Putusan 135/2024, Sebuah Peristiwa Reposisi Arsitektur Pemilu dan Sinyal Penting Adanya Krisis Konstitusional
Nalar di balik palu hakim sesungguhnya dapat dipahami. Dua kali Indonesia menyelenggarakan "pemilu monster" pada 2019 dan 2024, sebuah eksperimen keserentakan yang menggabungkan lima kotak suara dalam satu hari pemungutan. Hasilnya adalah sebuah kelelahan kolektif—bagi pemilih yang dibanjiri informasi, dan secara tragis, bagi para penyelenggara di garda terdepan. Ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang gugur menjadi monumen suram atas sistem yang dinilai terlalu brutal. Atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan efektivitas teknis inilah, MK berupaya mencari jalan keluar.
Melalui putusannya, MK mendekonstruksi model keserentakan yang ada. Mahkamah menawarkan sebuah desain baru yaitu pemisahan tegas antara Pemilu Nasional untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, dan DPD, dengan Pemilu Daerah untuk memilih kepala daerah serta anggota DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Untuk memastikan pemisahan ini efektif, MK menetapkan adanya jeda waktu yang spesifik, yakni paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan. Secara konseptual, ini adalah sebuah langkah yang logis. Tujuannya adalah agar fokus pemilih tidak terpecah, kampanye lebih substantif membahas isu nasional dan lokal secara terpisah, dan beban penyelenggara menjadi lebih manusiawi. Meski tampak baik, namun niat baik yang tidak diiringi kalkulasi konstitusional yang matang seringkali melahirkan konsekuensi yang tidak terduga.
Pada momen inilah episentrum kontroversi meledak. Implikasi paling langsung dan paling merusak dari putusan ini adalah terciptanya vakum atau perpanjangan masa jabatan bagi anggota DPRD. Dengan skenario Pemilu Nasional 2029, maka Pemilu Daerah baru akan terselenggara paling cepat pada tahun 2031. Konsekuensinya, anggota DPRD hasil Pemilu 2024 yang seharusnya mengakhiri masa baktinya pada 2029, harus terus menjabat hingga anggota baru terpilih dan dilantik pada 2031. Ini berarti masa jabatan mereka akan membengkak dari lima tahun menjadi tujuh, bahkan mendekati delapan tahun.
Masalahnya, perpanjangan masa jabatan ini menabrak langsung salah satu pilar paling fundamental dalam konstitusi elektoral kita. Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi dengan sangat jelas dan tanpa ambiguitas: "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali." Diksi "setiap lima tahun sekali" adalah norma imperatif, sebuah perintah konstitusional yang mengunci siklus demokrasi Indonesia dalam periodisasi yang pasti dan terukur. Pemilu lima tahunan adalah jaminan sirkulasi kekuasaan secara reguler dan benteng melawan tirani perpanjangan kekuasaan tanpa mandat rakyat yang baru. Maka, ketika sebuah putusan yudisial menciptakan kondisi yang secara de facto meniadakan siklus lima tahunan ini, dirinya telah menciptakan sebuah vulnus constitusionale, sebuah luka pada tubuh konstitusi yang ironisnya dilakukan oleh lembaga yang bertugas sebagai penjaga konstitusi itu sendiri.
Tentu, ada pembelaan yang menyatakan bahwa MK tidak sedang melanggar konstitusi, melainkan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) atau tafsir kreatif. Para pembela argumen ini, seperti yang diutarakan oleh pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, melihat amar putusan MK sebagai perintah kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk merekayasa ulang kerangka hukum pemilu agar sejalan dengan model baru ini. Dalam pandangan ini, MK sedang berperan sebagai "legislator positif" yang tidak hanya membatalkan norma, tetapi juga memberikan arah bagi pembentukan norma baru. Namun, argumen ini mengandung kelemahan fatal ketika dihadapkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
Dalam teori klasik yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen, arsitek utama model Mahkamah Konstitusi, lembaga ini didesain sebagai seorang "legislator negatif" (negative legislator). Fungsi utamanya bersifat subtraktif. Putusan itu tidak menciptakan norma baru, melainkan mengeliminasi norma yang ada (dalam undang-undang) karena bertentangan dengan norma yang lebih tinggi (konstitusi). Bayangkan sebuah proses legislasi di DPR dan Pemerintah sebagai tindakan "menulis" sebuah kalimat ke dalam buku undang-undang negara. Maka, peran MK adalah sebagai editor yang memiliki kewenangan untuk "mencoret" kalimat tersebut jika ia tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa konstitusi. MK mengatakan "tidak" kepada pembentuk undang-undang. MK tidak berhak mengambil alih pena dan menulis kalimat alternatifnya sendiri.
