Dalam sebuah dialog yang penuh wawasan, Rizal Mallarangeng dan Ahmad Sahal mengundang kita untuk menelusuri jejak peradaban, khususnya kejayaan Islam, dan merefleksikannya pada tantangan zaman sekarang. Bertolak dari buku Speak Human karya Johan Norberg, diskusi ini tidak hanya menyoroti puncak-puncak pencapaian manusia sepanjang sejarah, tetapi juga mengupas faktor-faktor krusial yang mendorong atau menghambat kemajuan: keterbukaan dan ketertutupan.
Kilau Emas Peradaban Islam, Simfoni Keterbukaan di Baghdad dan Andalusia
Pembahasan dimulai dengan sorotan pada peradaban Islam di masa keemasannya, khususnya pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol dan Portugal). Masa ini, yang berlangsung kurang lebih dari abad ke-8 hingga ke-13 Masehi, adalah periode dimana dunia Islam menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat, melampaui capaian peradaban lain pada masanya.
Ahmad Sahal dengan cermat menjelaskan mengapa Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah mampu mencapai puncak kemajuan. Salah satu faktor utamanya adalah posisi geografis yang strategis, menjadikan Baghdad persimpangan lalu lintas ide dan perdagangan dari berbagai penjuru, termasuk Asia Tengah, Iran, India, Bizantium, Mesir, hingga warisan Yunani dan Romawi. Namun, lebih dari sekadar letak geografis, yang krusial adalah keterbukaan para penguasa seperti Harun Al-Rasyid, Al-Mansur, dan Al-Ma'mun. Mereka tidak hanya terbuka terhadap pengaruh asing, tetapi juga memiliki kekaguman mendalam terhadap ilmu pengetahuan. Ini terwujud dalam pendirian Baitul Hikmah (House of Wisdom), sebuah pusat penerjemahan, penelitian, dan diskusi yang legendaris.
Baitul Hikmah bukan sekadar satu perpustakaan, melainkan simbol ekosistem intelektual yang semarak. Baghdad, yang kala itu menjadi kota terbesar di dunia dengan lebih dari satu juta penduduk, dipenuhi ratusan perpustakaan dan menjadi titik temu bagi para cendekiawan dari berbagai latar belakang. Di sinilah karya-karya filsafat Yunani, terutama Aristoteles, diterjemahkan dan dikaji ulang. Para pemikir Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina (Avicenna di Barat) tidak hanya menjadi penerjemah, tetapi juga pengembang gagasan-gagasan tersebut, mengintegrasikannya dengan tradisi keilmuan Islam.
Puncak keemasan ini juga melahirkan inovasi fundamental. Ahmad Sahal menyoroti Al-Khawarizmi, yang bukan orang Arab melainkan dari Asia Tengah, sebagai figur penting dalam pengembangan aljabar dan algoritma. Integrasi konsep nol dari India dengan sistem numerik Arab adalah contoh nyata bagaimana imitasi dan integrasi mampu melahirkan kreativitas yang revolusioner. Kontribusi ini, termasuk di bidang kedokteran oleh Ibnu Sina, serta sastra seperti Seribu Satu Malam, menunjukkan bahwa Golden Age of Islam adalah era dimana pemikiran rasional, seni, dan kesejahteraan saling berpadu.
Setelah Baghdad, estafet kemajuan diteruskan oleh Andalusia di Semenanjung Iberia. Di sana, peradaban Islam kembali bersinar, meskipun butuh waktu untuk mencapai kemegahan seperti Baghdad. Namun, pada abad ke-11 dan ke-12, Andalusia melahirkan pemikir brilian seperti Ibnu Rusyd (Averroes di Barat). Ibnu Rusyd, dengan karyanya Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence) sebagai tanggapan terhadap Al-Ghazali, menjadi simbol perjuangan untuk mempertahankan rasionalitas dalam pemikiran Islam. Beliau memperjuangkan harmoni antara wahyu (iman) dan akal (akal budi), menegaskan bahwa kebenaran dapat didekati melalui keduanya. Peran Ibnu Rusyd dalam menghidupkan kembali pemikiran Aristoteles di dunia Islam sangat krusial, yang kemudian diwarisi oleh Eropa.
Kemunduran dan Penjara Pemikiran
Namun, sebagaimana setiap peradaban memiliki masa naik dan turunnya, peradaban Islam pun mengalami kemunduran. Ahmad Sahal menjelaskan bahwa runtuhnya kemajuan di Baghdad dimulai ketika iklim keterbukaan berangsur tertutup. Titik balik pentingnya adalah ketika raja dan ulama mulai menyatu dan menolak para filosof dan cendekiawan. Al-Ghazali, seorang pemikir besar namun dengan pandangan yang dianggap oleh Norberg dan Weinberg sebagai simbol kemunduran, menolak peran akal (reason) dalam memahami fenomena alam. Baginya, sebab-akibat seperti api membakar kertas menjadi abu bukanlah proses kimiawi yang dapat dipahami akal, melainkan intervensi langsung dari Tuhan atau malaikat.
Pemikiran Al-Ghazali ini, yang menekankan keutamaan pemahaman teologis di atas eksplorasi rasional alam, berujung pada pergeseran fokus pendidikan. Baitul Hikmah digantikan oleh madrasah seperti Madrasah Nizamiyah yang lebih berorientasi pada studi teologi dan fikih, bukan lagi pada filsafat atau ilmu alam. Inilah yang oleh Bung Karno disebut sebagai "penjara 1000 tahun" bagi pemikiran Islam, di mana rasionalitas dan curiosity untuk menguasai alam menjadi tumpul. Akibatnya, peradaban Islam, meski memiliki kekuasaan militer besar seperti pada era Ottoman selama 500 tahun, gagal menghasilkan kontribusi signifikan dalam filsafat, sains, dan teknologi. Mereka menjadi masyarakat "unta" alih-alih masyarakat "kapal udara."
Jejak Islam di Renaisans Eropa Sebagai Jembatan Pengetahuan
Meski mengalami kemunduran di pusatnya, warisan intelektual Islam justru menjadi jembatan penting bagi kebangkitan Eropa. Rizal Mallarangeng dan Ahmad Sahal menegaskan bahwa tanpa para penerjemah dan pemikir Muslim, banyak karya Yunani seperti Plato dan Aristoteles mungkin telah punah di Eropa. Melalui pusat-pusat penerjemahan di Toledo dan Salamanca di Andalusia, serta jejak-jejak di Konstantinopel, khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani-Islam mengalir ke Eropa.
Sosok sentral dalam transmisi ini adalah Ibnu Rusyd. Pemikirannya tentang harmoni antara reason dan revelation sangat mempengaruhi Thomas Aquinas, seorang pemikir Kristen terkemuka di era Renaisans. Aquinas, yang dalam bukunya mengutip Ibnu Rusyd lebih dari 500 kali, berhasil mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristen, sama seperti yang dilakukan Ibnu Rusyd di dunia Islam. Ini menjadi pondasi penting bagi Renaisans, yaitu "kelahiran kembali" tradisi Yunani-Romawi, yang kemudian melahirkan era Enlightenment dan kemajuan ilmiah di Eropa dengan tokoh-tokoh seperti Descartes, Spinoza, Francis Bacon, hingga puncaknya Kopernikus, Galileo, Kepler, dan Isaac Newton.
Newton, sebagai contoh, mewakili pergeseran dari filsafat spekulatif ke sains empiris. Baginya, tugas ilmu adalah mengukur dan menjelaskan bagaimana alam bekerja (misalnya gravitasi), sementara pertanyaan tentang siapa yang menciptakan atau mengapa, menjadi ranah filsafat atau teologi. Ini berbeda dengan pendekatan Aristoteles yang mencoba menjelaskan "mengapa" dan "siapa pencipta". Pergeseran fokus ini terbukti jauh lebih fungsional dalam mendorong kemajuan teknologi dan pemahaman alam semesta.
