Langsung ke konten utama

Membedah Opzet, Culpa, Contoh Konkret, dan Batas Nalar Pertanggungjawabannya


Hukum pidana, dalam esensinya, bukanlah sekadar mesin penghukum atas setiap perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang. Ia adalah sebuah disiplin yang dengan teliti mencari ruh kesalahan—sikap batin atau mens rea—yang membuat suatu perbuatan dapat dicela dan pelakunya layak dimintai pertanggungjawaban. Pada jantung pencarian ini, bersemayam dua konsep fundamental yang diwarisi dari tradisi hukum Eropa Kontinental yaitu opzet (kesengajaan) dan culpa (kealpaan). Keduanya adalah spektrum yang membedakan antara seorang pembunuh dan seorang yang karena lalai menyebabkan kematian.

Namun, bahkan sebelum kita menilai spektrum kesalahan ini, hukum meletakkan sebuah fondasi rasionalitas yang tak tergoyahkan melalui dua adagium kembar: ultra posse nemo obligatur (tidak seorang pun dapat dipaksa melakukan yang tidak mungkin) dan impossibilium nulla obligatio est (tidak ada kewajiban atas hal yang tidak mungkin). Tulisan ini akan membedah opzet dan culpa melalui contoh-contoh konkret, dan kemudian menunjukkan bagaimana kedua adagium tersebut berfungsi sebagai garis demarkasi yang menjaga agar hukum tetap berada dalam batas nalar kemanusiaan.

I. Opzet: Kehendak Jahat yang Menjadi Nyata

Opzet atau kesengajaan adalah bentuk kesalahan yang paling berat. Doktrin klasik merumuskannya sebagai willens en wetensdikehendaki dan diketahui. Pelaku tidak hanya sadar akan perbuatannya, tetapi ia juga menghendaki akibat dari perbuatan tersebut.

  1. Opzet als Oogmerk (Kesengajaan sebagai Maksud) Ini adalah bentuk kesengajaan yang paling murni. Akibat terlarang adalah tujuan utama pelaku.

    • Contoh: Seorang direktur perusahaan (A) menyewa seorang pembunuh bayaran (B) untuk menyingkirkan saingannya (C). B menerima tugas tersebut, mempelajari kebiasaan C, dan menembaknya hingga tewas. Bagi A dan B, kematian C adalah tujuan akhir (oogmerk) yang mereka kehendaki dan rencanakan.

  2. Opzet bij Zekerheidsbewustzijn (Kesengajaan dengan Kesadaran Kepastian) Di sini, akibat terlarang bukanlah tujuan utama, namun pelaku tahu dengan pasti bahwa akibat itu akan menjadi konsekuensi niscaya dari tindakannya.

    • Contoh: Seorang teroris ingin membunuh seorang pejabat tinggi (target utama) dengan meledakkan bom di mobil pejabat tersebut. Secara sadar pelaku tahu dengan pasti bahwa sopir pejabat itu juga berada di dalam mobil. Meskipun kematian si sopir bukanlah tujuannya, ia sadar bahwa hal itu adalah akibat yang tidak terhindarkan dari peledakan bom. Terhadap dirinya tetap dianggap sengaja membunuh si sopir.

  3. Dolus Eventualis (Kesengajaan Bersyarat) Bentuk kesengajaan paling tipis ini terjadi ketika pelaku sadar akan adanya risiko atau kemungkinan besar timbulnya akibat terlarang, namun ia tidak peduli dan menerima apapun risikonya. "Kalau itu terjadi, ya sudahlah."

    • Contoh: Pemilik sebuah pabrik tahu bahwa salah satu mesin produksinya memiliki kerusakan fatal yang berisiko tinggi meledak dan membunuh pekerja di dekatnya. Biaya perbaikannya sangat mahal. Dia memutuskan untuk tidak memperbaikinya dan berpikir, "Semoga saja tidak meledak, tapi kalaupun terjadi dan ada yang mati, itu risiko bisnis." Ketika mesin itu benar-benar meledak dan menewaskan seorang pekerja, si pemilik dapat dituntut atas pembunuhan dengan dolus eventualis. Dirinya tidak menginginkan kematian itu, tetapi ia sadar akan risikonya dan ia menerimanya.

II. Culpa: Ketiadaan Nalar Kehati-hatian

Culpa atau kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan. Tidak ada kehendak untuk berbuat jahat. Kesalahan terletak pada verwijtbare onvoorzichtigheid—kurang hati-hati yang dapat dicela. Pelaku seharusnya dapat menduga akibatnya, namun karena kurang berpikir panjang atau kurang terampil, akibat itu tetap terjadi.

  1. Bewuste Schuld (Kealpaan dengan Kesadaran) Pelaku sadar akan adanya risiko, namun ia terlalu percaya diri dan yakin bahwa akibat buruk itu tidak akan terjadi. Ia meremehkan risiko tersebut.