Kewenangan ini, yang dikenal sebagai uji konstitusionalitas (constitutional review), adalah pilar kekuasaan kehakiman yang merdeka. Ia memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh cabang politik (legislatif dan eksekutif) yang sarat dengan kompromi dan kepentingan, tetap berada dalam koridor fundamental yang telah disepakati bersama dalam UUD 1945. Dalam kasus pemilu, MK berwenang penuh untuk menyatakan, misalnya, "Model keserentakan dalam UU Pemilu ini terbukti menimbulkan beban yang tidak rasional dan melanggar hak atas jaminan kerja yang manusiawi, sehingga pasal yang mengaturnya dinyatakan inkonstitusional." Titik. Disini seharusnya palu diketuk dan kewenangan yudisial berhenti.
Putusan 135/2024 melakukan sebuah lompatan kuantum dari peran "legislator negatif" menjadi "arsitek kebijakan". MK tidak hanya mencoret model yang ada, tetapi ia juga menggelar cetak biru model yang baru di atas meja. Penetapan model pemisahan pemilu nasional dan daerah, lengkap dengan preskripsi jeda waktu spesifik "paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan," adalah sebuah tindakan merancang (designing), bukan lagi menguji (reviewing).
Ini adalah ranah kebijakan (policy domain) karena desain sebuah sistem pemilu melibatkan serangkaian pertanyaan non-yuridis yang kompleks dan memerlukan pertimbangan di luar teks hukum semata:
Pertimbangan Anggaran: Berapa besar implikasi biaya terhadap APBN dan APBD dengan model baru ini? Apakah negara mampu?
Pertimbangan Logistik & Teknis: Bagaimana kesiapan KPU dan Bawaslu di seluruh tingkatan untuk menjalankan dua siklus pemilu besar dalam rentang waktu yang berdekatan?
Pertimbangan Politik & Stabilitas: Bagaimana dampak model ini terhadap dinamika koalisi partai, stabilitas pemerintahan (nasional dan daerah), dan potensi eskalasi konflik politik yang terus-menerus?
Pertimbangan Sosiologis: Bagaimana dampak psikologis terhadap masyarakat yang harus terus-menerus berada dalam "suasana pemilu"?
Semua pertanyaan ini adalah "political questions" yang secara inheren merupakan domain eksklusif cabang legislatif dan eksekutif. Merekalah yang memiliki mandat demokratis langsung dari rakyat melalui pemilu untuk membuat pilihan-pilihan kebijakan yang sulit ini. Merekalah yang memiliki aparat dan sumber daya untuk melakukan kajian mendalam atas berbagai dampak tersebut. MK, yang terdiri dari sembilan hakim yang tidak dipilih oleh rakyat dan tidak memiliki aparat teknokratis untuk mengkaji kebijakan, secara institusional tidak diperlengkapi dan tidak dilegitimasi untuk mengambil keputusan arsitektural semacam ini.
Ketika sang penjaga cetak biru konstitusi mengambil alih peran arsitek, ia secara efektif telah mengaburkan demarkasi suci dalam prinsip pemisahan kekuasaan. Legislatif dan eksekutif tidak lagi berfungsi sebagai perumus kebijakan utama, melainkan direduksi perannya menjadi sekadar "juru tulis" atau "kontraktor pelaksana" dari desain yang telah final diputuskan oleh MK. Ini membalik logika checks and balances. Kekuasaan yudisial yang seharusnya berfungsi sebagai "rem" kini justru menjadi "mesin" penggerak kebijakan.
Implikasinya sangat berbahaya dan berjangka panjang:
Membuka Kotak Pandora "Pemerintahan oleh Hakim" (Judiciocracy). Jika preseden ini dibiarkan, di mana batasnya? Jika MK bisa merancang sistem pemilu, apakah besok ia juga bisa merancang sistem jaminan sosial, kurikulum pendidikan nasional, atau bahkan skema subsidi energi? Ini akan menciptakan ketidakpastian hukum dan politik yang luar biasa. sebuah fenomena dimana kebijakan-kebijakan fundamental negara tidak lagi diputuskan di ruang paripurna DPR yang bising oleh perdebatan publik, tetapi di ruang sidang MK yang senyap.
Politisasi dan Erosi Legitimasi MK. Ketika MK terjun ke dalam pembuatan kebijakan, ia tidak bisa lagi berlindung di balik jubah netralitas hukum. Putusannya akan dinilai berdasarkan standar politik dan akan selalu ada pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan secara politis. Hal ini akan mengundang serangan politik yang deras terhadap Mahkamah, menggerus kepercayaaan publik, dan pada akhirnya merusak wibawanya sebagai wasit konstitusi yang tidak memihak.
Menciptakan Jalan Pintas Anti-Demokratis. Para aktor politik yang kalah dalam pertarungan gagasan di parlemen mungkin akan melihat MK sebagai "jalan pintas". Alih-alih melobi dan membangun koalisi yang sulit di ranah politik, mereka akan lebih memilih untuk "menggugat" ke MK, berharap sembilan hakim akan memberikan kemenangan kebijakan yang tidak bisa mereka raih secara demokratis. Ini akan melemahkan institusi legislatif dan mendelegitimasi proses politik itu sendiri.
Kritik terhadap Putusan 135/2024 melampaui sekadar perdebatan teknis pemilu. Ia menyangkut pertanyaan paling esensial yaitu siapa yang berhak membentuk masa depan bangsa ini? Apakah para wakil yang dipilih rakyat melalui proses politik yang terbuka, atau sembilan orang negarawan di Mahkamah Konstitusi melalui interpretasi yudisial? Dengan mengambil peran sebagai arsitek, MK mungkin telah berniat baik untuk memperbaiki sebuah rumah, namun ia berisiko merusak fondasi struktur negara hukum demokratis yang menopangnya.
Kini, Indonesia memang dihadapkan pada dilema untuk mencari jalan keluar dari labirin konstitusional yang diciptakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di tengah kebingungan ini, naluri teknokratis seringkali mencari solusi pragmatis dengan menengok pada instrumen hukum yang sudah ada. Dari sinilah lahir gagasan untuk mengekstrapolasi mekanisme Penjabat (Pj) Kepala Daerah untuk diterapkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, opsi penunjukan "Pj DPRD" ini bukan sekadar solusi yang problematis. Putusan itu sendiri, dapat dianggap sebuah gagasan yang cacat secara fundamental, sebuah ilusi yuridis yang mengabaikan perbedaan DNA konstitusional antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Mekanisme Pj Kepala Daerah memang memiliki landasan yuridis yang jelas, meskipun kerap menjadi subjek perdebatan politik. Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang) secara eksplisit mengatur pengisian kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan walikota. Undang-undang ini memberikan mandat kepada Pemerintah Pusat (melalui Menteri Dalam Negeri) dan Gubernur untuk menunjuk seorang pejabat pimpinan tinggi madya atau pratama untuk menjalankan roda pemerintahan hingga terpilihnya kepala daerah definitif. Logika di baliknya adalah prinsip kesinambungan pemerintahan (continuïteit van bestuur). Fungsi-fungsi administrasi negara—pelayanan publik, pelaksanaan anggaran, manajemen aparatur sipil negara—tidak boleh berhenti sedetik pun. Legitimasi seorang Pj bersifat hierarkis-administratif yaitu Kepala Daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah atasan untuk memastikan mesin birokrasi tetap berjalan.
Namun, mencoba menerapkan logika yang sama pada DPRD adalah sebuah kesalahan kategori yang fatal. Fondasi yuridis dan filosofis DPRD sama sekali berbeda. Jika Pj Kepala Daerah berpijak pada UU Pilkada, maka eksistensi DPRD berakar langsung pada norma tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum."
Diksi "dipilih melalui pemilihan umum" ini adalah kunci konstitusional yang tidak dapat ditawar. Teks itu menetapkan satu-satunya metode yang sah dan legitim untuk mengisi kursi di lembaga legislatif. Tidak ada satu pun klausa, ayat, atau bahkan tafsir yang memungkinkan metode pengisian melalui penunjukan, pengangkatan, atau dekret eksekutif. Mandat ini diperkuat oleh jiwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. DPRD adalah manifestasi langsung dari pelaksanaan kedaulatan rakyat di tingkat daerah. Anggotanya bukan administrator atau birokrat; mereka adalah wakil rakyat yang membawa suara, aspirasi, dan mandat dari konstituen di daerah pemilihannya.
