Bab 1: Pengantar Dua Pemikir Revolusioner
Kita sering berpikir siapa sebenarnya orang paling jenius yang pernah ada dalam sepanjang sejarah manusia. Biasanya kita akan memikirkan Einstein, Tesla, Newton, Da Vinci, atau Kan Darwin, Nietzsche, bahkan Shakespeare. Mereka adalah orang-orang jenius yang memang merevolusi dunia seutuhnya. Namun, tanpa dua orang ini, mereka semua bukanlah apa-apa. Setiap kali kita berpikir, bertanya, dan menggunakan akal kita untuk melihat dunia, ketika kita bertanya apa arti hidup, bagaimana kita tahu benar dan salah, atau haruskah kita percaya pada apa yang kita lihat, bahkan sesederhana, apakah lebih baik menjadi idealis atau realistis, secara tidak sadar, kita sedang menggunakan cara berpikir dari dua pemikiran yang telah membentuk dunia selama ribuan tahun.
Mereka adalah Plato dan Aristoteles. Plato, jika dikategorikan dengan kategori modern, adalah seorang filsuf, matematikawan, teolog, ahli metafisika, epistemolog, etikawan, teoretikus politik, pendidik, kritikus seni, pendiri akademi pertama, sekaligus visioner yang membentuk dasar pemikiran dunia, setidaknya dunia Barat. Muridnya, Aristoteles, adalah seorang filsuf, biolog, dokter, ahli perang, fisikawan, metafisikawan, neurosains, logikawan, meteorolog, etikawan, ahli politik, ahli komunikasi, dan seorang guru yang hebat.
Saking hebatnya mereka, bahkan dikatakan bahwa seluruh tradisi filsafat Barat hanyalah catatan kaki dari Plato yang menunjukkan seberapa besar pengaruhnya dalam percobaan mencari kebenaran ini. Begitu juga Aristoteles, ia dinamakan 'to Aristontelos' yang berarti tujuan terbaik. Karena tanpanya, mungkin seluruh sains dan politik modern saat ini tidak akan berdiri seperti sekarang. Namun, inilah tragedinya: dua pemikir besar dalam sejarah manusia yang seharusnya berdiri berdampingan sebagai pilar kebijaksanaan justru terpisah oleh jurang pemikiran yang tak terjembatani.
Plato, sang idealis, meyakini bahwa dunia ini hanyalah bayangan samar dari realitas sejati, dunia ide yang sempurna. Sebaliknya, Aristoteles, sang realis, menolak ilusi tersebut. Menurutnya, dunia yang kita lihat adalah satu-satunya dunia nyata dan tidak ada dunia lain di luar sana. Dari perbedaan ini, lahirlah perpecahan yang merambat ke setiap aspek pemikiran manusia: bagaimana cara mencari kebenaran, bagaimana cara mencari mana yang baik dan jahat, bagaimana cara melakukan tindakan yang baik, dan bahkan sampai bagaimana bentuk pemerintahan yang baik.
Hal ini memberikan kita kebingungan yang mengerikan: siapa dari mereka yang benar? Siapa dari mereka yang salah? Dan siapa yang seharusnya kita ikuti? Inilah yang membawa kita untuk menjelajahi perbedaan mereka secara mendalam, mencari tahu siapa dari mereka sebenarnya yang paling benar jika ada. Ini adalah pertarungan intelektual terbesar dalam sejarah pemikiran manusia: Plato versus Aristoteles.
Bab 2: Jejak Awal Plato dan Pengaruh Socrates
Semuanya dimulai ketika Athena dan demokrasinya, yang merasa bangga karena berbeda dan lebih hebat dari bangsa lain, terutama setelah menang melawan Persia yang membuat mereka penuh dengan kekayaan dan kesenangan. Rasa angkuh mereka membunuh manusia terbaik di zamannya: Socrates, guru dari Plato, dipaksa untuk meminum Hemlock karena dituduh telah merusak anak muda di Athena.
Ketika kami melihatnya, Socrates minum dan menghabiskannya, kami tidak dapat menahannya lagi. Setidaknya dalam kasus saya, air mata mengalir deras tanpa bisa saya cegah sehingga saya menutupi kepala saya dan menangis. Bukan untuknya, pahamilah, tetapi untuk nasib saya sendiri, karena saya telah kehilangan seorang sahabat seperti dia. Sudah menjadi fakta sejarah bahwa sesuatu yang besar selalu memerlukan pengorbanan.
Kematian Socrates menjadi martir yang memukul kegelapan Athena, karena yang mereka tidak sadari adalah murid-muridnya, terutama yang paling besar, Plato, merasa sangat sedih atas kebodohan ini. Hal ini membuatnya bersumpah untuk meneruskan mimpi dan semangat Socrates, membimbing manusia menuju kebenaran yang sebenarnya.
Plato sebenarnya bukan nama aslinya; itu adalah panggilan yang disebut kepadanya karena selalu menang dalam pergulatan klasik di Athena dulu, di mana 'Plato' berarti lebar karena lebarnya pundak yang dia miliki. Nama aslinya sebenarnya adalah Aristokles, yang diperkirakan lahir sekitar 428 atau 427 sebelum Masehi, dan dia merupakan anak keluarga terpandang di Athena.
Di waktu kecil, sama seperti anak dari keluarga kaya lainnya, dia sebenarnya ingin memiliki karier politik di Athena. Bahkan sempat ditawarkan bergabung ke arena politik oleh beberapa sahabatnya dari 30 tiran. Namun, semuanya berubah ketika politik itu sendiri yang membunuh gurunya, guru yang membuatnya rela meninggalkan kehidupannya dan mengabdi kepadanya.
Kondisi politik Athena bukan hanya penuh dengan kebanggaan dan kesenangan yang mengerikan, tapi juga penuh dengan relativisme. Di mana kebenaran bukanlah sesuatu yang pasti, tapi bisa dimainkan seenaknya oleh mereka yang memiliki kemampuan itu; mereka adalah para sofis dengan retorika mereka. Para politikus belajar dari para sofis ini untuk mendapatkan pengaruh dan menciptakan kebenaran mereka sendiri untuk diikuti oleh rakyat yang hanya mengikut.
Dari mereka, Anitus, Meletus, dan Likon, pelaku politik, menggunakan pidato-pidato emosional taktik para sofis untuk menuduh Socrates dan membuatnya jatuh dalam hukumannya. Dari semua ketidakpastian ini, di mana semuanya bergantung dengan adat istiadat yang tidak bisa diuji dan bahkan dilarang untuk diuji , di umurnya yang sekitar 29 tahun, dengan rasa sedih dan amarah yang mendalam ini, Plato pergi mengelilingi dunia untuk belajar dengan satu tujuan, sebagaimana yang dipercaya Socrates, bahwa pasti ada kebenaran universal.
