Langsung ke konten utama

Analisis Kritis Fase Pra-Ajudikasi (Pre-Adjudication) dalam KUHAP dan Proyeksi Reformasinya Berdasarkan Model Hukum Jerman dan Amerika Serikat

Bagian I: Pendahuluan - Paradoks Kesetaraan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

1.1. Landasan Filosofis KUHAP: Equality of Arms dan Pencarian Kebenaran Materiil

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, dirancang di atas fondasi filosofis yang luhur, menandai pergeseran fundamental dari Herziene Inlandsche Reglement (HIR) yang bersifat inkuisitorial. KUHAP secara eksplisit memeluk prinsip-prinsip universal yang menjadi pilar negara hukum modern, di antaranya adalah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).1 Kedua asas ini, secara doktrinal, merupakan induk dari prinsip kesetaraan senjata (equality of arms), sebuah konsep yang menuntut adanya keseimbangan posisi dan kesempatan antara pihak yang menuntut (negara, diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum) dan pihak yang dituduh (tersangka/terdakwa) dalam sebuah proses peradilan pidana.1 Pemberian serangkaian hak kepada tersangka/terdakwa dalam KUHAP, seperti hak atas bantuan hukum, bertujuan untuk mengangkat posisi mereka agar setara dengan aparat penegak hukum, sehingga terwujud sebuah "pertarungan" hukum yang adil.1

Tujuan akhir dari keseluruhan mekanisme yang diatur dalam KUHAP adalah pencarian dan penemuan kebenaran materiil (materiele waarheid).3 Konsep ini secara fundamental berbeda dengan kebenaran formil yang menjadi tujuan hukum acara perdata.5 Kebenaran materiil tidak hanya berhenti pada pemenuhan syarat-syarat prosedural, tetapi berupaya untuk merekonstruksi peristiwa pidana secara substantif dan sejati, untuk memastikan bahwa putusan pengadilan benar-benar mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi.7 Untuk mencapai tujuan ambisius ini, KUHAP mengadopsi sistem pembuktian negatief wettelijk, yang mensyaratkan terpenuhinya dua kondisi secara kumulatif untuk menyatakan seseorang bersalah yaitu adanya minimal dua alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan timbulnya keyakinan pada diri hakim berdasarkan alat-alat bukti tersebut.7 Sistem ini, secara teoritis, dirancang sebagai garda terdepan untuk mencegah kesesatan peradilan (miscarriage of justice) dan memastikan bahwa setiap putusan didasarkan pada kebenaran yang hakiki.3

1.2. Asimetri Informasi sebagai Penghalang Keadilan Substantif Sebagai Tesis Utama

Meskipun di atas kertas KUHAP dibangun di atas pilar-pilar ideal, laporan ini mengajukan tesis bahwa struktur prosedural yang ada, khususnya pada fase pra-ajudikasi (penyidikan dan penuntutan), justru secara sistemik menciptakan dan melanggengkan asimetri informasi yang parah antara negara dan individu yang dituduh. Asimetri ini, adalah dimana aparat penegak hukum memiliki monopoli atas pengumpulan, penguasaan, dan interpretasi bukti, secara efektif mengebiri makna substantif dari prinsip equality of arms. Akibatnya, kesetaraan yang dijamin KUHAP berisiko menjadi sekadar ilusi prosedural, sebuah formalitas tanpa daya untuk memengaruhi keseimbangan kekuasaan yang sesungguhnya.

Lebih jauh, asimetri informasi ini menjadi penghalang utama bagi pencapaian tujuan luhur KUHAP itu sendiri, yaitu penemuan kebenaran materiil. Sebuah proses pembuktian yang adil dan berimbang mustahil terwujud ketika salah satu pihak—dalam hal ini pihak pertahanan—beroperasi dalam "kegelapan informasi," tidak memiliki akses yang memadai terhadap bukti-bukti yang akan digunakan untuk melawannya, maupun bukti-bukti yang berpotensi meringankannya. Fase pra-ajudikasi yang tidak adil dan tidak transparan pada akhirnya akan menghasilkan proses ajudikasi yang cacat. Hakim, yang seharusnya menjadi wasit yang netral, terpaksa bekerja di tengah ketidaktahuan mengenai apa yang sebenarnya terjadi selama proses penyidikan, dan mendasarkan putusannya pada berkas perkara yang telah disaring dan disusun secara sepihak oleh penuntut umum.10

Dengan demikian, terdapat sebuah kontradiksi internal yang fundamental dalam arsitektur KUHAP. Sistem ini secara bersamaan mendeklarasikan tujuan yang idealis (pencarian kebenaran substantif) sambil menerapkan mekanisme prosedural (akses informasi yang sangat terbatas) yang secara sistematis menyabotase pencapaian tujuan tersebut. Pencarian kebenaran materiil menuntut adanya akses yang seimbang terhadap informasi bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pembuktian.8 Namun, sebagaimana akan dianalisis lebih lanjut, KUHAP justru secara sengaja membatasi akses pihak pertahanan terhadap informasi pada tahap yang paling krusial, yaitu penyidikan. Akibatnya, prinsip equality of arms yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai kebenaran materiil, menjadi tidak berfungsi secara efektif. Ini bukanlah sekadar kelemahan implementasi, melainkan sebuah cacat desain (design flaw) yang melekat, di mana tujuan hukum acara pidana tidak didukung oleh sarana prosedural yang disediakannya, menciptakan sebuah paradoks yang menghambat terwujudnya keadilan substantif.

Bagian II: Analisis Kritis Fase Pra-Ajudikasi KUHAP: Asimetri Kekuasaan dan Informasi

Fase pra-ajudikasi merupakan tahap paling kritis dalam sistem peradilan pidana. Pada tahap inilah fondasi sebuah perkara dibangun, bukti dikumpulkan, dan posisi hukum seorang warga negara dapat berubah drastis dari saksi menjadi tersangka. Namun, justru pada tahap inilah KUHAP menunjukkan kelemahan paling fundamentalnya, yaitu melalui pelembagaan asimetri informasi dan lemahnya mekanisme kontrol yudisial.

2.1. Pasal 72 KUHAP dan Belenggu Akses Terhadap Berkas Perkara

Pusat dari problematika asimetri informasi dalam KUHAP terletak pada Pasal 72 dan penjelasannya. Norma ini, yang seharusnya menjadi gerbang bagi pihak pertahanan untuk mengakses informasi, justru berfungsi sebagai tembok yang membatasi.

Dekonstruksi Norma dan Penjelasannya

Pasal 72 KUHAP menyatakan: "Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya".11 Sepintas, pasal ini tampak memberikan hak yang wajar. Namun, kekuatan sesungguhnya dari pasal ini dilumpuhkan oleh penjelasannya. Penjelasan Pasal 72 secara drastis mempersempit ruang lingkup hak ini dengan menyatakan:

"Yang dimaksud dengan 'pemeriksaan' dalam pasal ini ialah pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, hanya untuk pemeriksaan tersangka".12

Interpretasi restriktif ini memiliki konsekuensi yang sangat serius. Interpretasi menegaskan bahwa pada tahap penyidikan, satu-satunya dokumen yang berhak diperoleh oleh penasihat hukum hanyalah salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kliennya sendiri (tersangka). Pihak pertahanan tidak memiliki hak hukum untuk mendapatkan akses terhadap keseluruhan berkas perkara, yang mencakup elemen-elemen paling krusial untuk membangun pembelaan, seperti:

  • BAP para saksi (baik yang memberatkan maupun yang meringankan).

  • Laporan dari para ahli (misalnya, hasil visum, laporan balistik, atau audit forensik).

  • Laporan hasil penyelidikan dan penyidikan yang dibuat oleh polisi.

  • Daftar barang bukti yang disita.

Dampak Praktis bagi Upaya Pembelaan

Pembatasan ekstrem ini secara efektif melumpuhkan kemampuan penasihat hukum untuk menjalankan fungsi pembelaannya secara maksimal sejak dini. Tanpa akses terhadap keseluruhan berkas perkara, penasihat hukum dipaksa untuk "terbang buta". Mereka tidak dapat:

  1. Menyusun Strategi Pembelaan yang Komprehensif: Pembelaan yang efektif membutuhkan pemahaman penuh atas kekuatan dan kelemahan kasus jaksa. Tanpa mengetahui apa saja keterangan para saksi atau isi laporan ahli, strategi pembelaan hanya dapat bersifat reaktif dan spekulatif.

  2. Mengidentifikasi Kelemahan Bukti Jaksa: Penasihat hukum tidak dapat menguji konsistensi antara keterangan saksi satu dengan yang lain, atau antara keterangan saksi dengan bukti fisik, karena mereka tidak memiliki akses terhadapnya.

  3. Mencari dan Mengajukan Bukti Meringankan (Exculpatory Evidence): Seringkali, petunjuk mengenai adanya bukti yang meringankan justru terdapat dalam berkas perkara itu sendiri, misalnya dari keterangan saksi yang kontradiktif. Tanpa akses, kesempatan ini hilang.

  4. Mempersiapkan Pemeriksaan Silang (Cross-Examination): Pemeriksaan silang yang efektif di persidangan bergantung pada persiapan matang yang didasarkan pada BAP saksi di tingkat penyidikan. Tanpa BAP tersebut, pemeriksaan silang menjadi tidak tajam dan kehilangan potensinya untuk mengungkap kebenaran.

Problem Konstitusionalitas

Ketidakjelasan dan pembatasan dalam Pasal 72 ini telah menjadi objek uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Para pemohon dalam perkara tersebut berargumen bahwa rumusan Pasal 72 dan penjelasannya menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.12 Frasa "atas permintaan" menimbulkan ambiguitas, apakah pemberian turunan BAP merupakan kewajiban hukum bagi pejabat atau sekadar tindakan diskresioner yang bergantung pada kehendak baik mereka.12 Situasi ini menempatkan hak fundamental tersangka pada posisi yang sangat rentan, bergantung pada interpretasi aparat penegak hukum yang notabene merupakan "lawan"-nya dalam proses peradilan.

2.2. Kelemahan Institusional Praperadilan sebagai Kontrol Yudisial

Jika Pasal 72 menciptakan "kegelapan informasi," maka lembaga Praperadilan seharusnya berfungsi sebagai "senter" yudisial yang menyorot potensi penyalahgunaan wewenang dalam kegelapan tersebut. Praperadilan, yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP, dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol horizontal terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.13 Namun, dalam praktiknya, lembaga ini menderita berbagai kelemahan struktural dan prosedural yang membuatnya tidak efektif.

Kewenangan Terbatas dan Sifat Post-Factum

Kewenangan asli Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, sangat terbatas, yakni hanya untuk menguji:

  • Sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan.

  • Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

  • Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.14

Sifat dari pengawasan ini adalah post-factum, artinya hakim baru akan memeriksa tindakan upaya paksa setelah tindakan tersebut dilakukan. Praperadilan tidak memiliki fungsi preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran sejak awal.10 Hakim Praperadilan tidak berwenang untuk memberikan otorisasi sebelum penangkapan atau penahanan dilakukan, melainkan hanya menguji keabsahannya setelah hak asasi tersangka dirampas.10

Fokus pada Formalitas dan Pengabaian Aspek Materiil

Kelemahan yang paling sering dikritik adalah kecenderungan hakim Praperadilan untuk hanya memeriksa aspek formal-administratif dari upaya paksa.10 Dalam banyak kasus, hakim merasa cukup jika penyidik (termohon) dapat menunjukkan adanya surat perintah penangkapan atau penahanan yang sah secara administratif. Pengujian yang lebih dalam terhadap aspek materiil—misalnya, apakah benar-benar terdapat "bukti permulaan yang cukup" yang menjadi dasar penerbitan surat perintah tersebut—seringkali dihindari.10 Sikap formalistis ini jelas menyimpangi dari tujuan utama sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu mencari kebenaran materiil, dan justru membiarkan potensi penyalahgunaan wewenang yang tersembunyi di balik pemenuhan syarat administrasi.10

Reformasi Yudisial Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi

Menyadari adanya kekosongan hukum dan lemahnya perlindungan HAM dalam lingkup Praperadilan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 melakukan terobosan yudisial yang signifikan. Putusan ini memperluas objek Praperadilan hingga mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.15 Putusan ini secara luas dipandang sebagai langkah reformis yang krusial, memberikan warga negara instrumen hukum tambahan untuk melawan potensi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum pada tahap penyidikan.21

Namun, lahirnya putusan ini juga menyoroti dua hal. Pertama, ia merupakan penanda kegagalan lembaga legislatif (DPR dan Pemerintah) untuk mereformasi KUHAP yang sudah usang. Kedua, ia memicu perdebatan akademis mengenai peran Mahkamah Konstitusi, yang dalam kasus ini dianggap telah bertindak sebagai "positive legislator" dengan menciptakan norma hukum baru, bukan sekadar membatalkan norma yang ada.15

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa kelemahan Praperadilan dan pembatasan akses informasi dalam Pasal 72 adalah dua sisi dari mata uang yang sama; keduanya saling memperkuat untuk menciptakan lingkungan pra-ajudikasi yang tidak akuntabel. Pembatasan informasi oleh Pasal 72 menciptakan "kegelapan" di mana penyalahgunaan wewenang, seperti penetapan tersangka tanpa bukti yang memadai, menjadi lebih mungkin terjadi.23 Praperadilan, yang seharusnya menjadi "senter" untuk mengoreksi penyalahgunaan tersebut, ternyata "redup" karena kewenangannya yang terbatas dan praktiknya yang formalistis. Akibatnya, tercipta sebuah lingkaran setan: pihak pertahanan tidak memiliki informasi yang cukup untuk mengajukan permohonan Praperadilan yang efektif, sementara hakim Praperadilan tidak memiliki mandat atau kecenderungan untuk menggali kebenaran materiil di balik tindakan aparat. Putusan MK mencoba memutus lingkaran ini dengan memperluas objek Praperadilan, namun ia belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, yaitu akses terhadap informasi.

Bagian III: Model Komparatif I - Transparansi Prosedural dalam Sistem Jerman

Untuk memproyeksikan reformasi yang komprehensif, analisis harus beralih ke sistem hukum lain yang telah mengembangkan mekanisme yang lebih matang untuk menyeimbangkan kekuasaan negara dan hak individu. Sistem peradilan pidana Jerman, yang berasal dari tradisi hukum sipil (civil law) yang sama dengan Indonesia, menawarkan dua konsep kunci yang sangat relevan: hak inspeksi berkas (Akteneinsicht) dan peran Hakim Pemeriksa (Ermittlungsrichter).

3.1. Akteneinsicht (Hak Inspeksi Berkas): Fondasi Pertahanan yang Efektif

Berbeda secara diametral dengan Pasal 72 KUHAP, hukum acara pidana Jerman (Strafprozeßordnung atau StPO) menempatkan transparansi sebagai pilar utama dalam proses pra-ajudikasi melalui mekanisme Akteneinsicht.

Analisis Pasal 147 StPO

Pasal 147 StPO memberikan hak fundamental kepada penasihat hukum untuk memeriksa seluruh berkas perkara (case files) yang dipegang oleh jaksa penuntut umum atau pengadilan.24 Hak ini tidak dianggap sebagai kemewahan, melainkan sebagai prasyarat paling penting untuk dapat menyusun strategi pertahanan yang efektif dan sukses.25 Filosofi dibaliknya adalah bahwa pertarungan hukum yang adil hanya bisa terjadi jika kedua belah pihak memiliki akses yang setara terhadap "medan pertempuran," yaitu informasi dan bukti yang terkumpul.

Ruang Lingkup Akses yang Luas

Ruang lingkup Akteneinsicht sangat komprehensif. Berkas perkara yang dapat diakses oleh penasihat hukum berisi semua bukti dan informasi yang dikumpulkan selama proses investigasi, yang dapat mencakup 25:

  • Laporan polisi yang detail.

  • Keterangan lengkap dari semua saksi.

  • Laporan dan analisis dari para ahli.

  • Transkrip interogasi atau penyadapan.

  • Salinan catatan kriminal terdakwa sebelumnya.

Akses yang diberikan sejak dini (early access) dianggap krusial karena memungkinkan pihak pertahanan untuk menghindari kejutan di persidangan, memiliki waktu yang cukup untuk memeriksa validitas dan legalitas perolehan setiap bukti, serta mengungkap potensi kontradiksi dalam narasi yang dibangun oleh jaksa.25 Kontras dengan model Indonesia sangat tajam: di Jerman, transparansi adalah norma yang menjadi titik awal, sedangkan di Indonesia, kerahasiaan adalah norma, dan akses adalah pengecualian yang sangat terbatas.

Batasan yang Terukur dan Terkontrol

Tentu saja, hak ini tidak bersifat absolut. Undang-undang Jerman memperbolehkan penuntut umum untuk menunda atau membatasi akses terhadap bagian-bagian tertentu dari berkas perkara jika pengungkapan tersebut dapat membahayakan tujuan investigasi (endangering the purpose of the investigation), misalnya risiko kolusi atau penghilangan barang bukti.24 Namun, pembatasan ini memiliki dua karakteristik penting: pertama, ia bersifat sementara dan harus dicabut segera setelah risiko tersebut hilang. Kedua, keputusan penuntut umum untuk membatasi akses dapat diuji dan dibatalkan oleh pengadilan.26 Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam hal kerahasiaan, keputusan akhir tetap berada di tangan yudikatif, bukan eksekutif (jaksa/polisi).

3.2. Peran Ermittlungsrichter (Hakim Pemeriksa): Kontrol Yudisial Proaktif

Selain transparansi melalui Akteneinsicht, sistem Jerman juga membangun pilar kontrol yudisial yang kuat dan proaktif pada fase pra-ajudikasi melalui institusi Ermittlungsrichter atau Hakim Pemeriksa.

Otorisasi Upaya Paksa

Peran utama Ermittlungsrichter adalah sebagai figur yudisial yang memberikan otorisasi untuk tindakan-tindakan investigatif yang paling intrusif terhadap hak asasi manusia. Tindakan seperti penahanan pra-sidang (Untersuchungshaft atau remand), penggeledahan, dan penyitaan tidak dapat dilakukan hanya atas dasar keputusan penyidik atau jaksa. Mereka harus mengajukan permohonan yang beralasan kepada Ermittlungsrichter, yang kemudian akan menilai secara independen apakah syarat-syarat hukum untuk tindakan tersebut telah terpenuhi.27 Lebih lanjut, setiap tersangka yang ditangkap harus segera dihadapkan kepada hakim ini (paling lambat pada akhir hari setelah penangkapan) untuk diputuskan apakah ia akan ditahan lebih lanjut atau dibebaskan.27

Model Pengawasan Aktif vs. Pasif

Model ini secara fundamental berbeda dengan Praperadilan di Indonesia. Ermittlungsrichter menjalankan fungsi pengawasan yang proaktif dan ex-ante (sebelum tindakan dilakukan). Model bertindak sebagai "penjaga gerbang" yudisial yang memastikan bahwa negara tidak sewenang-wenang merampas kemerdekaan atau privasi warganya. Sebaliknya, hakim Praperadilan di Indonesia berfungsi sebagai peninjau yang pasif dan post-factum (setelah fakta terjadi).10 Hakim tidak mencegah pelanggaran, tetapi hanya (berpotensi) mengoreksinya setelah kerusakan terjadi.

Konsep Ermittlungsrichter ini sangat relevan dengan wacana reformasi KUHAP di Indonesia, di mana Rancangan KUHAP (R-KUHAP) telah memperkenalkan konsep serupa yang disebut Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP).17 R-KUHAP membayangkan HPP dengan kewenangan yang jauh lebih luas daripada Praperadilan, termasuk menguji sah atau tidaknya penyadapan dan berbagai pelanggaran hak tersangka lainnya selama penyidikan, yang jelas terinspirasi dari model Eropa Kontinental.17

Secara keseluruhan, sistem Jerman dibangun di atas filosofi "kebenaran melalui transparansi yang terkontrol." Negara, melalui polisi dan jaksa, diberikan kewenangan investigasi yang besar.28 Namun, sebagai penyeimbang, sistem hukum tidak hanya mengandalkan perlawanan dari pihak lawan, tetapi membangun dua pilar kontrol yang kokoh. Pilar pertama adalah kontrol yudisial proaktif melalui Ermittlungsrichter, yang memastikan bahwa tindakan-tindakan krusial yang merampas kemerdekaan diputuskan oleh hakim, bukan oleh penyidik. Pilar kedua adalah transparansi prosedural melalui Akteneinsicht, yang memberikan pihak pertahanan "peta" yang sama dengan yang dimiliki jaksa untuk menavigasi kasus. Kombinasi kedua pilar ini menciptakan sebuah sistem di mana pencarian kebenaran tidak diserahkan sepenuhnya pada "pertarungan" antar pihak, melainkan dipandu oleh transparansi dan diawasi oleh yudikatif sejak awal. Ini merupakan antitesis dari model KUHAP yang memberikan kekuasaan investigatif besar kepada penyidik tanpa transparansi yang memadai dan dengan kontrol yudisial yang lemah dan reaktif.

Bagian IV: Model Komparatif II - Kewajiban Pengungkapan dalam Sistem Amerika Serikat

Beralih dari tradisi hukum sipil Jerman, sistem common law Amerika Serikat, yang secara inheren bersifat adversarial, menawarkan perspektif yang berbeda namun sama-sama berharga. Meskipun tidak mengenal konsep "berkas perkara tunggal" seperti di Jerman, sistem AS telah mengembangkan mekanisme discovery dan doktrin konstitusional yang kuat untuk memastikan bahwa pertarungan di pengadilan tidak menjadi ajang "trial by ambush."

4.1. Mekanisme Discovery berdasarkan Federal Rule of Criminal Procedure (FRCP) 16

Proses pertukaran informasi pra-sidang dalam perkara pidana federal diatur secara formal dalam Federal Rule of Criminal Procedure 16 (FRCP Rule 16). Aturan ini menetapkan kewajiban bagi pemerintah (jaksa) dan, dalam kondisi tertentu, bagi terdakwa untuk saling mengungkapkan bukti yang akan mereka gunakan.

Kewajiban Pengungkapan oleh Pemerintah

Berdasarkan FRCP Rule 16, atas permintaan terdakwa, pemerintah wajib mengungkapkan dan menyediakan untuk diinspeksi, disalin, atau difoto, beberapa kategori informasi dan bukti yang berada dalam penguasaan, kustodi, atau kontrol pemerintah.29 Kategori-kategori utama tersebut meliputi:

  • Pernyataan Terdakwa: Setiap pernyataan tertulis atau terekam yang relevan yang dibuat oleh terdakwa, serta substansi dari setiap pernyataan lisan yang relevan yang dibuat terdakwa sebagai respons atas interogasi oleh agen pemerintah.30

  • Catatan Kriminal Terdakwa: Salinan catatan kriminal terdakwa yang dimiliki oleh pemerintah.31

  • Dokumen dan Objek: Buku, surat, dokumen, data, foto, objek berwujud, bangunan, atau tempat, jika item tersebut material untuk persiapan pembelaan, atau pemerintah bermaksud menggunakannya dalam presentasi kasus utamanya (case-in-chief), atau item tersebut diperoleh dari atau milik terdakwa.30

  • Laporan Pemeriksaan dan Tes: Hasil atau laporan dari setiap pemeriksaan fisik atau mental dan tes atau eksperimen ilmiah yang relevan.29

  • Keterangan Saksi Ahli: Ringkasan dari kesaksian yang diharapkan akan diberikan oleh saksi ahli pemerintah.29

Sifat Resiprokal dan Batasan

Mekanisme discovery ini memiliki sifat timbal balik atau resiprokal. Jika terdakwa meminta pengungkapan bukti tertentu (misalnya, dokumen dan objek) dan pemerintah mematuhinya, maka pemerintah berhak meminta pengungkapan bukti serupa dari terdakwa yang berada dalam penguasaannya dan yang bermaksud ia gunakan dalam pembelaannya.30 Namun, aturan ini juga memiliki batasan penting. Aturan tidak tidak mengizinkan penemuan laporan, memo, atau dokumen internal lainnya yang dibuat oleh pengacara pemerintah atau terdakwa selama proses investigasi atau pembelaan, sebuah konsep yang dikenal sebagai work product doctrine.30 Selain itu, pengadilan memiliki wewenang untuk mengatur jalannya discovery, termasuk menolak, membatasi, atau menunda pengungkapan demi alasan yang kuat (good cause), seperti untuk melindungi saksi dari intimidasi.29

4.2. Doktrin Brady v. Maryland: Kewajiban Konstitusional Mengungkap Bukti Ekskulpatori

Di luar aturan prosedural formal seperti FRCP Rule 16, pilar terpenting dari keadilan pra-ajudikasi di AS adalah doktrin konstitusional yang lahir dari putusan Mahkamah Agung yang monumental dalam kasus Brady v. Maryland, 373 U.S. 83 (1963).33

Inti Doktrin Brady

Doktrin Brady menetapkan bahwa penuntut umum memiliki kewajiban konstitusional afirmatif, yang bersumber dari Due Process Clause (Pasal Amendemen ke-14), untuk menyerahkan kepada pihak pertahanan setiap bukti yang berada dalam penguasaan pemerintah yang bersifat menguntungkan (favorable) bagi terdakwa.33 Bukti yang "menguntungkan" ini mencakup:

  1. Bukti Ekskulpatori: Bukti yang cenderung meniadakan atau membantah kesalahan terdakwa.34

  2. Bukti Mitigasi: Bukti yang dapat mengurangi potensi hukuman yang akan dijatuhkan.33

  3. Bukti Impeachment: Bukti yang dapat digunakan untuk meruntuhkan kredibilitas saksi yang diajukan oleh jaksa (misalnya, informasi bahwa saksi memiliki catatan kebohongan atau dibayar untuk memberikan kesaksian).36

Kewajiban Proaktif dan Standar Materialitas

Kewajiban ini bersifat proaktif. Artinya, jaksa harus mengungkapkan materi Brady bahkan tanpa adanya permintaan spesifik dari pihak pertahanan.36 Kewajiban ini juga berlaku terlepas dari niat baik atau buruk jaksa; penyembunyian bukti yang tidak disengaja tetap merupakan pelanggaran (Brady violation).35 Putusan ini menandai pergeseran paradigma dari sistem "trial by ambush," di mana kemenangan menjadi tujuan utama, menuju sistem yang lebih berfokus pada keadilan dan pencarian kebenaran.33

Pelanggaran terhadap kewajiban Brady dapat menjadi dasar untuk membatalkan putusan bersalah jika bukti yang disembunyikan tersebut bersifat material. Sebuah bukti dianggap "material" jika terdapat "kemungkinan yang masuk akal" (reasonable probability) bahwa, seandainya bukti tersebut diungkapkan kepada pihak pertahanan, hasil persidangan akan berbeda.34 "Kemungkinan yang masuk akal" ini tidak berarti terdakwa harus membuktikan bahwa ia pasti akan dibebaskan, melainkan cukup untuk menunjukkan bahwa ketiadaan bukti tersebut telah merusak kepercayaan terhadap hasil persidangan (undermines confidence in the outcome of the trial).36

Model AS, meskipun pada dasarnya adversarial, mengakui bahwa pertarungan yang adil tidak mungkin terjadi di medan yang tidak seimbang. Sistem adversarial adalah pertarungan antara dua pihak yang berlawanan, di mana jaksa memiliki keunggulan sumber daya yang luar biasa, termasuk akses ke aparat kepolisian, laboratorium forensik, dan kekuasaan investigatif lainnya.33 Tanpa aturan intervensi, jaksa yang berorientasi pada kemenangan (win-oriented) dapat dengan mudah menyembunyikan bukti yang melemahkan kasus mereka, yang berpotensi besar mengarah pada penghukuman orang yang tidak bersalah.33

Doktrin Brady tidak mengubah sifat adversarial dari sistem tersebut. Sebaliknya, ia menetapkan sebuah batas etis dan konstitusional. Pesan implisitnya adalah: "Anda boleh bertarung sekuat tenaga, tetapi Anda tidak boleh bertarung secara curang dengan menyembunyikan bukti yang menunjukkan lawan Anda mungkin tidak bersalah atau hukumannya seharusnya lebih ringan".33 Ini adalah pengakuan bahwa dalam sistem adversarial murni, pencarian kebenaran bisa menjadi korban dari semangat untuk menang.

Brady berfungsi sebagai jaring pengaman konstitusional untuk menangkap kebenaran yang mungkin jatuh di antara celah-celah pertarungan adversarial. Ini adalah pendekatan yang berbeda secara filosofis dari model Jerman yang lebih inquisitorial, namun keduanya tiba pada kesimpulan yang sama: akses pihak pertahanan terhadap informasi krusial yang dimiliki negara adalah syarat mutlak bagi terwujudnya peradilan yang adil. Di Indonesia, meskipun tujuan mencari kebenaran materiil sangat sejalan dengan semangat Brady, belum ada doktrin serupa yang eksplisit, mengikat secara konstitusional, dan dilengkapi dengan sanksi yang jelas bagi aparat yang menyembunyikan bukti yang meringankan.