Oleh karena itu, mengisinya dengan figur yang ditunjuk oleh eksekutif—entah oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur—akan menciptakan sebuah absurditas konstitusional. Pertama, ini akan secara brutal mencederai prinsip pemisahan kekuasaan. Lembaga yang fungsi utamanya adalah mengawasi (oversight) jalannya pemerintahan eksekutif, justru akan diisi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh pihak yang diawasinya. Ini sama saja dengan meminta terdakwa untuk menunjuk hakimnya sendiri. Mekanisme checks and balances akan runtuh seketika.
Kedua, ini akan mengingkari hakikat representasi politik. Seorang anggota DPRD mewakili suara ribuan rakyat di dapilnya. Siapakah yang akan diwakili oleh seorang "Pj DPRD" yang ditunjuk? Tentu saja, dirinya akan mewakili kepentingan institusi yang menunjuknya. Hubungan suci antara the representative and the represented (yang mewakili dan yang diwakili) akan terputus. Lembaga yang seharusnya menjadi panggung perdebatan kehendak rakyat akan berubah menjadi ruang gema kehendak eksekutif. Ini adalah sebuah kemunduran demokrasi yang serius, mengembalikan Indonesia pada logika otoritarianisme di mana representasi bisa direkayasa dari atas.
Secara yuridis, tidak ada satu pun instrumen hukum yang menyediakan celah bagi pembentukan "Pj DPRD". Baik UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) maupun UU tentang Pemerintahan Daerah tidak mengenal konsep tersebut. Menciptakannya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pun akan menjadi tindakan yang sangat rentan untuk dinyatakan inkonstitusional, karena secara terang-terangan akan bertabrakan dengan perintah Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.
Maka dari itu, jalan keluar dari labirin konstitusional ini tidak bisa ditemukan pada fantasi tentang "Pj DPRD". Solusinya harus tetap berada dalam koridor demokrasi elektoral, betapapun rumitnya. Mengisi kekosongan legislatif dengan figur non-electoral adalah sebuah garis merah demokrasi. Sebab, hakikat atau ruh sebuah parlemen tidak terletak pada gedungnya atau kelengkapan administrasinya, melainkan pada mandat suci yang berasal dari kotak suara—sebuah mandat yang tidak bisa dipinjamkan, diwakilkan, apalagi ditunjuk.
Opsi lain yang lebih demokratis, seperti yang disarankan oleh pakar Aan Eko Widiarto, adalah menyelenggarakan satu kali pemilu transisi untuk memilih anggota DPRD dengan masa jabatan terbatas. Solusi ini secara prinsip lebih dapat diterima karena tetap mengedepankan mekanisme elektoral. Namun, ia juga melahirkan ironi baru yakni untuk mengurangi frekuensi pemilu, kita justru harus menambah satu pemilu lagi. Ini akan membawa konsekuensi biaya, logistik, dan energi politik yang tidak sedikit, berpotensi mengkhianati semangat awal dari putusan MK itu sendiri.
Pada akhirnya, Putusan 135/2024 telah menempatkan Indonesia di persimpangan jalan demokrasi elektoral. Putusan ini adalah sebuah pengingat yang keras bahwa upaya memperbaiki satu aspek dalam sistem ketatanegaraan dapat secara tidak sengaja merusak fondasi di aspek lain. Niat untuk menciptakan pemilu yang lebih rasional dan manusiawi telah berbenturan dengan prinsip periodisasi kekuasaan yang sakral dalam konstitusi.
Respons bangsa ini terhadap putusan tersebut akan menjadi penentu kualitas kedewasaan demokrasinya. Apakah para elite politik akan mengambil jalan pintas pragmatis yang secara konstitusional rapuh, atau mereka akan bersedia menempuh jalan yang lebih rumit namun konstitusional untuk menata ulang jadwal pemilu melalui perubahan undang-undang yang cermat, atau bahkan amandemen konstitusi? Putusan 135/2024 bukan lagi sekadar putusan. Putusan ini jelas adalah cermin retak yang memaksa Indonesia untuk menatap kembali wajah demokrasinya dan memutuskan apakah akan menambal retakan tersebut atau menempa cermin yang baru. Pilihan ada di tangan pembentuk undang-undang, dan sejarah akan mencatatnya.
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar