Sebuah babak baru dalam sejarah kebebasan berekspresi di Indonesia telah resmi dimulai. Melalui palu keadilan yang diketuk pada 29 April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 telah menarik garis demarkasi yang tegas dan fundamental dalam penerapan pasal pencemaran nama baik. Putusan ini, yang lahir dari perjuangan seorang aktivis lingkungan bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan, bukan sekadar koreksi atas norma hukum, melainkan sebuah manifesto yudisial yang menegaskan kembali bahwa kritik publik adalah oksigen bagi demokrasi, bukan tindak pidana yang harus direpresi.
Selama bertahun-tahun, pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)—bermula dari Pasal 27 ayat (3) hingga kini berevolusi menjadi Pasal 27A dalam UU No. 1 Tahun 2024—telah menjadi momok yang menghantui ruang-ruang diskusi publik. Ia menjelma menjadi "pasal karet" yang elastisitasnya kerap dimanfaatkan oleh institusi negara, korporasi, dan pejabat publik untuk membungkam suara-suara kritis. Amnesty International Indonesia mencatat, lebih dari 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi terjadi sepanjang 2019-2024, mayoritas dilaporkan oleh entitas non-individu. Putusan MK ini datang sebagai jawaban atas penyakit kronis tersebut, dengan menyatakan secara tegas bahwa subjek hukum yang dapat menjadi korban dan pelapor dalam delik pencemaran nama baik hanyalah individu atau orang perseorangan.
Namun, di tengah euforia kemenangan bagi para pejuang kebebasan sipil, putusan ini juga menyisakan sebuah tantangan besar. Ketika perisai hukum bagi institusi dan korporasi dari kritik—sekalipun tajam—dicabut, bagaimana kita memastikan ruang digital tidak berubah menjadi arena fitnah dan disinformasi yang merusak? Ini adalah pedang bermata dua yang harus kita kelola dengan bijaksana.
Anatomi Putusan
Untuk memahami kedalaman putusan ini, kita harus melihat kasus yang melatarbelakanginya. Daniel Frits, seorang aktivis lingkungan dari Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali), adalah "korban" dari pasal karet UU ITE. Ia diproses hukum karena unggahan di media sosial yang dianggap menyerang kehormatan, sebuah ekspresi keprihatinannya atas kerusakan lingkungan di Karimunjawa. Pengalamannya menjadi bukti konkret bagaimana pasal ini dapat disalahgunakan untuk melumpuhkan partisipasi publik melalui mekanisme yang dikenal sebagai Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP).
Dalam permohonannya, Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa frasa dalam UU ITE 2024, terutama frasa "orang lain" dan "suatu hal" dalam Pasal 27A. Argumen utamanya adalah ketidakjelasan frasa-frasa tersebut telah menciptakan ketidakpastian hukum yang adil (bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) dan secara tidak proporsional membatasi kebebasan berekspresi (Pasal 28E UUD 1945).
MK, dalam pertimbangannya, melakukan sebuah manuver yurisprudensi yang cerdas. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menegaskan, “Atas hal ini agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ pada Pasal 27A UU 1/2024, Mahkamah menegaskan bahwa yang dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah individu atau perseorangan.”
Logika hukum di balik penegasan ini berakar pada beberapa pilar fundamental:
Penafsiran Sistematis (Systematic Interpretation): MK memandang UU ITE 2024 sebagai hukum transisi sebelum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2023 secara penuh. Oleh karena itu, penafsiran norma dalam UU ITE harus selaras dan terintegrasi dengan semangat kodifikasi dalam KUHP 2023.
Rujukan pada KUHP sebagai Lex Generalis: Penjelasan Pasal 433 KUHP 2023, yang mengatur delik pencemaran, secara eksplisit menyatakan bahwa objeknya adalah "orang perseorangan" dan mengecualikan "lembaga pemerintah atau sekelompok orang". MK mengadopsi batasan ini secara mutatis mutandis ke dalam Pasal 27A UU ITE. Logikanya sederhana: kehormatan, martabat, dan harga diri yang dapat dicemarkan secara personal adalah atribut yang melekat pada manusia, bukan pada entitas abstrak seperti institusi atau korporasi.
Perlindungan Demokrasi yang Lebih Luas: Tidak berhenti di situ, MK mengambil langkah progresif dengan memperluas pengecualian ini hingga mencakup pejabat publik dan figur publik. Mengutip yurisprudensi dari berbagai mahkamah internasional seperti European Court of Human Rights (ECHR) dan Mahkamah Agung Amerika Serikat, MK berpendapat bahwa mereka yang secara sadar memasuki ranah publik harus memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap kritik. Ini adalah langkah esensial untuk menjamin diskursus publik yang kuat (uninhibited, robust, and wide-open) mengenai isu-isu yang menyangkut kepentingan umum.
Menegaskan Perbedaan antara Penghinaan dan Pencemaran: MK juga memberikan kepastian hukum pada frasa "menuduhkan suatu hal". Dengan merujuk pada doktrin hukum pidana klasik dari R. Soesilo dan S.R. Sianturi, Mahkamah membedakan dengan jelas antara penghinaan (umpatan seperti 'anjing' atau 'lonte') dengan pencemaran nama baik (defamation). Pencemaran nama baik, menurut putusan ini, harus mengandung unsur tuduhan atas "dilakukannya suatu perbuatan" tertentu. Hal ini mencegah pasal pencemaran nama baik menjadi "keranjang sampah" untuk segala macam ekspresi yang tidak disukai.
Implikasi: Angin Segar dan Tanggung Jawab Baru
Putusan ini secara dramatis mengubah lanskap hukum dan sosial di Indonesia. Dampak positifnya sangat signifikan:
Perlindungan bagi Pengkritik: Aktivis, jurnalis, akademisi, dan warga biasa kini memiliki perisai konstitusional yang lebih kokoh saat melakukan fungsi kontrol sosial. Ancaman kriminalisasi dari lembaga yang dikritik telah diminimalisir secara hukum.
Mendorong Akuntabilitas: Institusi negara dan korporasi tidak bisa lagi bersembunyi di balik delik pidana untuk menghindari sorotan publik. Mereka didorong untuk merespons kritik dengan data, klarifikasi, dan dialog, bukan dengan laporan polisi.
Peralihan ke Mekanisme Perdata dan Hak Jawab: Bagi lembaga yang merasa dirugikan reputasinya, jalur yang tersisa adalah mekanisme non-pidana, seperti menggunakan hak jawab sesuai UU Pers atau mengajukan gugatan perdata. Ini adalah pendekatan yang jauh lebih proporsional dan demokratis.
Namun, seperti yang telah disinggung, kebebasan absolut adalah ilusi. Putusan ini melahirkan tantangan dan tanggung jawab baru. Tanpa ancaman pidana yang mudah diakses oleh institusi, potensi penyebaran kritik yang merusak, tuduhan tak berdasar, hingga fitnah yang didesain untuk menjatuhkan reputasi institusi secara tidak adil, menjadi nyata. Ruang publik bisa menjadi lebih bising dan bahkan lebih toksik jika tidak diimbangi oleh kedewasaan para penggunanya.
Dari Putusan Menuju Praktik
Sebuah putusan MK, sekalipun bersifat final dan mengikat, tidak akan bermakna tanpa implementasi yang konsisten. Beberapa langkah konkret harus segera diambil:
Harmonisasi Peraturan: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyelaraskan UU ITE dan peraturan pelaksananya dengan putusan ini untuk menghindari kebingungan dan multitafsir di tingkat aparat penegak hukum.
Sosialisasi kepada Aparat Penegak Hukum: Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan perlu segera mendapatkan sosialisasi dan pedoman internal yang baru agar tidak lagi menerima atau memproses laporan pencemaran nama baik yang diajukan oleh entitas non-individu.
Edukasi Publik dan Etika Digital: Ini adalah tugas kita bersama. Masyarakat sipil, media, dan lembaga pendidikan harus mengintensifkan edukasi mengenai cara menyampaikan kritik yang bertanggung jawab, berbasis fakta, dan konstruktif. Kebebasan yang baru kita dapatkan ini harus disertai dengan etika.
Pada akhirnya, Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 adalah sebuah tonggak sejarah. Putusan ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah era baru di mana hukum tidak lagi menjadi alat pembungkaman. Mahkamah telah memberikan kita ruang yang lebih luas untuk bernapas sebagai warga negara yang aktif. Kini, bola ada di tangan kita, bagaimana kita mengisi ruang tersebut dengan diskursus yang mencerahkan, bukan dengan kebencian yang membutakan. Kualitas demokrasi kita ke depan tidak lagi hanya ditentukan oleh teks undang-undang, tetapi oleh kebijaksanaan kita dalam menggunakan suara kita. Zlamitan
Komentar
Posting Komentar