Langsung ke konten utama

Pemikiran Friedrich Nietzsche


Friedrich Nietzsche dikenal dengan filsafat perspektivisme atau cara memandang 'kebenaran'. Ia sering disebut sebagai "sang pembunuh Tuhan" dalam karyanya Also sprach Zarathustra. Nietzsche mengkritik keras kebudayaan Barat yang dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan, yang menurutnya pesimis terhadap kehidupan karena berorientasi pada kehidupan setelah kematian.

Meskipun demikian, filsafat Nietzsche tidak mengarah pada nihilisme, melainkan bertujuan untuk menaklukkan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai kehidupan (Lebensbejahung) dan memposisikan manusia sebagai manusia purna atau Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). Ia juga dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph) karena menganggap seni sebagai kegiatan metafisik yang mampu mentransformasi tragedi hidup. Banyak pelukis dan penulis modern Eropa awal abad ke-20 terinspirasi olehnya, seperti Franz Marc, Francis Bacon, Giorgio de Chirico, Robert Musil, dan Thomas Mann.

Latar Belakang Filosofi Nietzsche Filsafat Nietzsche dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang dikaguminya, para filsuf sebelumnya, serta unsur filologis tentang Yunani dan legenda-legenda Yunani. Baginya, hidup adalah penderitaan yang membutuhkan seni untuk menghadapinya, yaitu seni Apolline dan Dionysian. Ia mengagumi Richard Wagner yang juga mempengaruhi gaya filsafatnya.

Riwayat Hidup Nietzsche Friedrich Nietzsche lahir di Rohen, Jerman, pada 15 Oktober 1844, dalam keluarga Kristen Lutheran yang taat. Ia menjadi yatim pada usia 5 tahun dan dididik oleh ibu, nenek, kakak-kakak, serta tantenya, sehingga tumbuh sebagai "pendeta cilik" yang menghormati keteraturan. Pada usia 18 tahun, ia mulai kehilangan kepercayaan pada agama Kristen dan mencari kepercayaan baru, yang mengubah gaya hidupnya menjadi bebas dan tidak teratur.

Pada tahun 1865, ia membaca buku Schopenhauer, Die Welt als Wille und Vorstellung, yang memberinya semangat dan memunculkan pemikiran spektakuler. Ia sempat bergabung dengan tentara tetapi kembali ke dunia akademik karena alasan kesehatan. Pada usia 25 tahun (1869), ia menjadi guru besar Filologi di Universitas Basel, Swiss. Di sana ia bersahabat dengan Richard Wagner, namun kemudian membencinya karena Wagner dianggap tetap menjunjung tinggi agama. Nietzsche pensiun pada tahun 1879 karena sakit-sakitan dan meninggal pada 25 Agustus 1900, setelah dua tahun terakhir hidupnya ditimpa sakit jiwa.

Karya-karya Nietzsche Beberapa karya penting Nietzsche antara tahun 1872 dan 1910 meliputi:

  • Die Geburt der Tragödie aus dem Geistes der Musik (1872)

  • Unzeitgemäße Betrachtungen (1873-1876)

  • Menschliches, Allzumenschliches (1878-1880)

  • Morgenröthe (1881)

  • Die fröhliche Wissenschaft (1882)

  • Also sprach Zarathustra (1883-1885), yang menyampaikan gagasan "Manusia Unggul dan Pengulangan Abadi"

  • Jenseits von Gut und Böse (1886)

  • Zur Genealogie der Moral (1887)

  • Der Fall Wagner (1888)

  • The Anti Crist (1888)

  • Götzen-Dämmerung (1889)

  • Der Antichrist (1889)

  • Ecce Homo (1889)

  • Dionysos-Dithyramben (1889)

  • Nietzsche contra Wagner (1889)

  • The Will to Power (diterbitkan anumerta, 1910)

Karya-karya ini banyak ditulis pada masa Nietzsche berkelana dan mengalami frustasi, dan tulisan-tulisannya disunting oleh kakaknya, Elizabeth, setelah ia meninggal.

Pemikiran Nietzsche dalam Karyanya 

1. Die Geburt der Tragödie (Kelahiran Tragedi) Dalam buku ini, Nietzsche membahas kesempurnaan kehidupan subjek dalam seni melalui perpaduan dua roh: Apollonian dan Dionysian. Ia berpendapat bahwa sejak era Socrates hingga Hegel, roh Dionysian hilang, menyebabkan matinya subjek dalam seni dan mendorong manusia modern ke arah jiwa yang lemah, tunduk, dan dekaden. Dominasi Apollonian menjadikan manusia modern cenderung pada primasi rasio, yang membelenggu kreativitas dalam seni. Nietzsche menganggap ide "fixed" (tetap) yang diidentifikasi secara transenden sebagai puncak kematian subjek, di mana kebebasan subjek hilang sama sekali. Pemikiran ini menekankan bahwa perkembangan seni tidak mengenal kata akhir dan selalu terbuka untuk kritik membangun.

