Langsung ke konten utama

RUU KUHAP yang Gagal Melindungi Hak Asasi dan Mencari Kebenaran Materiil


Pendahuluan: Dekonstruksi Hukum Acara Pidana Ideal dan Realitas RUU KUHAP

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) digemakan sebagai sebuah langkah progresif untuk menggantikan produk hukum kolonial, Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dan menyelaraskannya dengan dinamika masyarakat serta prinsip negara hukum modern.1 Namun, analisis tajam terhadap draf yang beredar, khususnya versi 20 Maret 2025, menyingkap sebuah realitas yang jauh dari cita-cita tersebut. Alih-alih menjadi instrumen reformasi fundamental, RUU KUHAP justru berpotensi menjadi sebuah "cek kosong" 3—sebuah janji pembaruan yang tidak memiliki substansi untuk melindungi hak-hak warga negara dan gagal menyentuh akar permasalahan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Argumentasi utama laporan ini adalah bahwa RUU KUHAP, dalam wujudnya saat ini, telah mengkhianati landasan filosofisnya sendiri. RUU gagal melakukan dekolonisasi hukum secara substantif dan gagal mewujudkan nilai-nilai Pancasila serta amanat konstitusi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).5 Alih-alih membangun sistem yang berorientasi pada pencarian kebenaran materiil (materiele waarheid) 7 dan perlindungan HAM9, draf ini justru melanggengkan, dan dalam beberapa aspek memperburuk, ketidakseimbangan kuasa antara negara dan warganya. Proses penyusunan yang kerap minim partisipasi publik yang bermakna 11 telah melahirkan sebuah naskah yang lebih mencerminkan kepentingan dan kenyamanan aparatur penegak hukum ketimbang menjamin keadilan bagi masyarakat luas.

Tulisan ini akan membedah kegagalan tersebut secara sistematis. Analisis akan dimulai dengan membongkar fondasi filosofis RUU yang rapuh, yang menjadi pangkal dari berbagai permasalahan turunan. Selanjutnya, laporan ini akan melakukan anatomi terhadap pasal-pasal krusial yang bermasalah secara tematis, mulai dari upaya paksa yang sewenang-wenang, sistem pembuktian yang tercemar, hingga ilusi perlindungan bagi korban dan kelompok rentan. Analisis ini akan diperkuat dengan perbandingan terhadap standar hukum internasional dan praktik terbaik di negara-negara demokrasi, sebelum akhirnya ditutup dengan serangkaian rekomendasi fundamental untuk mewujudkan reformasi KUHAP yang sejati.

Bagian I: Fondasi yang Rapuh - Kegagalan Filosofis RUU KUHAP dalam Meraih Kebenaran Materiil

Cita Hukum Negara Hukum (Rechtsstaat) dan Kebenaran Materiil yang Terkhianati

Landasan filosofis ideal bagi hukum acara pidana dalam sebuah negara hukum (rechtsstaat) yang berlandaskan Pancasila adalah pencarian kebenaran materiil—kebenaran hakiki yang sesuai dengan kenyataan objektif dari suatu peristiwa pidana—dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai subjek hukum.5 Tujuan hukum acara pidana bukanlah sekadar efisiensi dalam menghukum, melainkan sebuah proses yang adil untuk menemukan kebenaran sejati (substantive truth).8 Hal ini menuntut agar seluruh proses, dari penyidikan hingga putusan, berorientasi pada penggalian fakta yang sesungguhnya, bukan sekadar pemenuhan formalitas prosedural.7

Namun, RUU KUHAP secara fundamental mengkhianati cita hukum ini. Meskipun Naskah Akademik dan bagian "Menimbang" dalam draf RUU kerap menggaungkan retorika perlindungan HAM, dekolonisasi, dan pencarian kebenaran 2, rumusan pasal-pasal di dalamnya justru membangun sebuah sistem yang berwatak sebaliknya. Terdapat sebuah kontradiksi tajam antara wajah publik RUU yang progresif dengan mekanisme operasionalnya yang represif. Fenomena ini dapat diibaratkan sebagai "schizophrenia legislatif", di mana landasan filosofis yang luhur hanya menjadi tempelan untuk memberikan legitimasi, sementara filosofi operasional yang sesungguhnya adalah sentralisme negara (state-centric) dan berorientasi pada kontrol, bukan keadilan (justice-centric).

Kegagalan ini paling nyata terlihat pada bagaimana RUU KUHAP memperlakukan konsep kebenaran. Teks RUU KUHAP terjebak dalam paradigma kebenaran formal yang mengutamakan kelengkapan administrasi di atas substansi keadilan. Sebagai contoh, mekanisme pengawasan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang dirancang dengan waktu pemeriksaan sangat singkat dan tanpa upaya hukum lanjutan akan mendorong hakim untuk sekadar memeriksa kelengkapan surat-surat, bukan menggali kebenaran materiil dari dugaan pelanggaran prosedur oleh aparat.17 Demikian pula, penolakan untuk mengadopsi aturan pengecualian bukti (exclusionary rule) secara tegas menunjukkan bahwa RUU ini lebih mementingkan perolehan bukti dengan cara apapun, bahkan jika cara tersebut melanggar hukum dan HAM, daripada memastikan proses pencarian kebenaran yang bersih dan adil.19 Dengan demikian, kegagalan RUU KUHAP bukanlah kegagalan teknis, melainkan kegagalan filosofis di tingkat akar yang meruntuhkan seluruh bangunan hukum acara pidana yang dicita-citakan.

Ilusi Sistem Adversarial dalam Cengkeraman Inkuisitorial

RUU KUHAP mengklaim mengadopsi "perpaduan antara sistem Hakim aktif dengan para pihak berlawanan secara berimbang" 20, sebuah upaya untuk menggabungkan elemen terbaik dari sistem inkuisitorial dan adversarial. Namun, klaim "keseimbangan" ini hanyalah ilusi. Analisis menunjukkan bahwa RUU ini secara strategis mengambil elemen-elemen yang paling menguntungkan negara dari kedua sistem, tanpa diimbangi dengan mekanisme perlindungan hak yang sepadan, menciptakan sebuah sistem hibrida yang menjadi "yang terburuk dari kedua dunia" (the worst of both worlds) bagi tersangka/terdakwa.

Dari sistem inkuisitorial, RUU KUHAP mengambil kekuasaan investigasi yang sangat luas bagi penyidik dan penuntut umum.16 Namun, RUU tidak mengadopsi penyeimbangnya yang krusial, yaitu kehadiran hakim investigasi (investigating judge) yang independen dan berwenang penuh mengawasi jalannya penyidikan, sebagaimana yang ada dalam model Eropa klasik.22 Lembaga HPP yang ditawarkan adalah versi lemah yang tidak berdaya untuk melakukan pengawasan substantif.19

Di sisi lain, dari sistem adversarial, RUU ini secara praktik membebankan pembuktian pada tersangka/terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, namun tidak memberikan "senjata" yang setara. Prinsip fundamental equality of arms (kesetaraan senjata) 9, yang menuntut agar kedua belah pihak (penuntut dan pembela) memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses bukti dan mempersiapkan perkaranya, sama sekali tidak terwujud. Akses pembela hukum terhadap berkas perkara sejak awal masih menjadi masalah kronis yang tidak diselesaikan secara tuntas 19, sementara penuntut umum diberi kekuasaan yang dominan.

Hasilnya adalah sebuah sistem yang sangat timpang. Warga negara yang berhadapan dengan hukum harus menghadapi aparatur negara dengan kekuasaan investigasi yang luar biasa besar, namun tanpa perlindungan prosedur yang memadai untuk membela diri. Ini bukanlah "perpaduan yang berimbang", melainkan sebuah arsitektur hukum yang dirancang untuk melanggengkan hegemoni negara yang dilegitimasi melalui prosedur hukum acara pidana.

Bagian II: Analisis Kritis Pasal-Pasal Bermasalah

Upaya Paksa Tanpa Pengawasan Efektif

Salah satu kegagalan paling fundamental dalam RUU KUHAP adalah ketidakmampuannya membangun mekanisme pengawasan yudisial yang efektif terhadap penggunaan upaya paksa oleh aparat penegak hukum. RUU ini menciptakan ilusi pengawasan dengan memperkenalkan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) 23, namun pada saat yang sama melumpuhkan lembaga tersebut melalui desain kewenangan yang lemah dan prosedur yang terbatas. Akibatnya, pasal-pasal mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan menjadi pintu terbuka bagi legalisasi kesewenang-wenangan.

Analisis Pasal:

  • Penangkapan dan Penahanan: Pasal-pasal mengenai penangkapan (misalnya, Pasal 87-91 draf 20 Maret 2025) dan penahanan (Pasal 92-104) masih menggunakan standar yang ambigu seperti "minimal 2 (dua) alat bukti" 16, yang tidak secara otomatis sama dengan "bukti permulaan yang cukup" sebagaimana telah ditafsirkan secara ketat oleh Mahkamah Konstitusi.19 Lebih berbahaya lagi, Pasal 93 ayat (5) memperkenalkan alasan-alasan penahanan yang sangat subjektif dan karet, seperti "tidak bekerja sama dalam pemeriksaan" atau "menghambat proses pemeriksaan".4 Klausul semacam ini memberikan diskresi tak terbatas kepada penyidik untuk menahan seseorang berdasarkan interpretasi sepihak, yang sangat rentan disalahgunakan untuk menekan tersangka agar memberikan pengakuan.

  • Penggeledahan dan Penyitaan: Meskipun pasal-pasal mengenai penggeledahan (Pasal 105-110) dan penyitaan (Pasal 111-123) mensyaratkan adanya izin pengadilan, esensi perlindungan ini dinegasikan oleh klausul pengecualian dalam "keadaan mendesak" yang definisinya tidak diatur secara ketat dan limitatif.16 Tanpa batasan yang jelas, aparat dapat dengan mudah menggunakan alasan "mendesak" untuk melakukan tindakan invasif tanpa pengawasan yudisial terlebih dahulu, menjadikan izin pengadilan sebagai formalitas yang dapat diabaikan.

  • Penyadapan dan Teknik Investigasi Khusus: Pengaturan mengenai penyadapan 16 dan teknik investigasi khusus lainnya seperti pembelian terselubung atau penyerahan di bawah pengawasan 18 sangatlah minim dan tidak akuntabel. RUU ini gagal mengatur secara rinci siapa yang berwenang, kapan dapat dilakukan, bagaimana prosedurnya, dan bagaimana pengawasannya. Hal ini melanggar standar perlindungan hak atas privasi yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 17.25

Kegagalan Mekanisme Pengawasan (HPP):

Lembaga HPP, yang seharusnya menjadi benteng pengawasan yudisial, dirancang untuk gagal. Jangka waktu pemeriksaan yang sangat singkat (misalnya, 2 hari dalam beberapa draf) 19, objek permohonan yang masih terbatas, dan yang terpenting, putusan HPP yang bersifat final dan tidak dapat diuji melalui upaya hukum banding atau kasasi 19, menjadikan lembaga ini macan kertas. HPP tidak akan mampu melakukan pemeriksaan substansial untuk mencari kebenaran materiil atas dugaan pelanggaran, melainkan hanya akan melakukan pemeriksaan administratif atas kelengkapan surat-surat.17 Ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan sebuah desain kebijakan yang secara sengaja menetralkan fungsi pengawasan yudisial dan memberikan legitimasi palsu pada proses yang cacat.


Penolakan terhadap Exclusionary Rule dan Pintu Terbuka bagi Penyiksaan

RUU KUHAP gagal membangun sistem pembuktian yang adil dan berintegritas. Kegagalan ini berpusat pada penolakan untuk mengadopsi secara tegas dan efektif doktrin exclusionary rule—sebuah prinsip fundamental yang menyatakan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat digunakan di pengadilan.26 Tanpa aturan ini, seluruh jaminan hak dalam proses acara pidana menjadi hampa.

Dalam Pasal 222 ayat (3) draf 20 Maret 2025, disebutkan bahwa alat bukti harus "diperoleh secara tidak melawan hukum".16 Namun, frasa ini menjadi norma kosong karena RUU tidak mengatur konsekuensi jika norma ini dilanggar. Tidak ada mekanisme yang secara otomatis menggugurkan bukti yang diperoleh melalui penyiksaan, penggeledahan ilegal, atau pelanggaran prosedur lainnya. Penolakan ini secara langsung membuka pintu bagi praktik penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya. Data yang didokumentasikan oleh KontraS menunjukkan bahwa penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan masih menjadi praktik yang mengkhawatirkan di tingkat penyidikan.19 Ketiadaan exclusionary rule yang kuat berarti aparat penegak hukum tidak memiliki disinsentif yang efektif untuk menghentikan praktik tersebut, karena "buah dari pohon beracun" (fruit of the poisonous tree) 28 pada akhirnya tetap dapat disajikan dan digunakan untuk menghukum seseorang di pengadilan.

Sikap ini secara terang-terangan bertentangan dengan kewajiban Indonesia di bawah Konvensi Menentang Penyiksaan (UNCAT), khususnya Pasal 15, yang secara eksplisit melarang penggunaan pernyataan apapun yang diperoleh sebagai hasil penyiksaan untuk dijadikan bukti dalam proses peradilan.29 Penolakan untuk mengadopsi exclusionary rule bukanlah sebuah kelalaian, melainkan sebuah pilihan kebijakan yang secara sadar memprioritaskan hasil (menghukum terduga pelaku) di atas integritas proses (menghormati hak asasi). Ini mencerminkan filosofi hukum acara yang cacat, di mana tujuan dianggap dapat menghalalkan segala cara, dan pada akhirnya meruntuhkan seluruh bangunan perlindungan HAM yang coba ditampilkan oleh RUU KUHAP.

Formalitas Bantuan Hukum dan Ancaman terhadap Advokat

Prinsip peradilan yang adil (fair trial) mensyaratkan adanya kesetaraan senjata (equality of arms) antara negara sebagai penuntut dan individu sebagai terdakwa. Pilar utama dari kesetaraan ini adalah hak atas pembelaan yang efektif, yang dijamin oleh advokat yang independen dan kompeten. Namun, RUU KUHAP justru melemahkan pilar ini secara sistematis, menjadikan hak atas bantuan hukum sekadar formalitas dan menempatkan advokat di bawah ancaman kriminalisasi.

