Langsung ke konten utama

Sebuah Investigasi atas “Diri”


Di sebuah titik pusat semesta pengalaman kita, bersemayam sebuah entitas yang terasa paling akrab sekaligus paling misterius: diri sendiri. “Aku” adalah kata pertama yang kita klaim sebagai milik kita, jangkar dari setiap ingatan, harapan, dan ketakutan. Namun, ketika filsafat mengarahkan sorot lampunya yang paling tajam pada entitas yang diasumsikan solid ini, fondasinya justru bergetar, dindingnya retak, dan isinya menguap laksana kabut. Sejarah filsafat Barat, pada dasarnya, bukanlah kisah tentang penemuan “diri”, melainkan sebuah epik panjang tentang dekonstruksi dan kehilangan kepastian atasnya.

Selama berabad-abad, dunia klasik Yunani tidur nyenyak di atas fondasi yang kokoh. Bagi Plato, “diri” adalah jiwa rasional, sebuah esensi abadi yang terperangkap sementara di dalam penjara tubuh. Jiwa ini berasal dari “dunia ide” yang sempurna dan merindukan kepulangannya. Jiwa memiliki tujuan, struktur, dan takdir. Muridnya, Aristoteles, membawanya lebih membumi. “Diri” bukanlah entitas asing yang terpenjara, melainkan entelechy atau tujuan inheren dari tubuh itu sendiri. Bagaikan potensi biji ek untuk menjadi pohon ek yang megah, diri adalah proses aktualisasi dari potensi tertinggi seorang manusia. Dalam kedua pandangan otoritatif ini, diri adalah sesuatu yang nyata, koheren, dan bertujuan. "Diri" adalah pusat gravitasional yang stabil bagi kehidupan moral dan intelektual.

Lalu datanglah René Descartes pada abad ke-17, yang dalam usahanya mencari kepastian absolut, justru meruntuhkan bangunan tua ini dan membangun sebuah benteng baru yang terisolasi. Melalui keraguan radikalnya, Descartes menyingkirkan segala sesuatu yang bisa diragukan—indra, tubuh, dunia eksternal—hingga tersisa satu hal yang tak terbantahkan: fakta bahwa ia sedang meragu, yang berarti ia sedang berpikir. Cogito, ergo sum. “Aku berpikir, maka aku ada.” Inilah momen seismik dalam sejarah “diri”. Identitas dipindahkan dari jiwa yang terikat pada kosmos menjadi sebuah substansi pemikir (res cogitans) yang terasing dan non-fisik. Diri menjadi hantu di dalam mesin, sebuah kesadaran murni yang menatap dunia dari balik jendela mata. Descartes memang menemukan kembali kepastian, tetapi dengan harga yang mahal. Diri menjadi kesepian, terpisah dari tubuhnya sendiri, dan terputus dari dunia yang kini menjadi objek semata.

Fondasi baru yang didirikan Descartes, yang tampak begitu kokoh, ternyata dibangun di atas pasir. Para filsuf empiris Inggris yang datang setelahnya mulai menanyakan pertanyaan yang canggung: dari mana ide tentang “diri” sebagai substansi pemikir yang tunggal dan berkelanjutan ini berasal? John Locke, dengan pendekatan yang lebih hati-hati, menolak gagasan jiwa bawaan dan mengusulkan bahwa identitas diri terletak pada kontinuitas psikologis, terutama memori. Anda adalah diri Anda yang sama dengan kemarin karena Anda ingat pernah menjadi orang tersebut. Diri adalah sebuah rantai kesadaran yang disambung oleh ingatan. Ini terdengar masuk akal, tetapi juga sangat rapuh. Bagaimana dengan amnesia? Bagaimana dengan tidur lelap tanpa mimpi? Rantai itu tampak bisa putus dengan mudah.

Pukulan telak dan paling mematikan datang dari David Hume, filsuf Skotlandia yang skeptis. Dengan ketajaman seorang ahli bedah, Hume melakukan apa yang tidak dilakukan Descartes: ia benar-benar mencoba mencari “diri” ini melalui introspeksi. Ia melihat ke dalam pikirannya untuk menemukan entitas tunggal yang konon menjadi pemilik dari semua pengalamannya. Hasilnya? Nihil. Hume tidak menemukan “diri” sama sekali. Yang ia temukan hanyalah sebuah “bundel” atau kumpulan persepsi yang silih berganti dengan kecepatan kilat—rasa hangat, warna biru, kenangan masa kecil, rasa cemas—sebuah teater di mana berbagai adegan datang dan pergi, tetapi tidak ada penonton tetap yang menyaksikannya. “Diri,” simpul Hume, hanyalah sebuah fiksi, sebuah ilusi yang diciptakan oleh kebiasaan pikiran kita untuk mengikat persepsi-persepsi yang acak ini. Dalam sekejap, baik jiwa Plato maupun cogito Descartes menguap tanpa sisa.

Filsafat berada di ambang krisis. Jika diri adalah ilusi, maka seluruh proyek Pencerahan, kebebasan individu, dan tanggung jawab moral menjadi terancam. Di tengah puing-puing inilah Immanuel Kant melancarkan misi penyelamatan yang paling ambisius dalam sejarah filsafat. Kant, dengan jenius, setuju dengan Hume. Kita memang tidak akan pernah bisa menemukan diri sebagai objek pengalaman, sama seperti mata tidak bisa melihat dirinya sendiri. Namun, argumennya, “diri” harus kita andaikan ada sebagai syarat mutlak agar pengalaman itu sendiri menjadi mungkin. Agar kumpulan persepsi yang kacau itu bisa dipahami sebagai sebuah “cerita” yang koheren, harus ada sebuah “kesatuan transendental”—seutas benang tak terlihat yang merangkai semua manik-manik pengalaman menjadi satu kalung. Diri, bagi Kant, bukanlah isi dari kesadaran, melainkan struktur dari kesadaran itu sendiri. Ia adalah sang subjek yang menyatukan, yang tidak pernah bisa menjadi objek. Kant berhasil menyelamatkan konsep diri dari kehancuran total, tetapi diri yang ia wariskan adalah sosok yang dingin, formal, dan kosong—sebuah struktur logis, bukan lagi sebuah jiwa yang hangat dan personal.

Sejak Kant, narasi tentang diri semakin terfragmentasi. Nietzsche melihatnya sebagai medan pertempuran kehendak-kehendak yang saling bersaing; Freud membongkarnya menjadi struktur sadar, prasadar, dan bawah sadar yang penuh konflik; kaum eksistensialis seperti Sartre membuang semua esensi dan menyatakannya sebagai proyek kebebasan radikal yang menakutkan.

Perjalanan panjang dan berliku ini menguak sebuah kebenaran yang tidak nyaman. Upaya untuk menjawab “Apa itu diri sendiri?” justru telah membuktikan bahwa kita bahkan tidak yakin lagi apakah ia benar-benar ada dalam bentuk yang bisa kita definisikan. Setiap generasi filsuf meruntuhkan kepastian generasi sebelumnya, meninggalkan kita di era modern dengan sebuah mosaik pecahan-pecahan teori. Diri bukanlah sebuah entitas solid yang menunggu untuk ditemukan di balik tirai kesadaran. Ia adalah sebuah pertanyaan terbuka, sebuah ruang kosong di pusat eksistensi kita yang terus-menerus kita coba isi dengan cerita, sains, dan keyakinan. Kegagalan filsafat untuk memberikan satu jawaban final mungkin bukanlah sebuah kegagalan sama sekali, melainkan sebuah undangan. Undangan bagi kita masing-masing untuk mengambil alih tugas yang mustahil itu, yaitu menjadi pemahat sekaligus marmer dari diri kita sendiri.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...