2. Die fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang Gembira) Nietzsche menggunakan metafora pahlawan dan matahari untuk menggambarkan "manusia tertuntas" yang membuat segalanya kecil, mencari kenyamanan, dan menginginkan hal yang sama. Berbeda dengan "orang kecil" ini, seseorang yang "memandang sejarah manusia dalam keseluruhan sebagai sejarahnya sendiri" adalah seperti matahari, yang memberi sepenuhnya dan memperkaya yang lain dari kepenuhannya. Hal ini dapat terjadi jika manusia bertaut kembali dengan "kehendak-untuk-kuasa" (der Wille zur Macht), suatu tenaga yang menumbuhkan dan menggerakkan sejarah, yang menjelaskan adanya gairah, nafsu, keberanian, dan berbagai fenomena kehidupan.

3. Götzen-Dämmerung (Menutupi Berhala) Nietzsche menyatakan bahwa kehendak adalah "sesuatu yang kompleks". Kesadaran ada karena kebutuhan komunikasi, yang memerlukan "sesuatu yang mantap, yang dibuat sederhana, bisa diukur persis". Dunia yang disadari adalah "dunia yang dibuat sama untuk siapa saja," hanya sebuah permukaan yang lebih "kikir" karena hanya bagian permukaan dari pemikiran yang masuk ke kesadaran. Bahan-bahan panca indera direduksi dan ditertibkan oleh kesadaran, menghasilkan konsep dan logika, bukan lagi kekacauan dan spontanitas primal. Nietzsche pernah mengatakan bahwa "kita memiliki seni agar kita tidak punah oleh kebenaran". Kehendak untuk kebenaran sebenarnya adalah ekspresi dari kehendak-untuk-kuasa, tetapi dengan arah yang berlainan, yaitu untuk membuat segala yang ada dapat dipikirkan dan dikonsepkan. Untuk mencapai ini, kekacauan dan kehidupan harus disederhanakan dan ditata, yang berarti menolak hidup.

4. Jenseits von Gut und Böse (Melampaui Kebajikan dan Kejahatan) Nietzsche menyimpulkan bahwa "dalam semua hasrat untuk tahu, selalu ada setitik kekejaman". Hasrat untuk tahu mengandalkan konsep, yang tumbuh dari penyamaan hal-hal yang tidak sama dan penghapusan individualitas menjadi general. Konsep mematok, membatasi, dan menampilkan sesuatu yang rapi dan konstan, yang represif terhadap yang tidak sama, aneka, kualitatif, dan indrawi. Nietzsche memiliki kecenderungan memuja ksatria zaman lama dan merindukan masa aristokratik.

5. Zur Genealogie der Moral (Mengenai Silsilah Moral) Dalam karyanya ini, Nietzsche meramalkan datangnya "manusia masa depan" yang akan "menebus dari ideal yang berkuasa sampai sekarang". Ideal asketik atau zahid, yang memandang hidup sebagai sesuatu yang harus dijauhi, mengutamakan menahan diri dari gairah hidup. Bagi Nietzsche, ideal asketik ini hanya mengandung dendam. "Manusia masa depan" ini akan menjadi "antikristus" dan "anti nihilist", "pemenang atas Tuhan dan atas ketiadaan". Nietzsche menghadirkan Zarathustra sebagai ideal tandingan.

6. Pemikiran Nietzsche tentang "Tuhan Mati" (God is Dead) Pemikiran ini tertera dalam karyanya Also sprach Zarathustra, di mana seorang "gila" berteriak mencari Tuhan di pasar dan menuduh orang banyak telah membunuh Tuhan: "Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati…". Interpretasi ungkapan ini beragam; ada yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati dalam hati manusia karena dominasi materi dan ilmu pasti alam. Ada pula yang menganggapnya sebagai kritik Nietzsche terhadap agama Kristen yang dianggap melarang kekayaan, seks, dan seni, serta membina manusia menjadi pasif dan tunduk, sehingga menghambat perkembangan pribadi manusia menjadi Ubermensch. Ungkapan ini merepresentasikan krisis manusia sekuler dan skeptisisme Nietzsche terhadap konsepsi Tuhan. Nietzsche berpendapat bahwa Tuhan adalah proyeksi kebutuhan kaum lemah, hasil kreasi manusia yang sakit, dan tidak pernah ada karena tidak mampu ada.

7. Nihilisme Nietzsche mengemukakan nihilisme sebagai kepastian peradaban, sebuah pergerakan kesejarahan yang telah mengendalikan abad sebelumnya dan mendefinisikan abad yang akan datang. Ia adalah pendiagnosa yang mampu melihat laju sejarah menuju "kiamat", yang ia anggap menjijikkan dan berusaha dihindari melalui renaissance. Nihilisme adalah krisis kebudayaan yang ditandai dengan ketidakmampuan meyakini dan ketiadaan fondasi primitif dari semua keyakinan, termasuk keyakinan dalam hidup itu sendiri.

Nietzsche meramalkan kuasa politik dan perang kejam di masa depan, serta menyatakan bahwa fakta terbesar adalah menurunnya kepercayaan pada "Tuhan Kristen" hingga titik "God is dead". "Tuhan Kristen" di sini juga mewakili yang transenden—ideal, norma, prinsip, tujuan, dan nilai—yang kehilangan kuasa dan determinasi, sehingga seluruh makhluk kehilangan nilai dan makna. Nietzsche tidak mengusulkan untuk membunuh Tuhan, melainkan menemukan-Nya sudah mati dalam jiwa orang-orang masa kini.

Nihilisme, baginya, adalah kebebasan dari nilai-nilai sebagai kebebasan untuk menilai ulang nilai-nilai (revaluation of all values hitherto). "Revaluasi" bagi Nietzsche berarti hilangnya "tempat" bagi nilai-nilai sebelumnya, bukan sekadar nilai itu sendiri yang jatuh. Metafisika menjadi pemikiran nilai, dimana nilai utama dicabut dari tempatnya dalam yang transenden.

8. Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power) Konsep fundamental Nietzsche tentang karakter dasar manusia adalah "kehendak akan kuasa". Ini bukan sekadar hasrat romantis, melainkan pertumbuhan kuasa oleh kuasa demi pelampauan kuasa. Setiap kuasa hanya kuasa selama ia lebih kuasa, yaitu sebuah peningkatan dalam kuasa. Setiap manusia, sejauh keberadaannya, adalah kehendak untuk berkuasa. Karena manusia adalah "will to power", ia harus menjadi "becoming" yang terus-menerus dan mengalami "pengulangan abadi yang sama" (an eternal recurrence of the same).

9. Also sprach Zarathustra (Maka Berbicaralah Zarathustra) Dalam buku ini, Nietzsche memperkenalkan dua konsep penting: "Kembalinya Segala Sesuatu" (eternal recurrence of the same) atau pengulangan abadi, serta Ubermensch (manusia super). Konsep pengulangan abadi menyatakan bahwa segala sesuatu datang dan kembali secara abadi, mendorong manusia mencari kebahagiaan karena kebahagiaan itu kelak berulang lagi.

10. Ubermensch (Manusia Super)

Ubermensch adalah manusia super yang menentukan sendiri makna dan tujuan hidupnya, sebagai pengganti manusia yang ditentukan oleh Tuhan yang sudah mati. Tracy B. Strong menjelaskan bahwa sikap Zarathustra dibentuk dari sintesis Yesus dan Socrates.

Ubermensch adalah manusia yang menerima seluruh kehidupan, baik suka maupun duka, dan lahir dari kepenuhan diri yang tidak peduli dengan masalah eksistensi. Untuk mencapai

Ubermensch, manusia harus melewati metamorfosis ganda: dari "unta berbeban" (manusia baik, tunduk) menjadi "singa agresif" (roh kebebasan), lalu menjadi "kanak-kanak murni" yang mencintai realitas.

Manusia super menyatu dengan hukum eterno ritorno (pulang ke keabadian), di mana semua yang ada secara abadi kembali dan berputar dalam lingkaran eksistensi. Simbol dari penegasan "ya" terhadap hidup yang terus berputar adalah Dionisius, yang melambangkan waktu hidup yang penuh dan penerimaan yang riang terhadap semua ekspresi kehidupan yang saling bertentangan. Nietzsche menyusun perlawanan antara Dionisius dan Kristus, di mana Kristus mewakili nihilisme dan sikap "tidak" terhadap hidup. Dionisius adalah "Tuhannya Nietzsche", yang melancarkan perang melawan nilai-nilai absolut dan ideologi-ideologi pokok (filsafat, moral, agama Kristen) yang dianggapnya sebagai dusta kolosal yang membelenggu manusia.

