Dalih yang dikemukakan oleh Menteri Kebudayaan, bahwa Indonesia telah absen menulis sejarahnya selama 26 (dua puluh enam) tahun, pada permukaan terdengar logis. Namun, seorang filsuf sejarah akan segera bertanya, mengapa baru sekarang? Dan mengapa dengan cara seperti ini? Sejarah tidak pernah ditulis dalam ruang hampa. Sejarah selalu merupakan jawaban atas kebutuhan zaman, dan dalam kasus ini, zaman yang dibentuk oleh konstelasi kekuasaan saat ini. Klaim pelibatan 130 sejarawan dari 34 kampus, alih-alih menjadi jaminan objektivitas, justru bisa dibaca sebagai strategi legitimasi untuk sebuah proyek yang sejak awal telah ditentukan arahnya. Sejarah yang agung tidak lahir dari keroyokan akademisi dalam tempo tujuh bulan yang tergesa-gesa. Teks sejarah lahir dari riset mendalam, perdebatan terbuka, dan pergulatan intelektual yang jujur selama bertahun-tahun. Kecepatan dalam proyek semacam ini seringkali adalah indikasi dari sebuah kesimpulan yang telah ditulis terlebih dahulu.
Kekhawatiran paling fundamental, yang disuarakan oleh Fraksi PDIP, menyentuh jantung persoalan yakni potensi proyek ini menjadi instrumen penyangkalan negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia (state denial on human right violation). Ini bukanlah ketakutan yang mengada-ada, melainkan sebuah kewaspadaan yang lahir dari pengalaman pahit. Sejarah, ketika dimonopoli oleh negara, memiliki kecenderungan patologis untuk menjadi hagiografi—kisah kepahlawanan tanpa cela dari para penguasa. Ia akan menghaluskan setiap tepi yang tajam, menyingkirkan setiap korban yang mengganggu narasi keagungan, dan membisukan setiap suara yang menuntut pertanggungjawaban. Sejarah Orde Baru adalah preseden yang paling relevan, contoh narasi resmi negara yang berhasil menciptakan amnesia terstruktur selama lebih dari tiga dekade terhadap tragedi kemanusiaan 1965 dan membingkainya sebagai tindakan heroik yang niscaya.
Apa yang ditakutkan hari ini adalah pengulangan dari patologi kekuasaan yang sama. Rakyat wajib waspada. Sejarah tidak lagi berfungsi sebagai cermin untuk refleksi, melainkan sebagai tameng untuk melindungi impunitas.
Proses yang tertutup, sebagaimana dikeluhkan oleh Fraksi PKB dan organisasi perempuan, bukanlah sekadar masalah teknis atau prosedural. Dalam epistemologi penulisan sejarah, proses adalah segalanya. Sejarah yang ditulis dibalik pintu tertutup, yang tidak transparan mengenai siapa penulisnya dan bagaimana mereka bekerja, telah kehilangan legitimasinya bahkan sebelum draf pertamanya selesai. Keresahan organisasi-organisasi perempuan secara khusus merupakan sinyal bahaya yang paling nyaring. Pengalaman historis menunjukkan bahwa tubuh perempuan dan pengalaman mereka—seperti dalam tragedi perkosaan massal 1998 atau stigmatisasi Gerwani pada 1965—seringkali menjadi halaman pertama yang dirobek atau ditulis ulang dalam narasi sejarah yang patriarkal dan militeristik. Keprihatinan mereka bukanlah tuntutan parsial, melainkan barometer bagi kesehatan nurani proyek sejarah ini secara keseluruhan. Ketika pengalaman penderitaan separuh dari warganya dianggap tidak relevan atau berpotensi mengganggu, maka sejarah yang sedang ditulis adalah sejarah yang cacat sejak dalam kandungan.
Pada akhirnya, kita berhadapan dengan dua konsepsi fundamental tentang fungsi sejarah. Pertama, sejarah sebagai terapi bangsa, di mana sebuah negara secara berani dan jujur mengkonfrontasi sisi-sisi tergelapnya, mengakui kesalahannya, dan belajar darinya untuk tidak mengulangi lagi. Ini adalah jalan pendewasaan yang menyakitkan namun perlu. Kedua, sejarah sebagai aparatus ideologis negara, yang digunakan untuk mendisiplinkan ingatan kolektif, memproduksi mitos-mitos persatuan yang semu, dan melanggengkan kekuasaan. Janji "uji publik" dalam konteks ini bisa jadi hanyalah sebuah ritual demokrasi yang kosong, sebuah formalitas untuk meredam kritik tanpa mengubah substansi.
Proyek penulisan ulang sejarah ini, dengan segala kontroversi yang melingkupinya, berdiri di persimpangan jalan antara dua pilihan tersebut. Jika ia terus berjalan dengan metode, kecepatan, dan ketertutupan yang sama, risikonya bukanlah sekadar menghasilkan sebuah buku sejarah yang penuh cela. Risiko terbesarnya adalah ia akan melahirkan sebuah monumen penyangkalan, sebuah teks resmi yang meracuni pemahaman generasi mendatang tentang siapa diri mereka dan dari mana mereka berasal. Ini akan menjadi tindakan yang lebih merusak daripada tidak menulis sejarah sama sekali, karena lebih baik memiliki kekosongan yang memancing pertanyaan daripada memiliki kepalsuan yang mematikan akal sehat. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang tidak memiliki noda dalam sejarahnya, melainkan bangsa yang berani membersihkan noda itu dengan kejujuran.
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar