Antara Cita-Cita Representasi Politik Daerah dan Realitas Dominasi Partai Politik di Gedung Parlemen
Pendahuluan: Ironi Konstitusional Representasi Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir dari kristalisasi perjuangan daerah-daerah yang meleburkan partikularismenya demi sebuah cita-cita agung. Semangat bahwa kedaulatan rakyat juga bermakna kedaulatan representasi kewilayahan adalah ruh yang melekat sejak awal pembentukan negara. Lebih dari dua dekade setelah gelombang Reformasi 1998 menjanjikan koreksi total atas praktik sentralisme kekuasaan, sebuah ironi konstitusional justru mengemuka dengan tajam di jantung demokrasi Indonesia yaitu parlemen.1
Di satu sisi, Reformasi berhasil melahirkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui Amandemen Ketiga UUD 1945. Lembaga ini secara teoritis dirancang untuk menjadi representasi otentik kepentingan daerah di tingkat nasional, sebuah respons atas tuntutan demokrasi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat daerah yang selama Orde Baru terpinggirkan.1 Kehadiran DPD diharapkan mampu menciptakan mekanisme penyeimbang (checks and balances) terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan representasi politik berbasis partai. DPD diidealkan menjadi kanal bagi aspirasi-aspirasi daerah yang seringkali tidak diartikulasikan atau bahkan terdistorsi oleh logika kepentingan partai politik yang bersifat nasional dan elektoral.1
Namun, di sisi lain, realitas ketatanegaraan hari ini menunjukkan gambaran yang jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi pilar penyeimbang yang kokoh, DPD justru terkesan menjadi lembaga yang termarginalkan, sekadar pelengkap seremonial dalam panggung besar legislasi yang sepenuhnya didominasi oleh hegemoni partai politik di DPR. Kewenangannya yang sangat terbatas, ketiadaan hak suara dalam pengambilan keputusan strategis, serta minimnya pengaruh dalam menentukan agenda legislasi nasional, memunculkan sebuah keresahan konstitusional yang fundamental: apakah representasi daerah telah benar-benar terwujud, ataukah ia hanya menjadi ilusi di tengah pusaran dominasi partai politik?.1
Keresahan ini semakin dalam ketika mengamati bahwa produk-produk hukum krusial yang mengatur hajat hidup daerah—mulai dari undang-undang tentang pemerintahan daerah, pengelolaan sumber daya alam, hingga perimbangan keuangan—justru lahir dari rahim proses politik di mana suara otentik daerah melalui DPD seringkali diabaikan atau dimentahkan. Dominasi partai politik di parlemen, yang termanifestasi dalam struktur kelembagaan, mekanisme pengambilan keputusan, hingga penguasaan agenda, telah menciptakan sebuah defisit representasi yang serius. Cita-cita luhur untuk mendekatkan negara dengan realitas kebhinekaan daerah terancam pudar oleh pragmatisme politik yang tersentralisasi di tangan elite-elite partai.1
Laporan penelitian ini berangkat dari kegelisahan tersebut. Tesis utamanya adalah bahwa kelemahan sistemik DPD bukanlah sebuah kecelakaan desain, melainkan sebuah konsekuensi yang disengaja dari pertarungan politik selama amandemen konstitusi yang bertujuan untuk melestarikan hegemoni legislatif partai politik. Laporan ini akan membongkar dan menganalisis akar masalah tersebut secara mendalam, membedah arsitektur hukum yang melanggengkan marginalisasi DPD, menganalisis manifestasinya dalam praktik legislasi, melakukan studi banding dengan kamar kedua di negara lain, dan pada akhirnya merumuskan peta jalan reformasi yang komprehensif. Tujuan akhirnya adalah untuk menjawab pertanyaan fundamental: bagaimana arah politik hukum yang ideal dan langkah-langkah reformasi yang diperlukan untuk merekonstruksi sistem bikameralisme Indonesia demi mewujudkan parlemen yang seimbang dan representasi daerah yang substantif?.1
Bagian 1: Pondasi Hukum dan Politik Kelemahan DPD
Kelemahan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bukanlah fenomena yang muncul secara acak. Ia berakar pada fondasi hukum dan politik yang secara sengaja dirancang untuk membatasi perannya. Analisis mendalam terhadap proses pembentukan dan produk hukum yang mengaturnya menunjukkan bahwa marginalisasi DPD adalah sebuah fitur, bukan kegagalan, dari desain sistem bikameral Indonesia.
1.1 Politik Hukum dalam Pembentukan DPD
Untuk memahami mengapa desain kelembagaan DPD menjadi lemah, pendekatan politik hukum menjadi alat analisis yang krusial. Pendekatan ini memandang hukum bukan sebagai teks yang netral dan otonom, melainkan sebagai "hasil akhir dari tarik-menarik antara berbagai kekuatan politik yang memiliki kepentingannya masing-masing".1 Dengan lensa ini, setiap pasal dalam UUD 1945 dan undang-undang turunannya yang mengatur DPD dapat dilihat sebagai jejak pertarungan kepentingan antara kekuatan politik pro-penguatan daerah melawan kekuatan partai politik yang dominan saat amandemen UUD 1945 (1999-2002).
Proses amandemen di Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR diwarnai oleh "pertarungan politik dan kompromi kepentingan" yang sengit.1 Di satu sisi, ada euforia desentralisasi dan tuntutan kuat untuk memberikan wadah bagi aspirasi daerah yang selama ini dibungkam. Di sisi lain, partai-partai politik yang baru saja meraih supremasi di parlemen setelah puluhan tahun di bawah rezim otoriter, secara logis enggan untuk membagi atau menyerahkan kewenangan legislatifnya yang besar kepada sebuah lembaga baru yang bersifat non-partisan.1 Mereka khawatir kehadiran kamar kedua yang kuat akan menjadi pusat kekuasaan tandingan yang dapat mengganggu hegemoni mereka di DPR.
Hasil akhirnya adalah sebuah kompromi politik: DPD dibentuk untuk memenuhi tuntutan representasi daerah, namun kewenangannya sengaja dibuat terbatas agar tidak mengancam supremasi DPR. Sistem yang diadopsi adalah bikameralisme lemah atau asimetris (weak/asymmetric bicameralism).1 Desain ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 22D UUD 1945, yang memberikan DPD kewenangan untuk mengusulkan dan ikut membahas RUU tertentu, namun tidak memberikan hak untuk ikut menyetujui atau memutuskan sebuah RUU menjadi undang-undang.3 Dengan demikian, kelemahan DPD bukanlah sebuah "kegagalan fungsi", melainkan sebuah "kelemahan terstruktur" yang sengaja dikodifikasikan sebagai cerminan konfigurasi politik yang berkuasa pada saat normanya dibentuk.1
1.2 Kodifikasi Subordinasi dalam UU MD3
Dominasi partai politik dan subordinasi DPD tidak hanya tersirat dalam sejarah pembentukannya, tetapi juga dikodifikasikan secara eksplisit dan sistematis dalam peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). UU ini menjadi instrumen formal yang melembagakan hegemoni partai politik di parlemen.
Pertama, penguasaan mutlak atas pimpinan DPR dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Pasal 84 UU MD3 secara tegas menyatakan bahwa Pimpinan DPR—terdiri dari ketua dan wakil-wakil ketua—dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang dicalonkan oleh fraksi partai politik.1 Dominasi ini berlanjut ke jantung operasional DPR, yaitu AKD seperti komisi, badan legislasi, dan badan anggaran. Seluruh posisi pimpinan strategis di AKD didistribusikan di antara fraksi-fraksi partai politik. DPD memang dapat ikut dalam pembahasan di beberapa AKD, namun posisinya hanyalah sebagai "tamu" atau peserta, bukan sebagai penentu arah melalui posisi pimpinan. DPD ditempatkan di luar lingkaran inti kekuasaan parlemen secara struktural.1
Kedua, mekanisme pengambilan keputusan berbasis fraksi. UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR secara konsisten menjadikan Fraksi sebagai unit politik utama. Dalam setiap pengambilan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna, mekanisme yang digunakan adalah mendengarkan "pendapat akhir dari fraksi-fraksi".1 Proses ini secara inheren meminggirkan DPD. Anggota DPD, yang tidak tergabung dalam fraksi, tidak memiliki "kendaraan politik" formal untuk menyampaikan pandangan akhir yang diperhitungkan dalam kuorum pengambilan keputusan. Suara seorang anggota DPD, sekeras apapun disuarakan, tidak memiliki bobot politis yang sama dengan suara sebuah fraksi yang mewakili puluhan anggota DPR.1
Ketiga, hegemoni dalam penentuan agenda legislasi (Prolegnas). Proses penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) didominasi oleh mekanisme internal DPR (melalui Badan Legislasi) dan koordinasi dengan Pemerintah. Meskipun DPD memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan RUU, realitasnya menunjukkan ketimpangan yang parah. RUU usulan DPD seringkali "mengendap" di Badan Legislasi DPR tanpa kejelasan nasib, seolah-olah disamakan dengan usulan dari masyarakat sipil di luar lembaga negara.1 Ini membuktikan bahwa penentuan arah kebijakan hukum negara berada dalam genggaman hegemoni partai politik.
