![]() |
Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Yurisprudensi Konstitusional Abstrak
Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah melahirkan bentuk-bentuk kejahatan baru yang dikenal sebagai kejahatan siber (cybercrime). Penanganan kejahatan ini menuntut adaptasi sistem hukum, khususnya dalam hal pembuktian, mengingat sifat unik data elektronik yang volatil dan rentan manipulasi. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum secara eksplisit mengatur alat bukti elektronik , Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan perubahannya, serta yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pengakuan dan penggunaan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Artikel ini menganalisis secara komprehensif legalitas, karakteristik, syarat formil dan materiil, serta prosedur penanganan bukti elektronik, termasuk peran vital digital forensik dan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi, guna memberikan gambaran utuh mengenai kedudukan bukti elektronik sebagai elemen krusial dalam upaya penegakan hukum pidana kontemporer.
Kata Kunci: Bukti Elektronik, Sistem Peradilan Pidana, KUHAP, UU ITE, Digital Forensik, Legalitas, Putusan Mahkamah Konstitusi.
1. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya di bidang teknologi informasi, telah membawa manusia memasuki era digital yang melahirkan internet sebagai jaringan global tanpa batas (borderless). Kemajuan ini, di satu sisi, mempermudah berbagai aktivitas manusia dan menjadi sarana edukasi serta ekonomi. Namun, disisi lain, turut memunculkan dampak negatif berupa kejahatan yang berkaitan dengan aplikasi internet, atau yang lazim disebut "Cyber Crime" atau Tindak Pidana Mayantara.
Kejahatan siber memiliki karakteristik khas karena memanfaatkan ruang siber (cyber space) dan sistem komputer sebagai alat, korban, maupun objeknya. Hal ini menimbulkan tantangan signifikan bagi sistem peradilan pidana konvensional, khususnya dalam aspek pembuktian. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara pidana umum, yang masih berorientasi pada paradigma fisik (hard reality) , belum secara eksplisit mengatur mengenai alat bukti elektronik. Kondisi ini menciptakan ambiguitas dan perdebatan mengenai legalitas serta kekuatan pembuktian alat bukti yang berasal dari lingkungan digital, seperti rekaman CCTV, data percakapan elektronik, atau dokumen digital lainnya.
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis dan komprehensif mengenai legalitas alat bukti elektronik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pembahasan akan mencakup karakteristik unik bukti elektronik, dasar hukum pengakuannya melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), persyaratan formil dan materiil yang harus dipenuhi, prosedur penanganan yang tepat termasuk peran vital digital forensik, serta implikasi yurisprudensi Mahkamah Konstitusi terhadap perolehan alat bukti tersebut. Analisis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam dan otoritatif bagi praktisi hukum dan akademisi mengenai posisi strategis bukti elektronik dalam penegakan hukum pidana di era digital.
2. Karakteristik Unik dan Tantangan Bukti Elektronik
Bukti elektronik memiliki sifat fundamental yang membedakannya dari alat bukti konvensional dan menjadi dasar bagi perlunya penanganan khusus. Karakteristik ini sekaligus merupakan tantangan dalam proses pembuktian:
Tidak Stabil (Volatility): Data elektronik dapat dengan mudah hilang, berubah, atau musnah dalam hitungan detik jika tidak ditangani dengan tepat. Informasi yang sifatnya volatil dapat lenyap ketika komputer dimatikan atau penanganan yang tidak tepat.
Kecepatan (Velocity): Proses pembuatan, modifikasi, dan pemindahan bukti elektronik dapat terjadi dengan sangat cepat dan dalam skala besar.
Rentan Dimanipulasi/Dirusak (Fragility): Integritas data digital sangat mudah terganggu, baik disengaja maupun tidak disengaja. Perubahan sekecil apa pun pada data dapat menghilangkan nilai pembuktiannya di pengadilan.
Masif dan Kompleks: Dalam satu transaksi elektronik, dapat ada begitu banyak informasi yang tercatat atau terekam di banyak alat dan perangkat, membutuhkan keahlian khusus untuk mengidentifikasi dan mengekstraknya.
Membutuhkan Keahlian Khusus: Penanganan bukti elektronik membutuhkan perangkat keras dan lunak khusus serta kompetensi teknis dari pemeriksa atau ahli.
Karakteristik inilah yang mendasari perlunya penanganan yang sangat cermat dan sesuai prosedur dalam setiap tahapan, mulai dari akuisisi hingga presentasi di persidangan.
3. Dasar Hukum dan Kedudukan Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Peradilan Pidana
Sebelum adanya perkembangan teknologi yang masif, KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) memang belum secara spesifik mengatur alat bukti elektronik, termasuk rekaman CCTV. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah bukti elektronik dapat dianggap sebagai alat bukti atau hanya sebatas barang bukti yang mendukung pembuktian.
Namun, pandangan ini diperjelas dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU 19/2016). UU ITE telah memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat-syaratnya agar dapat diterima di persidangan. Prinsip lex specialis derogat legi generali berlaku di sini, menegaskan bahwa UU ITE sebagai undang-undang khusus mengatur secara lebih detail mengenai alat bukti elektronik.
3.1. Asas Legalitas dan Pengakuan UU ITE Asas legalitas (nullum crimen, nulla poena sine praevia lege) merupakan prinsip fundamental dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Asas ini menjadi krusial dalam menentukan apakah suatu perbuatan dalam kejahatan teknologi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
UU ITE menganut asas legalitas, sebagaimana tampak dalam Pasal 54 ayat (1) yang menyatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya (21 April 2008), sehingga ketentuan pidana di dalamnya mulai berlaku efektif sejak tanggal tersebut.
Lebih lanjut, UU ITE secara eksplisit mengatur legalitas alat bukti elektronik:
Pasal 5 ayat (1) UU ITE: "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.".
Pasal 5 ayat (2) UU ITE: "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.".
Perluasan ini memiliki dua makna penting:
Menambah jenis alat bukti: Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dengan demikian, alat bukti dalam KUHAP kini menjadi enam jenis: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan bukti elektronik.
Memperluas cakupan alat bukti: Hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti surat yang memang sudah diatur dalam KUHAP.
Pengaturan ini juga didukung oleh preseden yurisprudensi, seperti Surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988 yang menyatakan "microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan mengganti alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumnya dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara". Selain itu, berbagai undang-undang khusus seperti UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) Pasal 38 dan UU Terorisme juga secara khusus mengatur alat bukti elektronik sebagai dokumen.
3.2. Definisi Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik UU ITE memberikan definisi yang jelas mengenai kedua istilah ini:
Informasi Elektronik: Diartikan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk namun tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dokumen Elektronik: Adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik. Ini mencakup tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Secara prinsip, informasi elektronik dapat dibedakan dari dokumen elektronik namun tidak dapat dipisahkan. Informasi elektronik adalah data atau kumpulan datanya, sedangkan dokumen elektronik adalah wadah atau 'bungkus' dari informasi elektronik tersebut (misal, file mp3 adalah dokumen elektronik, sementara musik yang keluar dari file tersebut adalah informasi elektronik).
4. Syarat Sahnya Alat Bukti Elektronik: Formil dan Materiil
Agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah di persidangan, UU ITE mengatur persyaratan formil dan materiil yang harus terpenuhi.
4.1. Syarat Formil (Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 43 UU ITE):
Informasi atau dokumen elektronik tersebut bukanlah surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis. Ini berarti bukti elektronik tidak dapat menggantikan dokumen yang wajib berbentuk fisik, seperti akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Informasi dan/atau dokumen tersebut harus diperoleh dengan cara yang sah. Ini adalah syarat fundamental yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks ini, Pasal 43 UU ITE mengatur secara rinci mengenai kewenangan penyidik dalam memperoleh alat bukti elektronik:
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS): Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. PPNS ini memiliki berbagai wewenang, termasuk menerima laporan, memanggil saksi/tersangka, memeriksa kebenaran laporan, memeriksa orang/badan usaha/alat/sarana yang diduga terkait, melakukan penggeledahan dan penyitaan, meminta bantuan ahli, hingga penghentian penyidikan.
Prosedur Penyidikan dan Perlindungan Hak: Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik harus dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan hak-hak asasi individu, mengingat sensitivitas data elektronik.