Analisis Pasal:

  • Bantuan Hukum Formalitas: Pasal 146 ayat (4) draf 20 Maret 2025 memuat klausul yang sangat problematik, yaitu hak atas pendampingan hukum dapat dikesampingkan jika tersangka/terdakwa menolaknya, yang cukup dibuktikan dengan berita acara.4 Celah ini sangat rentan dieksploitasi oleh penyidik melalui intimidasi, manipulasi, atau janji-janji palsu agar tersangka menandatangani surat penolakan. Praktik ini akan melegitimasi pemeriksaan tanpa kehadiran pembela hukum, yang secara langsung melanggar esensi hak atas pembelaan yang dijamin oleh konstitusi dan ICCPR Pasal 14 ayat (3).25

  • Kriminalisasi Advokat: RUU KUHAP memuat pasal-pasal yang mengancam independensi profesi advokat. Analisis dari LBH Jakarta menyoroti adanya larangan bagi advokat untuk memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya (merujuk pada Pasal 142 ayat (3) huruf b dalam analisis mereka).18 Aturan semacam ini adalah serangan langsung terhadap kebebasan advokat dalam menjalankan profesinya (officium nobile) 20 dan dapat digunakan untuk membungkam pembelaan yang kritis terhadap negara. Ini juga menghambat peran advokat dalam memberikan pendidikan hukum kepada publik dan melakukan advokasi kebijakan. Pengaturan ini secara drastis memperlemah posisi advokat, mengubahnya dari penegak hukum yang setara menjadi pihak yang rentan dikriminalisasi.

Kombinasi antara kemudahan untuk meniadakan pendampingan hukum dan ancaman kriminalisasi terhadap advokat menciptakan ketidakseimbangan yang ekstrim dalam proses peradilan. Tersangka/terdakwa dibiarkan sendirian menghadapi aparatur negara yang perkasa, sementara pembelanya dibatasi ruang geraknya. Ini adalah resep pasti untuk terjadinya kegagalan keadilan (miscarriage of justice).

Kooptasi Konsep untuk Kepentingan Aparat

RUU KUHAP mencoba mengadopsi konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice atau RJ) dalam bab khusus mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan.31 Namun, alih-alih menerapkan RJ sesuai dengan filosofi aslinya yang berpusat pada pemulihan korban dan dialog antara para pihak, RUU ini justru membajak dan mendistorsi konsep tersebut untuk kepentingan efisiensi aparat.

Analisis dari koalisi masyarakat sipil menunjukkan bahwa RUU KUHAP secara fundamental salah memahami RJ. RUU menyamakan RJ dengan diversi atau penghentian perkara, padahal keduanya adalah konsep yang berbeda.4 RJ adalah sebuah proses yang melibatkan korban, pelaku, dan komunitas untuk mencari solusi atas dampak tindak pidana, yang seringkali berujung pada pemulihan dan reparasi bagi korban. Sebaliknya, RUU ini mereduksi RJ menjadi mekanisme teknis untuk menghentikan perkara yang kewenangannya diberikan hampir sepenuhnya kepada penyidik kepolisian, dengan pengawasan yang sangat minim.4

Pengaturan yang keliru ini sangat berbahaya karena akan membuka ruang yang sangat besar bagi praktik-praktik transaksional, pemerasan, dan pengancaman. Korban, yang seharusnya menjadi pusat dari proses RJ, justru berada dalam posisi lemah dan rentan diintimidasi oleh aparat atau pelaku untuk menyetujui "perdamaian" demi menutup kasus.4 Akuntabilitas menjadi nihil, dan keadilan bagi korban dikorbankan demi tujuan pragmatis penyelesaian perkara secara cepat. Dengan demikian, bab tentang RJ dalam RUU KUHAP bukanlah sebuah kemajuan, melainkan sebuah kemunduran yang mengkooptasi sebuah konsep progresif untuk tujuan yang berpotensi menindas.

Hak Korban dan Saksi

RUU KUHAP memuat sejumlah pasal yang secara normatif mengakui hak-hak korban dan saksi, seperti hak atas perlindungan dan restitusi. Namun, pengakuan ini terbukti hanyalah janji kosong karena tidak disertai dengan mekanisme implementasi yang jelas, terukur, dan dapat ditegakkan.

Berbagai analisis dari koalisi masyarakat sipil secara konsisten menunjukkan bahwa pasal-pasal mengenai hak korban dan saksi ini bersifat deklaratif dan simbolis.24 RUU ini gagal mengatur beberapa hal krusial:

  1. Siapa yang Bertanggung Jawab: Tidak ada penunjukan yang jelas mengenai lembaga atau pejabat mana yang dibebani kewajiban untuk memenuhi hak-hak tersebut.

  2. Bagaimana Prosedurnya: Tidak ada rincian mengenai prosedur operasional bagi korban atau saksi untuk mengajukan dan memperoleh haknya, misalnya, bagaimana mekanisme pengajuan restitusi dari awal hingga dana diterima oleh korban.

  3. Apa Konsekuensinya: Tidak ada sanksi atau konsekuensi hukum bagi aparat atau negara yang lalai atau gagal memenuhi hak-hak tersebut.

Tanpa adanya pasal-pasal operasional ini, pencantuman hak-hak tersebut hanya akan menjadi "simbol kosong" di atas kertas.24 Posisi korban dalam sistem peradilan pidana tetap lemah, seringkali direduksi hanya menjadi saksi yang tidak memiliki kekuatan untuk memperjuangkan pemulihan atas kerugian yang dideritanya.19 Janji pembaruan yang berpihak pada korban dalam RUU KUHAP pada akhirnya tidak lebih dari sekadar retorika tanpa dampak nyata.

Bagian III: Menuju KUHAP yang Berkeadilan

Belajar dari Praktik Terbaik dengan Model Pengawasan Yudisial dan Perlindungan HAM di Negara Demokrasi

Kelemahan-kelemahan fundamental dalam RUU KUHAP menjadi semakin nyata ketika dibandingkan dengan praktik hukum acara pidana di negara-negara demokrasi lain yang telah lebih matang dalam menyeimbangkan antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan HAM. Studi komparatif menunjukkan bahwa terdapat berbagai model dan mekanisme yang dapat diadopsi untuk membangun sistem peradilan pidana yang lebih adil dan akuntabel.

  • Pengawasan Yudisial yang Kuat: Berbeda dengan HPP yang lemah dalam RUU KUHAP, banyak negara Eropa seperti Prancis dan Jerman menerapkan model hakim investigasi (investigating judge atau juge d'instruction) atau hakim pemeriksa pendahuluan (pre-trial judge) yang memiliki kewenangan substantif untuk memimpin atau setidaknya mengawasi secara ketat jalannya penyidikan.22 Mereka tidak hanya memeriksa aspek formal, tetapi juga substansi dari setiap tindakan upaya paksa yang diajukan oleh polisi atau jaksa, memastikan bahwa hak-hak tersangka terlindungi sejak awal. Di negara lain seperti Korea Selatan dan Jerman, kejaksaan memiliki peran pengawasan aktif, bahkan kewenangan penyidikan dalam kasus-kasus tertentu, yang menciptakan mekanisme saling awas dan imbang (check and balance) terhadap kepolisian.34

  • Pilar Exclusionary Rule: Di Amerika Serikat dan negara-negara dengan tradisi common law, exclusionary rule merupakan pilar utama yang mencegah pelanggaran hak oleh aparat.26 Doktrin ini, bersama dengan turunannya, fruit of the poisonous tree, memastikan bahwa setiap bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat digunakan, memberikan disinsentif yang sangat kuat bagi aparat untuk tidak melakukan penyiksaan, penggeledahan ilegal, atau pelanggaran lainnya.

  • Jaminan Bantuan Hukum Sejak Dini: Di banyak negara Eropa, akses terhadap bantuan hukum bukan sekadar formalitas, melainkan hak absolut yang dijamin sejak saat pertama seseorang ditangkap atau diinterogasi.36 Hak ini seringkali tidak dapat dikesampingkan (non-waivable), terutama dalam kasus-kasus pidana serius, untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang menghadapi proses hukum tanpa pembelaan yang layak.

Model-model ini menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk merancang sebuah sistem hukum acara pidana yang efektif dalam menanggulangi kejahatan tanpa harus mengorbankan hak-hak asasi warga negara. Kegagalan RUU KUHAP untuk mengadopsi prinsip-prinsip ini bukanlah karena ketidakmungkinan teknis, melainkan karena ketiadaan kemauan politik untuk melakukan reformasi yang sejati.

Tabel Perbandingan Kritis: RUU KUHAP vs. Standar Internasional dan Rekomendasi

Tabel berikut secara ringkas mendemonstrasikan kesenjangan antara pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHAP dengan standar HAM internasional dan praktik terbaik, serta menawarkan rumusan alternatif yang lebih berkeadilan.

Isu Krusial

Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP (Versi 20 Maret 2025)

Analisis Kritis & Potensi Pelanggaran HAM

Standar Internasional (ICCPR/UNCAT) & Praktik Terbaik

Rekomendasi Rumusan Alternatif (Konkret)

Perpanjangan Masa Penangkapan


Pasal 90 ayat (2):

Masa penangkapan diperpanjang dari 1x24 jam menjadi 3x24 jam.

Peningkatan Risiko Penyiksaan: Memperpanjang waktu isolasi tersangka dari dunia luar (termasuk dari pengacara) selama 3 hari akan secara drastis meningkatkan risiko terjadinya penyiksaan, tekanan, dan rekayasa pengakuan. Ini adalah periode paling kritis bagi seorang tersangka.

ICCPR, Pasal 9(3):

"Setiap orang yang ditangkap atau ditahan... harus segera dihadapkan kepada hakim."


Praktik Terbaik:

Banyak negara membatasi masa penangkapan tanpa perintah hakim maksimal 24 atau 48 jam, bukan 72 jam.

Kembalikan ke KUHAP Saat Ini:

"Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, dilakukan untuk paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam."

Penahanan Subjektif & Sewenang-wenang

Pasal 93 ayat (5): Alasan penahanan mencakup syarat subjektif seperti "memberikan informasi tidak sesuai fakta" atau "tidak bekerja sama".4

Menciptakan alat tekanan bagi penyidik. Tersangka yang menggunakan hak diam atau memberikan keterangan berbeda dapat langsung ditahan. Ini adalah bentuk pemaksaan psikologis yang dilegalkan dan melanggar asas praduga tak bersalah.

ICCPR Pasal 9: Larangan penangkapan & penahanan sewenang-wenang. Penahanan harus menjadi upaya terakhir (ultimum remedium), bukan aturan umum.39


Praktik Terbaik: Sidang penahanan (detention hearing) di hadapan hakim dalam waktu singkat (24-48 jam) di banyak negara demokrasi Eropa.

Hapus alasan subjektif.

"Penahanan hanya dapat dilakukan jika terdapat bukti konkret dan faktual bahwa tersangka akan:
(a) melarikan diri, (b) merusak atau menghilangkan barang bukti, atau
(c) mengulangi tindak pidana serupa. Alasan ini harus dibuktikan secara meyakinkan di hadapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan."

Legalisasi "Bukti Haram" (Tanpa Exclusionary Rule)

Pasal 222 ayat (3), (4), & (5):

Keabsahan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum hanya dinilai berdasarkan diskresi (kebijaksanaan) hakim.

Tidak memberikan efek jera bagi aparat untuk tidak menyiksa atau melakukan cara ilegal, karena bukti yang diperoleh masih mungkin diterima hakim. Ini adalah "pemutihan" pelanggaran HAM oleh hukum.

UNCAT Pasal 15: Pernyataan hasil penyiksaan tidak dapat dijadikan bukti.29

Praktik Terbaik: Exclusionary Rule dan Fruit of the Poisonous Tree (AS, dll.).26

"Setiap alat bukti, termasuk keterangan, yang diperoleh melalui penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, atau melalui pelanggaran hukum acara pidana lainnya, tidak memiliki kekuatan pembuktian dan wajib dikesampingkan oleh hakim dari proses pembuktian."

Hak Bantuan Hukum

Pasal 146 ayat (4) & (5):
Memperbolehkan tersangka kejahatan serius menolak pendampingan Advokat hanya dengan berita acara di hadapan penyidik.

Hak dapat dikesampingkan dengan BAP penolakan.4

Mengabaikan relasi kuasa yang timpang di ruang interogasi. Tersangka dapat dengan mudah diintimidasi atau dibujuk untuk menandatangani surat penolakan, membuat hak atas pembelaan yang adil menjadi nihil.

Melanggar prinsip equality of arms dan fair trial.

ICCPR Pasal 14(3)(d): Hak untuk didampingi pembela, dan negara wajib menyediakan jika terdakwa tidak mampu.25


Praktik Terbaik: Hak tidak dapat dikesampingkan (non-waivable) untuk pidana berat.

Prinsip "no lawyer, no talk" untuk kasus-kasus berat.




Tambahkan ayat baru di Pasal 146:

"Dalam perkara yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau pidana mati, pendampingan oleh Penasihat Hukum adalah wajib sejak saat penangkapan dan tidak dapat dikesampingkan oleh tersangka/terdakwa dalam keadaan apapun."

"Dalam hal Tersangka diancam pidana 5 tahun atau lebih, pemeriksaan yang dilakukan tanpa didampingi Penasihat Hukum adalah batal demi hukum, dan keterangannya tidak dapat digunakan sebagai alat bukti."

Kewenangan Penggeledahan Meluas

Pasal 127 ayat (2):

Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin dan hanya perlu melapor kepada HPP setelahnya.

Membuka Pintu "Fishing Expedition": Penyidik dapat sewenang-wenang menggeledah dengan dalih "mendesak" dan baru mencari pembenaran setelahnya. Ini mengancam hak atas privasi dan keamanan tempat tinggal warga negara secara masif.

ICCPR, Pasal 17:

Perlindungan terhadap campur tangan yang sewenang-wenang pada ranah pribadi dan rumah.


Praktik Terbaik:

Izin yudisial pra-penggeledahan (prior judicial warrant) adalah standar emas.

Batasi Keadaan Mendesak:

"Keadaan sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan secara objektif dan terbatas pada:
(a) adanya bahaya nyata bagi keselamatan jiwa; atau
(b) adanya bahaya nyata bahwa barang bukti akan segera dimusnahkan."

Pengawasan Semu (Impotensi HPP)


Pasal 111 & 122:

Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) hanya diberi waktu 2 hari untuk memeriksa.

Putusan HPP bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum (analisis dari LBH Jakarta atas RUU).19

Menjadikan HPP sekadar "tukang stempel" administratif. Menjadikan HPP sebagai lembaga yang tidak akuntabel dan putusannya tidak dapat dikoreksi. Menutup akses keadilan jika HPP keliru.


Waktu yang sempit mustahil digunakan untuk pemeriksaan substantif. Sifat final putusannya menghilangkan mekanisme checks and balances dan akuntabilitas yudisial.

ICCPR Pasal 14(5): Hak untuk peninjauan kembali oleh pengadilan yang 

lebih tinggi.25


Prinsip Negara Hukum:

Adanya mekanisme kontrol yudisial yang efektif dan akuntabel.


Praktik Terbaik:

Mekanisme banding atas putusan pra-peradilan untuk memastikan tidak ada kekeliruan.

Revisi Pasal 111 & 122:

1. Pemeriksaan oleh HPP dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

2. Terhadap putusan HPP, dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi.

"Terhadap penetapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengenai sah atau tidaknya upaya paksa dan tindakan lain yang menjadi kewenangannya, dapat diajukan upaya hukum perlawanan ke Pengadilan Tinggi dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak penetapan diucapkan."

Pembajakan Konsep Keadilan Restoratif (RJ)

Pasal 74-83: Proses RJ sepenuhnya diserahkan kepada kewenangan penyidik tanpa pengawasan yudisial yang kuat.

Menyalahi filosofi RJ. Proses berisiko menjadi ajang transaksi kasus atau pemaksaan "damai" terhadap korban demi efisiensi penyelesaian perkara oleh polisi. Ini adalah bentuk reviktimisasi oleh sistem.

Prinsip Dasar RJ PBB: RJ harus bersifat sukarela, melibatkan fasilitator netral, dan berpusat pada pemulihan korban (victim-centered)  


Praktik Terbaik: Kesepakatan restoratif divalidasi oleh hakim untuk menjamin keadilan.

Revisi Bab Keadilan Restoratif:
1. "Proses Keadilan Restoratif difasilitasi oleh mediator yang terlatih dan independen."
2. "Kesepakatan yang dicapai wajib diajukan kepada Hakim untuk dinilai dan disahkan dalam sebuah penetapan, setelah memastikan prosesnya bersifat sukarela dan tidak merugikan kepentingan korban."


Bagian IV: Rekomendasi Fundamental untuk Reformasi KUHAP Sejati

Berdasarkan analisis komprehensif atas kegagalan filosofis dan kelemahan sistemik dalam RUU KUHAP, saya tidak hanya menolak draf yang ada, tetapi juga mengajukan agenda reformasi fundamental yang koheren. Reformasi sejati menuntut lebih dari sekadar perubahan parsial,  RUU KUHAP memerlukan perombakan paradigma yang menempatkan keadilan dan hak asasi manusia sebagai pusat dari sistem peradilan pidana. Berikut adalah rekomendasi fundamental yang tidak dapat ditawar:

  1. Reorientasi Filosofis Menuju Kebenaran Materiil yang Berkeadilan: Pembentuk UU harus secara eksplisit mendefinisikan "kebenaran materiil" dalam batang tubuh RUU, bukan hanya dalam penjelasan. Definisi ini harus menegaskan bahwa kebenaran materiil adalah kebenaran substantif yang dicapai melalui proses yang adil, transparan, dan menghormati HAM, bukan kebenaran versi negara yang diperoleh dengan segala cara.

  2. Penguatan Pengawasan Yudisial Melalui Pre-Trial Judge yang Berdaya: Mendesain ulang lembaga HPP menjadi Pre-Trial Judge yang sesungguhnya. Kewenangannya harus diperluas untuk menguji secara substantif semua tindakan upaya paksa dan tindakan investigasi invasif lainnya. HPP harus diberi waktu yang cukup untuk melakukan pemeriksaan mendalam, dan yang terpenting, putusannya harus dapat diuji melalui mekanisme upaya hukum (perlawanan ke Pengadilan Tinggi) untuk menjamin akuntabilitas.

  3. Adopsi Wajib dan Tegas Exclusionary Rule: Memasukkan pasal yang tidak ambigu dan bersifat imperatif yang melarang penggunaan semua bukti—baik bukti langsung maupun bukti turunan (fruit of the poisonous tree)—yang diperoleh secara ilegal. Ini adalah implementasi langsung dari UNCAT Pasal 15 dan merupakan disinsentif paling efektif untuk mencegah penyiksaan, pemaksaan, dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam proses penyidikan.

  4. Jaminan Hak Pembelaan yang Efektif dan Tak Tergoyahkan: Menjadikan hak atas bantuan hukum sebagai hak yang tidak dapat dikesampingkan (non-waivable) dalam semua perkara pidana yang memiliki ancaman pidana serius (misalnya, 5 tahun penjara atau lebih). Akses penuh advokat terhadap seluruh berkas perkara dan bukti harus dijamin sejak awal proses penyidikan. Semua pasal yang berpotensi mengkriminalisasi atau membatasi independensi advokat dalam menjalankan profesinya harus dihapus.

  5. Reformulasi Keadilan Restoratif yang Berpusat pada Korban: Mengembalikan konsep Keadilan Restoratif (RJ) ke khitahnya. Proses RJ harus berpusat pada pemulihan kerugian dan kebutuhan korban, dilakukan melalui mekanisme mediasi penal yang diawasi secara ketat oleh hakim atau jaksa, bukan diserahkan sepenuhnya kepada diskresi penyidik. Partisipasi korban harus bersifat sukarela dan terinformasi, bukan hasil paksaan.

  6. Operasionalisasi Hak Korban dan Saksi: Merumuskan mekanisme yang jelas, terukur, dan dapat ditegakkan secara hukum (enforceable) untuk pemenuhan hak-hak korban dan saksi. RUU harus secara spesifik menunjuk lembaga yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak (misalnya, restitusi, kompensasi, perlindungan fisik dan psikis), mengatur prosedur pengajuannya secara rinci, dan mengalokasikan anggaran yang jelas dari negara untuk memastikan hak tersebut bukan sekadar janji di atas kertas.

  7. Pembahasan Legislasi yang Terbuka, Partisipatif, dan Bermakna: Mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera menghentikan praktik pembahasan RUU KUHAP yang tertutup dan tidak transparan. Proses legislasi harus membuka ruang partisipasi publik yang bermakna, dengan secara aktif melibatkan dan mempertimbangkan masukan dari koalisi masyarakat sipil, akademisi, organisasi bantuan hukum, dan para praktisi yang selama ini berjuang untuk keadilan dan HAM. Tanpa proses yang demokratis, mustahil lahir produk hukum yang berkeadilan.

Bagian V: Analisis Masalah dan llustrasi Konkret Pasal yang Bermasalah

I. Bahaya Alat Bukti Petunjuk dalam RUU KUHAP (Pasal 223)

Alat bukti petunjuk, pada hakikatnya, adalah alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Sebuah bukti krusial dalam kasus-kasus yang minim saksi mata. Namun, karena sifatnya yang merupakan hasil dari penafsiran dan penyimpulan, pengaturannya harus sangat ketat dan objektif untuk mencegah hakim jatuh ke dalam jurang spekulasi dan asumsi. Di sinilah letak kegagalan fundamental Pasal 223 RUU KUHAP.

1. Perbandingan Kunci: KUHAP Saat Ini (Pasal 188) vs. RUU KUHAP (Pasal 223)

Untuk memahami kemunduran yang terjadi, kita harus membandingkan definisi yang ada saat ini dengan yang ditawarkan dalam draf baru.

  • KUHAP Saat Ini (Pasal 188 ayat (2)):
    "Petunjuk hanya dapat diperoleh dari: a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa."
    Analisis: Ketentuan ini sangat ketat dan brilian. Ia secara tegas membatasi sumber dari mana seorang hakim boleh menarik sebuah "petunjuk". Hakim tidak bisa menciptakan petunjuk dari "langit" atau dari pikirannya sendiri. Petunjuk harus merupakan kesimpulan logis yang ditarik dari adanya persesuaian antara keterangan saksi, surat, dan/atau keterangan terdakwa. Artinya, petunjuk adalah hasil dari alat bukti lain, bukan alat bukti yang berdiri sendiri. Fisik barang bukti (misalnya sebilah pisau) bukanlah petunjuk, ia baru bisa menjadi dasar petunjuk jika ada keterangan saksi yang mengaitkannya.

  • Draf RUU KUHAP (Pasal 223 ayat (1) & (2)):
    (1) "Bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya." (2) "Bukti petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dari: a. keterangan Saksi dan/atau Terdakwa; b. surat; c. bukti elektronik; dan/atau d. barang bukti."

2. Analisis Masalah: Melebarnya Pintu Asumsi dan Subjektivitas Hakim

Revisi dalam Pasal 223 RUU KUHAP ini, meskipun terlihat minor, memiliki dampak yang merusak:

  • Masalah Pertama: Barang Bukti Menjadi Sumber Petunjuk Langsung. Ini adalah perubahan paling berbahaya. Dengan memasukkan "barang bukti" sebagai sumber langsung untuk memperoleh petunjuk, RUU KUHAP melepaskan petunjuk dari kandangnya yang objektif. Hakim kini diberi wewenang untuk melihat sepotong barang bukti (misalnya, jejak sepatu di TKP) dan langsung menyimpulkannya sebagai "petunjuk" yang memberatkan terdakwa, tanpa harus ada keterangan saksi atau ahli yang mengonfirmasi bahwa jejak sepatu itu identik dengan sepatu terdakwa.

  • Masalah Kedua: Definisi yang Terlalu Luas. Frasa "persesuaiannya ... dengan tindak pidana itu sendiri" adalah frasa karet yang sangat subjektif. Hakim dapat menafsirkan sendiri "persesuaian" sebuah keadaan dengan tindak pidana. Ini adalah undangan terbuka bagi hakim untuk menggunakan bias, prasangka, atau keyakinan pribadinya sebagai dasar untuk membangun sebuah narasi kesalahan.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis

Bayangkan sebuah kasus pembunuhan di mana korban meninggal karena diracun.

  • Skenario berdasarkan KUHAP Saat Ini (Pasal 188):

    • Ditemukan cangkir dengan sisa sianida di rumah korban (ini adalah barang bukti).

    • Ada saksi (tetangga) yang bersaksi melihat Terdakwa keluar dari rumah korban sambil tergesa-gesa (ini keterangan saksi).

    • Ada bukti surat berupa struk pembelian sianida atas nama Terdakwa (ini surat).

    • Hakim kemudian menyimpulkan: Adanya persesuaian antara kesaksian tetangga dan struk pembelian sianida menjadi PETUNJUK KUAT bahwa Terdakwalah yang menaruh racun di cangkir tersebut. Petunjuk lahir dari korelasi antar bukti lain.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (Pasal 223):

    • Ditemukan cangkir dengan sisa sianida (barang bukti).

    • Diketahui Terdakwa adalah seorang apoteker yang punya akses ke sianida (ini sebuah "keadaan").

    • Tidak ada saksi yang melihat Terdakwa di lokasi. Tidak ada struk pembelian.

    • Hakim, berdasarkan Pasal 223, dapat langsung berargumen: "Cangkir berisi sianida ini (barang bukti) dan keadaan bahwa Terdakwa adalah apoteker (keadaan), karena 'bersesuaian dengan tindak pidana itu sendiri', maka ini menjadi PETUNJUK bahwa Terdakwa adalah pelakunya."

Lihat perbedaannya? Pada skenario kedua, hakim menghukum orang berdasarkan asumsi dan rangkaian kemungkinan, bukan berdasarkan rangkaian fakta yang terbukti. Hakim telah berubah dari seorang penilai bukti menjadi seorang penulis cerita.

4. Konsekuensi Sistemik

  • Menurunkan Standar Pembuktian: Beban pembuktian jaksa menjadi lebih ringan. Mereka tidak perlu lagi membuktikan setiap mata rantai peristiwa dengan bukti konkret, cukup dengan menyajikan serpihan-serpihan "keadaan" dan membiarkan hakim menyambungkannya dengan benang asumsi.

  • Meningkatkan Risiko Peradilan Sesat: Orang yang kebetulan berada dalam "keadaan" yang mencurigakan (misalnya, punya profesi tertentu, pernah punya konflik dengan korban) bisa dengan mudah terjerat meski tanpa bukti langsung.

  • Memberangus Fungsi Advokat dan Ahli: Peran advokat untuk menantang validitas bukti menjadi lebih sulit. Demikian pula peran ahli (misalnya ahli forensik) menjadi terdegradasi karena hakim bisa menarik kesimpulan sendiri dari barang bukti tanpa perlu mendengar analisis ahli.

5. Rekomendasi

Rekomendasinya sangat jelas dan tegas: Batalkan Pasal 223 RUU KUHAP dan kembali ke rumusan Pasal 188 KUHAP saat ini. Rumusan tersebut telah teruji oleh waktu sebagai benteng yang kokoh untuk memastikan bahwa alat bukti petunjuk tetap menjadi alat bukti yang berbasis pada fakta-fakta persidangan, bukan imajinasi atau prasangka hakim. Menjaga keketatan definisi alat bukti petunjuk adalah menjaga marwah proses peradilan pidana itu sendiri dari penghukuman yang tidak adil.

II. Perpanjangan Masa Penangkapan (Pasal 90 ayat (2))

Salah satu perubahan yang paling mengkhawatirkan dan sering luput dari perhatian publik adalah perpanjangan durasi penangkapan. Perubahan yang terlihat seperti angka belaka ini sesungguhnya adalah modifikasi fundamental yang mengancam hak atas kebebasan dan peradilan yang adil.

1. Perbandingan Kunci: KUHAP Saat Ini (Pasal 119) vs. RUU KUHAP (Pasal 90)

  • KUHAP Saat Ini (Pasal 119 ayat (1)):
    "Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dilakukan untuk paling lama satu hari." (diterjemahkan menjadi 1x24 jam).
    Analisis: KUHAP 1981 menetapkan batas waktu yang sangat singkat dan ketat. Ini bukan tanpa alasan. Batas 24 jam memaksa penyidik untuk bertindak cepat dan efisien. Mereka harus segera menentukan apakah memiliki bukti permulaan yang cukup untuk melanjutkan ke tahap penahanan, atau jika tidak, wajib melepaskan orang yang ditangkap. Ini adalah benteng pertama melawan penangkapan sewenang-wenang.

  • Draf RUU KUHAP (Pasal 90 ayat (2)):
    "Pelaksanaan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam."
    Analisis: RUU KUHAP melipatgandakan durasi penangkapan menjadi 3 hari. Ini adalah pergeseran paradigma dari penangkapan sebagai tindakan sementara untuk verifikasi awal, menjadi mini-penahanan tanpa pengawasan hakim.

2. Analisis Masalah

Perpanjangan waktu dari 24 jam menjadi 72 jam bukanlah sekadar penambahan durasi, melainkan pembukaan sebuah "ruang gelap" yang sangat berbahaya:

  • Isolasi dari Bantuan Hukum: Tiga hari adalah waktu yang sangat lama bagi seseorang untuk terisolasi dari dunia luar, terutama dari keluarga dan penasihat hukum. Pada periode inilah tersangka berada pada posisi paling rentan, tanpa mengetahui hak-haknya, dan mudah menjadi sasaran intimidasi, tekanan psikologis, bahkan kekerasan fisik.

  • Pergeseran Fokus Penyidikan: Batas waktu 24 jam memaksa polisi menangkap orang karena sudah ada indikasi bukti. Batas waktu 72 jam mengubah ini; polisi bisa menangkap orang terlebih dahulu untuk mencari-cari bukti kemudian. Fokusnya bergeser dari "verifikasi bukti" menjadi "ekstraksi pengakuan" selama masa isolasi yang panjang.

  • Keletihan Fisik dan Mental: Interogasi yang dilakukan secara terus-menerus selama tiga hari dapat menyebabkan kelelahan ekstrim. Dalam kondisi ini, seseorang cenderung akan melakukan apa saja agar penderitaannya berakhir, termasuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang tidak ia pahami atau bahkan mengakui perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Nasib Seorang Aktivis

Bayangkan seorang aktivis lingkungan, sebut saja Budi, ditangkap setelah ikut dalam aksi unjuk rasa damai yang kemudian dituduh melakukan provokasi.

  • Skenario berdasarkan KUHAP Saat Ini (1x24 jam):

    • Budi ditangkap. Tim advokatnya segera bergerak. Penyidik memiliki waktu 24 jam untuk membuktikan keterlibatan Budi dalam provokasi. Jika dalam 24 jam mereka hanya punya video Budi berorasi tanpa ada bukti provokasi, mereka wajib melepaskan Budi. Akses Budi terhadap pengacara lebih cepat, meminimalisir tekanan.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (3x24 jam):

    • Budi ditangkap. Selama 72 jam, akses pengacara dipersulit dengan berbagai alasan prosedural. Budi ditempatkan di sel yang tidak nyaman, diinterogasi pada jam-jam tak wajar, dan tidak diizinkan tidur cukup. Ia terus-menerus ditanya, "Akui saja kamu yang melempar batu! Temanmu sudah mengaku!" padahal itu tidak benar. Pada hari ketiga, karena kelelahan dan putus asa, Budi akhirnya menandatangani BAP yang isinya telah direkayasa oleh penyidik, yang kemudian menjadi dasar untuk menjeratnya.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Meningkatnya Risiko Pengakuan Palsu (False Confession): Ini adalah konsekuensi paling langsung dan berbahaya, yang akan memicu terjadinya peradilan sesat.

  • Penangkapan Menjadi Alat Intimidasi: Alih-alih sebagai alat penegakan hukum, penangkapan dengan durasi 3 hari bisa menjadi alat represi yang efektif untuk membungkam kritik, aktivis, atau jurnalis.

  • Pelanggaran Standar HAM Internasional: Durasi 72 jam bertentangan dengan semangat Pasal 9 ayat (3) ICCPR yang menuntut agar setiap orang yang ditangkap harus "segera" (promptly) dihadapkan pada hakim. Tiga hari bukanlah "segera".

5. Rekomendasi

Tolak sepenuhnya usulan perubahan dalam Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP dan pertahankan ketentuan penangkapan untuk paling lama 1x24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP saat ini. Standar 1x24 jam adalah standar emas perlindungan hak atas kebebasan pribadi dan pencegahan penyiksaan yang sudah tepat. Memperpanjangnya adalah sebuah kemunduran besar bagi negara hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.

III. Penahanan Subjektif (Pasal 93 ayat (5))

Jika perpanjangan masa penangkapan adalah gerbang menuju rekayasa, maka pasal mengenai alasan penahanan ini adalah pelegalan dari proses paksaan itu sendiri. Pasal ini secara fundamental mengubah esensi penahanan dari sebuah kebutuhan prosedural yang objektif menjadi alat hukuman dan tekanan yang subjektif.

1. Perbandingan Kunci: KUHAP Saat Ini (Pasal 21) vs. RUU KUHAP (Pasal 93)

  • KUHAP Saat Ini (Pasal 21 ayat (1)):
    "Perintah penahanan ... hanya dapat dikenakan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana ... apabila terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan: a. melarikan diri; b. merusak atau menghilangkan barang bukti; dan/atau c. mengulangi tindak pidana."
    Analisis: KUHAP saat ini menetapkan tiga alasan penahanan yang objektif, konkret, dan diakui secara universal. Beban pembuktian ada pada aparat untuk menunjukkan adanya risiko-risiko nyata tersebut. Ini adalah standar yang adil.

  • Draf RUU KUHAP (Pasal 93 ayat (5)):
    "Selain alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), perintah Penahanan terhadap Tersangka atau Terdakwa dapat dilakukan jika yang bersangkutan: a. memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; b. tidak bekerja sama dalam pemeriksaan; atau c. menghambat proses pemeriksaan."
    Analisis: Inilah letak masalahnya. RUU KUHAP menambahkan tiga alasan baru yang sepenuhnya subjektif dan bergantung pada penafsiran tunggal penyidik. Ini bukan lagi tentang risiko kejahatan, melainkan tentang sikap dan perilaku tersangka selama pemeriksaan.

2. Analisis Masalah

Pasal ini menciptakan sebuah catch-22 (situasi paradoks dimana seorang individu tidak dapat melarikan diri karena aturan atau batasan yang saling bertentangan) yang mustahil bagi tersangka, yang secara efektif melucuti semua hak fundamentalnya:

  • Menghukum Hak untuk Diam: Alasan "tidak bekerja sama" adalah serangan langsung terhadap hak untuk tidak memberatkan diri sendiri (right to remain silent). Jika seorang tersangka memilih diam karena itu adalah haknya, penyidik dapat menafsirkannya sebagai "tidak kooperatif" dan langsung menjadikannya dasar penahanan.

  • Menghukum Pembelaan Diri: Alasan "memberikan informasi tidak sesuai fakta" adalah yang paling absurd. "Fakta" versi siapa? Tentu saja versi penyidik. Jika seorang tersangka memberikan alibi atau menyangkal tuduhan (yang merupakan inti dari pembelaan diri), penyidik dapat secara sepihak menganggapnya sebagai "informasi tidak sesuai fakta" dan menahannya. Ini memaksa tersangka untuk setuju dengan narasi penyidik jika ingin bebas dari ancaman penahanan.

  • Pasal Karet Tanpa Batas: Alasan "menghambat proses pemeriksaan" adalah pasal sapu jagat yang bisa diartikan sesuka hati. Tersangka yang bertanya tentang prosedur, meminta didampingi pengacara, atau terlihat ragu-ragu dalam menjawab bisa dengan mudah dicap "menghambat" dan ditahan.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis

Bayangkan seorang Kepala Desa, sebut saja Pak Lurah, dituduh melakukan pungutan liar berdasarkan laporan seorang warganya yang sakit hati.

  • Skenario berdasarkan KUHAP Saat Ini (Alasan Objektif):

    • Pak Lurah tidak bisa serta merta ditahan. Penuntut umum harus membuktikan di hadapan hakim bahwa ada bukti Pak Lurah sedang mencoba kabur (misal, menjual asetnya), atau sedang mengancam saksi-saksi lain, atau sedang merusak buku kas desa. Jika tidak ada bukti akan hal tersebut, Pak Lurah tidak akan ditahan dan bisa mempersiapkan pembelaannya dari luar.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (Alasan Subjektif):

    • Saat diperiksa, Pak Lurah dengan tegas menyangkal semua tuduhan. Ia menyatakan bahwa uang tersebut adalah iuran sukarela warga untuk kegiatan desa yang sudah disepakati bersama. Versi ini berbeda dengan versi pelapor.

    • Penyidik, yang sudah memiliki "skenario" sendiri, menganggap sangkalan Pak Lurah sebagai "pemberian informasi tidak sesuai fakta" dan sikapnya yang tegas sebagai "tidak bekerja sama".

    • Meskipun Pak Lurah adalah tokoh masyarakat yang tidak mungkin kabur dan tidak ada indikasi ia merusak bukti, ia tetap bisa langsung ditahan. Penahanan di sini bukan lagi untuk kepentingan penyidikan, melainkan untuk "mematahkan" perlawanan Pak Lurah agar ia mau "mengaku".

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Penahanan sebagai Hukuman di Muka: Seseorang dipenjara bukan karena potensi kejahatannya, tetapi karena sikapnya yang tidak menyenangkan bagi penyidik. Ini adalah bentuk hukuman sebelum adanya putusan pengadilan.

  • Ledakan Populasi Rutan/Lapas: Standar untuk menahan orang menjadi sangat rendah, yang akan menyebabkan over kapasitas rumah tahanan semakin parah.

  • Matinya Asas Praduga Tak Bersalah: Asas ini menjadi omong kosong jika negara bisa menahan seseorang hanya karena ia tidak mau "bekerja sama" dalam membuktikan kesalahannya sendiri.

5. Rekomendasi

Hapus seluruh ketentuan dalam Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP. Kembalikan alasan penahanan secara limitatif HANYA pada tiga alasan objektif yang telah ada dalam KUHAP saat ini:

  1. Risiko melarikan diri yang dapat dibuktikan.

  2. Risiko merusak/menghilangkan barang bukti yang dapat dibuktikan.

  3. Risiko mengulangi tindak pidana yang dapat dibuktikan.

Setiap permohonan penahanan berdasarkan tiga alasan ini pun harus diuji secara ketat dan substantif oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan, di mana beban pembuktian berada di pundak negara, bukan di pundak tersangka.

IV. Hak Atas Bantuan Hukum (Pasal 146)

Hak atas bantuan hukum adalah jantung dari peradilan yang adil (fair trial). Tanpa pembela yang efektif sejak awal, proses hukum tak lebih dari sebuah seremonial formal untuk menghukum seseorang yang sudah diposisikan sebagai pesakitan. RUU KUHAP, alih-alih memperkuat, justru memasang "jebakan" prosedural yang membuat hak fundamental ini menjadi ilusif, terutama bagi mereka yang paling membutuhkannya.

1. Perbandingan Kunci: KUHAP Saat Ini (Pasal 56) vs. RUU KUHAP (Pasal 146)

  • KUHAP Saat Ini (Pasal 56 ayat (1)):
    "Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu ... pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka."
    Analisis: KUHAP 1981 menggunakan frasa "wajib menunjuk". Ini adalah perintah hukum yang aktif kepada aparat negara. Meskipun dalam praktiknya sering diabaikan, landasan hukumnya sudah kuat: negara memiliki kewajiban proaktif untuk memastikan tersangka dalam kasus berat didampingi pengacara.

  • Draf RUU KUHAP (Pasal 146 ayat (4) & (5)):
    (4) "Dalam hal Tersangka atau Terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menolak didampingi oleh Advokat, penolakan tersebut dilakukan secara tertulis atau direkam secara elektronik setelah yang bersangkutan diberi penjelasan mengenai haknya." (5) "Berita acara penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Tersangka atau Terdakwa dan pejabat yang bersangkutan." (Konteks: ayat (2) dan (3) mengatur kewajiban pendampingan untuk ancaman pidana mati, seumur hidup, atau 15 tahun ke atas)
    Analisis: Disinilah letak jebakannya. RUU KUHAP secara eksplisit menciptakan mekanisme bagi tersangka untuk "menolak" hak yang seharusnya wajib ia terima. Proses penolakan ini pun sangat problematik: cukup dengan surat atau rekaman di hadapan penyidik—pihak yang justru memiliki kepentingan agar tersangka tidak didampingi.

2. Analisis Masalah

Ketentuan ini menunjukkan pandangan yang sangat naif, jika bukan sengaja jahat, terhadap realitas di ruang interogasi:

  • Mengabaikan Relasi Kuasa: Pasal ini berpura-pura bahwa tersangka dan penyidik berada dalam posisi yang setara. Kenyataannya, tersangka berada dalam tekanan psikologis yang hebat, terisolasi, dan ketakutan. Dalam kondisi seperti ini, "pilihan bebas" untuk menolak pengacara adalah sebuah fiksi.

  • Membuka Pintu untuk Bujuk Rayu dan Intimidasi: Pasal ini memberikan alat yang sempurna bagi oknum penyidik yang tidak berintegritas. Mereka bisa dengan mudah mengatakan:

    • "Sudah, tidak usah pakai pengacara, nanti prosesnya lama dan mahal. Kalau kamu kooperatif, hukumannya pasti ringan." (Bujukan)

    • "Kamu yakin mau pakai pengacara? Nanti urusannya makin rumit lho, jangan salahkan kami kalau tuntutannya maksimal." (Intimidasi)

  • Menjadikan Hak Konstitusional Tak Berguna: Hak atas bantuan hukum adalah hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. Membuatnya bisa dikesampingkan hanya dengan selembar berita acara di hadapan pihak yang berlawanan adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Nasib Seorang Kuli Bangunan

Bayangkan Agus, seorang kuli bangunan dengan pendidikan terbatas, dituduh terlibat dalam perampokan dengan kekerasan (ancaman pidana diatas 15 tahun) karena kebetulan berada di sekitar lokasi kejadian.

  • Skenario berdasarkan KUHAP Saat Ini (seharusnya):

    • Begitu status Agus menjadi tersangka, penyidik wajib berhenti dan menelepon pos bantuan hukum atau LBH terdekat untuk menunjuk seorang pengacara. Pemeriksaan substantif terhadap Agus tidak boleh dimulai sebelum pengacaranya tiba.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (Pasal 146):

    • Agus ditangkap dan dibawa ke ruang pemeriksaan. Penyidik menyodorkan secarik kertas. "Agus, ini kasusmu berat. Biar cepat selesai dan kamu bisa cepat pulang, tandatangani saja surat ini. Ini surat pernyataan kamu tidak perlu pengacara."

    • Agus, yang seumur hidupnya belum pernah berurusan dengan polisi, merasa takut dan bingung. Ia berpikir jika menuruti polisi, masalahnya akan lebih mudah. Ia pun menandatangani surat tersebut.

    • Pemeriksaan kemudian dilanjutkan. Tanpa ada yang membelanya, Agus diarahkan untuk mengakui hal-hal yang tidak ia lakukan. BAP yang cacat itu pun menjadi sah secara hukum, dan menjadi dasar bagi jaksa untuk menuntutnya di pengadilan.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Legitimasi BAP Hasil Paksaan: Proses hukum akan dipenuhi dengan BAP yang isinya adalah hasil dari pemeriksaan tanpa pendampingan hukum yang adil.

  • Meningkatnya Angka Peradilan Sesat: Semakin banyak orang, terutama dari kelompok miskin dan rentan, yang akan dihukum secara tidak adil karena tidak mampu membela diri pada tahap paling krusial.

  • Mundurnya Peradaban Hukum: Sistem peradilan Indonesia akan kembali ke zaman di mana pengakuan adalah raja dari segala bukti (confession is the king of evidence), sebuah paradigma yang sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara beradab karena sangat rentan terhadap penyiksaan dan rekayasa.

5. Rekomendasi

1. Hapus Total Pasal 146 ayat (4) dan (5) RUU KUHAP.
2. Perkuat Kewajiban Negara dengan rumusan yang imperatif:
> "Untuk setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, pemeriksaan terhadap Tersangka tidak dapat dilakukan dan dianggap tidak sah apabila tidak didampingi oleh Penasihat Hukum."
3. Adopsi Prinsip No Lawyer, No Talk: > "Setiap keterangan, pengakuan, atau berita acara yang dibuat dalam pemeriksaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, batal demi hukum dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan."

V. Keabsahan Alat Bukti (Pasal 222)

Bayangkan seorang penyidik memanen buah dari sebuah pohon beracun. Meskipun buah itu terlihat segar, ia tetap mengandung racun yang mematikan. Demikian pula dengan bukti: sebuah bukti, meskipun kelihatannya benar (misalnya, ada barang bukti narkoba), jika diperoleh melalui cara-cara "beracun" (penyiksaan, penggeledahan ilegal), maka bukti tersebut seharusnya tidak boleh "dikonsumsi" oleh pengadilan. RUU KUHAP, alih-alih membuang buah beracun ini, justru memberikannya kepada hakim dan berkata, "Silakan cicipi dan putuskan sendiri apakah ini cukup beracun atau tidak."

1. Perbandingan Kunci: Kelemahan KUHAP Saat Ini vs. Jebakan dalam RUU KUHAP

  • KUHAP Saat Ini: KUHAP 1981 secara mengecewakan diam seribu bahasa mengenai topik ini. Tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit melarang penggunaan bukti yang diperoleh secara ilegal. Kelemahan ini telah lama menjadi sumber masalah, di mana hakim seringkali mengabaikan cara perolehan bukti dan hanya fokus pada hasil akhirnya ("yang penting barang buktinya ada").

  • Draf RUU KUHAP (Pasal 222 ayat (3), (4), & (5)):
    (3) "Keabsahan dan nilai pembuktian setiap alat bukti dinilai oleh hakim secara bebas berdasarkan akal sehat dan hati nuraninya." (4) "Alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan harus diperoleh secara tidak melawan hukum." (5) "Dalam menilai keabsahan alat bukti ... hakim harus memperhatikan cara perolehan alat bukti tersebut."
    Analisis: Sekilas, ayat (4) terlihat seperti sebuah kemajuan besar. Namun, ini adalah kemajuan semu. Kunci masalahnya terletak pada ayat (3) dan (5) yang menyerahkan penilaian akhir pada diskresi bebas hakim. Tidak ada perintah yang wajib dan otomatis untuk menyingkirkan bukti ilegal. Ini hanyalah sebuah "saran" bagi hakim untuk "memperhatikan" cara perolehan bukti.

2. Analisis Masalah

Rumusan RUU KUHAP menciptakan sebuah aturan pengecualian bukti ilegal (exclusionary rule) yang impoten dan tidak bergigi:

  • Tidak Memberikan Efek Jera: Tujuan utama dari exclusionary rule bukanlah untuk membebaskan orang yang bersalah, melainkan untuk mendidik aparat penegak hukum. Jika seorang penyidik tahu bahwa setiap pelanggaran prosedur (misal: menyiksa tersangka agar mengaku) akan mengakibatkan seluruh hasil kerjanya pasti akan ditolak oleh hakim, maka ia tidak akan berani melakukan pelanggaran tersebut. Dengan sistem diskresi RUU KUHAP, penyidik bisa berjudi: "Saya coba saja pakai kekerasan, siapa tahu nanti hakimnya mau menerima buktinya."

  • Beban Pembuktian pada Korban: Sistem ini secara tidak adil menempatkan beban pada pundak terdakwa untuk membuktikan bahwa ia telah disiksa atau haknya dilanggar. Ini sangat sulit dilakukan oleh seorang terdakwa yang berada dalam posisi lemah dan seringkali tidak memiliki bukti atas penyiksaan yang dialaminya di ruang tertutup.

  • "Mencuci" Pelanggaran HAM di Pengadilan: Pengadilan, yang seharusnya menjadi benteng keadilan, justru menjadi tempat untuk "mencuci" atau melegitimasi pelanggaran HAM yang dilakukan aparat. Ketika hakim menerima bukti hasil penyiksaan, ia secara tidak langsung turut serta dalam dan membenarkan tindakan penyiksaan tersebut.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Kasus Terorisme

Bayangkan Chandra, seseorang yang dicurigai terlibat dalam jaringan terorisme, ditangkap.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (Sistem Diskresi):

    • Selama interogasi, Chandra disiksa hingga akhirnya ia mengaku dan menunjukkan lokasi persembunyian senjata. Senjata tersebut kemudian disita dan dijadikan barang bukti.

    • Di pengadilan, pengacara Chandra menunjukkan bukti-bukti penyiksaan. Jaksa membantah, namun mengakui bahwa lokasi senjata ditemukan dari keterangan Chandra.

    • Hakim, di bawah tekanan opini publik untuk menghukum teroris, berpikir: "Penyiksaannya memang salah, tapi senjata ini nyata dan sangat berbahaya bagi masyarakat. Demi keamanan yang lebih besar, bukti ini harus saya terima." Chandra pun dihukum berat.

    • Pesan yang diterima aparat: "Untuk kasus-kasus besar, sedikit penyiksaan tidak apa-apa, yang penting kasus terungkap dan publik puas." Kultur kekerasan tetap lestari.

  • Skenario dengan Mandatory Exclusionary Rule (Rekomendasi):

    • Proses interogasi dan penemuan bukti sama.

    • Di pengadilan, setelah terbukti adanya penyiksaan, hakim tidak punya pilihan lain. Ia wajib menyatakan: "Berdasarkan hukum, keterangan Terdakwa yang diperoleh dari penyiksaan dan barang bukti senjata yang merupakan hasil dari keterangan tersebut (fruit of the poisonous tree), adalah tidak sah dan dikesampingkan."

    • Pesan yang diterima aparat: "Sekalipun targetnya adalah teroris, jika Anda menggunakan penyiksaan, seluruh usaha Anda akan sia-sia di pengadilan. Cari bukti dengan cara yang sah." Ini memaksa aparat menjadi lebih profesional dan menghormati hukum.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Melanggengkan Kultur Kekerasan: Selama hasil penyiksaan masih bisa digunakan, maka penyiksaan tidak akan pernah berhenti.

  • Meruntuhkan Integritas Peradilan: Kepercayaan publik terhadap pengadilan akan hancur jika pengadilan dianggap sebagai kaki tangan dari praktik-praktik kotor aparat.

  • Pelanggaran Komitmen Internasional: Ini adalah pengabaian terang-terangan terhadap Pasal 15 Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UNCAT), yang telah diratifikasi Indonesia, yang secara eksplisit melarang penggunaan pernyataan hasil siksaan sebagai bukti.

Rekomendasi

Adopsi aturan pengecualian yang bersifat wajib dan otomatis (Mandatory Exclusionary Rule) dengan rumusan yang jelas:

"Setiap alat bukti, baik keterangan, surat, maupun barang bukti, beserta seluruh bukti turunannya, yang terbukti diperoleh melalui penyiksaan, perlakuan keji dan tidak manusiawi, penggeledahan atau penyadapan ilegal, atau pelanggaran berat lain terhadap hak-hak tersangka/terdakwa, adalah batal demi hukum dan wajib dikesampingkan oleh hakim pada setiap tingkat pemeriksaan tanpa terkecuali."

VI. Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Pasal 111 & 122)

Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) pada dasarnya adalah sebuah kemajuan. Tujuannya mulia: memberikan pengawasan yudisial yang kuat terhadap tindakan aparat di tahap pra-persidangan, sebuah perluasan dari wewenang praperadilan yang ada saat ini. Namun, sebuah ide cemerlang akan menjadi sia-sia jika peraturan pelaksanaannya justru mereduksi dan melumpuhkan ide tersebut. Inilah yang terjadi pada HPP dalam RUU KUHAP.

1. Perbandingan Kunci: Praperadilan Terbatas vs. HPP yang Dikerangkeng

  • KUHAP Saat Ini (Praperadilan, Pasal 77): Wewenang praperadilan sangat terbatas, hanya menguji aspek formal dari "sah atau tidaknya" penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penetapan tersangka. Ia tidak berwenang menguji materi atau substansi perkara, yang sering menjadi sumber kritik utama karena dianggap tidak mampu memberikan keadilan substantif.

  • Draf RUU KUHAP (Konsep HPP): Secara konseptual, wewenang HPP diperluas secara masif. Ia tidak hanya menguji penangkapan dan penahanan, tetapi juga berwenang menguji sahnya penggeledahan, penyitaan, penyadapan, bahkan menilai kecukupan bukti untuk melanjutkan suatu perkara ke pengadilan. Secara teori, ini adalah reformasi yang diimpikan.
    Namun, masalahnya ada pada pasal-pasal pelaksanaannya:

    • Pasal 111: Memberikan jangka waktu pemeriksaan yang sangat singkat.

    • Pasal 122: Menetapkan bahwa putusan HPP bersifat final dan mengikat, tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi.

2. Analisis Masalah

HPP dalam RUU KUHAP dibelenggu oleh dua aturan yang secara efektif membuatnya tidak berdaya untuk melakukan pengawasan substantif:

  • Belenggu Waktu (Pasal 111): Draf memberikan HPP waktu yang tidak realistis (misalnya, hanya 2 atau 3 hari) untuk memeriksa dan memutus permohonan yang kompleks. Mustahil bagi seorang hakim untuk memeriksa secara mendalam ribuan halaman berkas, menganalisis bukti digital, atau mendengar keterangan ahli dalam waktu sesingkat itu. Akibatnya, HPP akan terpaksa hanya memeriksa aspek formalitas belaka: "Apakah surat perintahnya ada? Apakah tanggalnya benar? Apakah stempelnya lengkap?". Pemeriksaan substantif yang diharapkan menjadi mustahil.

  • Belenggu Finalitas (Pasal 122): Menjadikan putusan HPP sebagai putusan akhir yang tidak bisa dikoreksi adalah langkah yang sangat berbahaya. Hakim, termasuk HPP, bukanlah dewa yang luput dari kesalahan. Bagaimana jika HPP melakukan kekeliruan fatal dalam menerapkan hukum? Atau salah dalam menilai fakta? Tanpa adanya mekanisme banding, sebuah putusan yang keliru akan menjadi final dan mengikat. Ini menciptakan tirani yudisial di tingkat pra-ajudikasi dan menghilangkan prinsip checks and balances di dalam lembaga peradilan itu sendiri.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Uji Kecukupan Bukti Kasus Korupsi

Bayangkan sebuah kasus korupsi yang kompleks. KPK menetapkan Dirga, seorang direktur BUMN, sebagai tersangka. Tim pengacara Dirga merasa bukti yang dimiliki KPK sangat lemah dan hanya berdasarkan asumsi, sehingga mereka mengajukan permohonan ke HPP untuk menguji kecukupan bukti.

  • Skenario Ideal (HPP yang Kuat):

    • HPP memiliki waktu 14 hari. Ia mempelajari berkas perkara dari KPK dan pemohon. Ia memanggil ahli keuangan negara dan ahli hukum korporasi untuk didengar keterangannya. Setelah analisis mendalam, HPP menyimpulkan bukti memang belum cukup kuat dan memerintahkan KPK untuk melengkapi penyidikan atau menghentikannya. Keadilan substantif tercapai.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (HPP yang Impoten):

    • HPP menerima berkas setebal ribuan halaman pada hari Senin. Ia harus memutus pada hari Rabu.

    • Karena keterbatasan waktu, HPP tidak mungkin mempelajari seluruh transaksi keuangan yang rumit. Ia hanya memeriksa kelengkapan administratif: "Apakah ada 2 alat bukti menurut penyidik? Ada. Apakah prosedur penetapan tersangkanya sudah diikuti? Sudah."

    • HPP kemudian menolak permohonan Dirga, bukan karena ia yakin buktinya kuat, tetapi karena ia tidak punya waktu untuk membuktikan sebaliknya. Putusan ini final. Dirga harus pasrah melanjutkan ke proses pengadilan yang panjang dan mahal, meskipun kasusnya mungkin lemah.

    • HPP di sini gagal total menjalankan fungsinya sebagai filter. Ia hanya menjadi "stempel" formalitas yang melegitimasi tindakan penuntut umum.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Pengawasan Menjadi Seremonial: Fungsi pengawasan yudisial yang agung berubah menjadi sekadar ritual administratif tanpa makna.

  • Matinya Harapan Reformasi: Inovasi terbesar dalam RUU KUHAP justru menjadi kekecewaan terbesar. Ini adalah "cek kosong" yang dijanjikan kepada publik.

  • Potensi Kesewenang-wenangan Baru: Kekuasaan yang absolut dan tidak bisa dikoreksi di tangan satu hakim di tingkat awal sangat rentan disalahgunakan dan membuka potensi korupsi.

5. Rekomendasi

1. Revisi Pasal 111 mengenai Jangka Waktu:
> "Pemeriksaan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan dilakukan dalam jangka waktu yang proporsional dengan kompleksitas permohonan, yaitu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, dan dapat diperpanjang atas persetujuan Ketua Pengadilan Negeri untuk paling lama 7 (tujuh) hari kerja berikutnya untuk perkara yang sangat rumit."
2. Revisi Pasal 122 mengenai Upaya Hukum:
> "Terhadap putusan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang mengandung kesalahan penerapan hukum yang nyata, dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum ke Mahkamah Agung oleh pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung."

Tanpa perubahan ini, HPP hanya akan menjadi monumen kegagalan reformasi hukum acara pidana di Indonesia.

VII. Keadilan Restoratif (Pasal 74-83)

Keadilan restoratif adalah sebuah terobosan dalam pemikiran hukum pidana global. Ia menggeser fokus dari sekadar "menghukum pelaku" menjadi "memulihkan kerugian dan hubungan yang rusak akibat kejahatan". Namun, untuk berhasil, ia harus dijalankan dengan prinsip-prinsip yang ketat: kesukarelaan, netralitas fasilitator, dan pemberdayaan korban. RUU KUHAP mengabaikan semua prinsip ini dan menciptakan sebuah monster prosedural yang berbahaya.

1. Perbandingan Kunci: Filosofi Keadilan Restoratif vs. Praktik dalam RUU KUHAP

  • Filosofi Keadilan Restoratif (Standar PBB): Ini adalah sebuah proses dialog yang mempertemukan korban, pelaku, dan terkadang komunitas. Tujuannya adalah untuk bersama-sama mencari solusi atas dampak kejahatan. Proses ini berpusat pada kebutuhan korban (victim-centered), bersifat sepenuhnya sukarela (voluntary), dan harus dipandu oleh seorang fasilitator yang netral dan terlatih.

  • Praktik dalam RUU KUHAP (Pasal 74-83): Draf RUU KUHAP membingkai keadilan restoratif bukan sebagai proses dialog, melainkan sebagai mekanisme "penyelesaian perkara di luar pengadilan". Dan yang paling fatal, keseluruhan proses ini diberikan dan dikendalikan oleh penyidik. Penyidik bertindak sebagai inisiator, fasilitator, sekaligus pengambil keputusan.

2. Analisis Masalah

Menempatkan penyidik sebagai pengendali utama proses restoratif adalah sebuah konflik kepentingan yang fundamental dan menciptakan serangkaian masalah serius:

  • Tujuan yang Berbeda: Tujuan utama penyidik adalah efisiensi dan penyelesaian perkara (case disposal) untuk memenuhi target kinerja. Sementara tujuan RJ adalah pemulihan dan keadilan bagi korban. Dua tujuan ini seringkali tidak sejalan. Penyidik akan cenderung menekan agar "damai" tercapai supaya kasus bisa ditutup, tanpa peduli apakah korban benar-benar merasa pulih atau adil.

  • Posisi Korban yang Lemah: Bayangkan seorang korban kekerasan dalam rumah tangga atau korban penipuan oleh orang yang lebih berkuasa. Ketika ia dipanggil ke kantor polisi dan "didorong" oleh penyidik berseragam untuk "memaafkan" dan "berdamai", sangat kecil kemungkinannya ia berani menolak. Ini bukan lagi kesukarelaan, ini adalah paksaan terselubung oleh otoritas negara.

  • Membuka Ruang Transaksi Gelap: Ketika proses "damai" terjadi di ruang tertutup kantor polisi tanpa pengawasan yudisial, ini menjadi ladang subur bagi praktik korupsi. Pelaku yang memiliki uang atau kekuasaan dapat dengan mudah "bernegosiasi" dengan oknum aparat untuk menekan korban agar mau berdamai dengan kompensasi yang tidak seberapa.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Kasus Utang-Piutang dengan Intimidasi

Sari, seorang pengusaha kecil, meminjamkan modal kepada Bambang, seorang preman di wilayahnya. Bambang tidak mau membayar dan justru mengintimidasi Sari. Sari akhirnya memberanikan diri melapor ke polisi dengan tuduhan penipuan dan pengancaman.

  • Skenario Ideal (RJ yang Benar):

    • Seorang fasilitator non-polisi yang netral bertemu Sari di tempat yang aman. Sari menceritakan tidak hanya kerugian uangnya, tetapi juga rasa takutnya. Proses ini berfokus pada bagaimana cara mengembalikan uang Sari dan menjamin keselamatannya. Jika Bambang setuju untuk mengembalikan semua uang dan menandatangani perjanjian untuk tidak mengganggu Sari lagi, kesepakatan itu dibawa ke hakim untuk disahkan.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (RJ yang Dibajak):

    • Penyidik menangani kasus ini. Ia melihat ini sebagai kasus "sepele" yang hanya akan menambah tumpukan berkasnya. Ia memanggil Sari dan Bambang ke kantor polisi.

    • Di hadapan Bambang yang bertampang sangar, penyidik berkata pada Sari, "Sudahlah Bu, ini kan masalah bisnis biasa. Pak Bambang janji mau bayar separuhnya dulu. Ibu terima saja ya, kita damaikan saja di sini biar cepat, daripada nanti urusannya panjang."

    • Sari, yang duduk di ruangan itu merasa terintimidasi oleh Bambang dan oleh penyidik yang ingin cepat menutup kasus, dengan terpaksa menyetujui. Ia hanya mendapat separuh uangnya kembali dan tidak ada jaminan keamanan untuknya.

    • Keadilan restoratif telah gagal total. Ia justru menjadi alat bagi pelaku untuk mendapatkan "diskon" hukuman dan bagi aparat untuk "membersihkan" mejanya dari tumpukan kasus.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Reviktimisasi oleh Negara: Korban yang datang mencari perlindungan justru menjadi korban untuk kedua kalinya oleh sistem yang seharusnya melindunginya.

  • Menciptakan Impunitas De Facto: Pelaku kejahatan, terutama untuk kejahatan "kerah putih" atau kejahatan dengan relasi kuasa yang timpang, akan dengan mudah lolos dari pertanggungjawaban pidana yang sesungguhnya.

  • Merusak Kepercayaan Publik: Konsep keadilan restoratif yang mulia akan tercemar di mata publik dan dianggap sebagai sinonim dari "damai di tempat" atau "beli perkara".

5. Rekomendasi

1. Rombak Total Bab Keadilan Restoratif dalam RUU KUHAP.
2. Keluarkan Proses dari Tangan Aparat Penegak Hukum:
> "Proses Keadilan Restoratif hanya dapat diinisiasi atas dasar kesukarelaan para pihak dan wajib difasilitasi oleh mediator atau fasilitator terlatih dan bersertifikat yang bersifat netral dan bukan merupakan pejabat yang menangani perkara tersebut."
3. Wajibkan Validasi Yudisial atas Hasilnya:
> "Setiap kesepakatan yang dicapai melalui proses Keadilan Restoratif wajib diajukan kepada Hakim untuk dinilai dan disahkan dalam sebuah penetapan guna memastikan sifat sukarela, ketiadaan paksaan, dan terpenuhinya rasa keadilan bagi korban."
4. Batasi Jenis Perkara: Secara tegas menyatakan bahwa kejahatan serius seperti pelanggaran HAM berat, korupsi, terorisme, dan kekerasan seksual berat dikecualikan dari mekanisme penyelesaian di luar pengadilan untuk mencegah impunitas.

VIII. Penggeledahan Sewenang-wenang (Pasal 127)

Hak atas privasi dan keamanan di dalam rumah adalah salah satu pilar utama dalam masyarakat demokratis. Negara tidak boleh seenaknya menerobos ruang privat ini tanpa alasan yang sangat kuat dan izin dari otoritas yudisial yang netral. RUU KUHAP, melalui pasal tentang penggeledahan, secara efektif memberikan "cek kosong" kepada aparat untuk melanggar privasi ini dengan dalih "keterdesakan" yang definisinya sangat kabur.

1. Perbandingan Kunci: KUHAP Saat Ini vs. RUU KUHAP

  • KUHAP Saat Ini (Pasal 33 & 34): Aturan utamanya jelas: penggeledahan (terutama rumah) memerlukan surat izin dari ketua pengadilan negeri. Ini adalah prinsip prior judicial warrant (izin yudisial sebelum tindakan). Pengecualian memang ada dalam Pasal 34, yaitu dalam "keadaan yang sangat perlu dan mendesak", namun praktiknya sering dikaitkan dengan kondisi tertangkap tangan.

  • Draf RUU KUHAP (Pasal 127 ayat (2)):
    "Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, Penyidik dapat melakukan penggeledahan dan setelah itu wajib segera melaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk mendapatkan persetujuan."
    Analisis: Rumusan ini sangat berbahaya. Ia membalik logika hukum yang benar. Seharusnya, aparat meminta izin dulu baru bertindak. Pasal ini membolehkan aparat bertindak dulu, baru melapor kemudian. Kata "persetujuan" di sini pun menjadi ilusi, karena penggeledahan dan pelanggaran privasi sudah terlanjur terjadi. Ini adalah meminta maaf, bukan meminta izin.

2. Analisis Masalah: Dalih "Mendesak" yang Tanpa Batas

Masalah utama dari pasal ini adalah subjektivitas dan ketiadaan batasan yang jelas:

  • Definisi "Mendesak" yang Karet: Apa standar objektif dari "keadaan sangat perlu dan mendesak"? RUU KUHAP tidak menjelaskannya. Ini membuka ruang bagi penyidik di lapangan untuk menafsirkan sendiri. Apakah "informasi dari informan yang belum teruji" bisa dianggap mendesak? Apakah "kekhawatiran tersangka akan menghapus data di laptopnya" bisa dianggap mendesak? Semua bisa dibenarkan.

  • Pengawasan Pasca-Fakta yang Lemah: Melaporkan kepada HPP setelah penggeledahan terjadi adalah mekanisme pengawasan yang sangat lemah. HPP ditempatkan pada posisi yang sulit. Jika ia tidak menyetujui, pelanggaran privasi sudah terjadi dan tidak bisa ditarik kembali. Jika ia menyetujui, ia berisiko hanya menjadi stempel bagi tindakan aparat yang mungkin sewenang-wenang.

  • Ancaman Serius bagi Kelompok Rentan & Kritis: Kekuasaan ini sangat berbahaya jika digunakan untuk target-target non-kriminal, seperti aktivis, jurnalis, atau lawan politik. Dengan dalih "mendesak", aparat bisa menggeledah kantor LBH, redaksi media, atau rumah aktivis untuk mencari data, menakut-nakuti, atau mengganggu kerja mereka.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Kasus Seorang Jurnalis Investigasi

Bayangkan Rani, seorang jurnalis, sedang menyelesaikan sebuah laporan investigasi besar mengenai dugaan suap yang melibatkan oknum aparat penegak hukum.

  • Skenario Ideal (Wajib Izin HPP):

    • Oknum aparat yang merasa terancam tidak bisa langsung menggeledah rumah Rani. Mereka harus mengajukan permohonan ke HPP dengan bukti awal yang kuat bahwa Rani melakukan tindak pidana. HPP akan menilai apakah permohonan ini memiliki dasar hukum yang kuat atau hanya merupakan upaya membungkam pers (chilling effect).

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (Pasal 127):

    • Pada suatu malam, tim penyidik datang ke rumah Rani tanpa surat izin HPP.

    • Mereka mendobrak masuk dengan dalih "keadaan sangat perlu dan mendesak" karena "mendapat informasi intelijen bahwa Rani akan menghancurkan bukti keterlibatannya dalam membocorkan rahasia negara".

    • Mereka menyita laptop, ponsel, dan semua buku catatan Rani. Tujuan sebenarnya bukan hanya mencari bukti (yang mungkin tidak ada), tetapi untuk mengetahui siapa narasumber (sumber) Rani dan data apa saja yang sudah ia miliki.

    • Dua hari kemudian, mereka melapor ke HPP. Privasi Rani sudah hancur, dan yang lebih penting, prinsip kerahasiaan sumber dalam jurnalisme telah dilanggar, membahayakan nyawa narasumbernya.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Erosi Total Hak Atas Privasi: Hak atas privasi yang dijamin oleh UUD 1945 dan Pasal 17 ICCPR menjadi tidak berarti. Rumah dan ruang pribadi warga negara tidak lagi aman dari intrusi sewenang-wenang negara.

  • Membungkam Kebebasan Sipil: Warga negara akan takut untuk menyimpan data atau catatan yang bersifat kritis terhadap pemerintah karena khawatir rumah mereka bisa digeledah kapan saja.

  • Meningkatnya Potensi Rekayasa Kasus: Penggeledahan yang tidak diawasi sejak awal memberikan kesempatan emas bagi oknum untuk menanam atau merekayasa barang bukti di lokasi.

5. Rekomendasi

1. Jadikan Izin Yudisial Pra-Tindakan (Prior Judicial Warrant) sebagai Aturan Utama yang Tidak Bisa Ditawar:
> "Penggeledahan, terutama penggeledahan rumah tinggal atau kantor, hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan surat izin tertulis dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan."
2. Definisikan Pengecualian Secara Sangat Ketat dan Terbatas:
> "Pengecualian terhadap kewajiban izin sebagaimana dimaksud diatas hanya berlaku dalam hal tertangkap tangan, di mana pelaku diduga keras menyimpan barang bukti yang berkaitan langsung dengan tindak pidana yang baru saja dilakukannya di tempat tersebut, dan wajib dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam waktu 1x24 jam untuk mendapatkan persetujuan."

Tanpa perlindungan ini, tidak ada lagi batas yang jelas antara penegakan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia.

IX. Kriminalisasi Saksi dan Ahli (Pasal 208)

Ruang sidang seharusnya menjadi tempat dimana saksi merasa paling aman untuk mengungkapkan kebenaran yang mereka ketahui. Keterangan mereka, bersama dengan analisis dari para ahli, adalah nafas dari proses pembuktian. Namun, Pasal 208 RUU KUHAP menyisipkan sebilah "pedang" yang menggantung di atas kepala setiap saksi dan ahli, siap menghunus siapa saja yang keterangannya dianggap tidak menyenangkan bagi aparat atau hakim, bahkan sebelum persidangan itu sendiri berakhir.

1. Perbandingan Kunci: KUHAP Saat Ini (Pasal 174) vs. RUU KUHAP (Pasal 208)

  • KUHAP Saat Ini (Pasal 174): Aturan mainnya jelas dan logis. Jika hakim menduga seorang saksi berbohong di bawah sumpah, hakim akan:

    1. Memberi peringatan keras agar berkata benar.

    2. Jika saksi tetap pada keterangannya, hakim dapat memerintahkan agar dibuat berita acara terpisah dan menyerahkannya kepada penuntut umum untuk diproses setelah perkara pokok diputus.

  • Analisis: Mekanisme ini sangat penting. Penentuan apakah sebuah kesaksian itu "palsu" atau tidak, baru bisa dinilai secara objektif setelah semua alat bukti lain dihadirkan dan diuji. Mungkin saja keterangan saksi yang awalnya terdengar aneh, ternyata terbukti benar setelah dikonfirmasi oleh bukti lain. Dengan menunda prosesnya, KUHAP melindungi saksi dari penghakiman prematur.

  • Draf RUU KUHAP (Pasal 208 ayat (5)):
    "Dalam hal keterangan Saksi atau Ahli di sidang diduga palsu atau tidak benar, setelah diperingatkan, hakim karena jabatannya atau atas permintaan Penuntut Umum atau Terdakwa dapat memerintahkan agar terhadap Saksi atau Ahli tersebut langsung dituntut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
    Analisis: Kata kunci yang mengubah segalanya adalah "langsung dituntut". Ini adalah perubahan radikal yang sangat berbahaya. Proses pidana terhadap seorang saksi bisa langsung dimulai di tengah-tengah jalannya sidang utama.

2. Analisis Masalah

Ancaman penuntutan instan ini menciptakan "efek mengerikan" (chilling effect) yang luar biasa:

  • Membungkam Saksi Kunci: Saksi dalam kasus-kasus sensitif—seperti pelanggaran HAM oleh aparat, kekerasan seksual, atau korupsi—seringkali berada dalam posisi yang sangat rentan. Dengan adanya pasal ini, mereka akan dihadapkan pada pilihan: berkata jujur dan berisiko langsung menjadi tersangka di ruang sidang, atau memilih "aman" dengan mengatakan "tidak tahu" atau "lupa".

  • Menghukum Ketidaksempurnaan Manusiawi: Ingatan manusia tidak sempurna. Seorang saksi bisa saja salah mengingat detail kecil atau gugup saat memberikan keterangan. Pasal ini tidak membedakan antara kebohongan yang disengaja dengan kesalahan atau inkonsistensi yang manusiawi. Setiap kesalahan bisa langsung dicap sebagai "keterangan tidak benar" dan menjadi dasar penuntutan.

  • Senjata bagi Jaksa untuk Mengintimidasi: Pasal ini bisa disalahgunakan oleh oknum jaksa untuk menekan saksi yang meringankan terdakwa (saksi a de charge). Ketika seorang saksi memberikan keterangan yang meruntuhkan dakwaan, jaksa bisa langsung menginterupsinya dengan permintaan kepada hakim agar saksi tersebut diproses pidana. Ini adalah bentuk intimidasi yang dilegalkan.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Kasus Kekerasan Polisi

Bayangkan sebuah kasus di mana seorang pemuda tewas saat diinterogasi di kantor polisi. Polisi mengklaim ia bunuh diri. Keluarga korban tidak percaya dan berhasil membawa kasus ini ke pengadilan, mendakwa oknum petugas melakukan penyiksaan. Saksi kuncinya adalah Rudi, seorang petugas kebersihan yang sempat melihat kejadian dari kejauhan.

  • Skenario berdasarkan KUHAP Saat Ini:

    • Rudi bersaksi bahwa ia melihat korban dipukuli. Pengacara petugas (terdakwa) mencoba menggoyahkan kesaksian Rudi, menunjukkan beberapa inkonsistensi kecil dalam ingatan Rudi tentang waktu dan urutan kejadian.

    • Hakim memperingatkan Rudi untuk berkata benar. Rudi, meskipun takut, tetap pada inti kesaksiannya. Proses hukum terhadap Rudi (jika ada) baru akan dipikirkan setelah kasus penyiksaan ini selesai. Ia merasa relatif aman untuk menyampaikan kebenaran yang ia lihat.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (Pasal 208):

    • Rudi memberikan kesaksian yang sama.

    • Saat pengacara terdakwa berhasil menunjukkan ada perbedaan antara jam yang disebut Rudi dengan rekaman CCTV di koridor, pengacara tersebut langsung berdiri dan berkata, "Yang Mulia, saksi ini jelas memberikan keterangan tidak benar! Mohon agar saksi langsung diproses pidana sesuai Pasal 208!"

    • Hakim, mungkin di bawah tekanan atau karena bias, bisa langsung memerintahkan penuntutan terhadap Rudi.

    • Dampaknya? Rudi langsung ditahan. Petugas kebersihan lain yang mungkin juga melihat kejadian itu, akan langsung bungkam seribu bahasa. Kebenaran tidak akan pernah terungkap.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Kebenaran Materiil Menjadi Mustahil: Pengadilan akan kesulitan menemukan kebenaran jika saksi-saksinya terlalu takut untuk berbicara secara bebas. Sidang akan dipenuhi keterangan normatif dan "aman".

  • Sistem Perlindungan Saksi Runtuh: Negara yang seharusnya melindungi saksi justru menjadi pihak yang pertama kali mengancamnya. Ini bertentangan dengan semangat UU Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

  • Matinya Kemerdekaan Ahli: Seorang ahli yang diundang oleh pihak terdakwa akan sangat ragu untuk memberikan pendapat ilmiah yang berbeda 180 derajat dari pendapat ahli yang dihadirkan jaksa, karena khawatir opininya dicap "tidak benar" dan berujung pidana.

5. Rekomendasi

1. Hapus sepenuhnya Pasal 208 ayat (5) RUU KUHAP.
2. Kembalikan ke Mekanisme KUHAP Saat Ini yang Lebih Adil dan Logis:
> "Apabila keterangan saksi di sidang dengan sengaja diduga palsu, hakim ketua sidang memperingatkannya. Apabila saksi tetap pada keterangannya, hakim dapat memerintahkan agar dibuatkan berita acara dan penuntutan terhadap saksi tersebut karena tindak pidana sumpah palsu baru dapat dilakukan setelah perkara pokok telah memperoleh kekuatan hukum tetap."

Perlindungan terhadap saksi bukanlah kemewahan, melainkan prasyarat mutlak bagi tegaknya keadilan. Mengancam saksi sama dengan mengancam kebenaran itu sendiri.

X. Impunitas Aparat yang Terselubung

Kebenaran materiil dan keadilan sejati mustahil tercapai dalam sebuah sistem di mana aparat penegak hukumnya sendiri kebal hukum. Rangkaian kasus salah tangkap, penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan, hingga rekayasa kasus yang terjadi selama ini adalah bukti nyata adanya masalah akuntabilitas yang kronis. RUU KUHAP, sebagai sebuah naskah reformasi, diharapkan mampu memutus lingkaran setan ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya; ia justru mengabaikan dan memperkuat tembok impunitas tersebut.

1. Perbandingan Kunci: Kebutuhan Mendesak vs. Kekosongan dalam RUU KUHAP

  • Kebutuhan Mendesak Berdasarkan Realitas: Praktik menunjukkan bahwa mekanisme internal seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri atau Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) seringkali tumpul ke atas dan lebih berfungsi sebagai mekanisme sanksi etik/disipliner, bukan pidana. Seringkali sanksinya hanya berupa "mutasi" atau "penundaan pangkat". Yang dibutuhkan adalah sebuah mekanisme eksternal yang independen untuk menginvestigasi dan menuntut aparat yang melakukan tindak pidana dalam proses hukum (penyiksaan, rekayasa bukti, dll).

  • Kenyataan dalam Draf RUU KUHAP: RUU KUHAP kosong dari terobosan ini. Tidak ada satupun bab atau pasal khusus yang membangun sebuah sistem pertanggungjawaban pidana yang kuat bagi aparat. Draf ini melanggengkan status quo:

    1. Tidak ada mandat pembentukan badan investigasi independen. Proses "polisi memeriksa polisi" akan terus berlanjut.

    2. Tidak ada delik pidana khusus dalam hukum acara yang bisa menjerat aparat yang merekayasa kasus atau menghalangi proses keadilan (obstruction of justice) dari dalam. Pasal-pasal penghalangan keadilan umumnya hanya ditafsirkan untuk menjerat pihak luar (misalnya pengacara atau keluarga tersangka).

2. Analisis Masalah

Kegagalan RUU KUHAP untuk mereformasi akuntabilitas menciptakan sebuah lingkaran setan yang sulit diputuskan:

  • Penyiksaan Dianggap "Risiko Pekerjaan": Tanpa ancaman pidana yang serius dan mekanisme penuntutan yang efektif, praktik kekerasan dan penyiksaan untuk "memaksa" pengakuan akan terus dianggap sebagai "jalan pintas" yang efisien dengan risiko yang minim bagi aparat.

  • Rekayasa Kasus Tidak Terjerat: Apa jerat hukum bagi penyidik yang dengan sengaja "menghilangkan" barang bukti yang meringankan tersangka? Atau yang "menanam" barang bukti palsu? RUU KUHAP tidak menyediakan pasal spesifik untuk menjerat tindakan-tindakan yang merupakan inti dari perbuatan merintangi keadilan (obstruction of justice) ini.

  • Solidaritas Korps Mengalahkan Keadilan: Selama investigasi dilakukan oleh rekan sejawat dari institusi yang sama, objektivitas akan selalu diragukan. Solidaritas korps ("jiwa korsa") seringkali menjadi penghalang terbesar untuk menindak tegas oknum yang bersalah.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Kasus "Salah Tangkap" dan Penyiksaan

Bayangkan Dani, seorang pengamen, ditangkap karena dituduh terlibat dalam pencurian. Wajahnya dianggap "mirip" dengan sketsa pelaku.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (Sistem Impunitas Saat Ini):

    • Di ruang pemeriksaan, Dani dipukuli agar mengaku. Ia akhirnya menandatangani BAP palsu.

    • Sebulan kemudian, pelaku asli tertangkap. Dani pun dibebaskan dari tahanan. Ia kemudian melaporkan oknum penyidik yang menyiksanya.

    • Laporannya ditangani oleh Propam. Setelah proses yang panjang dan tertutup, oknum tersebut hanya dijatuhi sanksi "demosi" (penurunan jabatan) selama satu tahun. Ia tidak dipecat, apalagi dipidana. Ia tetap menjadi polisi aktif.

    • Hasilnya: Dani tidak mendapatkan keadilan. Oknum penyiksa tidak mendapatkan hukuman setimpal dan tidak ada efek jera sama sekali. Ia berpotensi mengulangi perbuatannya di masa depan.

  • Skenario Ideal (KUHAP dengan Akuntabilitas Kuat):

    • Laporan Dani tentang penyiksaan secara otomatis ditangani oleh sebuah badan independen di luar kepolisian (misalnya, sebuah komisi khusus di bawah Komnas HAM yang diberi wewenang pro-justisia, atau unit khusus di Kejaksaan).

    • Investigasi dilakukan secara transparan. Oknum penyidik yang terbukti melakukan penyiksaan dituntut dengan pasal pidana khusus "Penyiksaan dalam Proses Peradilan" dengan ancaman hukuman berat, misalnya minimal 5 tahun penjara dan wajib dipecat.

    • Atasan dari oknum tersebut yang mengetahui atau membiarkan penyiksaan terjadi, bisa ikut dijerat dengan pasal "pembiaran terjadinya tindak pidana".

    • Hasilnya: Ada efek jera yang nyata. Aparat akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan kekerasan.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Menurunnya Kepercayaan Publik ke Titik Nadir: Masyarakat tidak akan pernah percaya sepenuhnya pada sistem peradilan jika "oknum"-nya selalu lolos dari jerat hukum.

  • Kebenaran Materiil Menjadi Lelucon: Bagaimana mungkin sistem bisa dipercaya mencari kebenaran, jika ia tidak mampu membersihkan para pembohong dan pelaku kekerasan di dalam tubuhnya sendiri?

  • Negara Gagal Melindungi Warga Negaranya: Fungsi utama negara adalah melindungi warganya. Ketika aparat negara justru menjadi pelaku kekerasan tanpa konsekuensi, negara telah gagal dalam tugas paling dasarnya.

5. Rekomendasi

1. Wajibkan Pembentukan Mekanisme Investigasi Independen:
> "Setiap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya terkait proses peradilan pidana, wajib diselidiki dan dituntut oleh sebuah lembaga yang fungsional dan strukturalnya bersifat independen dari lembaga asal terlapor."
2. Ciptakan Delik Pidana Khusus dalam UU: Bekerja sama dengan perumus KUHP untuk memastikan adanya pasal-pasal pidana yang spesifik dan berat untuk: Penyiksaan dalam Proses Peradilan. Rekayasa Kasus atau Penanaman Bukti Palsu.  Penghalangan Proses Keadilan (Obstruction of Justice) oleh Aparat.

Tanpa memutus mata rantai impunitas ini, RUU KUHAP hanya akan menjadi kodifikasi baru bagi praktik-praktik lama yang sewenang-wenang.

XI. Keadilan Restoratif (Pasal 74-83)

Keadilan restoratif adalah sebuah terobosan dalam pemikiran hukum pidana global. Ia menggeser fokus dari sekadar "menghukum pelaku" menjadi "memulihkan kerugian dan hubungan yang rusak akibat kejahatan". Namun, untuk berhasil, ia harus dijalankan dengan prinsip-prinsip yang ketat: kesukarelaan, netralitas fasilitator, dan pemberdayaan korban. RUU KUHAP mengabaikan semua prinsip ini dan menciptakan sebuah monster prosedural yang berbahaya.

1. Perbandingan Kunci: Filosofi Keadilan Restoratif vs. Praktik dalam RUU KUHAP

  • Filosofi Keadilan Restoratif (Standar PBB): Ini adalah sebuah proses dialog yang mempertemukan korban, pelaku, dan terkadang komunitas. Tujuannya adalah untuk bersama-sama mencari solusi atas dampak kejahatan. Proses ini berpusat pada kebutuhan korban (victim-centered), bersifat sepenuhnya sukarela (voluntary), dan harus dipandu oleh seorang fasilitator yang netral dan terlatih.

  • Praktik dalam RUU KUHAP (Pasal 74-83): Draf RUU KUHAP membingkai keadilan restoratif bukan sebagai proses dialog, melainkan sebagai mekanisme "penyelesaian perkara di luar pengadilan". Dan yang paling fatal, keseluruhan proses ini diberikan dan dikendalikan oleh penyidik. Penyidik bertindak sebagai inisiator, fasilitator, sekaligus pengambil keputusan.

2. Analisis Masalah: Resep Bencana bagi Keadilan Korban

Menempatkan penyidik sebagai pengendali utama proses restoratif adalah sebuah konflik kepentingan yang fundamental dan menciptakan serangkaian masalah serius:

  • Tujuan yang Berbeda: Tujuan utama penyidik adalah efisiensi dan penyelesaian perkara (case disposal) untuk memenuhi target kinerja. Sementara tujuan RJ adalah pemulihan dan keadilan bagi korban. Dua tujuan ini seringkali tidak sejalan. Penyidik akan cenderung menekan agar "damai" tercapai supaya kasus bisa ditutup, tanpa peduli apakah korban benar-benar merasa pulih atau adil.

  • Posisi Korban yang Lemah: Bayangkan seorang korban kekerasan dalam rumah tangga atau korban penipuan oleh orang yang lebih berkuasa. Ketika ia dipanggil ke kantor polisi dan "didorong" oleh penyidik berseragam untuk "memaafkan" dan "berdamai", sangat kecil kemungkinannya ia berani menolak. Ini bukan lagi kesukarelaan, ini adalah paksaan terselubung oleh otoritas negara.

  • Membuka Ruang Transaksi Gelap: Ketika proses "damai" terjadi di ruang tertutup kantor polisi tanpa pengawasan yudisial, ini menjadi ladang subur bagi praktik korupsi. Pelaku yang memiliki uang atau kekuasaan dapat dengan mudah "bernegosiasi" dengan oknum aparat untuk menekan korban agar mau berdamai dengan kompensasi yang tidak seberapa.

3. Ilustrasi Kasus Hipotesis: Kasus Utang-Piutang dengan Intimidasi

Sari, seorang pengusaha kecil, meminjamkan modal kepada Bambang, seorang preman di wilayahnya. Bambang tidak mau membayar dan justru mengintimidasi Sari. Sari akhirnya memberanikan diri melapor ke polisi dengan tuduhan penipuan dan pengancaman.

  • Skenario Ideal (RJ yang Benar):

    • Seorang fasilitator non-polisi yang netral bertemu Sari di tempat yang aman. Sari diberi ruang aman untuk mengungkapkan kerugian, rasa takutnya, dan apa yang ia butuhkan untuk pulih. Proses ini bersifat sukarela. Jika Bambang setuju untuk mengembalikan semua uang dan menandatangani perjanjian untuk tidak mengganggu Sari lagi, kesepakatan itu dibawa ke hakim untuk disahkan, memastikan tidak ada paksaan.

  • Skenario berdasarkan RUU KUHAP (RJ yang Dibajak):

    • Penyidik menangani kasus ini. Ia melihat ini sebagai kasus "sepele" yang hanya akan menambah tumpukan berkasnya. Ia memanggil Sari dan Bambang ke kantor polisi.

    • Di hadapan Bambang yang bertampang sangar, penyidik berkata pada Sari, "Sudahlah Bu, ini kan masalah bisnis biasa. Pak Bambang janji mau bayar separuhnya dulu. Ibu terima saja ya, kita damaikan saja di sini biar cepat, daripada nanti urusannya panjang."

    • Sari, yang duduk di ruangan itu merasa terintimidasi oleh Bambang dan oleh penyidik yang ingin cepat menutup kasus, dengan terpaksa menyetujui. Ia hanya mendapat separuh uangnya kembali dan tidak ada jaminan keamanan untuknya.

    • Keadilan restoratif telah gagal total. Ia justru menjadi alat bagi pelaku untuk mendapatkan "diskon" hukuman dan bagi aparat untuk "membersihkan" mejanya dari tumpukan kasus.

4. Konsekuensi Sistemik yang Merusak

  • Reviktimisasi oleh Negara: Korban yang datang mencari keadilan justru menjadi korban untuk kedua kalinya oleh sistem yang seharusnya melindunginya.

  • Menciptakan Impunitas De Facto: Pelaku kejahatan, terutama untuk kejahatan "kerah putih" atau kejahatan dengan relasi kuasa yang timpang, akan dengan mudah lolos dari pertanggungjawaban pidana yang sesungguhnya.

  • Merusak Kepercayaan Publik: Konsep keadilan restoratif yang mulia akan tercemar di mata publik dan dianggap sebagai sinonim dari "damai di tempat" atau "beli perkara".

5. Rekomendasi

1. Rombak Total Bab Keadilan Restoratif dalam RUU KUHAP.
2. Keluarkan Proses dari Tangan Aparat Penegak Hukum:
> "Proses Keadilan Restoratif hanya dapat diinisiasi atas dasar kesukarelaan para pihak dan wajib difasilitasi oleh mediator atau fasilitator terlatih dan bersertifikat yang bersifat netral dan bukan merupakan pejabat yang menangani perkara tersebut."
3. Wajibkan Validasi Yudisial atas Hasilnya:
> "Setiap kesepakatan yang dicapai melalui proses Keadilan Restoratif wajib diajukan kepada Hakim untuk dinilai dan disahkan dalam sebuah penetapan guna memastikan sifat sukarela, ketiadaan paksaan, dan terpenuhinya rasa keadilan bagi korban."
4. Batasi Jenis Perkara: Secara tegas menyatakan bahwa kejahatan serius seperti pelanggaran HAM berat, korupsi, terorisme, dan kekerasan seksual berat dikecualikan dari mekanisme penyelesaian di luar pengadilan untuk mencegah impunitas.


Daftar Pustaka

  1. DRAFT NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ( KUHP ) - Badan Pembinaan Hukum Nasional,  https://bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf

  2. Untitled - ASPERHUPIKI,  https://asperhupiki.id/wp-content/uploads/2025/03/NA_KUHAP_RUU_KUHAP_merged.pdf

  3. Cek Kosong Pembaharuan KUHAP: Lima Alasan RUU KUHAP Masih Belum Menjawab Masalah Sistemik Peradilan Pidana - LBH Pers,  https://lbhpers.org/2025/03/25/cek-kosong-pembaharuan-kuhap-lima-alasan-ruu-kuhap-masih-belum-menjawab-masalah-sistemik-peradilan-pidana/

  4. Naskah Akademik - JDIH,  https://jdih.jogjaprov.go.id/document?id=16365&type=naskah

  5. Perlindungan Hak Asasi Manusia Selama Penahanan: Penegakan Prinsip Hak Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana,  https://e-journal.metrouniv.ac.id/siyasah/article/download/9021/3801/33620

  6. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PIDANA BERDASARKAN KEBENARAN MATERIIL1 - Neliti,  https://media.neliti.com/media/publications/3297-ID-independensi-hakim-dalam-memutus-perkara-pidana-berdasarkan-kebenaran-materiil.pdf

  7. HUKUM ACARA PIDANA - Repository Universitas Islam Riau,  https://repository.uir.ac.id/1839/1/HUKUM%20ACARA%20PIDANA%20EDISI%20I.pdf

  8. Hukum Acara Pidana Fungsi, Asas, dan Prinsip - Info Hukum,  https://fahum.umsu.ac.id/info/hukum-acara-pidana-fungsi-asas-dan-prinsip/

  9. PENERAPAN PRINSIP DAN KERANGKA HUKUM - LEIP,  https://leip.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Modul-Pelatihan-Calon-Hakim-FINAL-.pdf

  10. URGENSI LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG YANG BERSIFAT DEMOKRATIS DI INDONESIA | JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT,  https://journal.ipts.ac.id/index.php/ED/article/view/3587

  11. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP: Mendesak DPR-RI dan Pemerintah untuk Transparan dan Buka Partisipasi Publik Bermakna dalam Pembahasan dan Fokus Pada 9 Masalah Krusial Di RUU KUHAP,  https://aji.or.id/informasi/koalisi-masyarakat-sipil-untuk-pembaruan-kuhap-mendesak-dpr-ri-dan-pemerintah-untuk

  12. Catatan YLBHI dan ICJR soal Partisipasi Publik RUU KUHAP - Tempo.co,  https://www.tempo.co/politik/catatan-ylbhi-dan-icjr-soal-partisipasi-publik-ruu-kuhap-1232873

  13. Efektivitas Penerapan Hukum Acara Pidana dalam Menjamin Keadilan Bagi Terdakwa dan Korban - LPKD,  https://journal.lpkd.or.id/index.php/Humif/article/download/1031/1583

  14. BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN ALAT BUKTI BERDASARKAN KETERANGAN AHLI JIWA DIHUBUNGKAN DENGAN KUHAP A. H - repo unpas,  http://repository.unpas.ac.id/40169/3/BAB%20II.pdf

  15. RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf,  https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf

  16. Ini 9 Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk RUU KUHAP - Validnews.id,  https://validnews.id/nasional/ini-catatan-koalisi-masyarakat-sipil-untuk-ruu-kuhap

  17. Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP - LBH Jakarta,  https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2025/03/Pasal-Pasal_Bermasalah_dalam_RUU_KUHAP.pdf

  18. Revisi KUHAP sebagai Solusi Struktural Pengentasan Masalah Penegakan Hukum - LBH Jakarta,  https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2024/08/Kertas-Kebijakan-RKUHAP-KontraS-dan-LBH-Jakarta.pdf

  19. SALINAN PUTUSAN Nomor 61/PUU-XX/2022 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA, [,  https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8783_1669785964.pdf

  20. Rancangan-KUHAP.pdf,  https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Rancangan-KUHAP.pdf

  21. Comparative Criminal Procedure | Judiciaries Worldwide,  http://judiciariesworldwide.fjc.gov/comparative-criminal-procedure

  22. Pretrial Proceedings in Indonesian Criminal Procedure Law: Its,  https://international.appisi.or.id/index.php/IJSS/article/download/375/230/1303

  23. Sembilan Masalah dalam RUU KUHAP - ICJR,  https://icjr.or.id/sembilan-masalah-dalam-ruu-kuhap/

  24. International Covenant on Civil and Political Rights | OHCHR,  https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights

  25. Exclusionary rule | Wex | US Law | LII / Legal Information Institute,  https://www.law.cornell.edu/wex/exclusionary_rule

  26. How We Got the Fourth Amendment Exclusionary Rule and Why We Need It,  https://www.ojp.gov/ncjrs/virtual-library/abstracts/how-we-got-fourth-amendment-exclusionary-rule-and-why-we-need-it

  27. The Exclusionary Rule and How It Shapes Criminal Procedure in North Carolina,  https://www.carolinaattorneys.com/blog/the-exclusionary-rule-and-how-it-shapes-criminal-procedure-in-north-carolina/

  28. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading ...,  https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-against-torture-and-other-cruel-inhuman-or-degrading

  29. A Summary of the Convention against Torture - Redress,  https://redress.org/storage/2018/10/REDRESS-Summary-of-UNCAT-2018.pdf

  30. Poin-poin Baru Draf Revisi KUHAP: Jenis Penyidik hingga “Restorative Justice”,  https://nasional.kompas.com/read/2025/03/19/05111891/poin-poin-baru-draf-revisi-kuhap-jenis-penyidik-hingga-restorative-justice?page=all

  31. [RILIS KOALISI] Cek Kosong Pembaharuan KUHAP: 5 Alasan RUU KUHAP Masih Belum Menjawab Masalah Sistemik Peradilan Pidana,  https://icjr.or.id/cek-kosong-pembaharuan-kuhap/

  32. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Dalam Konteks Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Tersangka di - E Journal Undip,  https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/download/14400/8034

  33. Perbandingan Hukum Mengenai Kewenangan Penyidikan Perkara Pidana Antara Kejaksaan Indonesia dengan Korea Selatan (Berdasarkan Ki,  https://journal.stekom.ac.id/index.php/PERKARA/article/download/1820/1270

  34. laporan rekomendasi kebijakan - transformasi sistem penuntutan dan advocaat generaal,  https://ditkumlasi.bappenas.go.id/download/file/Laporan_Rekomendasi_Kebijakan_TSP_AG_FHUI_2024.pdf

  35. Latar Belakang Suatu negara hukum di dalamnya merupakan ada proses pembangunan nasional yang terus-menerus dilaksana - upn repository,  https://repository.upnjatim.ac.id/688/2/Bab%20I.pdf

  36. Tinjauan Umum Bantuan Hukum 1. Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh - Digilib Unila,  http://digilib.unila.ac.id/3561/12/BAB%20II.pdf

  37. BAB II LANDASAN TEORITIS MENGENAI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA BAGI TERDUGA PELAKU TINDAK TERORISM - Elibrary Unikom,  https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/7376/8/UNIKOM_SUCIAN_BAB%20II.pdf

  38. INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS,  https://treaties.un.org/doc/treaties/1976/03/19760323%2006-17%20am/ch_iv_04.pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...