Bagian V: Sintesis dan Proyeksi Reformasi KUHAP: Menuju Kesetaraan Senjata yang Substantif

Analisis kritis terhadap KUHAP dan studi komparatif terhadap model Jerman dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa reformasi hukum acara pidana Indonesia tidak dapat lagi ditunda. Untuk beralih dari ilusi prosedural menuju kesetaraan senjata yang substantif, diperlukan perubahan yang fundamental dan komprehensif pada tiga pilar utama fase pra-ajudikasi: hak akses informasi, kewajiban pengungkapan, dan mekanisme kontrol yudisial.

5.1. Merumuskan Ulang Hak Akses Informasi: Adopsi Hibrida Akteneinsicht dan Discovery

Pilar pertama dan paling mendesak adalah merevisi total Pasal 72 KUHAP yang menjadi sumber utama asimetri informasi. Reformasi harus bergerak melampaui logika restriktif yang ada dan mengadopsi prinsip transparansi sebagai norma. Model yang diusulkan adalah sebuah hibrida yang terinspirasi dari keluasan Akteneinsicht Jerman dan kepastian prosedural Discovery AS.

Proposal reformasi untuk hak akses informasi mencakup:

  • Hak Akses Penuh dan Berkelanjutan: Memberikan hak akses penuh dan berkelanjutan (full and continuous access) kepada penasihat hukum terhadap seluruh isi berkas perkara. Hak ini harus timbul secara otomatis sejak seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan berlanjut sepanjang proses peradilan.

  • Definisi Berkas Perkara yang Luas: Berkas perkara harus didefinisikan secara eksplisit dan luas, mencakup (namun tidak terbatas pada) semua BAP (saksi, ahli, tersangka), laporan hasil penyelidikan, seluruh surat perintah dan laporan pelaksanaannya (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan), laporan forensik, transkrip penyadapan, dan semua bukti lain, baik yang memberatkan (inculpatory) maupun yang meringankan (exculpatory), yang dikumpulkan atau dihasilkan oleh penyidik.

  • Akses Otomatis, Bukan Permintaan: Mengubah sifat hak dari "atas permintaan" menjadi hak otomatis yang melekat pada status penasihat hukum. Prosedur pemberian akses harus diatur secara sederhana, misalnya melalui kewajiban penyidik untuk memberikan salinan digital atau akses ke portal elektronik berkas perkara dalam waktu yang singkat setelah penasihat hukum terdaftar secara resmi.

  • Penetapan Tenggat Waktu: Mengadopsi elemen dari FRCP Rule 16 30, KUHAP baru harus menetapkan tenggat waktu yang jelas bagi penuntut umum untuk memastikan semua materi
    discovery telah diserahkan kepada pihak pertahanan jauh sebelum sidang pertama dimulai. Ini untuk menjamin bahwa pihak pertahanan memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari berkas dan mempersiapkan pembelaan, bukan menerimanya sesaat sebelum persidangan.

5.2. Mengintegrasikan Kewajiban Pengungkapan Proaktif: "Doktrin Brady Indonesia"

Pilar kedua adalah mengintegrasikan kewajiban pengungkapan proaktif yang terinspirasi oleh doktrin Brady AS. Ini penting karena akses terhadap berkas saja tidak cukup; harus ada kewajiban afirmatif bagi negara untuk menunjuk dan menyerahkan bukti yang mungkin tidak disadari signifikansinya oleh pihak pertahanan.

Proposal pengenalan "Doktrin Brady Indonesia" mencakup:

  • Norma Kewajiban Afirmatif: Memasukkan norma baru yang eksplisit dalam KUHAP yang menyatakan bahwa Penuntut Umum (dan penyidik sebagai bagian dari tim penegakan hukum) memiliki kewajiban hukum afirmatif untuk mengungkapkan kepada pihak pertahanan semua bukti atau informasi yang berada dalam penguasaan atau pengetahuan mereka, yang cenderung: (a) meniadakan atau mengurangi kesalahan terdakwa, (b) berfungsi sebagai dasar untuk meringankan hukuman, atau (c) meruntuhkan kredibilitas bukti atau saksi kunci yang diajukan oleh penuntut umum.

  • Kewajiban Berkelanjutan dan Sanksi yang Jelas: Kewajiban ini harus dinyatakan berlaku sepanjang proses peradilan (continuing duty to disclose), sebagaimana diatur dalam FRCP Rule 16(c).30 Pelanggaran terhadap kewajiban ini harus disertai dengan sanksi yang jelas dan berjenjang, mulai dari tidak dapat diterimanya bukti terkait di persidangan, perintah untuk mengadakan sidang baru, hingga kemungkinan pembatalan dakwaan dalam kasus-kasus pelanggaran yang disengaja dan berdampak parah pada keadilan persidangan.

5.3. Merevitalisasi Kontrol Yudisial: Implementasi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP)

Pilar ketiga adalah mengganti mekanisme kontrol yudisial yang reaktif dan lemah (Praperadilan) dengan institusi yang proaktif, kuat, dan memiliki kewenangan materiil. Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang sudah ada dalam draf R-KUHAP harus didorong untuk diimplementasikan secara penuh, dengan mengambil pelajaran dari efektivitas Ermittlungsrichter Jerman.

Proposal revitalisasi kontrol yudisial mencakup:

  • Kewenangan Otorisasi Ex-Ante: HPP harus menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan otorisasi sebelum tindakan upaya paksa yang signifikan (penahanan, perpanjangan penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan) dilakukan. Ini akan memindahkan titik kontrol dari post-factum ke ex-ante, dari mengoreksi menjadi mencegah.10

  • Pengujian Materiil, Bukan Formal: Pemeriksaan oleh HPP harus secara eksplisit diamanatkan untuk bersifat materiil. Artinya, dalam permohonan penahanan, misalnya, HPP tidak hanya memeriksa kelengkapan surat, tetapi secara substantif menguji apakah benar-benar terdapat bukti permulaan yang cukup yang mengarah pada dugaan kuat bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana.10

  • Forum Penyelesaian Sengketa Pra-Ajudikasi: HPP harus berfungsi sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul selama fase pra-ajudikasi, termasuk sengketa terkait pelaksanaan hak akses informasi (poin 5.1) dan pemenuhan kewajiban pengungkapan (poin 5.2). Dengan demikian, HPP akan menjadi institusi pengawas yang komprehensif, menggantikan peran Praperadilan yang terfragmentasi dan terbatas.

Untuk memvisualisasikan kesenjangan antara sistem saat ini dan model-model yang dianalisis, tabel perbandingan berikut disajikan.

Fitur/Mekanisme

Indonesia (KUHAP Saat Ini)

Jerman (StPO)

Amerika Serikat (FRCP & Doktrin Konstitusional)

Akses Berkas Perkara oleh Pertahanan

Sangat terbatas pada BAP tersangka di tingkat penyidikan; diberikan "atas permintaan" dan seringkali bersifat diskresioner.12

Hak fundamental dan luas bagi penasihat hukum untuk memeriksa seluruh berkas perkara yang dipegang jaksa/pengadilan.25

Mekanisme discovery formal atas permintaan terhadap kategori bukti spesifik (pernyataan terdakwa, dokumen, laporan tes, dll.).30

Kewajiban Pengungkapan Bukti Meringankan oleh Jaksa

Tidak diatur secara eksplisit; hanya implisit dalam tujuan umum mencari kebenaran materiil tanpa sanksi yang jelas.7

Implisit dalam prinsip fair trial dan kewajiban transparansi berkas secara menyeluruh, di mana bukti meringankan akan terlihat.25

Kewajiban konstitusional yang proaktif dan afirmatif (Doktrin Brady) untuk menyerahkan semua bukti yang menguntungkan terdakwa.35

Kontrol Yudisial atas Upaya Paksa

Praperadilan: bersifat reaktif (post-factum), pasif, dengan lingkup terbatas dan praktik yang cenderung formalistis-administratif.10

Ermittlungsrichter: bersifat proaktif (ex-ante), memberikan otorisasi sebelum tindakan, dan melakukan pengujian secara materiil.17

Persyaratan surat perintah (warrant requirement) yang dikeluarkan oleh hakim netral berdasarkan probable cause; bersifat proaktif dan materiil.

Tabel ini secara dramatis mengilustrasikan betapa tertinggalnya kerangka kerja KUHAP dalam menjamin peradilan yang adil pada tahap pra-ajudikasi. Ia menunjukkan bahwa baik sistem hukum sipil (Jerman) maupun common law (AS), meskipun dengan pendekatan yang berbeda, sama-sama telah sampai pada kesimpulan bahwa transparansi informasi dan kontrol yudisial yang kuat adalah elemen yang tidak dapat ditawar. Hal ini memberikan landasan argumentatif yang kokoh bagi urgensi dan arah reformasi yang diusulkan.

Bagian VI: Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

6.1. Rangkuman Temuan Utama

Analisis kritis terhadap fase pra-ajudikasi dalam KUHAP, dengan lensa perbandingan terhadap model Jerman dan Amerika Serikat, menghasilkan beberapa temuan konklusif. Pertama, KUHAP saat ini secara struktural menderita defisit kesetaraan senjata yang parah. Defisit ini berakar pada asimetri informasi yang dilembagakan oleh interpretasi dan praktik restriktif terhadap Pasal 72 KUHAP, yang secara efektif menempatkan pihak pertahanan dalam posisi "buta" informasi. Kedua, mekanisme kontrol yudisial yang ada, yaitu Praperadilan, terbukti tidak efektif sebagai penyeimbang kekuasaan aparat penegak hukum. Sifatnya yang reaktif (post-factum), lingkup kewenangannya yang terbatas (meskipun telah diperluas oleh Mahkamah Konstitusi), dan praktiknya yang cenderung formalistis gagal memberikan pengawasan materiil yang substantif terhadap tindakan upaya paksa.

Kombinasi dari kedua kelemahan fundamental ini—ketiadaan transparansi informasi dan lemahnya kontrol yudisial—menciptakan sebuah ilusi equality of arms. Prinsip yang seharusnya menjadi jaminan pertarungan hukum yang adil terdegradasi menjadi sekadar formalitas prosedural. Lebih jauh, kondisi ini secara langsung menghambat pencapaian tujuan tertinggi hukum acara pidana Indonesia, yaitu penemuan kebenaran materiil. Sebuah kebenaran yang sejati tidak mungkin ditemukan melalui proses yang timpang, di mana satu pihak memonopoli informasi dan pihak lainnya dipaksa untuk bertahan dalam kegelapan.

6.2. Rekomendasi Kebijakan Konkret

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, diperlukan langkah-langkah reformasi yang terstruktur dan multi-jalur yang melibatkan lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Untuk Legislator (DPR dan Pemerintah)

  1. Memprioritaskan Revisi KUHAP: Revisi KUHAP harus ditempatkan sebagai agenda legislasi prioritas. Fokus utama revisi harus diarahkan pada perombakan fase pra-ajudikasi dengan mengadopsi tiga pilar reformasi yang telah diuraikan:

  1. Pilar 1: Hak Akses Penuh terhadap Berkas Perkara: Merevisi total Pasal 72 KUHAP untuk menjamin hak akses yang luas, otomatis, dan berkelanjutan bagi penasihat hukum terhadap seluruh berkas perkara sejak penetapan tersangka, sebagaimana terinspirasi oleh Akteneinsicht Jerman.

  2. Pilar 2: Kewajiban Pengungkapan Proaktif: Mengintroduksi norma baru yang secara eksplisit mewajibkan penyidik dan penuntut umum untuk secara proaktif mengungkapkan semua bukti yang meringankan (exculpatory evidence), sejalan dengan semangat doktrin Brady, lengkap dengan sanksi yang tegas atas pelanggarannya.39

  3. Pilar 3: Implementasi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP): Mengimplementasikan secara penuh konsep HPP yang kuat dan independen, dengan kewenangan otorisasi ex-ante dan pengujian materiil terhadap semua tindakan upaya paksa, untuk menggantikan lembaga Praperadilan yang sudah tidak memadai.17

Untuk Mahkamah Agung

  1. Menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sebagai Solusi Jangka Pendek: Sambil menunggu proses revisi legislatif yang mungkin memakan waktu lama, Mahkamah Agung dapat mengambil peran proaktif dengan menerbitkan PERMA yang berfungsi sebagai jembatan. PERMA ini dapat berisi:

  1. Pedoman Interpretasi Progresif: Memberikan pedoman bagi hakim di seluruh Indonesia untuk menafsirkan Pasal 72 KUHAP secara lebih luas dan progresif, dengan memaknai "berita acara pemeriksaan" sebagai keseluruhan berkas yang relevan untuk pembelaan, tidak hanya BAP tersangka.

  2. Penguatan Pengujian Materiil dalam Praperadilan: Menginstruksikan hakim Praperadilan untuk tidak hanya berhenti pada pengujian formal-administratif, tetapi juga wajib melakukan pengujian materiil terhadap kecukupan bukti awal yang menjadi dasar tindakan upaya paksa, sejalan dengan semangat Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

Untuk Aparat Penegak Hukum (Kepolisian dan Kejaksaan)

  1. Mengembangkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Internal: Sebagai wujud komitmen terhadap prinsip due process of law dan perlindungan HAM, Kepolisian dan Kejaksaan Agung perlu mengembangkan dan mengimplementasikan SOP internal yang sejalan dengan semangat transparansi.39 SOP ini harus mengatur secara teknis prosedur pemberian akses informasi yang lebih terbuka kepada penasihat hukum dan mekanisme internal untuk memastikan tidak ada bukti meringankan yang disembunyikan. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan akuntabilitas tetapi juga dapat mengurangi jumlah permohonan Praperadilan dan membangun kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.2

Reformasi ini bukanlah sekadar perubahan teknis, melainkan sebuah pergeseran filosofis menuju peradilan pidana yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Hanya dengan membongkar asimetri informasi dan membangun mekanisme kontrol yang efektif, prinsip equality of arms dapat beralih dari ilusi menjadi realitas, dan pencarian kebenaran materiil dapat menjadi tujuan yang benar-benar dapat dicapai.


