benar bisa menghancurkan kita. Halangan justru bisa menjadi jalan itu sendiri (The obstacle is the way). Seperti yang dialami Steve Jobs, dipecat dari Apple—sebuah halangan besar—justru menjadi jalan baginya untuk meraih kesuksesan yang lebih gemilang.
Menghadapi Orang Menyebalkan dan Menjadi Warga Dunia
Manusia adalah makhluk sosial, namun seringkali juga menjadi sumber kekesalan bagi sesamanya (Homo Homini Nyebelin). Bagaimana Filosofi Teras memandang ini? Pertama, butuh dua pihak untuk merasa terhina. Hinaan atau celaan orang lain hanyalah kata-kata; ia menjadi menyakitkan hanya jika kita mengizinkannya dengan merasa terhina. Pikiran kitalah yang memberi kekuatan pada hinaan tersebut. Balas dendam terbaik, menurut Marcus Aurelius, adalah dengan tidak menjadi seperti orang yang menyakiti kita.
Kedua, Stoisisme mengajarkan kita untuk melihat bahwa seringkali tidak ada niat jahat di balik perilaku orang lain, melainkan ketidaktahuan (ignorance). Mereka bertindak berdasarkan sudut pandang mereka yang terbatas, mengira apa yang mereka lakukan adalah benar atau wajar. Orang yang bertanya "kapan kawin?" mungkin tulus mengkhawatirkan kebahagiaan kita, meskipun caranya menyebalkan. Jika kita memandang mereka sebagai orang yang "tidak tahu", maka respons kita bukanlah kemarahan, melainkan welas asih.
Tugas kita terhadap sesama dirangkum dalam prinsip "Instruct or Endure": ajari atau toleransi. Jika kita melihat seseorang melakukan kekeliruan, kewajiban kita adalah mencoba mengajarkan dengan baik. Jika gagal, maka kita harus menanggungnya dengan sabar. Namun, filsafat ini juga realistis. Ada kalanya kita harus menghindari orang-orang yang benar-benar toxic atau "teman palsu" yang hanya membawa pengaruh buruk.
Prinsip sosial ini mencapai puncaknya dalam gagasan "warga dunia". Kita diajak untuk tidak mendefinisikan diri hanya sebagai orang Indonesia, orang Jawa, atau penganut agama tertentu, tetapi sebagai bagian dari kemanusiaan yang lebih besar. Seperti yang ditulis oleh Pendeta Martin Niemoller dalam puisinya yang terkenal, kebungkaman kita saat melihat ketidakadilan menimpa kelompok lain—hanya karena mereka "berbeda"—pada akhirnya akan berbalik menghantui kita sendiri. Kepedulian kita harus melintasi sekat-sekat identitas.
Menjadi Seorang Prokopton
Pada akhirnya, "Filosofi Teras" bukanlah buku yang menjanjikan formula kebahagiaan instan. Kebahagiaan, dalam pandangan Stoa, bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan efek samping (by-product) dari hidup yang dijalani dengan baik—hidup yang dipandu oleh nalar dan kebajikan (virtue). Kebajikan utama ada empat: Kebijaksanaan (wisdom), Keadilan (justice), Keberanian (courage), dan Menahan Diri (temperance).
Stoisisme adalah sebuah filsafat yang sangat praktis. Ia tidak tertarik pada seberapa banyak teori yang kita hafal, melainkan pada bagaimana kita menerapkannya dalam tindakan nyata sehari-hari. Epictetus mengibaratkan seorang filsuf dengan domba; domba tidak memuntahkan kembali rumput yang dimakannya untuk pamer, melainkan mencernanya untuk menghasilkan susu dan wol yang bermanfaat. Begitu pula kita, jangan hanya memamerkan pengetahuan, tetapi tunjukkanlah buahnya dalam karakter dan perbuatan kita.
Para penganut Stoisisme bahkan tidak suka menyebut diri mereka sebagai "seorang Stoa", karena itu menyiratkan kesempurnaan yang mustahil dicapai. Mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai "prokopton", atau "seseorang yang sedang membuat kemajuan" (a progressor). Ini adalah pengakuan yang rendah hati bahwa kita semua adalah pelajar abadi, sebuah karya yang terus-menerus dalam proses perbaikan.
Perjalanan Henry Manampiring menemukan Stoisisme dimulai dari sebuah "kapal karam" dalam hidupnya, yaitu depresi. Namun, seperti Zeno sang pendiri Stoisisme yang menemukan jalan hidupnya setelah kapalnya karam, Henry pun menemukan ketenangan dan kekuatan dari musibah tersebut. Buku "Filosofi Teras" adalah undangan bagi kita semua untuk memulai perjalanan yang sama. Sebuah perjalanan untuk melatih pikiran, mengendalikan emosi, hidup dengan berani dan adil, serta menemukan kedamaian yang kokoh, bukan karena dunia luar menjadi lebih baik, tetapi karena benteng di dalam diri kita telah terbangun dengan teguh. Selamat menjalani hidup, sebagai seorang prokopton.

Komentar
Posting Komentar