Relevansi Keterbukaan di Era Kontemporer Sebagai Ujian Nalar Publik
Diskusi kemudian bergeser ke relevansi konsep keterbukaan ini di era modern. Rizal Mallarangeng mengajukan fenomena Zohran Mamdani, seorang Muslim berusia 33 tahun yang menjadi kandidat Wali Kota New York, sebagai simbol Islam dan keterbukaan. Ini dikontraskan dengan pemimpin Iran yang berusia 86 tahun, yang diasosiasikan dengan Islam dan ketertutupan. Perbandingan ini menegaskan kembali tesis Johan Norberg yaitu golden age peradaban senantiasa terjadi di tengah keterbukaan, di mana pemimpin dan masyarakat berani mengintegrasikan dan meniru hal-hal baik dari tempat lain, lalu mengembangkannya secara kreatif.
Indonesia, dengan kebebasan yang relatif baik, juga disebut sebagai contoh masyarakat terbuka yang menggeliat kreatif. Namun, di sisi lain, ketertutupan ala Korea Utara atau rezim-rezim yang hanya fokus pada keahlian perang tanpa mengembangkan pemikiran dan kreativitas, akan stagnan. Ahmad Sahal dengan tegas menyatakan bahwa sistem politik yang demokratis dan terbuka adalah yang paling Islami, karena memungkinkan suara rakyat, pemikiran bebas, dan kreativitas berkembang.
Perjanjian dagang Indonesia-Amerika Serikat yang dianggap sebagai "pedang bermata dua" juga mencerminkan urgensi keterbukaan dan rasionalitas dalam menghadapi tantangan modern. Opini tersebut menguraikan dengan tajam bagaimana skema tarif bea masuk, meskipun terlihat sebagai kebijakan dagang biasa, bisa menjadi senjata ekonomi sistemik yang dirancang untuk menjaga negara lain agar tidak maju dan tetap tunduk. Dengan bea masuk produk lokal di luar negeri, daya saing menurun, produksi dalam negeri terancam, dan PHK meningkat. Sebaliknya, masuknya produk asing tanpa bea masuk dapat mematikan industri lokal, meningkatkan pengangguran, dan mengurangi pendapatan pajak negara, yang berujung pada peningkatan utang luar negeri.
Pandangan ini, yang datang dari seorang warga sipil yang mengamati sejarah dan menganalisis kemungkinan jangka panjang, menggarisbawahi perlunya kemampuan sebuah negara untuk membalas atau menangkal serangan ekonomi, bukan hanya bernegosiasi. Ini adalah ujian bagi "nalar publik" untuk memilah fakta dan fiksi di era post-truth, seperti isu tentang isu ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Kasus impor gula Tom Lembong, yang menjadi area abu-abu antara hukum administrasi dan pidana korupsi, juga menunjukkan dilema antara tuntutan akuntabilitas prosedural dan kebutuhan efektivitas kebijakan di tengah situasi mendesak. Ini menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keseimbangan dalam mengelola kebijakan publik yang berdampak luas.
Pada akhirnya, dialog ini menegaskan bahwa pelajaran dari kejayaan peradaban Islam dan kemundurannya bersifat abadi. Keterbukaan, kerendahan hati untuk belajar dari pihak lain, kemampuan beradaptasi, dan keberanian untuk berinovasi adalah kunci kemajuan. Ini bukan hanya berlaku bagi satu peradaban atau agama, tetapi bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Bung Karno berpesan, sudah saatnya masyarakat bangkit dari kungkungan pemikiran lama dan menyongsong era "masyarakat kapal udara" yang rasional, kreatif, dan berani menyapa dunia.
Zlamitan
Komentar
Posting Komentar