Update: Analisis RUU KUHAP, Pasal yang Mirip dengan Pasal 72 KUHAP Lama

Secara keseluruhan, RUU KUHAP ini menunjukkan beberapa kemajuan prosedural, namun tampaknya belum sepenuhnya mengatasi masalah fundamental terkait asimetri informasi yang menjadi inti penelitian ini. RUU ini mengadopsi beberapa putusan Mahkamah Konstitusi dan memperjelas hak-hak tertentu, tetapi gagal mengimplementasikan reformasi struktural yang terinspirasi dari model Jerman (Akteneinsicht) atau Amerika Serikat (Discovery) secara komprehensif. Pasal yang ekuivalen dengan Pasal 72 KUHAP lama (mengenai hak meminta turunan berita acara pemeriksaan/BAP) dapat ditemukan dalam dua pasal utama di RUU KUHAP yang baru:

  1. Pasal 141 huruf e: Pasal ini menetapkan hak Advokat untuk "meminta pejabat yang bersangkutan memberikan salinan berita acara pemeriksaan Tersangka untuk kepentingan pembelaan Tersangka sesaat setelah selesainya pemeriksaan".

  2. Pasal 144: Pasal ini memperkuat hak tersebut dengan menjadikannya kewajiban bagi penegak hukum. Bunyinya: "Penyidik, Penuntut Umum, atau petugas lembaga pemasyarakatan wajib memberikan salinan berita acara pemeriksaan kepada Tersangka, Terdakwa, atau Advokatnya untuk kepentingan pembelaannya paling lama 1 (satu) Hari terhitung sejak penandatanganan berita acara pemeriksaan".

Pasal 144 adalah versi yang lebih kuat dan lebih jelas dari Pasal 72 KUHAP lama. Pasal ini memberikan kepastian waktu ("paling lama 1 hari") dan mengubahnya dari sekadar hak meminta menjadi "kewajiban memberikan". Namun, ini belum mengatasi masalah inti dari asimetri informasi. Hak yang diberikan masih sebatas pada salinan BAP tersangka itu sendiri, bukan akses terhadap keseluruhan berkas perkara yang berisi BAP saksi lain, keterangan ahli, dan bukti-bukti lainnya yang dikumpulkan oleh penyidik. Ini berarti, prinsip transparansi penuh seperti Akteneinsicht di Jerman belum diadopsi.

Berikut adalah analisis singkat RUU KUHAP yang baru:

1. Asimetri Informasi dan Akses terhadap Berkas Perkara

RUU KUHAP ini mengambil beberapa langkah maju, namun masih mempertahankan kesenjangan informasi yang signifikan.

Kemajuan yang Tercatat:

  • Kewajiban Memeriksa Saksi yang Meringankan. Pasal 36 ayat (1) RUU KUHAP secara eksplisit menyatakan bahwa "Penyidik wajib memanggil dan memeriksa Saksi yang dapat menguntungkan Tersangka". Ini adalah sebuah langkah progresif yang mengadopsi semangat Brady Disclosure dari sistem AS, dimana negara memiliki kewajiban untuk tidak menyembunyikan bukti yang dapat meringankan (ekskulpatori).

  • Kepastian Waktu Pemberian Salinan BAP. Seperti dibahas di atas, Pasal 144 memberikan batas waktu yang jelas untuk penyerahan salinan BAP tersangka.

Kelemahan Fundamental yang Belum Terjawab:

  • Tidak Adanya Prinsip "Open-File". RUU ini tidak memuat satu pasal pun yang memberikan hak akses penuh dan proaktif bagi tersangka/advokat terhadap keseluruhan isi berkas perkara selama tahap penyidikan. Akses masih bersifat parsial (hanya BAP tersangka) dan reaktif. Ini sangat kontras dengan konsep Akteneinsicht Jerman yang menjadi salah satu model perbandingan.

  • Tanpa Akses Penuh ke Berkas Perkara. Kemampuan pembela untuk menyiapkan strategi yang efektif, menguji legalitas perolehan bukti, dan mempersiapkan pembelaan secara proaktif tetap sangat terbatas. "Ilusi kesetaraan senjata" yang diidentifikasi sebagai masalah sentral masih akan menjadi realitas dalam praktik.

2. Kontrol Yudisial pada Fase Pra-Ajudikasi

RUU KUHAP mengkodifikasi beberapa perkembangan terkait Praperadilan, namun belum memperkenalkan mekanisme kontrol preventif yang kuat.

Kemajuan yang Tercatat:

  • Kodifikasi Objek Praperadilan yang Diperluas: RUU KUHAP secara resmi memasukkan "Penetapan Tersangka" sebagai salah satu bentuk "Upaya Paksa" (Pasal 84 huruf a) yang sah atau tidaknya dapat diuji melalui Praperadilan (Pasal 149 ayat (1) huruf a). Hal ini mengadopsi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang menjadi titik penting dalam evolusi Praperadilan.

Kelemahan Fundamental yang Belum Terjawab:

  • Praperadilan Tetap Bersifat Formalistik. Tidak ada perubahan mendasar dalam lingkup pemeriksaan Praperadilan. Fokusnya tetap pada sah atau tidaknya aspek formal dari suatu upaya paksa, bukan pada pengujian kelayakan substantif alat bukti (preliminary hearing) sebagaimana yang diproyeksikan dalam proposal reformasi yang terinspirasi model AS. Praperadilan masih berfungsi sebagai kontrol post-factum (setelah kejadian), bukan filter preventif.

  • Gagal Mengadopsi Hakim Pengawas Penyidikan (Ermittlungsrichter): Proposal untuk mengadopsi hakim pengawas penyidikan (terinspirasi Ermittlungsrichter Jerman) untuk mengawasi proses penyidikan secara proaktif tidak terwujud dalam RUU ini. RUU ini memang memperkenalkan "Hakim pengawas dan pengamat" dalam Pasal 320, namun perannya sangat berbeda. Hakim ini bertugas untuk mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, artinya perannya berada pada fase pasca-ajudikasi, bukan pra-ajudikasi. Ini adalah sebuah kekeliruan konseptual jika tujuannya adalah memperkuat kontrol yudisial di fase hulu.

Kesimpulan

RUU KUHAP 2025 merupakan sebuah reformasi parsial yang bersifat inkremental, bukan transformatif.

  • Asimetri informasi sebagai kelemahan fundamental KUHAP lama tetap valid bahkan ketika dihadapkan dengan RUU ini. RUU ini belum berhasil menutup celah informasi tersebut.

  • Prinsip akses berkas perkara model Akteneinsicht dan memperluas kewenangan Praperadilan menjadi preliminary hearing atau memperkenalkan Hakim Pengawas Penyidikan tetap menjadi agenda reformasi yang mendesak, karena RUU ini belum menjawab kebutuhan tersebut.

RUU ini memberikan beberapa perbaikan penting, namun pada akhirnya masih mempertahankan arsitektur pra-ajudikasi yang menempatkan negara sebagai pemegang monopoli informasi, sehingga prinsip equality of arms belum terwujud secara substantif. Penelitian ini akan menjadi kontribusi yang sangat berharga untuk menunjukkan di mana letak kelemahan RUU ini dan mengapa reformasi yang lebih fundamental dan berani masih diperlukan.


Daftar Pustaka

  1. The Implementation of the Suspect's Right to be ... - Jurnal UNISSULA,  https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/rlj/article/viewFile/23715/7343

  2. Peran penasehat hukum dalam membantu tersangka pada penyidikan guna terciptanya proses hukum,  https://legalitas.unbari.ac.id/index.php/Legalitas/article/download/157/142

  3. Kebenaran Materiil dalam Kajian Hukum Pidana - Universitas Malikussaleh,  https://ojs.unimal.ac.id/reusam/article/download/3811/2205

  4. Laporan kegiatan Tim Naskah Akademik RUU tentang - Badan Pembinaan Hukum Nasional,  https://bphn.go.id/data/documents/renkum_na2010.pdf

  5. PENERAPAN ASAS MENCARI KEBENARAN MATERIIL PADA PERKARA PERDATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA - Universitas Kristen Indonesia,  http://ejournal.uki.ac.id/index.php/tora/article/download/1107/935

  6. Penerapan Asas Mencari Kebenaran Materiil - Repositori Universitas Kristen Indonesia,  http://repository.uki.ac.id/8224/1/PenerapanAsasMencariKebenaranMateriil.pdf

  7. Teori Pembuktian dalam ... - Digilib Unila,  http://digilib.unila.ac.id/2290/8/BAB%20II.pdf

  8. Teori dan Hukum Pembuktian - Pengadilan Negeri Lhoksukon,  https://www.pn-lhoksukon.go.id/media/files/20170417150853209334910258f4781588e77_20170419145829_Teori%2Bdan%2BHukum%2BPembuktian.pdf

  9. Teori dan Hukum Pembuktian - Pengadilan Negeri Lhoksukon,  https://www.pn-lhoksukon.go.id/content/artikel/20170417150853209334910258f4781588e77.html

  10. Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Pengawasan Penahanan Dalam Rancangan KUHAP | ICJR,  https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2014/03/HPP-dan-Penahanan-dalam-R-KUHAP.pdf

  11. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 - JDIH Mahkamah Agung,  https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/kitab-undang-undang-hukum-acara-pidana/download

  12. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 ...,  https://mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara_2091_Perkara%20No.%2012%20Perbaikan.pdf

  13. Efektivitas Putusan Praperadilan Terhadap Pelaksanaan Penyitaan Beserta Implikasi Hukumnya - ResearchGate,  https://www.researchgate.net/publication/347647264_Efektivitas_Putusan_Praperadilan_Terhadap_Pelaksanaan_Penyitaan_Beserta_Implikasi_Hukumnya

  14. TINJAUAN TERHADAP PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA (STUDI KASUS PERKARA NO. 2 / PID. PR - Repository Universitas Islam Riau,  https://repository.uir.ac.id/17982/1/171010103.pdf

  15. Analisis terhadap perluasan objek praperadilan ... - Digilib UIN SUKA,  https://digilib.uin-suka.ac.id/38786/1/14340050_BAB%20I_BAB%20V_DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

  16. ANALISIS TENTANG ALASAN PENGAJUAN PRAPERADILAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS TENTANG LEGALITAS PENETAPAN TERSANGKA (Studi,  https://jurnal.uns.ac.id/verstek/article/download/39618/26049

  17. Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan ... - Neliti,  https://media.neliti.com/media/publications/35454-ID-analisis-yuridis-kedudukan-hakim-pemeriksa-pendahuluan-sebagai-upaya-pembaharuan.pdf

  18. ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENYELIDIKAN DAN PENYI - Unissula Repository,  http://repository.unissula.ac.id/26212/1/20302000060_fullpdf.pdf

  19. IMPLEMENTASI PRAPERADILAN DALAM MELINDUNGI HAK-HAK TERSANGKA DAN PIHAK KETIGA DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN PROGRAM MAGISTER I,  https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8956/SUTIKNA.pdf?sequence=1

  20. PRAPERADILAN PASCA 4 PUTUSAN MK - Kepaniteraan ...,  https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/Praperadilan%20Pasca%204%20Putusan%20MK.pdf

  21. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan (Studi Putusan Nomor 73 - E-Journal Bunda Media Grup,  https://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris/article/download/22/32

  22. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DENGAN PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 73/Pid.Pra/2018/PN.Mdn) - UMSU,  http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/5233

  23. audit kuhap | icjr,  https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2023/02/AUDIT-KUHAP-2022.pdf

  24. Access to case files - ECCHR,  https://www.ecchr.eu/en/glossary/access-to-case-files/

  25. Criminal Defense: Inspection of Files (Akteneinsicht),  https://se-legal.de/criminal-defense-lawyer/criminal-defense-inspection-of-files-akteneinsicht/?lang=en

  26. LIETZOW v. GERMANY - HUDOC,  https://hudoc.echr.coe.int/eng?i=001-59209

  27. Arrested or in prison in Germany - GOV.UK,  https://www.gov.uk/guidance/arrested-or-in-prison-in-germany

  28. General Information on the Implementation of the Data Protection Regulations of the German Federal Data Protection Act (BDSG) an - Finanzamt Brandenburg,  https://finanzamt.brandenburg.de/sixcms/media.php/9/General%20information%20on%20the%20Implementation%20of%20the%20Data%20Protection%20Regulations%20of%20the%20BDSG.pdf

  29. Rule 16. Discovery and Inspection - D.C. Courts,  https://www.dccourts.gov/sites/default/files/rules-superior-court/Criminal%20Rule%2016.%20Discovery%20and%20Inspection.pdf

  30. Rule 16. Discovery and Inspection | Federal Rules of Criminal Procedure | US Law,  https://www.law.cornell.edu/rules/frcrmp/rule_16

  31. Federal Rules of Criminal Procedure Fed. R. Crim. P. 16 - Discovery and inspection | Justia,  https://www.justia.com/criminal/docs/frcrimp/rule16/

  32. Rule 16. Discovery and Inspection | 2024 Federal Rules of Criminal Procedure,  https://www.federalrulesofcriminalprocedure.org/title-iv/rule-16-discovery-and-inspection/

  33. The Story of Brady v. Maryland: From Adversarial Gamesmanship ...,  https://scholarship.law.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=&httpsredir=1&article=1076&context=faculty_scholarship

  34. Brady v. Maryland - Wikipedia,  https://en.wikipedia.org/wiki/Brady_v._Maryland

  35. Brady v. Maryland | 373 U.S. 83 (1963) | Justia U.S. Supreme Court Center,  https://supreme.justia.com/cases/federal/us/373/83/

  36. Brady rule | Wex | US Law | LII / Legal Information Institute,  https://www.law.cornell.edu/wex/brady_rule

  37. Faces of Brady: The Human Cost of Brady Violations - NACDL,  https://www.nacdl.org/Article/May2013-FacesofBradyTheHumanCostofBrad

  38. RULE CR-16. DISCOVERY AND INSPECTION. (a) Discovery Conference and Agreement. (1) The parties need not make standard discovery,  https://www.txwd.uscourts.gov/wp-content/uploads/Documents/Local%20Court%20Rules/Criminal/CR-16%20-%20Discovery%20and%20Inspection.pdf

  39. Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP - LBH Jakarta,  https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2025/03/Pasal-Pasal_Bermasalah_dalam_RUU_KUHAP.pdf

  40. Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tentang Praperadilan - Repository,  https://repository.uai.ac.id/wp-content/uploads/2020/09/Himpunan-putusan-Mahkamah-Konstitusi-Republik-Indonesia_fix.pdf





 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...