    • Contoh: Seorang ahli bedah (Dr. X) mencoba sebuah teknik operasi yang sangat berisiko pada seorang pasien. Dokter tersebut sadar ada kemungkinan 30% pasien bisa meninggal di meja operasi, tetapi ia sangat yakin dengan keahliannya bahwa operasi itu akan berhasil. Ternyata, operasi gagal dan pasien meninggal. Dr. X tidak sengaja membunuh pasiennya (ia tidak menerima risiko itu), tetapi ia lalai karena terlalu percaya diri dan meremehkan risiko yang ia sadari.

  2. Onbewuste Schuld (Kealpaan tanpa Kesadaran) Pelaku sama sekali tidak berpikir atau tidak sadar akan adanya risiko, padahal sebagai orang yang berakal sehat, dirinya seharusnya memikirkannya.

    • Contoh: Seorang pekerja konstruksi yang sedang bekerja di lantai 5 sebuah gedung meletakkan palu besinya di pinggir tembok tanpa pengaman. Untuk beberapa lama dia sama sekali tidak berpikir palu itu bisa saja jatuh kapan saja. Beberapa jam kemudian, getaran dari mesin membuat palu itu jatuh dan menewaskan seorang pejalan kaki di bawah. Ia tidak sadar akan bahayanya, tetapi dia seharusnya sadar. Kelalaiannya itulah yang menjadi dasar kesalahannya.

III. Ketika Hukum Menghadapi Ketidakmungkinan

Di sinilah adagium ultra posse nemo obligatur dan impossibilium nulla obligatio est berperan sebagai katup pengaman keadilan. Kedua asas ini menegaskan bahwa hukum tidak dapat menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang mustahil. Prinsip ini menjadi relevan terutama saat kita menilai culpa.

Seseorang hanya dapat dianggap lalai (culpa) jika dia dapat berbuat lain untuk mencegah akibat buruk itu terjadi. Jika secara objektif ia tidak mungkin berbuat lain, maka tidak ada kewajiban yang dilanggar, dan oleh karenanya tidak ada kesalahan yang dapat dicela.

  • Contoh 1 (Ketidakmungkinan Absolut): Seorang dokter jaga di sebuah puskesmas terpencil menerima telepon darurat bahwa ada warga yang mengalami serangan jantung hebat di desa seberang sungai. Sang dokter segera bergegas, namun ia mendapati satu-satunya jembatan penghubung hanyut diterjang banjir bandang yang terjadi tiba-tiba. Tidak ada jalan lain. Pasien itu pun meninggal. Bisakah sang dokter dituntut karena lalai (culpa) hingga menyebabkan kematian? Tentu tidak. Hukum tidak mewajibkan sang dokter untuk terbang atau berenang menyeberangi banjir bandang yang mematikan. Ultra posse nemo obligatur. Adalah mustahil baginya untuk sampai ke lokasi, sehingga kewajibannya untuk menolong menjadi gugur.

  • Contoh 2 (Hubungannya dengan Keadaan Memaksa/Overmacht): Seorang apoteker didatangi oleh seorang perampok yang menodongkan pistol ke kepala anaknya, memaksanya untuk menyerahkan semua obat-obatan narkotika yang disimpan di brankas. Sang apoteker pun menyerahkannya. Secara hukum, ia telah melakukan tindak pidana menyalurkan narkotika secara tidak sah. Namun, dapatkah ia dipidana? Tidak. Asas ketidakmungkinan ini berkelindan dengan Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (overmacht). Meskipun secara fisik ia bisa menolak, hukum tidak mewajibkan seseorang untuk mengorbankan nyawa anaknya demi mematuhi undang-undang. Kewajiban untuk tidak menyerahkan narkotika menjadi gugur di hadapan ketidakmungkinan untuk menolak tanpa akibat yang jauh lebih fatal.

Kesimpulan

Memahami opzet dan culpa adalah memahami gradasi niat dan kehendak manusia. Namun, memahami ultra posse nemo obligatur adalah memahami batas-batas dari kewajiban itu sendiri. Hukum pidana yang adil menempatkan pertanggungjawaban pada pundak mereka yang memiliki pilihan dan kehendak—baik kehendak untuk berbuat jahat (opzet) maupun kehendak untuk tidak berhati-hati (culpa).

Ketika suatu akibat terjadi karena sebuah ketidakmungkinan absolut yang berada di luar kendali manusia, hukum dengan bijak akan menarik diri. Pada akhirnya, hukum pidana tidak mencari kambing hitam atas setiap kemalangan, melainkan mencari kesalahan yang dapat dicela pada individu yang memiliki pilihan rasional untuk bertindak secara berbeda.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...