Hari ini kita akan membahas mengapa seorang tokoh sebesar Plato, yang hidup dan besar di Athena, kota kelahiran demokrasi, justru menaruh keraguan besar pada sistem pemerintahan yang menjanjikan kebebasan bersuara ini. Sebuah pertanyaan yang mungkin terdengar aneh, mengingat ia berasal dari tempat dimana rakyat diberikan hak penuh untuk menentukan siapa pemimpin mereka.
Namun, di tengah kemegahan demokrasi Athena, Plato melihat sebuah luka yang tak tersembuhkan, sebuah tragedi yang kelak membentuk seluruh pandangan filosofisnya. Luka itu adalah kematian Socrates, gurunya sendiri. Pada tahun 399 SM, Socrates dituduh merusak moral kaum muda dan tidak mengakui dewa-dewa negara, sebuah tuduhan yang sangat absurd. Namun, dalam sebuah persidangan yang ditentukan oleh suara terbanyak rakyat Athena, Socrates dijatuhi hukuman mati oleh demokrasi itu sendiri. Plato, yang hadir dan menyaksikan langsung peristiwa ini, merekamnya bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hati yang hancur berkeping-keping.
Baginya, ini adalah ironi terbesar: sebuah sistem yang memuja kebebasan justru merenggut nyawa orang yang paling merdeka dalam berpikir. Bagaimana mungkin demokrasi, yang seharusnya menjadi puncak peradaban, justru menjadi alat pembunuh kebenaran?
Dari sinilah bibit-bibit kecurigaan Plato terhadap demokrasi mulai tumbuh. Ia mulai meragukan klaim bahwa demokrasi adalah sistem terbaik. Demokrasi, yang konon lahir dari kehendak rakyat, ternyata bisa bergeser menjadi tirani mayoritas, tirani suara terbanyak. Dan yang paling mengkhawatirkan bagi Plato adalah kenyataan bahwa suara terbanyak bukanlah jaminan kebenaran.
Demokrasi memang memberikan hak bicara kepada setiap orang, tetapi ia tidak menjamin bahwa setiap orang memiliki dasar pengetahuan atau kebijaksanaan untuk didengar. Ini, menurut Plato, adalah sebuah bahaya besar. Tanpa pendidikan yang memadai, tanpa penanaman nilai-nilai luhur, rakyat mudah dimanipulasi. Mereka bisa dibutakan oleh retorika kosong, terbuai oleh janji-janji manis, dan pada akhirnya, memilih pemimpin bukan karena kebijaksanaannya, melainkan karena popularitasnya. Demokrasi memang membuka panggung bagi siapa saja, tetapi ia gagal memastikan siapa yang benar-benar pantas untuk tampil di atas panggung itu.
Melihat kondisi ini, Plato tidak bisa berdiam diri.
Penting untuk digaris bawahi bahwa Plato bukanlah penentang rakyat atau pembenci kebebasan. Sebaliknya, ia menginginkan sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang hakiki, yaitu keadilan. Ia mendambakan sebuah sistem politik yang tidak hanya memberi suara kepada setiap individu, tetapi juga memastikan bahwa suara itu dibimbing oleh akal sehat, oleh nilai-nilai kebaikan, dan oleh prinsip-prinsip moral yang kokoh.
Maka, ia mulai menulis, bukan dengan amarah yang meluap-luap, tetapi dengan nalar yang jernih. Bukan karena ambisi untuk berkuasa, tetapi karena kegelisahan mendalam sebagai seorang pemikir yang mencari kebenaran. Dari sanalah lahir gagasan-gagasan besarnya tentang negara ideal, tentang struktur jiwa manusia, dan yang paling terkenal, tentang perlunya filsuf untuk memimpin. Bagi Plato, politik bukanlah sekadar tentang siapa yang menang dalam perebutan kekuasaan, melainkan tentang siapa yang benar dan adil dalam menjalankan kekuasaan. Demokrasi tanpa arah yang jelas, tanpa pondasi moral dan intelektual, bisa berujung pada malapetaka. Dan sebuah negara tanpa pemimpin yang mencintai kebenaran akan selalu tersesat dalam hiruk-pikuk suara mayoritas yang seringkali tanpa arah.
Mengapa Plato tidak percaya pada demokrasi?
Mungkin karena ia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana demokrasi sanggup membunuh orang yang paling waras dan bijak di zamannya. Dan ketika peristiwa tragis itu terjadi, Plato menyadari bahwa suara rakyat tanpa kebijaksanaan hanyalah gema kebodohan yang jauh lebih bising daripada kebenaran itu sendiri. Banyak orang salah sangka, mengira Plato adalah musuh bebuyutan demokrasi. Seolah-olah ia menolak hak rakyat untuk bersuara, menolak sistem yang memberi setiap orang kesempatan untuk memilih pemimpinnya. Padahal, Plato bukanlah seorang anti-rakyat. Ia hanya menaruh kecurigaan bahwa suara rakyat, jika tidak didasari oleh pemahaman yang mendalam, bisa saja disesatkan. Kecurigaan ini bukan sekadar teori abstrak yang ia bangun dari buku-buku. Ini muncul dari pengalaman yang sangat pribadi, sangat menyakitkan, dan tak terlupakan.