Kebenaran yang bisa membimbing dan menghangatkan semua manusia. "Saya akan lebih takut mengkhianati perintah Ilahi daripada takut mati". "Sebab, wahai orang Athena, saya lebih memilih mati daripada hidup tanpa kebijaksanaan dan pencarian kebenaran". Tepat segera setelah kematian Socrates, Plato dan beberapa murid Socrates lainnya pergi ke Megara, antara Athena dan Korintus, tempat murid Socrates lainnya, Euclides, mendirikan sekolah filsafat, di mana Plato menetap sebentar sebelum melakukan perjalanan pertamanya yang dilakukan ke Italia dan Sisilia.
Bab 3: Perjalanan dan Pembentukan Pemikiran Plato
"Dengan pemikiran-pemikiran ini dalam benak saya, saya melakukan perjalanan pertama saya ke Italia dan Sisilia". Kesan pertama saya setelah tiba di sana adalah ketidaksetujuan saya terhadap cara hidup yang di sana dianggap sebagai sesuatu yang baik dan membahagiakan. Mereka memenuhi diri mereka sendiri dengan dua jamuan dalam sehari. Hidup di antara pemimpin dan teman-teman tidak pernah tanpa penari, pemusik, dan segala macam hiburan semacam itu, mereka tidak dapat hidup tanpa gaya hidup ini.
Plato melihat bahwa hal-hal duniawi ini tidaklah menuntun manusia terhadap kebajikan, tapi malah justru malas-malasan, hedonisme, dan materialisme yang tidak berguna. Namun, di tempat yang menurutnya aneh ini, dia bertemu dengan pengikut Pythagorean yang pada waktu itu mulai aktif lagi di Italia Selatan di bawah pimpinan Arkitas, seorang tiran dan filsuf di Tarentum, dikarenakan Pythagoras sangat berpengaruh di bagian Yunani Barat ini.
Dari para pengikut Pitagoras inilah dia mulai belajar banyak hal berharga. Di antaranya yang pertama, segala sesuatu dalam alam semesta dapat dijadikan dengan harmoni dalam bentuk angka yang membuat matematika penting dalam pendidikan filsuf. Yang kedua, dunia fisik merupakan refleksi dari struktur ide yang lebih dalam, bayangan dari dunia ideal yang lebih sempurna. Yang ketiga, metempsikosis atau reinkarnasi, di mana jiwa berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain setelah kematian. Plato belajar bahwa jiwa bersifat abadi dan terus ada setelah kematian tubuh.
Dan keempat, dia belajar bagaimana struktur komunitas memberikan keharmonisan dalam pencapaian kebenaran langit dan bumi, serta para dewa dan manusia terikat bersama oleh komunitas, persahabatan, ketertiban, pengendalian diri, dan keadilan yang menjadikan dunia sebagai kosmos. Sebelumnya, Plato pernah mendengar mengenai Parmenides, yang darinya ia belajar mengenai kebenaran universal yang tak lekang oleh waktu. Dikarenakan apa yang kita persepsikan dengan indra kita sebenarnya hanyalah ilusi. Apa yang kita lihat, dengar, atau rasakan tidak selalu menunjukkan kebenaran.
Mata kita melihat matahari bergerak melintasi langit, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah bumi yang bergerak, dan mungkin saja ini pun bukan yang sebenarnya. Dunia fisik, seperti yang ia pahami dari Heraklitus, selalu berubah. Dunia yang kita lihat tidaklah pernah tetap. Ada banyak jenis keadilan, ada banyak jenis kebenaran, ada banyak jenis pertentangan. Tidak ada terang tanpa gelap, tidak ada panas tanpa dingin, dan yang lainnya. Dari semua ini, Plato sadar bahwa harus ada yang tetap untuk bisa menentukan semua hal di atasnya.
Jadi, ini meyakinkan Plato bahwa pasti ada dunia yang lebih sejati, dunia yang sempurna yang berada di luar dunia fisik kita. Menurutnya, pasti ada kebenaran universal, kebenaran yang tetap dan abadi, dan dia berada di dunia ideal. Plato juga dikabarkan, meskipun memiliki sumber spekulatif, pergi melakukan perjalanan ke Mesir dan juga Libya, di mana di sana terkenal dengan kemajuan matematika dan geometri dalam memahami dunia.
Di sana juga ada konsep Maat yang berarti ketertiban, harmoni, dan keadilan yang mengatur alam semesta dan kehidupan manusia. Selain itu, dia juga kemungkinan belajar banyak mengenai politik, tatanan sosial, dan bahkan mistisisme. Setelah perjalanan panjangnya ini, Plato kemudian kembali ke Athena, namun sekarang tidak dengan tangan kosong. Dengan pelajaran yang dia dapatkan dari perjalanannya, dia mendirikan sekolah pertama atau setidaknya yang paling terkenal, yaitu Akademia.
Karena berada dekat kuil pahlawan Yunani, Akademus, Akademia menjadi wadah bagi Plato, sahabat, dan murid-muridnya untuk mencapai kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang absolut, kebenaran yang universal, tempat di mana mereka akan melakukan penyelidikan filosofis yang diajari oleh Socrates. Di sana juga dia akan mengabdikan dirinya untuk pendidikan dalam pengajaran kepada anak muda calon pemimpin polis-polis Yunani dengan tujuan membangun negara di mana orang seperti gurunya Socrates dapat hidup.
Bab 4: Akademia dan Kedatangan Aristoteles
Dan negara yang tidak menghakimi Socrates dengan sewenang-wenang. Dengan itu, Akademia pun terbangun, dan di sekolah ciptaannya inilah Aristoteles, muridnya yang paling jenius, muncul. Pada usia 17 tahun, tepatnya tahun 367 sebelum Masehi, Aristoteles memulai petualangan paling penting dalam kehidupannya di Athena. Keputusan itu dilatarbelakangi oleh kematian ayahnya, Nikomakus, yang mengharuskan Aristoteles mencari arah baru dalam hidupnya.
Ayahnya bukan berasal dari bangsawan darah biru; dia hanya seorang dokter yang hebat, dan Aristoteles tidak punya apa-apa lagi di Makedonia setelah ayahnya wafat. Dan akhirnya Aristoteles muda memilih mengikuti jejak para pencari kebenaran sebelum dirinya menempuh perjalanan ke Athena, dimana Aristoteles memilih sekolah paling prestisius kala itu, yaitu Akademia. Sedari kecil Aristoteles memang sudah sangat mengidolakan Plato. Dia menghabiskan masa kecilnya untuk membaca semua risalah yang ditulis oleh Plato.
Bagaimana tidak, nama Plato memang sudah terdengar di mana-mana. Dia adalah filsuf paling berpengaruh di Asia Kecil. Popularitas Plato tercermin dari banyaknya murid yang berdatangan dari berbagai wilayah Yunani dan Asia Kecil, Milus, Efesus, hingga Makedonia, tempat asal Aristoteles, ke Akademia. Bahkan Plato dijuluki Theos Aner atau "orang suci" oleh orang-orang Athena. Jadi tak heran kenapa raja Denasus kedua dari Sirakusa mengakui bahwa Plato sesungguhnya jauh lebih berkuasa daripada raja manapun.
Kekuasaan itu diraih bukan karena Plato memiliki ribuan tentara Spartan atau karena dihormati oleh para bangsawan karismatik Athena. Tetapi dikarenakan dia memiliki kemampuan yang sangat langka: mengendalikan pikiran kolektif karena kejeniusannya, dan bahkan dikatakan dia bisa saja mengubah seluruh struktur masyarakat Athena kalau dia mau. Saat Nausigenas menjabat sebagai penguasa, tepatnya tahun 367 sebelum Masehi, Aristoteles pertama kali menginjakkan kaki di gimnasium paling megah di Athena yang di depan pintu gerbangnya tertulis, "Jangan biarkan siapapun yang tidak memahami geometri masuk".
Di tempat yang menjadi pusat perdebatan para filsuf inilah dia akhirnya bertemu langsung dengan Plato, orang yang selama hidupnya hanya dia kagumi lewat tulisan-tulisannya. Perasaan kagum, cinta, dan iri muncul dalam diri Aristoteles muda saat di Akademia, mendorongnya untuk mencapai tingkat intelektualitas yang setidaknya menyamai kecerdasan luar biasa Plato, yang membuatnya rela menghabiskan 20 tahun hidupnya sebagai murid Plato.
Dia mengais, mendapatkan, menimba pengetahuan, dan mengembara. Semuanya dilakukan demi mencari kebenaran yang paling benar yang tak bisa digoyahkan oleh apapun. Sebab bagi Aristoteles, apa gunanya hidup tanpa pengetahuan? Plato sendiri mengajarkannya, "jika aku kembali mengatakan bahwa hal ini adalah kebaikan tertinggi bagi manusia, yakni berbicara tentang kebajikan setiap hari serta membahas hal-hal lain yang kalian dengar dariku saat aku berdialog, menguji diriku sendiri dan orang lain, dan bahwa hidup yang tidak diperiksa tidak layak untuk dijalani".
Aristoteles bahkan menghiraukan pentingnya Paideia, gelar yang sangat bergengsi pada masa itu. Berbeda dengan para filsuf besar lainnya seperti Epicurus dan Pyro yang menghabiskan 10 tahun khusus untuk mendapatkan gelar yang meresmikan status mereka sebagai filsuf, Aristoteles lebih mementingkan esensi dari pengetahuan itu sendiri. "Tidak ada yang lebih penting dari pencarian akan kebenaran. Apalagi hanya sekedar gelar, hanya sebatas pengakuan murahan di atas kertas".
"Setiap seni, teknik, dan setiap penyelidikan, methodos, begitu juga setiap tindakan, praksis, dan pilihan proairetic tampaknya mengarah pada suatu kebaikan". "Maka dengan benar dikatakan bahwa kebaikan adalah tujuan yang dikejar oleh segala sesuatu". Dari Akademia dan demi pengetahuan yang abadi, Aristoteles, seperti yang dikisahkan Laertius, mendedikasikan seluruh masa mudanya, bahkan seluruh jiwanya, kepada pengetahuan dan Plato sebagai gurunya.
Dia tidak ingin hanya sekedar menjadi murid biasa seperti bangsawan lainnya, tapi dia ingin menjadi diaen, seorang pengabdi yang idealnya meniru gurunya. Saat Aristoteles di Athena, kota itu sedang mengalami gejolak politik yang sangat mengerikan. Athena sedang menghadapi ancaman keruntuhan. Setelah kekalahan dalam perang Pulau Ponosia melawan Sparta, Athena kehilangan banyak wilayah kekuasaan dan pengaruhnya memudar di mana-mana.
Aliansi Delian yang pernah dipimpin Athena bubar, armada lautnya hancur, dan tembok-tembok pertahanan kotanya diruntuhkan. Di tengah situasi kacau ini, para pemimpin Athena berusaha keras memulihkan kejayaan kota mereka, terutama dengan mencoba menguasai kembali jalur perdagangan strategis di laut Aegea. Tapi Aristoteles justru meyakini bahwa kebangkitan Athena tidak akan terwujud melalui peperangan atau balas dendam politik.
Menurutnya, jiwa sejati Athena justru bersumber dari warisan intelektualnya yang luar biasa. "Tidak ada jalan lain selain membangun kembali kejayaan Athena dengan mengembangkan sistem pencarian pengetahuan". Karena kekuatan militer dan dominasi politik hanyalah kekuatan semu yang rapuh, yang selalu menghancurkan ketimbang membangun. Jadi, meskipun Aristoteles telah menyaksikan kekuatan militer Athena yang coba dibangkitkan kembali dengan adanya Ladelos atau aliansi perang Athena, dia justru memiliki pandangan yang sangat kritis terhadap peperangan.
"Sebab tidak ada yang memilih perang demi perang itu sendiri atau mempersiapkannya demi persiapan belaka". "Karena seseorang akan menjadi yang paling kejam dari semuanya jika ia mengubah teman-temannya menjadi musuh agar pertempuran dan pembunuhan dapat terjadi". Aristoteles meyakini bahwa perang hanyalah cara terakhir yang bisa ditempuh setelah segala upaya diplomasi gagal.
Menurutnya, negara yang hanya terobsesi dengan kekuatan militer serta perjuangannya yang mengerikan justru menunjukkan kelemahan sistem politiknya. Dari inilah Aristoteles menulis karya pertamanya, Protreptikus, yang berarti "nasihat". Dia menulis Protreptikus saat usianya menginjak 20 tahun, di mana Aristoteles menyerukan ajakan kepada masyarakat untuk mengejar pengetahuan dan kebijaksanaan melalui berfilsafat.
Karena pengetahuan adalah kekuatan (Scientia Potentia Est). "Jika memang harus berfilsafat maka berfilsafat lah. Tetapi jika tidak harus berfilsafat maka tetaplah berfilsafat, sebab bahkan mengatakan hal itu sendiri adalah bagian dari filsafat". Dari Plato, Aristoteles memperoleh pemahaman filosofis yang fundamental dan kokoh.
Hidup tanpa pengetahuan bukan hanya bertentangan dengan kodrat manusia, tetapi juga merupakan kejahatan karena membiarkan kekosongan menggerogoti fakultas kemanusiaan. "Sungguh menyedihkan ketika kita manusia yang dikaruniai akal di tengah alam semesta yang tak beraturan tanpa rasa keingintahuan". Bagi Aristoteles, hanya melalui akal manusia dapat memaksimalkan seluruh potensinya.
Akal adalah satu-satunya yang kita miliki. Dengannya, kita dapat mencapai kebijaksanaan dalam setiap keputusan yang kita ambil. Hanya dengan akal-lah manusia mampu membangun benteng-benteng megah, menegakkan moral yang luhur, hingga memahami misteri bintang-bintang di langit. Akademia menjadi saksi pertemuan bersejarah antara dua pemikir terhebat pada masa klasik, Plato dan Aristoteles.
Mereka benar-benar membangun warisan intelektual yang sangat hebat sampai-sampai memengaruhi kehidupan kita hingga saat ini. Tapi keakraban keduanya tidak berlangsung selamanya; akhirnya Aristoteles membangkang. Aneh memang, bagaimana mungkin seorang murid yang begitu mengagumi gurunya, bahkan sampai menghabiskan 20 tahun hidupnya hanya untuk belajar, akhirnya melakukan pembangkangan.
Tapi Aristoteles melakukan itu bukan tanpa alasan. Banyak peristiwa yang terjadi di Athena yang akhirnya meyakinkan Aristoteles untuk membangun filsafat yang lebih baik daripada Plato. Dan dari pembangkangan inilah Aristoteles tidak hanya dikenal sebagai murid Plato, tapi dia menjadi dirinya sendiri sebagai pelopor sains, pelopor logika, dan ilmuwan yang paling berpengaruh bagi dunia kita.
Dia dikatakan menulis lebih dari 500 risalah, membangun seluruh fondasi pengetahuan yang kita gunakan sampai sekarang. Jadi, bagaimana pertarungan mereka sebenarnya?
Bab 5: Negara Ideal Plato: Republik dan Filosof Raja
Sebagai respons terhadap Socrates, Plato melihat bahwa etika, atau apa itu tindakan yang baik dan yang salah, adalah hal yang salah sebelumnya dan harus diperbaiki. Dia menjustifikasi ini dengan mengatakan bahwa jiwa negara adalah jiwa individunya sendiri.
Dan untuk bisa menyelesaikan permasalahan dalam negara, permasalahan dalam jiwa individu haruslah diselesaikan terlebih dahulu. Dalam Republik, yang pertama kali diperdebatkan adalah mengenai keadilan. Di mana definisi keadilan berbeda-beda. Mulai dari Kefalus yang mengatakan dengan berkata jujur dan membayar utang, yang dibantah.
Karena kalau misalnya terjadi mengembalikan senjata kepada orang gila, itu bukanlah tindakan yang adil. Polemarchus yang mengatakan membantu teman dan merugikan musuh, dibantah, karena bagaimana jika teman kita justru yang jahat? Apakah merugikan musuh benar-benar adil juga? Thrasymachus yang mengatakan kepentingan yang menguntungkan penguasa.
Dan ini juga dibantah karena seharusnya penguasa sejati mengabdi kepada rakyat bukan keuntungan diri sendiri. Namun, Plato dalam suara Socrates menolak semua itu dikarenakan semuanya bersifat eksternal dan kontekstual, di mana semuanya tergantung pada situasi atau kondisi tertentu, tidak benar-benar tetap dan universal. Menurutnya, keadilan dari seseorang tidak bisa diukur dengan semua ini, tapi harus dengan sesuatu yang lebih internal dan mendasar.
Dengan itu, dia menawarkan alegori pertamanya, Cincin Gyges. Plato bercerita, di bawah pemerintahan Ardis, Raja Lydia, ada seorang gembala yang menemukan cincin di tangan mayat. Ini adalah cincin Gyges. Ketika dia menggunakannya, semua orang di sekitarnya tidak bisa lagi melihatnya; penggembala itu menjadi tidak terlihat.
Dia mencobanya lagi dan lagi, tapi tetap sama; dia bisa menghilang dengan menggunakan cincin itu. Dengan itu, dia dengan cerdik mengatur agar menjadi salah satu utusan raja, merayu ratu, bersekongkol dengannya, dan dengan bantuan orang lain, ia membunuh raja dan merebut takhta untuk dirinya sendiri. Jadi, jelaslah bahwa tidak ada hal lain di dalam negara yang mencegah baik orang yang saleh maupun yang tidak bermoral untuk mencoba bertindak adil atau tidak adil, kecuali kurangnya kekuasaan.
Tetapi jika mereka memperoleh kekuatan semacam itu, mereka semua akan bertindak dengan cara yang sama. Cincin ini menjadi benda reflektif yang sangat bagus karena menjadi simbol kekuasaan itu sendiri, yakni bisa melakukan semua hal tanpa konsekuensi sosial apapun. Dan manusia yang adil menurut Plato adalah mereka yang tetap melakukan tindakan adil, ada ataupun tidak ada konsekuensi sosialnya. Harusnya yang adil adalah mereka yang tidak menginginkan pujian atau keuntungan dari keadilannya. Orang yang adil menurut Plato akan rela tampak seperti orang tidak adil, dianiaya, dihina, bahkan dibunuh karena dianggap penjahat meskipun dia sebenarnya benar. Dan orang yang tidak adil menurutnya adalah mereka yang menipu, memanipulasi, dan mengendalikan masyarakat tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pelakunya.
Namun, Adeimantus tetap berpikir, bahkan dalam dunia dan surga, manusia dan para dewa hanya memberikan imbalan pada mereka yang tidak adil, bukan pada mereka yang adil ini. Jadi ini membuat mereka dan kita bertanya, kenapa juga seseorang harus memilih keadilan murni? Plato, dalam suara Socrates, menjawab bahwa keadilan, sama seperti kebaikan yang lainnya, berharga pada dirinya sendiri.
Dia mengatakan bahwa kebaikan yang didapatkan hanya dari manfaatnya itu lebih rendah daripada kebaikan yang didapatkan demi dirinya sendiri. Karena orang yang terus-menerus mencari manfaat dari sesuatu mungkin terlihat bahagia karena kekayaan atau kekuasaannya, tapi dalam tingkat yang lebih dalam, mereka hidup dalam konflik batin. Sedangkan kebaikan yang selaras dengan hakikatnya sendiri menghasilkan kebahagiaan yang sejati dan bukan hanya kesenangan sesaat.
Dan juga kalau cuma melihat dari skala individu, mungkin dia terlihat lebih sejahtera. Tapi negara yang memiliki manusia-manusia seperti itu semuanya jelas bukan negara yang sejahtera. Dan dari sinilah Plato mengembangkan negara idealnya, sebuah republik.
Politeia atau Republik menjelaskan bagaimana negara, pemerintah, dan warga negara bekerja sama dengan mencapai kesejahteraan dan keadilan yang sesungguhnya. Di mana kebaikan dan kesejahteraan didapatkan dari dirinya sendiri, bukan dari hal-hal eksternal. Karena dia melihat kehancuran dari demokrasi Athena adalah karena semua orang, baik para politikus dan para pengajarnya, para sofis, hanya fokus ke hal-hal eksternal ini, bukan hal pada dirinya sendiri. Dengan menjelaskan bahwa etika dan negara itu sama untuk menjelaskan bagaimana konflik batin dari dalam diri tidak terjadi juga dalam negara.
Ia pertama mengidentifikasi bahwa ada setidaknya tiga jenis jiwa dominan manusia, yaitu nafsu yang dikuasai kesenangan dan keserakahan. Yang kedua, semangat yang dikuasai oleh agresi, kemarahan, dan kekuasaan. Dan ketiga, akal yang dikuasai oleh kebijaksanaan. Dengan itu, dia membagi ketiga jiwa ini dalam kaitannya dengan tiga posisi sosial.
Akal atau logos dengan para filsuf dan penguasa dalam negara, semangat atau thymos kepada para prajurit dan penjaga negara, dan nafsu atau epithumia dengan para pekerja dan para produsen negara. Dan agar suatu negara tidak mengalami konflik batin dan berada pada harmoni, menurutnya akal harus memerintah, semangat harus mendukung akal, dan nafsu harus dikendalikan.
Di dalam negara, ketika masing-masing bagian ini – akal, semangat, dan nafsu – melakukan tugasnya sendiri dan tidak mencampuri urusan yang lain, kita harus mengakui bahwa ini adalah keadilan, dan negara itu adil ketika tiga unsur alami ini berada dalam harmoni, baik dalam diri, negara, maupun setiap individu di dalamnya. Menurutnya, untuk setiap individu mau melakukan ini dengan bagus adalah dengan memberikan semacam "kebohongan mulia" yang bermanfaat bagi stabilitas sosial.
Dia paham bahwa setidaknya ketiga jiwa manusia ada di dalam setiap diri manusia. Namun dia ingin memberitahu mitos mulia bahwa setiap orang memiliki jiwa dominasinya sendiri di antara ketiga jiwa tersebut: akal, semangat, dan nafsu. Karena dengan ini, legitimasi struktur sosial akan ada, loyalitas juga akan terlahir, dan pendidikan bisa dilakukan lebih terspesialisasi dan berprogres dengan baik.
Contoh kecilnya, jika seorang petani harus membuat cangkulnya sendiri, menjahit bajunya sendiri, dan kegiatan lainnya, maka dia tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengurus tanah dan kebunnya. Dengan ini Plato menawarkan "Utopia Abadi", di mana dia merancang negara ideal yang dapat bertahan abadi dan dirancang dengan harapan untuk memecahkan permasalahan politik di semua bangsa.
Kemungkinan besar Plato pada masa itu pernah memiliki interaksi dengan penguasa Sparta dan mungkin pernah terpengaruh oleh pengalaman ini. Di mana ia terpengaruh oleh beberapa sistem militeristik Sparta untuk menciptakan negara yang lebih stabil dengan penetapan kebijaksanaan sebagai prinsip utama pemerintahan. Dia melihat bahwa pendidikan ketat dan terorganisir dari Sparta sangat bagus untuk diaplikasikan.
Namun, dengan fokus tidak hanya pada fisik, tapi juga kebijaksanaan dalam jiwa. Dia melihat juga bagaimana kontrol negara ke individu dalam menjaga stabilitas sangat kuat. Namun Plato merenggangkannya, bukan berdasarkan keturunan seperti Sparta, tapi berdasarkan kompetensi atau jenis jiwa dominan yang dimiliki oleh seseorang. Sistem kasta sosial absolut yang dimiliki Sparta juga menurutnya penting karena membuat orang fokus pada apa yang mereka bisa.
Namun dimodifikasi oleh Plato dengan mendasarkannya bukan pada kelahiran, tapi pada kemampuan dan kemauan dari seseorang untuk berpindah dalam mobilisasi sosial. Dengan dasar negara yang seperti itu, Plato menempatkan pendidikan sebagai dasar dari negara idealnya ini agar keadilan dapat diterapkan dalam skala besar. "Juga kataku, negara jika sekali dimulai dengan baik akan bergerak dengan kekuatan yang terus bertambah seperti roda yang berputar".
"Sebab asuhan dan pendidikan yang baik menanamkan konstitusi yang baik. Dan konstitusi yang baik ini, setelah berakar dalam pendidikan yang baik, akan semakin berkembang dan membaik". Peningkatan ini tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga keturunan manusia, sebagaimana hanya pada hewan lainnya. Plato percaya bahwa sifat dasar manusia bisa dibentuk melalui pendidikan yang benar.
Jadi, untuk menghasilkan karakter unggul, mereka tidak hanya diberikan pengetahuan, tapi juga membentuk jiwa yang sesuai dengan perannya nanti dalam negara dengan dua aspek utama. Yang pertama, pendidikan musik dan sastra untuk jiwa. Yang kedua, pendidikan gimnastik atau latihan fisik untuk tubuh. Dia melihat bahwa musik dan sastra sangat berpengaruh terhadap karakter seseorang.
Jadi, ia merasa bahwa perlu untuk negara melakukan pengontrolan ketat di sini untuk tidak memberikan pendidikan aneh kepada anak-anak, di mana dewa-dewa berperilaku buruk, yang akan membentuk karakter yang salah. Pendidikan dalam kata-kata membentuk jiwa, sedangkan gimnastik membentuk tubuh. "Mereka yang mendapatkan pendidikan dan asuhan terbaik akan menjadi lebih baik, dan mereka yang lebih baik akan melahirkan generasi yang lebih baik lagi".
Musik dan gimnastik masing-masing mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan saat ini. Musik berarti segala sesuatu yang ada dalam lingkup pemikiran, dan gimnasium berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan latihan fisik dan kebugaran. Musik hampir sama luasnya dengan apa yang kita sebut sebagai budaya saat ini. Dan senam atau gimnastik lebih luas dari apa yang kita sebut sebagai atletik hari ini.
Kesatuan dalam bentuk pengendalian diri dan harmoni dalam jiwa adalah salah satu yang diajarkan dalam pendidikan Plato. Dia juga menjelaskan bahwa keberanian moral dan fisik juga memungkinkan manusia untuk bertindak tanpa takut terhadap penderitaan atau bahkan kematian itu sendiri, dengan tujuan utama untuk mencapai kebijaksanaan dan keadilan sebagai bentuk tertinggi dari kebaikan.
"Bukankah wahai Glaukon, kegarangan ini berasal dari semangat? Sebab semangat jika dididik dengan benar akan menghasilkan keberanian". "Tetapi jika dibiarkan tumbuh tanpa kendali, akan menjadi keras dan sangat brutal". Semua jenis pendidikan ini harus dilakukan secara simultan, terus-menerus, dan seimbang agar bisa menciptakan individu yang mencerminkan jiwanya, yaitu dengan musik dan gimnasium.
Dan dengan semua ini diharapkan seseorang akan mampu mencapai perjalanan yang panjang yang akan menciptakan raja sejati, Philosopher King. Menurutnya, solusi politik dalam republiknya satu-satunya cuma ketika manusia bisa memahami keadilan, dan satu-satunya adalah dengan menjadi philosopher king atau filsuf raja. "Hingga filsuf menjadi raja atau raja menjadi filsuf, kota-kota dan umat manusia takkan terbebas dari kejahatan".
Hanya ketika filsuf menjadi raja atau raja menjadi filsuf, maka semua permasalahan dapat selesai. Mereka tidak mengejar kekuasaan, bebas dari kepentingan duniawi, dan berfokus pada pencapaian jiwa tertinggi, yaitu akal atau logos, untuk mencapai kebaikan tertinggi. Plato melanjutkan alegori keduanya. Dia menjelaskan perumpamaan gua untuk menjelaskan kenapa hanya filsuf yang mampu memimpin, yaitu dengan alegori gua.
"Saya mengatakan bahwa kita mirip dengan para tahanan dalam gua yang hidup di bawah tanah sejak lahir". Manusia dalam gua mengira bahwa bayangan adalah realitas karena itu satu-satunya yang mereka ketahui. Dan inilah yang dilambangkan sebagai dunia indrawi atau doxa, yaitu realitas palsu yang kita percayai sebagai kebenaran. Mereka tidak tahu bahwa ada dunia yang lebih luas di luar gua.
Salah satu dari mereka, manusia dalam gua ini, dibebaskan dan keluar dari gua. Pertama kali matanya sakit karena cahaya matahari. Kemudian ia mulai melihat benda-benda asli, bukan hanya bayangan. Dan pada akhirnya ia melihat matahari dan memahami bahwa inilah sumber cahaya dan kehidupan. Dan ketika dia kembali, dia ditolak oleh tahanan lain dan menganggapnya gila.
Mereka menolak percaya dunia luar lebih nyata daripada bayangan mereka. Dan mereka yang keluar dari gua inilah yang disebut Plato sebagai filsuf. Dan agar kesalahan-kesalahan dalam negara atau polis tidak lagi terjadi dan Socrates, gurunya, akan bisa hidup dan tidak diperlakukan secara semena-mena. Dengan begitu, politik sempurna akan tercapai yang disebut sebagai 'kali'.
Menurutnya, ada lima bentuk negara dan negara akan terus-menerus bergerak menjauh dari keadilan dan kebijaksanaan sejati. Mereka yang menggunakan model pemerintahan Plato adalah aristokrasi, di mana para filsuf raja adalah yang memimpin. Kemudian ketika kekuasaan beralih dipimpin oleh prajurit, pemerintahan berubah menjadi demokrasi, dan ketika turun lagi dipimpin oleh orang kaya, akan berubah menjadi oligarki.
Dan ketika kepemimpinan dipimpin oleh kebebasan, ketiganya tidak memimpin; ini adalah demokrasi. Dan ketika kebebasan sudah memberikan kekacauan, seorang penyelamat akan muncul dan akan diketahui bahwa dia adalah diktator. Dan pemerintahan akan berubah menjadi Tirani, bentuk paling buruk menurutnya. "Dan bukankah negara tiran dan manusia di dalamnya selalu diliputi ketakutan? Ya tentu".
"Dan adakah negara lain yang lebih penuh dengan ratapan, kesedihan, rintihan, dan penderitaan daripada tirani? Tentu tidak ada". Dan nantinya, tepat setelah Plato menghembuskan napas terakhirnya, ini terjadi. Aristoteles melihat semua ini.
Bab 6: Krisis Athena dan Pembangkangan Aristoteles
Setelah wafatnya Plato pada 348 sebelum Masehi, Athena mulai kehilangan pondasinya, sebagaimana dongeng tentang bangsa-bangsa di mana segalanya akan hancur pada akhirnya.
Sama seperti yang diramalkan oleh Plato juga dalam bentuk-bentuk politik, Makedonia di bawah Philip kedua memasuki Athena dengan taktis, dengan pertama kali mengambil alih Chersonese, wilayah paling penting bagi perekonomian Athena, dan menempatkan pendukungnya di berbagai posisi strategis di kota-kota sekitar Athena, secara perlahan menggerogoti pengaruh politik Athena. Dan dalam waktu singkat, kota yang dulunya menjadi pusat demokrasi dan kebudayaan Yunani terpaksa menyaksikan kemunduran terbesar dalam sejarahnya.
Dari hiruk pikuk ini, Aristoteles meninggalkan Athena sekaligus Akademia. Dia memilih untuk mencari lingkungan yang lebih sesuai dengan pemikirannya, meninggalkan rumahnya yang selama 20 tahun sudah menjadi hiposentrum kehidupannya. Dia pergi ke Assos di Asia Kecil atas undangan Hermias, penguasa Assos yang mendukung filsafat dan menjadikannya anak angkatnya dengan menikahkan keponakannya kepada Aristoteles.
Namun, mungkin karena pengaruh Aristoteles, Assos mengalami kebangkitan yang cukup besar, dan kebangkitan ini justru menarik perhatian dari Persia, yang merupakan kekaisaran yang cukup besar saat itu. Hermias ditangkap dan dieksekusi oleh Artaxerxes ketiga, penguasa besar Persia, dan membuat Aristoteles terpaksa meninggalkan kota itu. Dan sekitar tahun 343 sampai 342 sebelum Masehi, dia diundang oleh Raja Philip Kedua untuk menjadi pendidik putranya yang kelak akan menjadi salah satu raja terbesar dalam sejarah manusia; dia adalah Alexander Agung. Di tahun ini juga Aristoteles mulai mengembangkan pemikiran yang berbeda dengan gurunya.
Bab 7: Negara Ideal Aristoteles: Realisme Politik
Salah satu perbedaan mendasar terletak pada pandangan mereka tentang negara ideal. Dalam dunia impian Plato, setiap orang berkembang diatur oleh negara memang untuk mencapai potensinya di dalam pembagian kelas sosial yang berdasar pada kapasitas intelektual dan moral seseorang.
Namun, benarkah negara yang baik hanya dapat ditegakkan melalui kontrol total atas warganya di tangan aristokrat yang jahat? Sistem itu hanya akan menciptakan kengerian dan penindasan yang menyebar luas, bagaikan sebuah mesin raksasa yang bergerak tanpa menyisakan celah sedikitpun bagi kebebasan dan keadilan. Dari pengalaman Aristoteles menyaksikan pergolakan politik di Athena dan berbagai kota Yunani lainnya, dia meyakini bahwa teori politik harusnya dibangun berdasarkan observasi nyata terhadap bagaimana masyarakat dan pemerintahan bekerja, bukan hanya sesuatu yang diidealkan saja.