Izin Pengadilan untuk Penggeledahan/Penyitaan: Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat. Ini adalah bentuk kontrol yudisial untuk memastikan bahwa tindakan paksa dalam pemerolehan bukti elektronik dilakukan sesuai prosedur hukum dan tidak sewenang-wenang. Selain itu, dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan tersebut, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. Kewajiban ini menekankan pentingnya mitigasi dampak terhadap layanan publik yang mungkin terganggu akibat tindakan penyitaan sistem elektronik.
Jika alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence), Hakim dapat mengesampingkannya atau menganggapnya tidak memiliki nilai pembuktian oleh pengadilan.
4.2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016 Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 memiliki implikasi yang sangat penting terkait pemerolehan bukti elektronik. Putusan ini menyatakan bahwa frasa "Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik" sebagai alat bukti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai alat bukti yang diperoleh dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) UU 19/2016.
Tujuan utama Putusan MK ini adalah untuk menegaskan bahwa setiap intersepsi atau penyadapan, serta pemerolehan alat bukti elektronik lainnya, harus dilakukan secara sah dan atas permintaan penegak hukum yang berwenang, menjamin hak konstitusional warga negara.
4.3. Syarat Materiil (Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE): Informasi atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik yang sesuai dengan ketentuan UU ITE. Sistem Elektronik harus memenuhi syarat:
Andal, aman, dan bertanggung jawab.
Dapat menampilkan kembali Informasi atau Dokumen Elektronik secara utuh.
Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik.
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dan dapat beroperasi sesuai prosedur atau petunjuk yang telah ditetapkan tersebut.
Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materiil ini, dalam banyak kasus dibutuhkan proses digital forensik.
5. Prosedur Penanganan dan Peran Digital Forensik
Penanganan alat bukti elektronik yang tepat sangat krusial mengingat karakteristiknya yang tidak stabil, cepat, dan rentan dimanipulasi. Penegak hukum harus memperhatikan penanganan bukti tersebut secara cermat, mulai dari:
Pemerolehan (Acquisition): Cara bukti digital diambil dari sumbernya, dengan menjaga dan melindungi keutuhan atau integritasnya. Ini melibatkan penerapan prinsip pertama ACPO (Association of Chief Police Officers) yaitu semua penanganan terhadap alat bukti elektronik tidak boleh mengakibatkan adanya perubahan atau kerusakan terhadap data.
Pemrosesan (Processing): Pengolahan data digital mentah.
Pemeriksaan (Examination): Analisis forensik terhadap data , umumnya menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak yang khusus dibuat untuk kepentingan digital forensik. Pemeriksaan melibatkan ekstraksi seluruh data dari media, termasuk yang terhapus sebelumnya , dan penggunaan write blocker, yaitu alat yang digunakan untuk mencegah penulisan terhadap data original. Prinsip kedua ACPO menekankan bahwa orang yang mengakses data original harus memiliki kompetensi dan mampu menjelaskan relevansi serta akibat tindakannya.
Pengajuan sebagai Alat Bukti: Presentasi bukti elektronik di persidangan.
Ruang lingkup penanganan ini juga mencakup akreditasi dan sertifikasi oleh laboratorium forensik serta pemeriksa bukti elektronik (examiner). Termasuk pula kalibrasi alat yang dipakai untuk mengambil dan memeriksa bukti elektronik.
Chain of Custody: Selain kepatuhan prosedural, pencatatan atau dokumentasi di setiap tahapan penanganan bukti elektronik adalah hal yang fundamental. Proses ini dikenal sebagai chain of custody , yang sangat penting untuk membuktikan di persidangan bahwa bukti elektronik ditangani sesuai prosedur dan masih asli serta tidak tercemar. Ini sejalan dengan prinsip ketiga ACPO yang mensyaratkan prosedur jelas untuk pengumpulan dan analisa alat bukti elektronik. Prinsip keempat ACPO menambahkan adanya pejabat yang bertanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan kegiatan sesuai peraturan dan prosedur.
Integritas dan Otentisitas: Integritas bukti elektronik berarti bukti yang diajukan di pengadilan sama dengan saat pemerolehan dan penyitaan. Autentisitas merujuk pada kemampuan untuk memastikan bahwa bukti elektronik yang dihadirkan di pengadilan asli serta tidak dimanipulasi. Bukti elektronik yang tidak memenuhi persyaratan integritas dan autentisitas dapat diragukan (challenge) hingga tidak dapat diterima (inadmissible) oleh pengadilan.
Meskipun UU ITE dan peraturan pelaksananya belum mengatur ketentuan rinci terkait penanganan bukti elektronik , Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang menggodok Rancangan Peraturan Komunikasi dan Informatika terkait Tata Cara Penanganan Pertama Bukti Elektronik. Implementasi ini tentu harus didukung dengan ketersediaan laboratorium forensik dan sumber daya manusia yang memadai.
6. Resistensi dan Interpretasi Yurisprudensi
Meskipun UU ITE telah secara tegas mengatur bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti , beberapa putusan pengadilan menunjukkan interpretasi yang lebih sempit atau resistensi dalam praktik. Contohnya:
Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST (Kasus Jessica Kumala Wongso): Majelis Hakim mengakui penggunaan alat digital elektronik dalam praktik peradilan, namun memutuskan bahwa rekaman CCTV dijadikan perluasan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai barang bukti, dan hanya dapat dijadikan alat bukti petunjuk jika bersesuaian dengan fakta dan peristiwa pidana.
Putusan PN Sekayu Nomor 11/Pid.b/2015/PN. Sky: CD berisi rekaman CCTV tidak dinyatakan sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai barang bukti yang sah menurut hukum.
Pandangan yang mereduksi bukti elektronik menjadi hanya barang bukti atau petunjuk ini didasarkan pada dua alasan utama:
Tindak pidana yang didakwakan hanya merujuk pada hukum acara pidana dalam KUHAP (seperti pembunuhan, pencurian) atau di luar KUHAP yang tidak secara khusus mengatur pembuktian atau alat bukti selain penjelasan KUHAP.
Bukti elektronik hanya dianggap alat bukti jika dinyatakan secara tegas dalam UU ITE dan UU lain yang mengaturnya secara khusus.
Namun, pandangan ini menurut hemat saya keliru. Redaksi Pasal 5 ayat (2) UU ITE ("...merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia") secara tegas mendukung keberlakuan umum alat bukti elektronik bagi semua jenis tindak pidana, sepanjang tidak diatur secara khusus. Interpretasi futuristik dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP (Pasal 175 ayat (1)) juga telah mengatur "bukti elektronik" sebagai salah satu alat bukti yang sah untuk semua jenis tindak pidana, menandakan arah kebijakan hukum yang progresif.
7. Penutup
Legalitas alat bukti elektronik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah diatur secara jelas dan komprehensif melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya, terutama dalam Bab III tentang Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik (Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 44 UU ITE). UU ITE secara tegas memperluas cakupan alat bukti yang sah di luar yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, mengakui Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah.
Pengakuan ini sangat penting mengingat fungsi sistem peradilan pidana untuk melindungi masyarakat dan menegakkan hukum , di mana bukti elektronik dapat menjadi kunci dalam peninjauan ulang legalitas ukuran pencegahan dan penindakan serta penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam kasus kejahatan siber.
Meskipun demikian, keabsahan dan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik sangat bergantung pada pemenuhan persyaratan formil dan materiil yang ketat, serta penanganan yang tepat sesuai prinsip-prinsip digital forensik. Perolehan bukti harus sah sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi, dan proses akuisisi, pemrosesan, pemeriksaan, serta presentasi harus dilakukan dengan integritas dan otentisitas yang terjaga melalui chain of custody yang akuntabel. Prosedur penyidikan, termasuk penggeledahan dan penyitaan sistem elektronik, harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat dan dengan memperhatikan perlindungan privasi serta kelancaran layanan publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU ITE.
Meskipun masih ada tantangan dalam interpretasi yurisprudensi, arah pengembangan hukum pidana di Indonesia menunjukkan konsolidasi pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang esensial. Ke depan, penting bagi regulasi untuk lebih detail mengatur prosedur digital forensik secara komprehensif, serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur laboratorium forensik untuk mendukung penegakan hukum yang efektif di era digital. Zlamitan

Komentar
Posting Komentar