Plato menyaksikan langsung bagaimana demokrasi di tanah kelahirannya, Athena, berubah menjadi alat pembunuhan terhadap satu-satunya orang paling bijaksana yang pernah ia kenal: gurunya, Socrates.
Mari kita ingat kembali peristiwa itu. Pada tahun 399 SM, Socrates diadili. Tuduhannya, seperti yang sudah kita singgung sebelumnya, terdengar sederhana namun berbahaya, merusak moral anak muda dan menolak dewa-dewa resmi kota. Socrates tidak mencuri, tidak membunuh, tidak melakukan kejahatan fisik. Ia hanya bertanya, ia hanya mengajak orang untuk berpikir, ia hanya memancing kesadaran kritis. Dan bagi sebagian orang, tindakan seperti itu justru dianggap mengancam tatanan.
Di hadapan Pengadilan Rakyat, Socrates membela diri dengan logika yang tajam, dengan kebijaksanaan yang memukau. Namun, suara mayoritas tidak memilih berdasarkan logika atau nilai-nilai kebenaran. Mereka memilih berdasarkan rasa takut dan ketidaktahuan. Hasilnya, Socrates dihukum mati, dan ia dengan tenang meneguk racunnya. Bagi Plato, hari itu bukan sekadar kematian seorang guru. Itu adalah kematian akal sehat, kematian kebenaran di tangan demokrasi. Maka, wajar jika Plato mulai meragukan sistem ini, bukan karena ia anti kebebasan, melainkan karena ia tahu bahwa kebebasan tanpa kebijaksanaan hanya akan melahirkan kekacauan dan anarki.
Bagi Plato, demokrasi memiliki satu kelemahan fatal yang fundamental, ia menyamaratakan semua orang. Demokrasi menganggap bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama, padahal tidak semua orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau kedalaman pemikiran yang sama. Bukankah ironis jika suara seorang filsuf yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran harus disamakan dengan suara seorang penjilat yang hanya mengincar kursi kekuasaan demi kepentingan pribadi? Apakah suara orang bijak yang jujur harus disamakan dengan suara demagog yang lihai berbicara namun kosong dalam berpikir? Inilah yang menjadi kekhawatiran terbesar Plato.
Demokrasi, jika tidak disertai dengan pendidikan moral dan intelektual yang kuat, akan berubah menjadi pasar kebisingan yang kacau balau. Setiap orang bisa berbicara, tetapi tidak semua tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Dan yang lebih mengerikan, kata Plato, adalah ketika pemimpin terpilih bukan karena kebaikan atau kapasitas sejatinya, melainkan karena kemampuannya menarik perhatian massa.
Plato bahkan menyusun sebuah tangga kejatuhan negara dalam karyanya yang monumental, The Republic. Ia menempatkan demokrasi sebagai fase sebelum bentuk pemerintahan yang paling berbahaya yakni Tirani.
Ya, Plato percaya bahwa dari demokrasi, jika dibiarkan tanpa kendali, akan lahir Tirani. Mengapa demikian? Karena ketika rakyat bosan dengan kebebasan yang kacau balau dan tanpa arah, mereka akan mencari sosok penyelamat. Seseorang yang tampil kuat, berani, lantang, dan menjanjikan pemulihan ketertiban. Di sinilah Tiran lahir, pemimpin yang pada awalnya dipuja rakyat, namun secara perlahan dan pasti, mengambil kembali semua kebebasan yang pernah ada. Ironis sekali, bukan? Demokrasi yang terlalu bebas justru berujung pada perbudakan oleh satu suara. Plato menulis semua ini bukan dari prasangka atau kebencian, tetapi dari luka yang mendalam. Ia melihat bagaimana demokrasi yang kehilangan nilai-nilai luhur sanggup membunuh Socrates, sosok yang begitu dihormatinya. Ia menyaksikan bagaimana suara mayoritas bisa menjadi senjata paling brutal dalam sejarah manusia, bukan karena niat jahat, tetapi karena kebodohan massal yang dibiarkan tumbuh subur.
Maka, dalam The Republic, Plato mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat dalam dan masih relevan hingga hari ini: "Apakah mungkin sebuah negara dijalankan oleh keinginan rakyat jika rakyat itu sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya baik bagi mereka?" Pertanyaan ini bukan untuk menyarankan kediktatoran atau untuk membenci rakyat. Sebaliknya, Plato ingin menunjukkan bahwa suara rakyat hanya akan berguna jika rakyat dididik untuk berpikir secara rasional dan bijaksana.
Plato menolak gagasan bahwa semua pendapat harus dihormati secara setara. Ia percaya bahwa ada pendapat yang lebih tinggi karena lebih dekat pada kebenaran. Dan kebenaran, bagi Plato, bukanlah sekadar suara terbanyak, melainkan suara yang paling masuk akal dan rasional. Mari kita ambil contoh sederhana: jika seorang dokter dan seorang pasien berbeda pendapat soal obat yang harus diminum, siapa yang kita dengarkan? Tentu saja dokter. Jika seorang arsitek dan seorang awam berbeda pendapat soal rancangan bangunan, siapa yang kita ikuti? Tentu saja arsitek. Lalu, mengapa dalam urusan negara yang jauh lebih kompleks dan menentukan nasib jutaan orang, kita mempercayakan nasib kita pada janji-janji kosong dari orang-orang yang bahkan tidak pernah belajar tentang kebaikan, keadilan, atau makna kekuasaan yang sesungguhnya?
Inilah inti dari kritik Plato terhadap demokrasi. Ia percaya bahwa memimpin negara bukanlah hak setiap orang, melainkan tugas berat yang membutuhkan jiwa yang terlatih. Terlatih dalam berpikir, terlatih dalam mencintai kebenaran, terlatih dalam menahan diri dari godaan kekuasaan. Dan demokrasi, menurut Plato, tidak menjamin kualitas kepemimpinan semacam itu. Demokrasi bisa menjadi panggung bagi mereka yang tidak layak bicara, mengangkat para penghibur dan penjual harapan palsu, serta menyingkirkan mereka yang sesungguhnya paling memahami esensi kepemimpinan.
Oleh karena itu, bagi Plato, demokrasi bukanlah tujuan akhir dari sejarah politik, melainkan salah satu fase yang bisa runtuh atau bisa diperbaiki. Ia menginginkan perbaikan, dan perbaikan itu, menurutnya, tidak datang semata dari sistem, melainkan dari manusia, dari jiwa, dari pendidikan, dan dari nilai-nilai luhur. Ia percaya bahwa politik tidak boleh dipisahkan dari filsafat. Seorang pemimpin tidak hanya harus cerdas, tetapi juga bijaksana. Ia tidak hanya harus tahu cara memerintah, tetapi juga tahu kapan harus diam dan mendengarkan kebenaran. Sebab, kekuasaan sejati, bagi Plato, bukanlah tentang siapa yang paling didengar, melainkan siapa yang paling layak dipercaya.
Plato tidak menulis tentang politik sebagai seorang praktisi yang terlibat langsung dalam urusan negara. Ia bukan jenderal yang memimpin pasukan, bukan penasihat raja yang merancang strategi diplomasi, atau politisi yang merangkai kompromi di antara berbagai kekuatan. Ia menulis tentang politik sebagai seorang filsuf, seorang pencari kebenaran. Ia percaya bahwa sebelum kita membahas siapa yang berkuasa atau bagaimana kekuasaan itu dijalankan, kita harus terlebih dahulu memahami esensi kebaikan, keadilan, dan tujuan hakiki dari kehidupan bermasyarakat. Inilah yang membedakan Plato dari banyak pemikir politik lainnya, bahkan hingga hari ini. Bagi Plato, politik bukanlah seni mempertahankan kekuasaan atau teknik mengelola konflik semata, melainkan sebuah jalan menuju masyarakat yang adil dan harmonis.
Pendekatan ini kita sebut sebagai ilmu politik normatif. Sebuah ilmu yang tidak hanya mendeskripsikan bagaimana negara berjalan pada kenyataannya, tetapi juga berani mempertanyakan bagaimana seharusnya negara dijalankan berdasarkan standar moral dan etika. Ini adalah ilmu yang tidak sekadar menerima dunia seperti adanya, tetapi mencoba mengukurnya dengan tolok ukur nilai, dengan cita-cita moral, dengan kebenaran yang universal. Dan bagi Plato, standar tertinggi itu adalah keadilan.
Pertanyaan tentang "Apa itu keadilan?" menjadi inti dari dialog The Republic, karya terbesarnya mengenai politik. Ia tidak memulai diskusi dengan pertanyaan tentang siapa yang harus memimpin atau sistem mana yang paling efisien. Tidak. Ia memulai dengan pertanyaan yang sederhana namun menggugah: "Apa itu keadilan?" Plato memahami bahwa sebelum kita membangun sebuah negara, kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip moral apa yang akan menjadi pondasinya. Jika tidak, negara hanya akan menjadi arena pertarungan kekuatan, perebutan kepentingan, atau persaingan angka, tetapi bukan arena untuk memperjuangkan kebaikan. Dan Plato tidak menginginkan itu. Ia menginginkan sebuah negara yang dibangun tidak hanya di atas suara terbanyak, tetapi juga di atas nilai-nilai luhur.