1.3 Intervensi MK dan Nulifikasi Politisnya
Di tengah kelemahan struktural tersebut, DPD menempuh jalur yudisial untuk memperjuangkan kewenangannya. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 92/PUU-X/2012 memberikan angin segar yang signifikan. Putusan ini menafsirkan ulang Pasal 22D UUD 1945 dan memperkuat kewenangan DPD dalam empat hal krusial: (1) DPD terlibat setara dalam penyusunan Prolegnas; (2) RUU usulan DPD diperlakukan setara dengan usulan DPR dan Presiden; (3) DPD "ikut membahas" RUU secara penuh dari awal hingga akhir pembahasan Tingkat I; dan (4) proses pembahasan RUU terkait kewenangan DPD bersifat tiga pihak (tripartit) antara DPR, DPD, dan Presiden.6
Namun, kemenangan yudisial ini ternyata menjadi ilusi pemberdayaan. Ketika DPR dan Pemerintah mengesahkan UU MD3 yang baru pada tahun 2014, banyak dari penguatan kewenangan yang telah diputuskan oleh MK tersebut justru direduksi atau diabaikan. UU MD3 2014 kembali memasukkan norma-norma yang secara substansial menempatkan DPD dalam posisi subordinat, seolah-olah putusan MK yang bersifat final dan mengikat tidak pernah ada.8 DPD kembali mengajukan uji materi, dan melalui Putusan No. 79/PUU-XII/2014, MK sekali lagi menegaskan kembali kewenangan DPD sesuai putusan sebelumnya.1
Siklus ini—di mana MK memperkuat DPD, lalu DPR dan Pemerintah menganulirnya melalui legislasi—menyingkap sebuah fenomena yang lebih dalam dari sekadar kelemahan DPD. Ini adalah sebuah pola "pembangkangan konstitusional" (constitutional disobedience) dari cabang-cabang politik. Tindakan DPR dan Pemerintah yang secara sadar mengabaikan tafsir konstitusional final dari MK menunjukkan bahwa kepentingan politik partai untuk mempertahankan hegemoni legislatif ditempatkan di atas supremasi konstitusi dan prinsip negara hukum. Ini bukan lagi sekadar masalah DPD, melainkan sebuah krisis dalam hubungan antar lembaga negara dan tantangan serius terhadap prinsip checks and balances itu sendiri.
Tabel berikut secara visual merangkum kesenjangan antara mandat konstitusional DPD (sebagaimana ditegaskan MK) dan realitas yang dikodifikasikan dalam UU MD3.
Tabel 1: Kesenjangan Kekuasaan: Ideal Konstitusional vs. Realitas Statutoria
Bagian 2: Manifestasi Marginalisasi: DPD dalam Arena Legislatif
Arsitektur hukum yang timpang secara langsung termanifestasi dalam kinerja dan dinamika DPD di panggung legislasi. Analisis empiris dan kualitatif menunjukkan bahwa marginalisasi DPD bukanlah konsep abstrak, melainkan realitas sehari-hari yang melumpuhkan fungsinya sebagai perwakilan daerah.
2.1 Hegemoni Partai dalam Praktik
Ukuran paling nyata dari kekuatan sebuah lembaga legislatif adalah kemampuannya untuk mengubah usulan menjadi produk hukum. Dalam hal ini, DPD menunjukkan kinerja yang mendekati nol, menjadikannya sebuah "kuburan legislatif" bagi aspirasi daerah. Data dari Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) telak membuktikan hal ini: dari periode Prolegnas 2015-2019 hingga 2020-2024, tidak ada satu pun Rancangan Undang-Undang (RUU) yang murni berasal dari inisiatif DPD yang berhasil disahkan menjadi Undang-Undang.8
Ketidakberdayaan ini menjadi semakin ironis jika melihat data kuantitatif dari Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024. Dalam periode tersebut, DPD tercatat mengusulkan 51 RUU, sebuah jumlah yang tidak sedikit dan menunjukkan adanya upaya legislasi dari para senator.10 Namun, jumlah ini tenggelam oleh usulan dari DPR (179 RUU) dan Pemerintah (86 RUU).10 Ketika kinerja legislasi keseluruhan periode 2019-2024 dievaluasi, dari total RUU yang disahkan, mayoritas adalah RUU kumulatif terbuka atau usulan bersama, sementara kontribusi tunggal DPD yang menjadi UU tetap nihil.12
Meskipun produktivitas legislasi DPR secara umum juga menjadi sorotan kritis—hanya sekitar 10% dari target Prolegnas 2019-2024 yang tuntas 13—tingkat keberhasilan DPD yang secara konsisten berada di angka nol menunjukkan adanya masalah yang lebih spesifik dan struktural. Ini bukan sekadar inefisiensi umum, melainkan sebuah blokade sistematis yang secara khusus menargetkan dan mengebiri fungsi legislasi DPD.
Tabel 2: Analisis Kinerja Legislasi (Prolegnas 2020-2024)
2.2 Fasad Musyawarah
Di luar data kuantitatif, analisis kualitatif terhadap dinamika rapat legislasi menyingkap sebuah "ilusi keterlibatan".1 Secara formal, DPD diundang dalam rapat-rapat pembahasan di komisi atau panitia khusus DPR. Mereka menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan menyampaikan pandangan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan tiga pola marginalisasi yang berulang:
Pola Pengabaian Substantif: Masukan-masukan krusial dari DPD seringkali "dianggap angin lalu".1 Pandangan mereka dicatat dalam risalah rapat untuk memenuhi formalitas, namun tidak diadopsi secara materiil ke dalam naskah akhir RUU yang disepakati antara fraksi-fraksi DPR dan Pemerintah. DPD hadir secara fisik, namun aspirasinya absen secara substansi.
Pola Interupsi dan Pementahan Argumen: Argumen yang disampaikan anggota DPD kerap dipatahkan bukan dengan kontra-argumen akademis yang setara, melainkan dengan dalih politis dan prosedural. Kalimat seperti, "DPD tidak punya hak suara dalam persetujuan akhir," sering digunakan untuk mendelegitimasi dan memotong argumen DPD. Dalih ini secara efektif memposisikan DPD sebagai pihak yang "tidak punya kepentingan langsung" dalam hasil akhir, sehingga pandangannya dianggap kurang relevan.1
Sentralitas Lobi Informal Partai Politik: Sudah menjadi rahasia umum bahwa keputusan-keputusan paling penting dalam legislasi tidak lahir di ruang rapat paripurna yang transparan, melainkan di "ruang-ruang gelap" lobi politik antar ketua fraksi dan elite partai dengan pemerintah. Dalam forum-forum informal inilah kompromi dan tawar-menawar politik sesungguhnya terjadi. DPD, yang bukan merupakan representasi partai politik dan tidak memiliki fraksi, secara otomatis tersingkir dari proses krusial ini. Rapat resmi yang dihadiri DPD kemudian berisiko menjadi panggung sandiwara untuk melegitimasi kesepakatan yang telah dicapai di luar forum.1
2.3 Otokritik Institusional DPD
Analisis yang seimbang menuntut pengakuan bahwa kelemahan DPD tidak semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal. Terdapat pula kelemahan internal yang perlu dibenahi. Sebuah otokritik yang sering muncul, bahkan dari kalangan DPD sendiri, adalah mengenai "suara kritis yang redup" dan kapasitas kelembagaan yang belum optimal.1
Ada persepsi bahwa tidak semua anggota DPD secara aktif dan konsisten menyuarakan isu-isu strategis daerahnya. Sebagian mungkin terjebak dalam rutinitas seremonial atau bahkan memiliki afiliasi politik personal dengan partai tertentu yang menghambat independensinya.14 Fenomena anggota DPD yang berasal dari latar belakang partai politik, meskipun secara formal tidak menjadi pengurus, telah "menangkap" lembaga ini dan mengaburkan watak non-partisannya, sehingga perannya hanya menjadi "aktor tambahan".14
Selain itu, keterbatasan staf ahli dan dukungan riset yang mumpuni menjadi kendala praktis yang signifikan. Hal ini menghambat kemampuan DPD untuk menghasilkan naskah RUU atau DIM yang berkualitas tinggi dan mampu bersaing secara argumentatif dengan produk yang disiapkan oleh DPR dan Pemerintah, yang didukung oleh sumber daya yang jauh lebih melimpah.1
Kondisi ini melahirkan sebuah anomali demokrasi yang fundamental: paradoks antara legitimasi elektoral yang tinggi dan otoritas institusional yang rendah. Anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat di satu provinsi penuh, seringkali dengan perolehan suara personal yang sangat besar, yang memberikan mereka legitimasi elektoral yang sangat kuat.1 Namun, begitu terpilih, mereka memasuki sebuah institusi yang oleh desain konstitusional dan statutorianya dibuat "miskin" kewenangan.1 Seperti yang diamati oleh Stephen Sherlock, DPD adalah sebuah "percampuran yang sangat aneh" antara "tingginya legitimasi publik" dengan "rendahnya kualitas kewenangan".1 Implikasi lebih jauh dari paradoks ini adalah devaluasi suara rakyat. Pilihan demokratis jutaan warga negara untuk memilih senator mereka menjadi nyaris tidak berarti ketika lembaga yang mereka masuki tidak berdaya. Hal ini dapat memupuk sinisme dan apatisme politik, karena mengirimkan pesan bahwa suara untuk DPD tidak sepenting suara untuk DPR, mencederai prinsip kesetaraan dalam demokrasi.
Bagian 3: Merintis Jalan Baru: Model Komparatif untuk Kamar Kedua yang Efektif
Untuk keluar dari kebuntuan, Indonesia tidak perlu menciptakan solusi dari ruang hampa. Analisis terhadap praktik terbaik (best practice) kamar kedua (senat) di negara lain dapat memberikan inspirasi dan prinsip-prinsip yang relevan untuk mereformasi DPD. Fokusnya bukan pada meniru secara membabi buta, melainkan pada ekstraksi mekanisme yang cocok dengan konteks Indonesia sebagai negara kesatuan yang besar dan majemuk.
3.1 Bundesrat Jerman: Model Veto Terbatas dan Federalisme Kooperatif
Bundesrat Jerman menawarkan model yang sangat relevan bagi Indonesia. Berbeda dengan DPD, anggota Bundesrat bukanlah senator yang dipilih langsung, melainkan perwakilan dari pemerintah negara bagian (Länder). Hal ini membuat Bundesrat menjadi representasi kepentingan eksekutif daerah di tingkat federal.15
Kekuatan utamanya terletak pada fungsi legislasi yang jauh lebih kuat dibandingkan DPD.17 Bundesrat memiliki hak veto absolut atas semua rancangan undang-undang yang menyangkut kewenangan fundamental Länder, seperti urusan keuangan dan administrasi daerah.17 Artinya, RUU dalam kategori ini tidak dapat disahkan tanpa persetujuan eksplisit dari Bundesrat. Veto absolut ini tidak dapat dianulir oleh majelis rendah (Bundestag). Untuk RUU lainnya, Bundesrat memiliki suspensive veto (veto penunda) yang dapat dianulir oleh Bundestag dengan mayoritas suara tertentu.17
Untuk mengatasi potensi kebuntuan (deadlock) antara kedua kamar, sistem Jerman menyediakan mekanisme formal berupa Komite Mediasi (Vermittlung Ausschuss) yang terdiri dari anggota Bundestag dan Bundesrat dalam jumlah yang sama. Komite ini bertugas mencari kompromi jika terjadi perbedaan pandangan.19
Relevansi untuk Indonesia. Model Bundesrat sangat menarik karena ia menciptakan kamar kedua yang kuat dan menjadi penyeimbang efektif tanpa harus menciptakan sistem bikameral yang sepenuhnya setara dan berisiko menimbulkan kelumpuhan legislatif. Kekuatan vetonya bersifat terbatas dan spesifik, hanya pada isu-isu yang menyentuh langsung kepentingan daerah. Konsep "strong but limited bicameralism" ini sangat cocok untuk diadopsi DPD, memberikan "taring" yang sesungguhnya pada isu-isu otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan perimbangan keuangan.
3.2 Senat Australia: Sebuah Rumah Pengkajian yang Kuat
Senat Australia, meskipun berada dalam sistem parlementer Westminster, memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai house of review. Konstitusi Australia memberikan Senat kekuatan legislatif yang hampir setara dengan majelis rendah (House of Representatives). Senat dapat mengamandemen atau menolak RUU apapun, dengan satu-satunya batasan tidak dapat menginisiasi atau mengamandemen RUU yang berkaitan dengan anggaran dan pajak (meskipun tetap bisa menolaknya).21
Kekuatan ini diperkuat oleh sistem pemilihan senator yang menggunakan representasi proporsional. Sistem ini memungkinkan partai-partai kecil dan kandidat independen untuk lebih mudah terpilih. Akibatnya, pemerintah yang berkuasa seringkali tidak memiliki mayoritas di Senat.22 Kondisi ini memaksa pemerintah untuk bernegosiasi dan mencari kompromi dengan oposisi dan senator lintas-partai, serta memastikan setiap RUU dikaji secara mendalam dan kritis melalui sistem komite yang aktif.24
Relevansi untuk Indonesia: Model Australia menunjukkan bagaimana kamar kedua dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap dominasi eksekutif dan memastikan adanya pengawasan legislatif yang ketat. Salah satu kritik yang sering dialamatkan kepada DPR adalah kecenderungannya menjadi "stempel" kebijakan pemerintah.13 Senat Australia menawarkan cetak biru tentang bagaimana kamar kedua dapat memastikan setiap kebijakan dibahas secara tuntas dan tidak terburu-buru, serta mengakomodasi pandangan minoritas.
3.3 Senat Spanyol: Otoritas Unik Penjaga Integritas Nasional
Spanyol, seperti Indonesia, adalah negara kesatuan yang terdesentralisasi dengan tingkat otonomi daerah yang tinggi. Senat Spanyol, meskipun secara umum lebih lemah dari majelis rendah (Congress of Deputies), memiliki satu kewenangan eksklusif yang sangat kuat dan unik yaitu otoritas untuk menegakkan konstitusi terhadap daerah otonom.
Berdasarkan Pasal 155 Konstitusi Spanyol, jika sebuah komunitas otonom tidak mematuhi kewajiban konstitusionalnya atau bertindak dengan cara yang sangat merugikan kepentingan umum Spanyol, pemerintah pusat, dengan persetujuan mayoritas absolut Senat, dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memaksanya patuh.26 Kewenangan luar biasa ini digunakan secara dramatis selama krisis kemerdekaan Catalonia pada tahun 2017. Senat memberikan wewenang kepada pemerintah pusat untuk membubarkan pemerintahan regional Catalonia, mengambil alih administrasinya, dan menyelenggarakan pemilu baru.26
Relevansi untuk Indonesia: Sebagai negara kesatuan yang sangat beragam dan menghadapi tantangan integrasi, model Spanyol menawarkan perspektif yang berharga. Ia menunjukkan bagaimana kamar kedua dapat diberdayakan tidak hanya untuk menyuarakan kepentingan daerah, tetapi juga untuk bertindak sebagai penjaga keutuhan negara. Memberikan DPD peran serupa dalam situasi krisis konstitusional di daerah dapat memperkuat posisinya sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas harmoni hubungan pusat-daerah dan integritas NKRI.
Tabel berikut menyajikan perbandingan sistematis antara DPD dan tiga model senat di atas untuk menyoroti kesenjangan kewenangan secara lebih jelas.
Tabel 3: Analisis Perbandingan Kekuasaan Kamar Kedua
Bagian 4: Kesimpulan dan Peta Jalan Reformasi Konstitusional
Setelah melakukan penelusuran historis, pendalaman teoritis, analisis kritis terhadap data struktural dan prosesual, serta studi komparatif, laporan ini tiba pada babak akhir yang merangkum keseluruhan temuan dan menawarkan arah perbaikan yang konkret dan visioner.
4.1 Rekapitulasi: Diagnosis Defisit Representasi Sistemik
Berdasarkan seluruh analisis, dapat ditarik beberapa kesimpulan fundamental:
Kelemahan DPD adalah Sebuah Desain, Bukan Kecelakaan: Cita-cita luhur representasi politik daerah yang diamanatkan oleh semangat Reformasi telah terdegradasi secara sistematis oleh realitas dominasi partai politik. Kelemahan DPD bukanlah sebuah kegagalan operasional, melainkan sebuah fitur yang sengaja dirancang selama amandemen UUD 1945 melalui kompromi politik yang memprioritaskan hegemoni partai di DPR. Sistem bikameralisme asimetris yang diadopsi secara efektif mengodifikasi subordinasi DPD.1
Hegemoni Partai Terlembagakan Secara Hukum dan Praktik: Dominasi partai politik terwujud secara nyata melalui penguasaan mutlak atas pimpinan strategis di DPR dan AKD, mekanisme pengambilan keputusan berbasis fraksi, dan hegemoni dalam penentuan agenda legislasi (Prolegnas), sebagaimana diatur dalam UU MD3. Dalam praktik, hal ini termanifestasi dalam pola pengabaian masukan substantif DPD, pementahan argumennya secara prosedural, dan eksklusi DPD dari lobi-lobi politik informal yang menjadi tempat pengambilan keputusan sesungguhnya.1
Putusan MK Dibatalkan oleh Kehendak Politik: Upaya penguatan DPD melalui jalur yudisial, meskipun berhasil dengan adanya Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, pada akhirnya dinulifikasi oleh kehendak politik DPR dan Pemerintah melalui pengesahan UU MD3 2014. Hal ini menunjukkan adanya pola "pembangkangan konstitusional" yang menempatkan kepentingan politik di atas supremasi hukum.8
Dampak Nyata: Aspirasi Daerah Terabaikan: Konsekuensi paling nyata dari parlemen yang timpang ini adalah terabainya penyelesaian masalah-masalah fundamental di daerah, seperti ketimpangan fiskal, konflik sumber daya alam, dan tumpang tindih regulasi pemerintahan daerah. Defisit representasi ini bukanlah masalah teoritis, melainkan masalah yang memiliki biaya sosial dan ekonomi yang mahal bagi daerah.1
4.2 Strategi Tiga Jenjang untuk Reformasi Bermakna
Menjawab kesimpulan di atas, perbaikan tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan sebuah strategi reformasi yang komprehensif dan berlapis, mencakup level konstitusional, legislatif, dan kelembagaan.
1. Jalur Konstitusional (Reformasi Fundamental)
Jalan paling mendasar dan permanen untuk mengakhiri anomali bikameralisme di Indonesia adalah melalui Amandemen Kelima UUD 1945. Ini adalah solusi jangka panjang yang menargetkan akar masalah.
Rekomendasi Utama: Mengubah sistem bikameralisme asimetris menjadi sistem bikameralisme kuat yang terbatas (limited strong bicameralism).1
Mekanisme: Memberikan kewenangan kepada DPD untuk ikut memberikan persetujuan (hak veto atau co-decision) terhadap RUU yang berkaitan secara langsung dengan kewenangan konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Kewenangan ini tidak berlaku untuk semua jenis RUU, melainkan terbatas pada isu:
Otonomi daerah;
Hubungan pusat dan daerah;
Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Langkah ini, yang terinspirasi dari model Bundesrat Jerman 17, akan memberikan DPD "taring" legislasi yang sesungguhnya dan memaksa DPR serta Pemerintah untuk memperhitungkan pandangannya secara serius dalam isu-isu krusial bagi daerah.1
2. Jalur Legislatif Sebagai Reformasi Pragmatis
Sambil menunggu momentum politik untuk amandemen konstitusi, langkah-langkah signifikan dapat ditempuh melalui revisi undang-undang, terutama UU MD3 dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Rekomendasi:
Implementasi Penuh Putusan MK: Merevisi UU MD3 untuk secara eksplisit dan setia mengadopsi seluruh amar Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 dan No. 79/PUU-XII/2014, terutama terkait proses pembahasan tripartit yang setara.6
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Wajib: Menciptakan mekanisme formal "Sidang Gabungan" atau "Komite Mediasi" antara pimpinan DPR dan DPD, meniru Vermittlungs Ausschuss Jerman.19 Mekanisme ini wajib ditempuh jika terjadi perbedaan pandangan yang signifikan terhadap RUU terkait daerah, sebelum RUU tersebut dibawa ke persetujuan akhir dengan Presiden.1
Afirmasi dalam Prolegnas: Memberikan "jalur afirmasi" bagi RUU usulan DPD dalam Prolegnas. Misalnya, dengan menetapkan kuota minimum atau mekanisme yang mewajibkan DPR memberikan jawaban tertulis dan jadwal pembahasan yang jelas atas usulan DPD dalam jangka waktu tertentu, untuk mencegah usulan tersebut "mengendap" tanpa batas waktu.1
3. Jalur Kelembagaan (Reformasi Internal)
DPD tidak bisa hanya pasif menunggu perubahan eksternal. Perbaikan proaktif dari dalam sangat krusial untuk membangun kapasitas dan legitimasi politik.
Rekomendasi:
Penguatan Kapasitas Riset dan Keahlian: DPD harus secara masif meningkatkan kapasitas dukungan sistem pakar, staf ahli, dan lembaga kajian internalnya. Setiap usulan RUU atau DIM yang diajukan harus didasarkan pada riset akademis yang mendalam, data yang valid, dan naskah yang komprehensif, sehingga memiliki kualitas argumentatif yang sulit untuk diabaikan atau dipatahkan.1
Konsolidasi Politik Internal: Anggota DPD harus mampu membangun soliditas dan konsensus internal yang kuat dalam memperjuangkan isu-isu strategis. DPD perlu memproyeksikan citra sebagai lembaga yang solid, intelektual, dan fokus pada kepentingan daerah, melampaui kepentingan politik individu atau afiliasi masa lalu.1
Membangun Aliansi Strategis: DPD harus secara proaktif membangun dan merawat aliansi dengan berbagai pemangku kepentingan:
Akademisi dan Universitas: Untuk dukungan riset dan legitimasi intelektual.
Organisasi Masyarakat Sipil (CSO): Seperti PSHK, Formappi, dan lainnya untuk advokasi bersama dan tekanan publik.35
Media Massa: Untuk mensosialisasikan agenda dan perjuangan DPD kepada publik luas.
Pemerintah Daerah: Melalui asosiasi seperti APPSI dan APKASI untuk membangun basis dukungan politik dari daerah yang diwakilinya.
Penutup
Memperkuat DPD bukanlah sekadar isu teknis kelembagaan. Ini adalah agenda krusial untuk kesehatan jangka panjang demokrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini adalah tentang menunaikan janji Reformasi, mewujudkan keadilan bagi daerah-daerah yang menjadi fondasi bangsa, dan membangun sistem pemerintahan yang lebih seimbang, akuntabel, dan representatif. Sudah saatnya para pemangku kepentingan bangsa, terutama elite partai politik, bergerak melampaui kompromi-kompromi usang di masa lalu dan menempa sebuah konsensus politik baru yang menempatkan kepentingan representasi daerah secara substantif sebagai pilar utama demokrasi Indonesia di masa depan.
Daftar Pustaka
Catatan kritis Kinerja DPD pasca Amandemen UUD 1945 - artikel pribadi
Jurnal Majelis - MPR RI, https://mpr.go.id/img/jurnal/file/050422_2017%20_%20Jurnal%20Majelis%20Edisi%201%20-%20Penataan%20Kewenangan%20DPD.pdf
Mengenal Tugas dan Wewenang DPD Periode 2024-2029, https://nasional.kompas.com/read/2024/10/03/14531751/mengenal-tugas-dan-wewenang-dpd-periode-2024-2029
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 - DPR RI, https://vs-dprexternal3.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/204/145
Laporan Kinerja DPR RI Tahun Sidang 2023–2024, https://berkas.dpr.go.id/akd/dokumen/-35-48cb0e31072d0c070abf4e50d1e07558.pdf
Konstruksi Yuridis Politik Legislasi DPD Pasca ... - Jurnal Konstitusi, https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/download/1245/84/164
DPD sebagai Pembentuk Undang-Undang dan Peranannya dalam Fungsi Legislasi Pascaputusan Mahkamah Konstitusi, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/medsyar/article/download/6425/3946
DPD, Lembaga Negara yang Nyaris Tak Berguna - pshk.or.id, https://pshk.or.id/blog-id/dpd-lembaga-negara-yang-nyaris-tak-berguna/
DPD dalam Struktur Parlemen Indonesia - Jurnal Konstitusi, https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/download/1423/316/1590
Banyaknya RUU dalam Prolegnas 2020-2024 tidak konsisten dengan niat deregulasi Pemerintah. Ini cara menguranginya - pshk.or.id, https://www.pshk.or.id/rr/banyaknya-ruu-dalam-prolegnas-2020-2024-tidak-konsisten-dengan-niat-deregulasi-pemerintah-ini-cara-menguranginya/
Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 - pshk.or.id, https://pshk.or.id/publikasi/info-legislasi/prolegnas-2020-2024/
Kinerja Legislasi Belum Memuaskan, Ketercapaian Prolegnas 2020-2024 Masih di Bawah 10% - GoodStats, https://goodstats.id/article/kinerja-legislasi-belum-memuaskan-ketercapaian-prolegnas-2020-2024-masih-di-bawah-10-umqX7
Bagaimana pandangan masyarakat terhadap kinerja DPD dan DPR 2019-2024, https://perpustakaan.dpr.go.id/epaper/index/popup/id/19659
Analisis Peran dan Kinerja DPD Selama Empat Periode - Jurnal Stipan, https://jurnal.stipan.ac.id/index.php/wahana-bina-pemerintahan/article/download/168/195/487
Sistem Politik Jerman dan Pembentukan Partai AfD (Alternative für Deutschland) Partai Alternative für Deutschland (AfD) - UMY Repository, http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/29741/6.%20BAB%20II.pdf?sequence=6
Bundesrat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Bundesrat
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di ... - Artikel Hukum, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/12/14
Jerman - Berlin, https://kemlu.go.id/berlin/kebijakan/hubungan-bilateral-/jerman?type=publication
The various steps in the procedure - Bundesrat, https://www.bundesrat.de/EN/funktionen-en/gesetzgebung-en/verfahren-en/verfahren-en-node.html
German Bundestag - The passage of legislation in the Bundesrat, https://www.bundestag.de/en/parliament/function/legislation/14legrat-245876
Australian Senate - Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Australian_Senate
About the Senate - Parliament of Australia, https://www.aph.gov.au/about_parliament/senate/about_the_senate
Describe the Role and Powers of the Australian Senate as Stated in Its Constitution, https://ignoucorner.com/4-describe-the-role-and-powers-of-the-australian-senate-as-stated-in-its-constitution/
What is the role and function of the Senate? - Parliamentary Education Office, https://peo.gov.au/understand-our-parliament/your-questions-on-notice/questions/what-is-the-role-and-function-of-the-senate
Passage of Legislation - Senate, https://senate.gov.au/passage-of-legislation/index.html
Senate of Spain - Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/Senate_of_Spain
Pemerintah Pusat Spanyol Cabut Otonomi Catalonia - VOA Indonesia, https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-pusat-spanyol-cabut-otonomi-catalonia/4090060.html
Analisis Faktor Kegagalan Referendum Catalunya Tahun 2006 – 2017, https://jom.fisip.budiluhur.ac.id/balcony/article/download/46/89/457
Spanyol Ambil Alih Catalonia - Kompas.id, https://www.kompas.id/baca/utama/2017/10/29/spanyol-ambil-alih-catalonia
Part II - The Senate - Parliament of Australia, https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Senate/Practice_and_Procedure/Constitution/chapter1/Part_II_-_The_Senate
Penataan kewenangan dewan perwakilan daerah - MPR RI, https://mpr.go.id/img/jurnal/file/040422_2019%20_%20Seri%20Kajian%20Ketatanegaraan%20-%20Kewenangan%20DPD.pdf
Penguatan Lembaga DPD Melalui Amandemen Ulang Lembaga MPR - Journal UII, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/download/1079/1817/1917
Masukan PSHK Untuk Penguatan Politik Hukum Legislasi DPD - pshk.or.id, https://pshk.or.id/aktivitas/masukan-pshk-untuk-penguatan-politik-hukum-legislasi-dpd/
Penguatan Hak Dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Berbasis Konstitusi - Innovative: Journal Of Social Science Research, http://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/8841/6070
Catatan Kinerja Legislasi DPR 2020 - By PSHK, https://pshk.or.id/dokumen/8089
Laporan Studi Dokumen Penguatan Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi di Tengah Pandemi Covid-19, https://cakrawikara.id/wp-content/uploads/2021/11/Laporan-Studi-Dokumen_Penguatan-Partisipasi-Publik-Dalam-Proses-Legislasi-di-Tengah-Pandemi-Covid-19.pdf

Komentar
Posting Komentar