Kritik Nietzsche terhadap Moral dan Metafisika Menurut Nietzsche, moral adalah kumpulan kondisi pemelihara manusia yang malang dan lemah, merupakan wujud "dusta" yang mengajari untuk menilai rendah naluri dasar hidup. Moral mengajarkan nilai-nilai dekaden dan keutamaan-keutamaan yang tidak ada (jiwa, roh, kehendak bebas, Tuhan, malaikat). Moral merendahkan nilai tindakan egoistis, nilai tubuh, tipe manusia yang berharga, dan motif hidup yang bertolak dari mau tahu. Ia menganggap moral sebagai "kandang, sangkar, penjara" bagi kebebasan.

Nietzsche beranggapan bahwa sumber kesalahan berat dari nilai-nilai mutlak adalah Plato. Ia menganggap metafisika memiliki tiga kepalsuan: palsu terhadap diri sendiri, palsu terhadap hal-hal yang ada, dan palsu terhadap manusia. Metafisika palsu terhadap diri sendiri karena tidak memahami motivasi sejati teorinya. Palsu terhadap hal-hal yang ada karena menghadirkan "hukum kedua dari realitas" seperti idea, Tuhan, dan substansi terpisah, yang meniadakan nilai efektif realitas. Palsu terhadap manusia karena ingin membuang "being sejati" dan menindas afeksi, insting, dan naluri, serta mereduksi semuanya ke akal budi.

Nietzsche ingin membasmi agama yang melawan hidup dan menggantinya dengan agama kehidupan (agama Dionisius), serta menyingkirkan moral dekaden untuk diganti dengan moral dinamis (moralitas manusia super). Ia ingin mengganti filsafat "being" atau metafisika dengan filsafat yang setia pada kehendak kuasa, yang praktis dan konkret. Filsuf sejati adalah mereka yang memimpin dan menentukan "ke mana" dan "demi tujuan mana" manusia hidup. Fungsi sejati filsafat sama dengan peran seni, yaitu sebagai cermin kekuatan dahsyat manusia. Filsafat harus mampu mengubah setiap hal, menilai ulang dan membaharui semua nilai, serta membebaskan manusia dari belenggu metafisika, moral, dan Kristianisme.

Skeptisisme Epistemologis dan Kritik terhadap Rasionalitas Nietzsche berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi manusia untuk melestarikan diri sebagai spesies. Pengetahuan dan kebenaran adalah perangkat efektif untuk mencapai tujuan, bukan entitas transenden. Kebenaran ilmiah tidak efektif karena merupakan konstruksi manusia yang melayani kepentingan tertentu.

Nietzsche mendekonstruksi rasionalitas dan melihat realitas sebagai "ledakan dahsyat dari kekuatan hidup," sebuah "kekuatan hebat tanpa awal dan tanpa akhir" yang tak terukur. Nilai tertinggi baginya adalah kehendak untuk berkuasa, yaitu kualitas maksimal kuasa yang berhasil dimiliki manusia. Filsafatnya adalah jawaban "ya" tak bersyarat terhadap hidup, yang menggeser semua "tidak", larangan, dosa, dan dakwaan. Mengatakan "ya" pada hidup adalah kekuatan, sedangkan mengatakan "tidak" adalah penurunan derajat. Ia menganggap Kristianisme sebagai racun dan imoral karena melawan hidup dan natura.

Nietzsche berpendapat bahwa hidup hanya ada di dunia ini, bersifat fisik dan dalam tubuh, karena tidak ada dunia lain di luar dunia material. Memisahkan dunia ide asli dengan dunia semu adalah dusta yang dibuat Plato dan Kristianisme.

Kesimpulan Filsafat Nietzsche banyak membahas kehidupan sebagai penderitaan dan hal-hal yang dibutuhkan manusia untuk menghadapinya. Ia membahas moral, membedakan moralitas tuan (kaum kuat) dan moralitas budak (kaum lemah), di mana moralitas tuan pada awalnya dianggap baik, namun kemudian bergeser karena kaum kuat menerima moralitas budak, yang menyebabkan pembalikan keadaan. Meskipun tidak semua pemikirannya dapat diterima, Nietzsche diakui sebagai pemikir besar yang mengajukan masalah orisinal. Ia banyak memengaruhi filsuf Barat, termasuk Jacques Derrida, Martin Heidegger, Michel Foucault, dan Muhammad Iqbal, dalam kritik terhadap kebudayaan Barat dan asumsinya. Nietzsche dianggap sebagai cerminan intelektual Barat dalam memandang agama, dan ia yang awalnya mempertanyakan kemurnian ajaran agamanya, akhirnya "membunuh" Tuhan.


Zlamitan


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...