Dalam The Republic, Plato mengulas gagasan keadilan bukan dengan dogma atau doktrin yang kaku, melainkan dengan analogi yang mendalam. Ia membandingkan struktur negara dengan struktur jiwa manusia. Sama halnya dengan jiwa yang sehat, di mana ada keharmonisan antara akal (rasio), keberanian (semangat), dan hasrat (nafsu). Maka, dalam negara yang adil pun harus ada harmoni antara kelas-kelas yang berbeda: kelas pemimpin (yang mewakili rasio), kelas penjaga (yang mewakili keberanian), dan kelas pekerja (yang mewakili hasrat atau kebutuhan fisik).
Keadilan, menurut Plato, bukanlah soal semua orang mendapatkan hal yang sama persis, tetapi soal setiap bagian, setiap individu, melakukan tugasnya dengan tepat sesuai dengan kodrat dan potensinya, tanpa mencampuri urusan yang bukan miliknya. Akal bertugas mengatur, keberanian bertugas menjaga dan melindungi, sementara hasrat bertugas untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan. Begitu pula dalam negara yang ideal: para filsuf sebagai pemimpin bertugas mengatur, para prajurit bertugas menjaga keamanan, dan rakyat pekerja bertugas memproduksi kebutuhan. Keadilan, bagi Plato, adalah keteraturan, keseimbangan, dan keutuhan ini. Dan ketika semua bagian ini bekerja sesuai fungsinya masing-masing, negara akan mencapai bentuknya yang paling harmonis dan adil.
Plato melihat ketidakadilan muncul justru ketika struktur alami ini rusak. Ketika mereka yang seharusnya memimpin tidak didengarkan atau justru disingkirkan. Ketika mereka yang seharusnya melayani malah memegang kendali kekuasaan. Itulah yang ia amati dalam demokrasi. Demokrasi membuka kemungkinan bagi siapapun, bahkan mereka yang belum matang secara moral atau intelektual, untuk memimpin dan mengatur kehidupan banyak orang. Dan bagi Plato, ini bukanlah sebuah kemajuan, melainkan penyimpangan dari keadilan sejati. Baginya, tidak semua orang cocok untuk menjadi pemimpin, sebagaimana tidak semua orang cocok untuk menjadi dokter, hakim, atau guru. Ini bukan karena diskriminasi, melainkan karena tanggung jawab yang begitu besar yang melekat pada posisi tersebut. Tanggung jawab itu tidak bisa diletakkan sembarangan. Di sinilah Plato memperkenalkan gagasan Philosopher-King, yaitu kekuasaan yang berbasis pada pengetahuan dan kebijaksanaan. Kelak di era modern, pemikir kontemporer Jason Brennan (Against Democracy, 2016) mengelaborasi pemikiran Plato ini dengan mempopulerkan diksi epistokrasi.
Negara harus dipimpin oleh mereka yang benar-benar tahu apa itu kebaikan dan bagaimana mencapainya, bukan sekadar memenangkan pemilihan umum, tetapi memenangkan ujian nilai-nilai luhur. Penting untuk diingat bahwa Plato menulis semua ini dalam kondisi krisis yang mendalam. Athena baru saja mengalami kekalahan telak dalam Perang Peloponnesos melawan Sparta. Kekacauan politik merajalela; kekuasaan berganti tangan dengan cepat, dari demokrasi ke oligarki, lalu kembali ke demokrasi yang penuh gejolak. Rakyat bingung, nilai-nilai luhur terasa hancur, dan kebenaran seolah tidak lagi berharga. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian itu, Plato tidak hanya menawarkan sistem politik baru. Ia menawarkan sebuah cara berpikir baru. Ia tidak menyuruh rakyat untuk sekadar memilih sistem, tetapi untuk menemukan makna yang lebih dalam di balik setiap sistem. Baginya, politik bukanlah sekadar tentang siapa yang mendapatkan kursi kekuasaan, melainkan tentang siapa yang sungguh-sungguh memahami tujuan hakiki dari kekuasaan itu sendiri.
Di sinilah muncul salah satu gagasan paling kontroversial dari Plato: bahwa filsuf harus menjadi raja. Ia menyadari bahwa ide ini terdengar gila dan tidak realistis bagi banyak orang. Bagaimana mungkin seorang pemikir yang hidup dalam kontemplasi dapat memimpin sebuah negara yang kompleks? Namun, bagi Plato, justru karena seorang filsuf mencari kebenaran dan tidak terikat pada ambisi duniawi, ia tidak akan tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Filsuf sejati, menurutnya, tidak membutuhkan kekuasaan demi dirinya sendiri. Justru karena itulah, ia layak memegang kekuasaan. Ibarat seorang dokter yang tidak mengonsumsi obat yang ia resepkan untuk dirinya sendiri, seorang filsuf sejati tidak akan menelan kekuasaan demi keuntungan pribadi, melainkan demi kesehatan dan kebaikan seluruh negara.