Negara ideal harus ditemukan melalui studi empiris terhadap berbagai bentuk pemerintahan yang ada dan pernah ada dalam seluruh sejarah manusia. Aristoteles selama masa hidupnya berupaya merumuskan negara terbaik yang menurutnya memang bukan berasal dari filsuf raja atau bangsawan semata, tapi negara yang baik harus dibangun bersama-sama oleh semua orang. Idenya dituangkan dalam karyanya Politika, di mana dia menganalisis berbagai bentuk pemerintahan berdasarkan pengamatan terhadap 158 konstitusi dari berbagai negara kota.
Jadi, Politica Aristoteles dengan tegas menolak gagasan Plato. Negara ciptaan Plato bisa saja menciptakan struktur kekuasaan yang terlalu terkonsentrasi yang bisa saja selalu bergantung pada sekelompok kecil pemimpin yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. "Pemerintahan yang dirancang oleh Socrates pun mengandung bahaya tertentu. Sebab ia menetapkan bahwa orang-orang yang sama akan selalu memerintah".
"Jika hal ini saja kerap menjadi sumber kegelisahan di antara mereka yang sederhana, betapa lebih besar gejolak yang akan lahir di antara mereka yang berjiwa besar dan ambisius". Dalam pandangan barunya, Aristoteles menolak konsep negara hanya sebagai eksperimen filosofis yang tidak mempertimbangkan realitas sosial. Walaupun ia sendiri tetap percaya bahwa ada perbedaan alamiah antara pemimpin dan yang dipimpin.
Sebaliknya, dia memimpikan bentuk negara yang berbeda: sebuah komunitas yang memungkinkan setiap warganya mencapai eudaimonia, kehidupan yang baik dan bermakna. Baginya, negara yang baik tidak membutuhkan aturan-aturan seketat yang dibayangkan oleh Plato. "Dalam Nomoi, Plato sedikit berbicara tentang konstitusi, tetapi banyak menghabiskan waktu pada hukum-hukum". "Aturan yang dibuat oleh penguasa yang tidak adil akan menindas masyarakat dan merusak tatanan politik". Aristoteles melihat manusia sebagai makhluk politik yang harus hidup dalam sistem yang seimbang antara kebebasan dan juga hukum. Negara yang baik adalah negara yang mengakomodasi kepentingan bersama, bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang.
Dalam pemerintahan yang ideal, kesejahteraan rakyat tidak boleh bergantung hanya pada keputusan individu tertentu, tetapi harus diatur oleh hukum yang adil. Aristoteles mulai berani mencari bentuk negara yang ideal dengan melepaskan dirinya dari doktrin politik Plato. Dia mungkin merasa jenuh dengan angan-angan Utopis sehingga dia mencari bentuk negara ideal yang benar-benar bisa diwujudkan oleh manusia.
Tapi ternyata setelah pencarian panjangnya, ada satu kepastian yang dia sadari bahwa tak ada satu sistem pun yang sempurna di sepanjang sejarah manusia. Yang ada hanya bangkit dan hancurnya negara-negara hebat, Minoa Mykenai yang hanya menyisakan mitos, hingga polis-polis Yunani yang berubah, yang membuat Aristoteles juga tetap bingung untuk mencari yang terbaik dalam masyarakat. Jadi, Aristoteles sangat memahami bahwa tak mungkin ada seorang filsuf yang mampu meraih cita-cita paling ideal untuk seluruh manusia, meski mendekatinya masih mungkin.
Namun, yang jelas adalah bahwa setiap bentuk pemerintahan pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri. Dari itu, ia menyadari bahwa kesempurnaan adalah ilusi, sehingga solusi terbaik adalah menciptakan sistem politik yang adaptif, yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Dia kemudian melakukan analisis, apa itu bentuk pemerintahan yang baik dan yang buruk. Ini adalah monarki, aristokrasi, dan politeia (republik). Monarki jika tidak baik akan menjadi tirani. Aristokrasi jika tidak baik akan menjadi oligarki, dan politeia jika tidak baik akan menjadi demokrasi.
Monarki adalah bentuk ideal ketika hanya ada satu orang yang mampu memerintah dengan kebijaksanaan dan kebajikan. Ini adalah bentuk pemerintahan yang dapat menciptakan keputusan yang paling cepat dan paling efisien karena hanya dipimpin oleh satu orang yang memiliki kebijakan yang tinggi. Sedangkan tirani adalah bentuk ketika seorang raja bertindak egois dan sewenang-wenang.
Aristokrasi adalah bentuk pemerintahan yang baik ketika sekelompok kecil orang yang paling bijaksana dan paling baik memiliki kekuasaan. Ini adalah bentuk ideal yang memungkinkan setiap orang bisa berpikir bersama dan tidak hanya bergantung pada satu orang saja. Oligarki adalah bentuk kebobrokan ketika aristokrasi hanya berpikir untuk kelompoknya sendiri.
Politeia adalah bentuk pemerintahan campuran yang menggabungkan elemen demokrasi dan oligarki, di mana kekuasaan tersebar luas di antara berbagai kelompok sosial, menciptakan stabilitas dan mencegah tirani. Ini adalah bentuk pemerintahan yang menurutnya paling ideal karena setiap orang mampu berpartisipasi dan tidak mengesampingkan yang lainnya. Demokrasi adalah bentuk kebobrokan dari politeia ketika setiap orang bebas dan egois mengikuti hawa nafsu.
Aristoteles juga menambahkan bahwa setiap pemerintahan itu berotasi seperti lingkaran. Mulai dari monarki, berubah menjadi tirani karena kebobrokannya, kemudian dibuang oleh bangsawan terdidik dan menjadi aristokrasi. Setelahnya, berubah menjadi oligarki, kemudian semua orang menolak oligarki dan membentuk politeia, dan politeia berubah menjadi demokrasi karena orang ingin bebas, dan akhirnya demokrasi berubah menjadi tirani karena kekacauan.
Dan terus-menerus berputar. Siklus ini akan terus-menerus berulang sepanjang sejarah manusia. Yang berarti bahwa tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan selamanya. Dan untuk mencari negara terbaik, setiap negara harus mencari bentuk campuran dari berbagai pemerintahan yang sesuai dengan kondisi manusia.
Bab 8: Etika dan Jalan Tengah Aristoteles
"Tidak ada pemerintahan yang dapat bertahan lama kecuali jika didasarkan pada keadilan". Menurut Aristoteles, sebuah negara tidak bisa hanya bergantung pada filsuf raja, karena filsuf juga tidak akan bisa memahami semua hal. Dia berargumen bahwa rakyat, secara kolektif, sering kali lebih bijaksana dibandingkan individu manapun.