Melihat kondisi politik hari ini, kita patut merenung, apakah politik masih mencari keadilan, ataukah ia sudah terlalu sibuk menghitung suara, mengatur strategi pencitraan, dan melupakan tujuan awalnya untuk membangun masyarakat yang baik dan adil? Plato mengingatkan kita bahwa ketika politik kehilangan sentuhan filsafat, maka ia hanya akan menjadi teknik manipulasi belaka. Sebuah politik yang demikian mungkin bisa memenangkan pemilihan, tetapi ia tidak akan pernah benar atau adil. Dan jika kita terus-menerus meyakini bahwa semua suara memiliki bobot yang sama tanpa mempertimbangkan apakah suara itu lahir dari pengetahuan atau dari ketakutan, dari cinta akan kebenaran atau sekadar kebencian terhadap lawan, maka kita tidak sedang hidup dalam demokrasi yang sesungguhnya. Kita sedang hidup dalam kekacauan yang dibungkus dengan ilusi kebebasan.
Plato mengajarkan pada kita bahwa ilmu politik sejati bukanlah hanya alat untuk mempertahankan sebuah negara, melainkan alat untuk memperbaiki jiwa dan karakter manusia di dalamnya. Ia menginginkan politik yang memiliki jiwa, yang tidak hanya membagi kekuasaan, tetapi juga menanamkan kebijaksanaan, yang tidak hanya mengatur hukum, tetapi juga mendidik hati nurani rakyatnya. Dan semua itu hanya mungkin jika politik dikembalikan ke rumah asalnya: filsafat.
Bagaimana jika sebuah negara tidak hanya sekedar tempat tinggal, tetapi juga cerminan dari siapa kita sebenarnya? Plato tidak pernah memisahkan konsep negara dari esensi manusia. Baginya, negara adalah jiwa manusia yang diperbesar, diproyeksikan dalam skala yang lebih besar. Jika jiwa seorang individu bisa sehat, adil, dan tertata dengan baik, maka begitu pula negara. Sebaliknya, jika manusia kacau, tak terkendali, rakus, dan malas berpikir, maka negara pun akan menjelma menjadi neraka sosial yang penuh kebisingan dan kekacauan. Inilah salah satu gagasan Plato yang paling radikal dan sekaligus indah: negara adalah proyeksi nyata dari struktur jiwa manusia.
Dalam The Republic, Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga unsur utama. Pertama, logistikon (λογιστικόν) (rasio): ini adalah bagian rasional dalam diri kita, yang mencari kebenaran, menganalisis, dan bertindak sebagai pengendali nafsu. Kedua, thumoeidés (θυμοειδές) (semangat): ini adalah bagian keberanian, kehormatan, dan kebanggaan. Ini adalah dorongan untuk bertindak, untuk membela diri, untuk meraih kemenangan, atau untuk memperjuangkan apa yang dianggap benar. Dan ketiga, epithymetikon (ἐπιθυμητικόν) (hasrat atau nafsu): ini adalah bagian yang terkait dengan keinginan fisik, kenikmatan, dan kebutuhan dasar seperti makanan, minuman, dan seks.
Plato percaya, jiwa yang sehat dan tertata adalah ketika rasio (logos) memiliki kendali penuh atas semangat (thumos) dan hasrat (epithumia). Ibarat sebuah kereta kuda, rasio adalah kusirnya, semangat adalah kuda yang menarik, dan hasrat adalah gerobak yang mengangkut beban. Jika kusir (rasio) kehilangan kendali, maka kuda (semangat) bisa berlari liar, dan gerobak (hasrat) akan berantakan tanpa arah. Namun, jika rasio memimpin dengan bijaksana, semangat akan mendukungnya, dan hasrat akan mengikuti secara tertib, menghasilkan sebuah jiwa yang harmonis dan seimbang.
Analogi ini kemudian dibawa oleh Plato ke dalam struktur negara. Negara yang ideal harus meniru struktur jiwa yang sehat ini. Maka, filsuf yang mencintai kebenaran dan dibimbing oleh rasio, adalah pemimpin yang seharusnya mengatur negara, seperti rasio yang mengatur jiwa. Kemudian, penjaga atau prajurit, yang memiliki keberanian dan semangat juang, bertindak sebagai pelindung negara, seperti semangat yang menjaga jiwa. Dan terakhir, produsen, petani, pedagang, dan pekerja, yang mewakili kebutuhan fisik dan hasrat, adalah rakyat biasa yang bekerja dan memenuhi kebutuhan material negara, seperti hasrat yang memenuhi kebutuhan tubuh.
Negara akan mencapai keadilan hanya bila setiap unsur ini menjalankan tugasnya dengan tepat, tanpa saling merampas fungsi atau ambisi yang bukan miliknya. Filsuf tidak serakah terhadap harta atau kekuasaan, prajurit tidak berambisi untuk memimpin, dan rakyat tidak iri pada kekuasaan atau kehormatan. Plato sering disalahpahami, seolah-olah ia mendukung masyarakat yang kaku dan terstratifikasi. Padahal, ia hanya ingin setiap orang hidup sesuai dengan kodrat dan potensinya yang sejati. Plato tahu tidak semua orang akan menjadi filsuf, sama seperti tidak semua orang bisa menjadi musisi ulung atau ahli bedah. Tapi bukan berarti mereka lebih rendah nilainya. Keadilan, bagi Plato, bukanlah tentang kesamaan dalam segala hal, tetapi tentang kesesuaian, setiap orang menemukan tempatnya yang paling pas, yang paling benar, bukan yang paling menguntungkan. Karena bila seseorang bekerja di luar kapasitas dan integritasnya, bukan hanya dia yang rusak, tetapi seluruh struktur negara pun bisa runtuh dan kehilangan keharmonisan.
Plato tahu mimpi tentang negara yang adil tidak akan pernah tercapai bila masyarakatnya tetap dibiarkan dalam kebodohan. Karena itu, pendidikan adalah senjata utama dalam membangun negara ideal. Tapi pendidikan menurut Plato bukan sekadar menghafal pengetahuan, bukan sekadar mengejar angka, nilai, atau selembar ijazah. Pendidikan adalah sebuah proses fundamental yang membalikkan jiwa manusia dari mencintai hal-hal duniawi dan ilusi semata, menuju mencintai kebijaksanaan dan kebenaran hakiki. Ia menyebut proses ini sebagai "keluarnya jiwa dari gua."
Salah satu bagian paling terkenal dan paling menginspirasi dari The Republic adalah Alegori Gua. Bayangkanlah, ada sekelompok orang yang sejak lahir hidup terikat di dalam sebuah gua, tak bisa menoleh atau melihat sekeliling. Mereka hanya bisa melihat bayangan yang dipantulkan oleh cahaya api di belakang mereka ke dinding gua di hadapan mereka. Bagi mereka, bayangan-bayangan itulah satu-satunya kenyataan yang mereka kenal. Suatu hari, salah satu dari mereka berhasil melepaskan diri dan keluar dari gua. Ia melihat dunia nyata untuk pertama kalinya: matahari yang menyilaukan, warna-warna yang memukau, bentuk-bentuk asli dari segala sesuatu. Awalnya ia merasa sakit, silau, dan tidak percaya pada apa yang ia lihat. Namun, perlahan-lahan, ia menyadari bahwa apa yang dulu ia anggap nyata di dalam gua hanyalah ilusi semata. Ketika ia kembali ke gua untuk menceritakan pengalamannya, orang-orang di dalam tidak percaya, bahkan marah, dan bisa saja berusaha membunuhnya karena menganggapnya gila atau mengancam kenyataan mereka.
Alegori ini bukan hanya cerita dongeng. Ini adalah potret tajam tentang masyarakat yang hidup dalam kebodohan dan tentang seorang filsuf atau pemimpin bijak yang mencoba membebaskan mereka. Tetapi pembebasan tidak selalu disambut dengan sukacita, karena kegelapan seringkali terasa lebih nyaman daripada cahaya kebenaran yang menyakitkan. Bagi Plato, sebuah negara tidak bisa dibangun di atas kebohongan, tidak bisa dibangun di atas kebodohan massal. Dan pemimpin tidak boleh berasal dari orang yang hanya populer tetapi buta pada cahaya kebenaran. Negara ideal hanya mungkin terwujud jika para pemimpinnya adalah orang-orang yang telah mengalami pencerahan batin, yang telah melihat "cahaya matahari" (kebenaran sejati), dan kemudian bersedia kembali ke dalam "gua" dunia politik untuk membimbing yang lain. Itulah sebabnya filsuf harus menjadi raja. Karena hanya mereka yang telah melihat cahaya kebenaran sejati yang layak menunjukkan jalan menuju keadilan dan kebaikan. Bagi Plato, semua bentuk penyimpangan politik—baik itu oligarki, timokrasi, atau bahkan tirani—adalah gejala dari jiwa yang tidak seimbang atau kacau. Oligarki, misalnya, terjadi ketika hasrat akan kekayaan menguasai negara, menyingkirkan keadilan demi akumulasi harta. Demokrasi bisa rusak ketika nafsu dan keinginan rakyat dilepas liar tanpa kendali akal sehat, menyebabkan anarki dan kebingungan. Dan tirani lahir ketika satu orang menggunakan ketakutan dan kekerasan untuk mengambil alih segalanya, menindas kebebasan dan kebenaran. Semua penyimpangan ini, pada dasarnya, berakar pada ketidakseimbangan dalam jiwa manusia.
Plato ingin "menyembuhkan" negara. Tetapi ia tahu bahwa penyakit sesungguhnya bukan semata-mata pada sistem hukum atau struktur pemerintahan, melainkan pada manusia-manusia yang mengisinya. Maka ia menegaskan, "Negara tidak akan menjadi baik sebelum para pemimpinnya menjadi filsuf, atau para filsuf bersedia memimpin. Karena keadilan tidak bisa dipaksakan dari luar. Ia harus lahir dari dalam." Dari jiwa yang telah tertata, dari akal yang telah tercerahkan, dari hati yang mencintai kebenaran. Plato percaya bahwa tidak ada negara tanpa manusia, dan tidak akan ada politik yang adil jika jiwa manusia masih kacau. Maka, sebelum memperbaiki sistem, sebelum menyalahkan tatanan, ia mengajak kita semua untuk masuk ke dalam diri, merenungkan, dan mengukur kembali: apakah jiwa kita sendiri sudah sehat? Karena sebagaimana negara mencerminkan rakyatnya, politik pun hanya akan sebijak manusia-manusia yang mengisinya.
Bisakah seorang filsuf benar-benar memimpin sebuah negara? Atau apakah ide Plato tentang "raja filsuf" hanya sebuah utopia belaka, sebuah dongeng masa lalu yang terlalu ideal untuk dunia nyata yang penuh intrik dan kekuasaan? Di sinilah letak ketegangan besar dalam filsafat politik Plato. Di satu sisi, ia sangat sadar bahwa dunia dipenuhi oleh orang-orang biasa dengan ambisi yang kuat, nafsu yang tak terkendali, dan kepentingan pribadi yang egois. Namun disisi lain, ia tetap teguh percaya bahwa politik tanpa filsafat akan kehilangan arah dan makna. Oleh karena itu, pemimpin sejati bukanlah mereka yang paling kuat atau paling kaya, melainkan mereka yang paling bijak, yang paling tercerahkan oleh kebenaran. Plato mengatakannya dengan sangat jelas: "Hanya jika para filsuf menjadi raja, atau para raja menjadi filsuf, maka barulah dunia akan bebas dari penderitaan."
Tetapi jangan salah sangka, yang dimaksud Plato dengan "filsuf" bukanlah sekadar orang yang suka berpikir rumit, bicara aneh, atau mengutip kutipan latin. Filsuf dalam pandangan Plato adalah mereka yang mencintai kebenaran lebih dari sekadar kemenangan. Mereka yang hidup dalam kontemplasi mendalam, bukan dalam keramaian pencitraan atau sorotan popularitas. Mereka yang memimpin karena panggilan tugas dan rasa tanggung jawab, bukan karena ambisi pribadi. Mereka adalah individu yang telah mengenal bentuk-bentuk ideal seperti keadilan, kebaikan, dan kebenaran absolut, lalu berusaha keras untuk menerapkannya ke dalam tata negara. Dengan kata lain, filsuf adalah orang yang mampu melihat dunia sebagaimana mestinya, bukan sekadar sebagaimana adanya. Karena Plato percaya, pemimpin yang baik tidak bisa hanya pandai mengelola atau menjalankan sistem, tetapi harus tahu ke mana harus membawa negara menuju kebaikan.
Kita bisa menganalogikan seorang kapten kapal. Ia bukan cuma harus tahu cara mengendalikan layar dan membaca arah angin, tetapi ia juga harus tahu tujuan pelayaran yang sebenarnya. Seorang dokter bukan cuma tahu cara menggunakan alat medis, tetapi ia juga harus memiliki ilmu mendalam tentang tubuh manusia dan penyakit. Demikian pula seorang pemimpin, ia harus tahu apa itu keadilan dan bagaimana cara mencapainya. Dan pengetahuan mendalam semacam itu, menurut Plato, hanya bisa dimiliki oleh seorang filsuf yang mencari kebenaran. Ironisnya, di dunia nyata, filsuf jarang sekali berkuasa, dan yang berkuasa jarang sekali menjadi filsuf. Di dunia modern kita terbiasa dengan politik sebagai permainan strategi. Politisi profesional tidak lagi dianggap perlu memiliki kebijaksanaan filosofis. Yang penting mereka bisa mengelola anggaran, membangun koalisi, memenangkan pemilu. Padahal Plato ingin membalik logika itu. Bukan mereka yang paling lihai bicara yang layak memimpin, tapi mereka yang paling mengerti tujuan dari kekuasaan itu sendiri.
Meski terdengar idealis, sejarah memberi kita sedikit kilas cahaya tentang kemungkinan ini. Marcus Aurelius, Kaisar Romawi adalah seorang stoik sejati. Ia menulis Meditations, salah satu karya filsafat paling humanis sepanjang masa. Asoka, raja India kuno mengubah kerajaan penuh perang menjadi kerajaan damai setelah merenungi nilai-nilai Buddhisme. Bahkan di dunia Islam, kita punya Al-Farabi yang mencoba menyatukan filsafat Plato dengan kenabian dan menggambarkan pemimpin sebagai imam filsuf, pemegang wahyu sekaligus pencinta hikmah. Jadi, meski sulit, ide Plato bukan mustahil. Yang hilang dari zaman ini mungkin bukan filsuf yang mau memimpin, tapi kehendak dari masyarakat untuk memilih pemimpin yang bijak alih-alih hanya yang populer.
Di era pasca-kebenaran (post-truth), ketika politik berubah jadi kompetisi hoaks, buzzer, dan algoritma, ketika debat publik diisi dengan kebencian dan suara terbanyak tidak selalu berarti suara terbaik, di sinilah Plato jadi relevan kembali. Ia mengingatkan bahwa demokrasi jika tak dijaga dengan kebijaksanaan akan melahirkan Tirani. Bukan dari luar, tapi dari dalam. Dari rakyat sendiri yang lelah, kecewa, lalu menyerahkan segalanya pada satu orang kuat. Dan ketika satu orang naik, ia akan membungkam semua. Itulah Tirani. Bentuk pemerintahan yang muncul di ujung demokrasi yang tak terkendali.
Banyak yang menuduh Plato sebagai musuh demokrasi. Tapi sesungguhnya Plato bukan membenci demokrasi. Ia hanya tak percaya pada keputusan politik yang lahir dari ketidaktahuan. Bagi Plato, satu suara sama dengan satu suara hanya adil jika semua orang paham apa yang mereka pilih. Kalau tidak, suara rakyat bisa jadi alat untuk membunuh dirinya sendiri. Ingat, Socrates gurunya dihukum mati oleh sistem demokrasi. Rakyat Athena yang merdeka justru memilih untuk membunuh orang paling bijak di kotanya. Itulah luka Plato. Dan dari luka itulah lahir gagasan tentang pemimpin yang terdidik secara filosofis.
Plato tahu kita tak bisa berharap semua pemimpin adalah filsuf. Tapi kita bisa berharap masyarakat punya kemampuan filosofis dasar untuk membedakan mana kebaikan, mana ilusi, mana pemimpin sejati, mana pedagang suara. Dan itu hanya bisa terjadi kalau kita kembali menjadikan pendidikan sebagai pondasi politik. Bukan pendidikan teknis semata, tapi pendidikan jiwa. Pendidikan yang mengajarkan berpikir jernih, berpikir kritis, berpikir benar. Tanpa itu semua, rakyat hanya akan jadi objek dan politik hanya akan jadi panggung para aktor, bukan jalan menuju keadilan. Plato tahu filsuf mungkin tak akan pernah memimpin dunia, tapi dunia akan selalu butuh pemimpin yang bisa berpikir seperti filsuf, yang tidak hanya tahu cara memerintah, tapi tahu mengapa ia memerintah. Dan itu tidak hanya soal kekuasaan, tapi soal moralitas, soal visi, dan tentang jiwa. Karena kalau kita tak memilih pemimpin yang mencintai kebijaksanaan, maka kita akan dipimpin oleh mereka yang mencintai diri mereka sendiri. Dan saat itu terjadi, negara bukan lagi rumah bagi kebaikan, tapi penjara bagi nurani kita semua.
Plato telah tiada lebih dari 2000 tahun yang lalu. Tapi dunia yang ia gambarkan dalam Republik terasa sangat dekat. Negara yang dipimpin oleh orang-orang salah, masyarakat yang hanya mengejar kebebasan tanpa kebijaksanaan, dan pemimpin yang lebih tertarik dipuja daripada dipandu oleh kebenaran. Jika Plato melihat Indonesia hari ini, mungkin ia akan mengangguk pelan. "Sudah kukatakan."
Plato tidak perlu diikuti secara buta, tetapi ia perlu didengarkan. Negeri ini tidak membutuhkan satu filsuf tunggal, tetapi membutuhkan ribuan jiwa yang mau berpikir seperti filsuf. Jujur melihat kenyataan, berani menolak ilusi, mampu mencintai kebaikan, bukan hanya kemenangan. Karena selama rakyat masih bisa berpikir, maka negeri ini belum kalah. Plato tidak akan mencalonkan diri. Ia tidak akan mendirikan partai. Ia bahkan mungkin akan dibungkam seperti gurunya dulu. Tetapi gagasannya akan tetap hidup selama masih ada satu orang yang bertanya: Apa itu keadilan? Apa makna kekuasaan? Untuk siapa negara ini dibangun? Maka Plato tidak akan pernah mati, dan negeri ini masih punya harapan. Zlamitan
Jakarta, 24 Mei 2021 Konten ini tersedia juga dalam format video di channel YouTube: Podcast Pengantar Tidur

Komentar
Posting Komentar