Ia menggunakan analogi sebuah jamuan makan malam: meskipun satu orang tidak bisa memasak semua hidangan, gabungan hidangan dari banyak orang akan menciptakan pesta yang lebih kaya dan memuaskan. Dalam konteks politik, gagasan ini berarti bahwa keputusan yang diambil oleh banyak orang akan lebih baik daripada keputusan yang diambil oleh satu orang atau sekelompok kecil elit saja.
"Sebab massa mungkin memiliki kebijaksanaan dan moralitas yang lebih baik ketika mereka berkumpul daripada ketika mereka bertindak secara individu". Dia percaya bahwa keadilan, seperti yang dikatakan dalam Etika Nikomakea, bukan hanya hasil dari sistem pemerintahan yang adil, tetapi juga dari kebiasaan dan karakter baik yang tertanam dalam diri setiap individu.
Jadi ini meyakinkan dia bahwa etika tidak hanya bisa dilakukan oleh filsuf atau para aristokrasi saja. Setiap individu bisa menjadi manusia baik dan bijaksana. "Bukanlah karena kita bertindak dengan benar maka kita memiliki kebajikan. Melainkan karena kita memiliki kebajikan maka kita bertindak dengan benar".
Jika bagi Plato kebaikan adalah pengetahuan, bagi Aristoteles kebaikan adalah tindakan nyata. Untuk mengaplikasikan ini, dia menjelaskan bahwa etika, moralitas, dan kebaikan dapat ditemukan dalam setiap tindakan manusia. Dia menekankan konsep jalan tengah atau golden mean, yaitu mencari keseimbangan antara dua ekstrem yang berlebihan atau terlalu sedikit.
Misalnya, keberanian adalah jalan tengah antara sikap pengecut dan sikap sembrono. Kemurahan hati adalah jalan tengah antara sifat boros dan sifat kikir. Keadilan adalah jalan tengah antara menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit. Konsep jalan tengah ini bukanlah tentang menjadi rata-rata, tetapi tentang menemukan kondisi ideal yang tepat dalam setiap situasi.
Dalam setiap tindakan, kita harus menggunakan akal budi, kebijaksanaan praktis, dan pengalaman untuk menentukan apa yang terbaik. Ini juga berlaku dalam politik. Ketika seorang raja bertindak dengan bijaksana dan adil, dia berada di jalan tengah antara tirani dan kelemahan.
Ketika para bangsawan memerintah untuk kepentingan bersama, mereka berada di jalan tengah antara oligarki dan anarki. Kebahagiaan atau eudaimonia dicapai bukan hanya melalui pemahaman intelektual seperti yang dipercaya Plato, tetapi juga melalui tindakan yang konsisten dengan kebajikan.
Bab 9: Penyesuaian Plato dan Warisan Abadi
Ini adalah perdebatan besar antara para intelektual yang lebih dari 20 tahun saling berinteraksi. Namun di waktu itu, Plato telah menua. Saat itu dia berusia 70 tahun dan sedang membuat risalah terakhirnya yang berjudul Nomoi atau Hukum. Dalam Nomoi, Plato menyadari bahwa negara ideal yang digambarkan dalam Republik mungkin terlalu sempurna untuk diwujudkan di dunia nyata.
Dia mulai mengakui bahwa manusia tidak akan bisa menjadi baik jika hanya dengan akal semata. Manusia juga akan berpatok pada hukum sebagai bentuk tatanan masyarakat. Maka dari itu, Plato merevisi pandangannya dengan menyusun sistem hukum yang lebih rinci untuk mengatur perilaku warga negara.
Hukum dianggap sebagai alat pendidikan moral yang membantu manusia mencapai kebajikan, bahkan jika itu harus dengan paksaan dari negara. Dia juga menambahkan bahwa bentuk pemerintahan campuran, seperti yang nantinya Aristoteles sarankan, adalah yang terbaik untuk menjaga stabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Sehingga kebaikan tidak hanya berasal dari akal dan kebijaksanaan saja, tapi juga dari hukum-hukum tertulis yang memaksa manusia untuk berbuat baik. Pada dasarnya, Aristoteles percaya bahwa kebaikan dan keadilan bukanlah konsep yang abstrak atau ideal yang hanya bisa diakses oleh segelintir filsuf, tetapi merupakan kualitas yang bisa dipraktikkan oleh setiap individu dalam kehidupan sehari-hari melalui tindakan yang benar.
Ini memberikan pemahaman yang jelas bahwa meskipun Aristoteles adalah murid kesayangan Plato, dia tidak takut untuk membangkang dan mengkritik pemikiran gurunya. "Bahkan orang-orang yang mengemukakan teori tentang bentuk-bentuk tidak dapat menghadirkan persahabatan yang sesuai dengannya".
"Sebab, mereka menyingkirkan hal-hal dari akal sehat kita, dan justru mengarah kepada kebaikan tertinggi yang tak bisa dipahami akal sehat". "Akan tetapi, mungkin lebih baik lagi untuk mempertimbangkan kebaikan universal dan membahas kesulitannya, meskipun pembahasan seperti itu memberatkan karena gagasan tentang bentuk-bentuk telah diperkenalkan oleh teman-teman kita".
"Namun kesalehan menuntut kita untuk menghormati kebenaran lebih dari sahabat kita". Dalam pencapaiannya yang luar biasa, Aristoteles tahu bahwa ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan hanya lewat pengamatan dan akal saja, seperti pengakuannya sendiri: "Dan hal-hal ini, yang paling universal secara keseluruhan, adalah yang paling sulit untuk diketahui manusia, sebab ia adalah yang paling jauh dari indra".
Pertentangan antara Plato dan Aristoteles menjadi fondasi dari dikotomi besar yang membentuk dunia hingga hari ini: agama dan sains, idealisme dan realisme, kontemplasi dan observasi. Tapi mungkin pertanyaannya bukan siapa yang benar, melainkan bagaimana keduanya bisa berbicara dalam satu nada. Satu menunjuk ke langit, satu menapak ke bumi, dan manusia berada di antaranya.
Barangkali justru Platolah yang telah melihat lebih jauh, menangkap denyut tersembunyi dari realitas yang tak dapat disentuh oleh eksperimen atau logika. Teori bentuknya mungkin tampak asing, namun ia menyingkapkan rasa haus manusia akan sesuatu yang tak berubah, tak fana, dan sempurna. Tapi mungkin pertanyaannya bukan siapa yang benar, melainkan bagaimana keduanya saling melengkapi.
Sebab manusia tidak hanya berpikir, tapi juga merasa. Tidak hanya bermimpi, tapi juga berjalan. Kita berada di antara keduanya, meskipun kita tidak menyukainya dan mungkin tidak menyukai salah satu dari mereka. Kita berada di antara keduanya, ditarik oleh yang ideal dan dipanggil oleh yang konkret. Inilah Plato vs Aristoteles.
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar