Langsung ke konten utama

Erosi Demokrasi dan Kontroversi Kebijakan Selama Satu Dekade Kepemimpinan Joko Widodo (2014-2024)

 

Pendahuluan: Dari Harapan Reformasi ke Realitas Regresi Demokrasi

Kemunculan Joko Widodo (Jokowi) di panggung politik nasional pada tahun 2014 disambut dengan optimisme publik yang meluas. Sebagai figur yang berasal dari luar lingkaran elite politik dan militer tradisional yang telah lama mendominasi Indonesia, ia merepresentasikan harapan akan sebuah era baru—pemerintahan yang bersih, merakyat, dan berkomitmen penuh pada pendalaman agenda Reformasi 1998. Janji kampanye yang terangkum dalam "Nawacita" memperkuat citra ini, menawarkan visi tentang negara yang hadir melindungi segenap bangsa, penegakan hukum yang tanpa kompromi, dan revolusi mental yang akan membawa Indonesia menuju kemajuan.

Namun, setelah satu dekade berkuasa, warisan kepemimpinannya menghadirkan sebuah paradoks yang tajam. Di satu sisi, pemerintahannya dikenang karena fokus pragmatis pada pembangunan infrastruktur yang masif dan upaya menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pencapaian tersebut dibayangi oleh proses pengikisan pilar-pilar fundamental demokrasi yang terjadi secara sistematis dan berkelanjutan. Laporan ini berargumen bahwa sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo ditandai oleh regresi demokrasi yang signifikan, di mana supremasi hukum, independensi institusi anti-korupsi, kebebasan sipil, dan etika politik dikorbankan demi konsolidasi kekuasaan dan fasilitasi kepentingan ekonomi-politik oligarki. Nawacita, yang pernah menjadi sumber harapan, pada akhirnya tinggal menjadi cerita di tengah realitas dua periode yang penuh dengan drama pelemahan demokrasi.1

Laporan ini akan membedah secara kronologis kebijakan publik dan manuver politik kontroversial yang menjadi penanda utama dari kemunduran tersebut. Analisis akan dibagi ke dalam dua periode pemerintahan untuk melacak evolusi dan eskalasi dari setiap isu. Domain-domain utama yang akan dieksplorasi meliputi: pertama, pelemahan agenda pemberantasan korupsi dan supremasi hukum, yang berpuncak pada amputasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); kedua, produksi serangkaian legislasi kontroversial yang dinilai lebih melayani kepentingan investasi dan oligarki daripada hak-hak rakyat dan kelestarian lingkungan; ketiga, penyempitan ruang gerak masyarakat sipil melalui represi aparat dan kriminalisasi kritik; dan keempat, erosi etika politik yang mencapai puncaknya pada praktik politik dinasti dan dugaan intervensi dalam proses elektoral di penghujung masa jabatan.

Bagian I: Periode Pertama (2014-2019) – Peletakan Fondasi Pelemahan Institusional

Periode pertama pemerintahan Joko Widodo dapat diidentifikasi sebagai masa di mana retorika reformis mulai berbenturan dengan realitas politik yang pragmatis. "Dosa-dosa" atau kontroversi yang muncul pada tahap ini cenderung bersifat kompromi politik yang didorong oleh konstelasi kekuatan di parlemen. Meskipun belum seekstrem periode kedua, langkah-langkah yang diambil pada masa ini secara efektif meletakkan fondasi bagi pelemahan institusional yang lebih dalam dan sistematis di kemudian hari.

Akomodasi Oligarki dan Kompromi Politik Awal

Pemerintahan Joko Widodo dimulai dengan posisi politik yang rentan. Meskipun memenangkan pemilihan presiden, koalisi partai politik pendukungnya tidak menguasai suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).2 Kondisi ini memaksanya untuk menempuh jalur akomodasi politik yang luas demi mengamankan agenda pemerintahannya. Konsekuensinya adalah pembagian kekuasaan yang signifikan, termasuk penempatan figur-figur yang berafiliasi dengan partai politik di pos-pos kementerian strategis, bahkan di sektor hukum. Langkah ini sejak awal telah mengorbankan prinsip independensi yang seharusnya dijaga ketat di lembaga-lembaga penegak hukum.3

Untuk mengimbangi kelemahan politik domestik dan membangun basis legitimasi yang kuat, pemerintahan Jokowi mengadopsi kebijakan yang berlandaskan "nasionalisme ekonomi". Kebijakan ini diwujudkan melalui proteksi di sektor-sektor strategis, terutama pertambangan, dengan dalih memperkuat aktor ekonomi lokal.2 Meskipun populer dan sejalan dengan sentimen publik, strategi ini juga berfungsi sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuatan di tengah tantangan politik dari oposisi yang pada saat itu solid di parlemen.

Studi Kasus - Kontroversi "Cicak vs Buaya" Jilid III: Pencalonan Budi Gunawan

Titik uji pertama dan paling krusial bagi komitmen anti-korupsi Presiden Jokowi terjadi di awal masa jabatannya melalui pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Kontroversi meledak ketika KPK menetapkan Budi Gunawan, yang dikenal dekat dengan partai utama pendukung Jokowi, sebagai tersangka kasus korupsi.

Dalam situasi ini, posisi Presiden Jokowi digambarkan "terjepit" di antara tekanan kuat dari partai-partai pendukungnya yang bersikeras meloloskan pencalonan tersebut dan gelombang penolakan dari publik yang menuntut presiden untuk membatalkannya.4 Manuver ini secara gamblang menunjukkan ketidakberdayaan presiden dalam menghadapi apa yang disebut sebagai "kehendak oligarkis pendukungnya sendiri".5

Kontroversi ini bukanlah sekadar insiden politik yang terisolasi, melainkan sebuah dosa fundamental yang menetapkan pola perilaku pemerintah terhadap isu penegakan hukum untuk dekade berikutnya. Dimulai dari posisi politik yang lemah di parlemen, presiden terpaksa melakukan konsesi kepada kekuatan politik yang menopangnya. Keputusan untuk tetap mengajukan nama Budi Gunawan ke DPR, meskipun ia telah menyandang status tersangka dari lembaga anti-korupsi yang paling kredibel, mengirimkan sinyal yang jelas bahwa independensi lembaga penegak hukum dapat dinegosiasikan demi stabilitas koalisi. Meskipun pada akhirnya Budi Gunawan tidak dilantik sebagai Kapolri dan digantikan oleh calon lain, preseden telah tercipta. Pola ini akan berulang dalam skala yang jauh lebih besar dan merusak di kemudian hari, terutama dalam proses revisi Undang-Undang KPK, dimana presiden sekali lagi terlihat "tersandera politik" oleh kehendak koalisi.5 Dengan demikian, kasus Budi Gunawan adalah penanda awal dari erosi independensi institusional yang akan menjadi ciri khas dekade pemerintahannya.

Agenda Pemberantasan Korupsi: Antara Retorika dan Realita

Meskipun pemberantasan korupsi kerap digaungkan sebagai prioritas, pendekatan pemerintahan Jokowi pada periode pertama menunjukkan fokus yang ambigu. Presiden secara spesifik lebih menaruh perhatian pada korupsi skala kecil (petty corruption), seperti praktik pungutan liar (pungli) di level birokrasi pelayanan publik. Sementara itu, mandat utama KPK berdasarkan undang-undang adalah untuk menyasar korupsi besar (grand corruption) yang melibatkan para pembuat kebijakan dan elite politik.4 Inisiatif kebijakan antikorupsi yang bersifat struktural dan komprehensif dari Istana dinilai sangat minim selama periode ini.

Ironisnya, di tengah minimnya inisiatif dari eksekutif, KPK justru menunjukkan kinerja yang sangat agresif. Sepanjang periode 2014-2019, lembaga antirasuah ini berhasil menjerat puluhan anggota DPR RI aktif dan sembilan orang menteri serta mantan menteri melalui serangkaian operasi tangkap tangan dan penyidikan.4 Keberhasilan ini, alih-alih mendapatkan dukungan penuh, justru meningkatkan tekanan politik terhadap KPK dari para elite yang merasa terganggu. Wacana untuk merevisi UU KPK, yang sebelumnya telah ada, mulai menguat sebagai respons terhadap agresivitas lembaga tersebut.

Di sisi lain, sebuah kebijakan kontroversial yang merusak citra penegakan hukum presiden adalah pemberian grasi kepada Neil Bantleman pada tahun 2019. Neil adalah terpidana dalam kasus kejahatan pedofilia dan sodomi terhadap siswa di Jakarta Intercultural School (JIS). Keputusan presiden untuk memberikan grasi, yang memungkinkan pelaku untuk langsung bebas, menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan masyarakat luas. Kebijakan ini dianggap sangat tidak peka terhadap penderitaan korban kejahatan seksual anak dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai pertimbangan di balik keputusan tersebut.6

Ancaman terhadap Kebebasan Sipil: Perppu Ormas dan Revisi UU ITE

Fondasi bagi penyempitan ruang kebebasan sipil juga diletakkan pada periode pertama ini melalui dua instrumen hukum yang signifikan.

Pertama adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kebijakan ini secara fundamental mengubah mekanisme pembubaran ormas dengan menghilangkan proses peradilan, memberikan kewenangan absolut kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Pemerintah berdalih bahwa Perppu ini diterbitkan karena adanya "kegentingan yang memaksa" akibat aktivitas ormas yang mengancam kedaulatan negara, serta karena UU Ormas yang ada dinilai tidak lagi memadai untuk mengatasi ancaman tersebut.7 Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi contoh implementasi pertama dan utama dari Perppu ini.10

Namun, bagi kelompok masyarakat sipil, Perppu ini adalah lonceng kematian bagi kebebasan berserikat. Organisasi seperti KontraS dan Imparsial mengecamnya sebagai kebijakan yang mengembalikan "aroma Orde Baru," di mana negara dapat bertindak represif tanpa pengawasan yudisial.11 Perppu ini dinilai mengancam hak fundamental untuk berorganisasi yang dijamin konstitusi, tidak memenuhi syarat "kegentingan memaksa," dan berpotensi menjadi alat subjektif untuk membungkam kelompok-kelompok kritis.12

Kedua adalah revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2016. Meskipun dimaksudkan untuk memperbaiki beberapa kelemahan, revisi ini dinilai gagal mengatasi masalah utamanya. "Pasal-pasal karet" mengenai pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian tetap dipertahankan, yang secara konsisten digunakan untuk mengkriminalisasi kritik, membungkam aktivis, jurnalis, dan warga biasa yang menyuarakan pendapat berbeda dari pemerintah.15

Manuver Akhir Periode: Puncak Pelemahan Demokrasi

Menjelang berakhirnya masa jabatan pertama, terjadi eskalasi manuver politik yang mengarah pada pelemahan demokrasi secara lebih terbuka. Dua produk hukum yang sangat kontroversial, yaitu Revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dipaksakan untuk disahkan. Keduanya diketahui tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas, namun dikebut pembahasannya di akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, sebuah langkah yang memicu kecurigaan publik yang luas.5

Sikap Presiden Jokowi dalam proses ini menjadi sorotan utama. Ia secara aktif menyetujui proses Revisi UU KPK dengan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR, sebuah langkah yang mengejutkan dan mengecewakan para pendukung agenda anti-korupsi.5 Sementara itu, terkait RKUHP yang mengandung banyak pasal anti-demokrasi—seperti pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara yang dapat membungkam kritik—sikap presiden terlihat lebih lunak. Setelah gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang masif di berbagai kota dengan tajuk #ReformasiDikorupsi, Jokowi hanya memutuskan untuk menunda pembahasannya, bukan menghentikan atau menariknya secara total.5

Sikap ganda presiden ini ditafsirkan oleh banyak analis sebagai bentuk "barter politik". Terdapat dugaan kuat bahwa persetujuan terhadap Revisi UU KPK yang diinginkan oleh elite politik di parlemen adalah sebuah konsesi untuk memuluskan agenda-agenda strategis pemerintah, terutama proyek ambisius pemindahan ibu kota negara (IKN) yang membutuhkan dukungan politik dan anggaran penuh dari DPR.5 Manuver ini secara tragis menunjukkan matinya kekuatan oposisi yang efektif di Senayan dan betapa presiden telah "tersandera" oleh kepentingan politik oligarki yang menopangnya. Ini adalah sebuah "kado pahit" di akhir periode yang menjadi pertanda buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia di periode kedua pemerintahannya.5

Bagian II: Periode Kedua (2019-2024) – Konsolidasi Kekuasaan dan Erosi Demokrasi Sistematis

Jika periode pertama ditandai oleh kompromi politik dan peletakan fondasi, periode kedua (2019-2024) menyaksikan sebuah eskalasi yang jauh lebih fundamental dan merusak. Kompromi berubah menjadi pembongkaran institusional yang terencana. "Dosa-dosa" yang terjadi pada periode ini tidak lagi bersifat transaksional semata, tetapi secara sistematis mengubah kerangka hukum, tatanan kelembagaan, dan etika politik negara, yang mengarah pada konsolidasi kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol.

Amputasi Sistematis KPK Melalui UU No. 19/2019

Puncak dari pelemahan agenda pemberantasan korupsi terjadi pada 17 September 2019, ketika DPR bersama pemerintah secara resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU KPK. Proses legislasi ini berjalan secara kilat, tidak transparan, dan minim partisipasi publik. Bahkan, pimpinan KPK saat itu secara kelembagaan menolak revisi tersebut, sebuah penolakan yang diabaikan sepenuhnya oleh pemerintah dan parlemen.18 Proses pengesahannya dinilai cacat secara formil karena tidak memenuhi kuorum kehadiran anggota DPR dan tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna, sebuah pelanggaran terhadap asas pembentukan perundang-undangan.20

Revisi ini secara fundamental mengamputasi kewenangan dan independensi KPK melalui beberapa poin kunci:

  1. Pembentukan Dewan Pengawas (Dewas): UU baru menciptakan sebuah organ bernama Dewan Pengawas yang memiliki kekuasaan pro-justicia. KPK diwajibkan untuk mendapatkan izin tertulis dari Dewas sebelum melakukan tindakan krusial seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.20 Kewajiban birokratis ini secara efektif merusak independensi operasional KPK, memperlambat kerja-kerja penindakan, dan membuka celah besar bagi potensi kebocoran informasi kepada target koruptor.21 Keberadaan Dewas dengan kewenangan semacam ini merupakan sebuah anomali global, menjadikan KPK Indonesia satu-satunya lembaga antikorupsi di dunia yang operasionalnya diawasi secara langsung oleh badan seperti ini.24

  2. Perubahan Status Kepegawaian menjadi ASN: Seluruh pegawai KPK dialihkan statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Perubahan ini secara resmi menempatkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, mengakhiri statusnya sebagai lembaga negara independen.18 Proses peralihan ini dieksekusi melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang sangat kontroversial dan problematik, yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menyingkirkan 57 pegawai KPK yang dikenal memiliki integritas dan rekam jejak yang solid. Pemecatan massal ini dinilai sebagai upaya sengaja untuk melumpuhkan KPK dari dalam dengan menghilangkan sumber daya manusia terbaiknya.25

  3. Kewenangan Mengeluarkan SP3: Untuk pertama kalinya, KPK diberi kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi kasus yang penyidikannya tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun.21 Sebelumnya, KPK tidak memiliki kewenangan ini untuk memastikan prinsip kehati-hatian yang luar biasa dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.27 Pemberian kewenangan ini membuka risiko penyalahgunaan untuk menghentikan kasus-kasus besar yang sulit atau sensitif secara politik.

  4. Posisi KPK di Bawah Rumpun Eksekutif: UU baru secara eksplisit menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.22 Ini adalah perubahan paling fundamental yang secara resmi mengakhiri independensi kelembagaan KPK yang telah menjadi kunci efektivitasnya selama lebih dari satu dekade.

Dampak dari pelemahan ini terasa secara langsung dan masif. Kewenangan SP3 yang baru langsung digunakan untuk menghentikan penyidikan kasus megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat tersangka Sjamsul Nursalim, sebuah kasus yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.28 Kinerja penindakan KPK pun terjun bebas.25 Hal ini tercermin dari anjloknya skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia dari 40 pada tahun 2019 menjadi 37 pada tahun 2020, dan peringkatnya melorot dari 85 ke 102 dunia.28 Di internal, lembaga ini dilanda konflik berkepanjangan antara pimpinan dan Dewas, serta serangkaian skandal etik yang melibatkan pimpinan KPK sendiri, yang semakin menumpulkan muruah lembaga.32

Tabel berikut merangkum perubahan fundamental yang terjadi pada KPK sebagai akibat dari UU No. 19/2019.

Poin Perubahan

Ketentuan dalam UU No. 30/2002 (Lama)

Ketentuan dalam UU No. 19/2019 (Baru)

Analisis Dampak Pelemahan

Status Kelembagaan

Lembaga negara independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

Menghilangkan independensi, menempatkan KPK di bawah kontrol politik pemerintah.18

Dewan Pengawas

Tidak ada. Pengawasan dilakukan oleh lembaga eksternal (DPR, BPK, Presiden) dan publik.

Dibentuk Dewan Pengawas dengan 5 anggota yang dipilih Presiden.

Menambah lapisan birokrasi, mengintervensi proses pro-justicia, dan berpotensi menjadi alat kontrol politik.21

Izin Penyadapan & Penyitaan

Dilakukan atas perintah Pimpinan KPK setelah ada bukti permulaan yang cukup.

Wajib mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Memperlambat proses penindakan, merusak kerahasiaan operasi (OTT), dan berisiko membocorkan informasi.20

Status Kepegawaian

Pegawai KPK adalah pegawai independen yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.

Pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN).

Mengikis independensi individu pegawai, membuka celah intervensi, dan menjadi alat untuk menyingkirkan pegawai kritis melalui TWK.22

Kewenangan SP3

KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3.

KPK dapat mengeluarkan SP3 jika penyidikan tidak selesai dalam 2 tahun.

Membuka peluang penghentian kasus-kasus korupsi besar dan mengurangi prinsip kehati-hatian dalam penetapan tersangka.21

Karpet Merah untuk Investasi: UU Cipta Kerja dan UU Minerba

Paralel dengan pelemahan sistematis terhadap lembaga pengawas korupsi, pemerintahan Jokowi di periode kedua juga mengesahkan serangkaian undang-undang yang dinilai memberikan "karpet merah" bagi investasi dan kepentingan korporasi besar, seringkali dengan mengorbankan hak-hak pekerja dan perlindungan lingkungan hidup.

UU Cipta Kerja (Omnibus Law)

Disahkan pada Oktober 2020 di tengah penolakan publik yang masif, UU Cipta Kerja menjadi produk legislasi paling kontroversial di era Jokowi. Pemerintah berargumen bahwa UU ini adalah terobosan yang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja, menyederhanakan birokrasi yang tumpang tindih, menarik investasi asing, dan menghindarkan Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).33 Bahkan, pemerintah mengklaim UU ini mendukung pemberantasan korupsi dengan memotong jalur perizinan yang berbelit dan rawan pungli.34

Namun, klaim pemerintah ini bertolak belakang dengan kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil. Dari sisi serikat buruh, UU ini dianggap sebagai bencana karena secara drastis menggerus hak-hak pekerja, seperti mempermudah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menghapus upah minimum sektoral, dan melegalkan sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) seumur hidup.15

Dari sisi aktivis lingkungan seperti WALHI dan Greenpeace, UU ini dianggap sebagai malapetaka ekologis. Beberapa poin krusial yang menjadi sorotan adalah:

  • Pelemahan AMDAL: Partisipasi publik dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) direduksi secara drastis. Jika sebelumnya melibatkan "masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan, dan yang terpengaruh," UU Cipta Kerja membatasinya hanya untuk "masyarakat yang terdampak langsung".36 Lebih jauh, Komisi Penilai AMDAL yang bersifat independen dan melibatkan pakar serta wakil masyarakat dihapus, dan perannya digantikan oleh tim uji kelayakan yang berada di bawah kendali pemerintah pusat.36

  • Pengampunan Kejahatan Lingkungan: UU ini mengintroduksi Pasal 110A dan 110B yang dinilai memberikan "pengampunan" bagi korporasi yang sudah terlanjur beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Sanksi pidana yang berat direduksi menjadi sanksi administratif berupa denda, sebuah langkah yang dianggap mengkuantifikasi kerusakan lingkungan dengan uang.39

  • Sentralisasi dan Penghapusan Izin Lingkungan: Izin Lingkungan, yang sebelumnya menjadi syarat mutlak sebelum izin usaha terbit, dihapus dan fungsinya dilebur ke dalam Persetujuan Lingkungan yang menjadi bagian dari Perizinan Berusaha. Hal ini mengurangi mekanisme kontrol dan pengawasan berlapis yang krusial untuk mencegah kerusakan lingkungan.40

UU Minerba

Serupa dengan UU Cipta Kerja, revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang disahkan pada Mei 2020 juga menuai kontroversi. Prosesnya yang cepat dan tertutup dinilai sangat berpihak pada kepentingan oligarki tambang. UU ini memberikan jaminan perpanjangan kontrak secara otomatis bagi pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), tanpa melalui mekanisme lelang yang kompetitif dan transparan. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mencurigai adanya lobi dari kekuatan besar di balik pengesahan UU ini.18

Pengesahan UU Cipta Kerja dan UU Minerba merepresentasikan puncak dari paradigma "pembangunanisme otoritarian". Terdapat sebuah kontradiksi yang sangat mencolok dalam narasi pemerintah: di satu sisi mengklaim UU Cipta Kerja bertujuan memberantas korupsi dengan menyederhanakan perizinan, namun pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah secara aktif melumpuhkan KPK, satu-satunya lembaga yang paling efektif memberantas korupsi di level elite. Logika ini tidak konsisten. Jika tujuan utamanya adalah pemberantasan korupsi, maka penguatan KPK dan mekanisme pengawasan publik seperti AMDAL seharusnya menjadi prioritas. Fakta bahwa yang terjadi adalah sebaliknya menunjukkan bahwa tujuan sesungguhnya adalah memfasilitasi dan mempercepat investasi dengan cara menghilangkan berbagai regulasi yang dianggap sebagai "hambatan", yang ironisnya, regulasi-regulasi tersebut merupakan bagian esensial dari mekanisme checks and balances dalam sebuah negara demokrasi.

Represi Negara dan Pembungkaman Ruang Sipil

Seiring dengan pengesahan kebijakan yang pro-investasi dan mengorbankan hak-hak warga, periode kedua juga ditandai dengan meningkatnya represi negara terhadap suara-suara kritis. Ruang gerak masyarakat sipil semakin menyempit, baik melalui kekerasan fisik oleh aparat maupun kriminalisasi menggunakan instrumen hukum.

Kekerasan Aparat dalam Konflik Agraria (Proyek Strategis Nasional - PSN)

Salah satu contoh paling brutal dari represi negara terjadi dalam konflik agraria di Desa Wadas, Purworejo, pada Februari 2022. Desa ini menolak lahannya ditambang untuk material batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah. Untuk memuluskan proses pengukuran lahan, ribuan aparat kepolisian dikerahkan ke desa tersebut. Pengerahan kekuatan berlebihan ini berujung pada tindakan kekerasan, intimidasi, pengepungan desa, dan penangkapan sewenang-wenang terhadap puluhan warga, termasuk perempuan dan anak-anak.42 Aparat juga dilaporkan merobek spanduk-spanduk penolakan dan melakukan sweeping dari rumah ke rumah.43 Kasus Wadas menjadi simbol bagaimana negara menggunakan pendekatan keamanan yang represif untuk memaksakan proyek pembangunan, dengan mengabaikan hak-hak dan aspirasi masyarakat lokal.1

Kriminalisasi Aktivis dan Jurnalis

Pola pembungkaman kritik juga dilakukan melalui jalur hukum. Penggunaan UU ITE dan pasal-pasal karet dalam KUHP semakin masif untuk menjerat aktivis, akademisi, dan jurnalis. Ini adalah bagian dari penutupan ruang sipil yang sistematis, di mana kritik dianggap sebagai ancaman.45

  • Kasus Ravio Patra (2020): Seorang peneliti kebijakan publik yang vokal mengkritik pemerintah, Ravio Patra, mengalami peretasan akun WhatsApp. Pelaku kemudian menyebarkan pesan provokatif berisi ajakan untuk melakukan penjarahan nasional menggunakan akun Ravio. Pesan rekayasa inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh pihak kepolisian untuk menangkapnya. Kronologi kasus ini, mulai dari peretasan yang terindikasi melibatkan nomor aparat hingga proses penangkapan yang cacat prosedur, menunjukkan adanya dugaan kuat rekayasa kasus untuk membungkam seorang kritikus.46

  • Kasus Haris Azhar & Fatia Maulidiyati (2021): Dua aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar dari Lokataru dan Fatia Maulidiyati dari KontraS, dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Pelaporan ini dipicu oleh sebuah video di YouTube yang membahas hasil riset koalisi masyarakat sipil mengenai dugaan keterlibatan pejabat dan purnawirawan militer dalam bisnis tambang di Papua.50 Kasus ini menjadi preseden yang sangat berbahaya, di mana riset dan advokasi berbasis data yang mengungkap kepentingan pejabat publik dapat dengan mudah dikriminalisasi.

Selain kriminalisasi hukum, serangan digital menjadi senjata lain yang digunakan untuk meneror kelompok kritis. Aktivis, jurnalis, akademisi, bahkan staf ICW secara berulang kali menjadi target peretasan (hacking), penyebaran data pribadi (doxing), dan pengambilalihan akun media sosial. Serangan-serangan ini seringkali tidak pernah diusut tuntas, menimbulkan kecurigaan kuat adanya keterlibatan atau setidaknya pembiaran oleh aktor negara.45

Tabel berikut menyajikan daftar beberapa kasus represi dan kriminalisasi yang menonjol selama periode 2019-2024, yang menunjukkan pola sistematis dalam pembungkaman ruang sipil.

No.

Nama Kasus/Korban

Tanggal Kejadian

Bentuk Represi/Kriminalisasi

Dugaan Aktor Pelaku

Status Kasus

1.

Konflik Desa Wadas

Februari 2022

Kekerasan fisik, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, pengepungan desa.

Aparat Kepolisian

Warga yang ditangkap dilepaskan, namun proyek tambang terus berjalan.

2.

Ravio Patra

April 2020

Peretasan akun WhatsApp diikuti penangkapan dengan tuduhan penyebaran hasutan.

Tidak teridentifikasi (peretas), Kepolisian (penangkap).

Kasus tidak dilanjutkan, namun pelaku peretasan tidak terungkap.

3.

Haris Azhar & Fatia M.

September 2021

Kriminalisasi dengan UU ITE (pencemaran nama baik) atas konten riset.

Pejabat Negara (Menko Marves).

Terdakwa divonis bebas oleh pengadilan.

4.

Aktivis ICW

2021-2022

Serangan digital (peretasan akun WhatsApp & Telegram, doxing).

Aktor tidak dikenal (diduga terkait negara).

Tidak pernah diusut tuntas.

5.

Demonstrasi #ReformasiDikorupsi

September 2019

Pembubaran paksa, kekerasan aparat, penangkapan massal terhadap mahasiswa & warga.

Aparat Kepolisian

Banyak korban luka, beberapa ditahan dan diproses hukum.

Puncak Erosi Etika: Politik Dinasti dan Dugaan Intervensi Pemilu 2024

Di penghujung masa jabatannya, kontroversi pemerintahan Joko Widodo mencapai puncaknya pada isu yang menyerang langsung jantung etika bernegara dan integritas proses demokrasi: pembangunan politik dinasti dan dugaan intervensi dalam Pemilihan Umum 2024.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/2023

Langkah paling kontroversial adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini mengubah syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden, dengan menambahkan klausul "atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu". Putusan ini secara spesifik dan efektif membuka jalan bagi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu menjabat sebagai Walikota Surakarta, untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024.

Kontroversi ini diperparah oleh fakta bahwa putusan tersebut diketok oleh Anwar Usman, yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK dan merupakan adik ipar dari Presiden Jokowi, sekaligus paman dari Gibran.1 Putusan ini dinilai oleh para pakar hukum tata negara sebagai sebuah preseden yang sangat buruk, janggal, sarat dengan konflik kepentingan, dan merupakan bentuk "legalitas otokratis" yang meruntuhkan marwah MK sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi.1 Ini adalah "dosa" politik yang tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mencederai prinsip dasar negara hukum.

Politisasi Bantuan Sosial (Bansos) dan Ketidaknetralan Presiden

Menjelang dan selama periode kampanye Pemilu 2024, pemerintah secara masif menggelontorkan bantuan sosial (bansos). Anggaran bansos pada tahun 2024 tercatat sebagai yang tertinggi dalam sejarah, mencapai hampir 500 triliun rupiah.56 Penyaluran bansos yang intensif, yang seringkali dihadiri dan dibagikan secara simbolis oleh Presiden Jokowi sendiri, dituding oleh banyak pihak sebagai bentuk politisasi yang terang-terangan. Bansos dianggap digunakan sebagai instrumen untuk mengarahkan dukungan elektoral kepada pasangan calon yang didukung oleh Istana.56

Selain itu, Presiden Jokowi juga secara terbuka melakukan berbagai manuver politik yang menunjukkan ketidaknetralan. Ia mengumpulkan para ketua umum partai politik koalisi di Istana untuk membahas strategi pemilu dan secara implisit maupun eksplisit menunjukkan keberpihakannya pada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.6 Sikap ini secara fundamental mengikis prinsip netralitas seorang kepala negara dalam kontestasi politik dan memperkuat tuduhan bahwa seluruh instrumen kekuasaan negara dimobilisasi untuk memenangkan kandidat tertentu demi melanggengkan pengaruh dan dinasti politiknya.1

Munculnya politik dinasti dan dugaan intervensi pemilu di akhir masa jabatan bukanlah sebuah penyimpangan yang terjadi secara tiba-tiba. Ini adalah konsekuensi logis dari akumulasi pelemahan institusi dan erosi mekanisme checks and balances yang telah berlangsung selama hampir satu dekade. Ketika lembaga pengawas seperti KPK telah dilumpuhkan, parlemen tak lagi memiliki oposisi yang efektif dan cenderung menjadi "tukang stempel" kebijakan pemerintah, dan ruang gerak masyarakat sipil dibungkam melalui represi dan kriminalisasi, maka mekanisme pengawasan eksternal menjadi lumpuh. Satu-satunya benteng yang tersisa adalah kekuasaan yudikatif. Putusan MK Nomor 90 menunjukkan bahwa benteng terakhir ini pun dapat ditembus melalui jejaring konflik kepentingan. Oleh karena itu, pembangunan dinasti politik bukanlah "dosa" yang muncul dari ruang hampa, melainkan hasil akhir dari sebuah proses panjang di mana semua pagar pengaman demokrasi telah diruntuhkan satu per satu.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Sintesis Temuan

Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024) telah meninggalkan warisan yang sangat kompleks dan sarat dengan kontradiksi. Di balik narasi keberhasilan pembangunan infrastruktur yang menjadi citra utamanya, terdapat realitas yang mengkhawatirkan: sebuah proses regresi demokrasi yang serius, sistematis, dan berdampak jangka panjang. "Dosa-dosa" yang telah dianalisis dalam laporan ini—mulai dari kompromi politik yang mengorbankan supremasi hukum, pelemahan brutal terhadap KPK, pengesahan legislasi yang berpihak pada oligarki, represi terhadap ruang sipil, hingga puncaknya pada normalisasi politik dinasti melalui intervensi institusi peradilan—secara kumulatif telah mengikis fondasi negara hukum Indonesia. Praktik-praktik ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi, tetapi juga mengembalikan Indonesia pada corak politik yang beraroma otoritarian, dimana kekuasaan terkonsentrasi dan kritik dibungkam.45

Warisan Paradoksal Jokowi

Legasi Joko Widodo akan selamanya dievaluasi secara kritis sebagai sebuah paradoks. Ia akan dikenang sebagai "Bapak Pembangunan" atas dedikasinya pada proyek-proyek infrastruktur fisik.60 Namun, pembangunan tersebut dicapai dengan biaya sosial dan politik yang teramat mahal. Warisan lainnya adalah hancurnya integritas dan independensi lembaga anti-korupsi yang pernah menjadi kebanggaan bangsa 1; tergerusnya hak-hak dasar buruh dan percepatan kerusakan lingkungan hidup demi investasi 39; menyempitnya ruang kebebasan berekspresi dan berkumpul bagi warga negara 60; dan yang paling merusak, normalisasi nepotisme dan politik dinasti di tingkat tertinggi kekuasaan negara, yang mengancam prinsip kesetaraan kesempatan dalam politik.61

Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis mendalam terhadap kontroversi selama satu dekade terakhir, diajukan beberapa rekomendasi strategis untuk para pemangku kepentingan guna memitigasi kerusakan dan memulai jalur pemulihan demokrasi:

  1. Untuk Legislatif dan Eksekutif Baru:

  • Legislative Review Komprehensif: Mendorong adanya tinjauan ulang legislatif (legislative review) yang serius dan partisipatif terhadap produk-produk hukum kontroversial yang lahir di era Jokowi, terutama UU No. 19/2019 tentang KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU ITE. Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat Reformasi, memperkuat perlindungan hak-hak warga negara, dan memulihkan mekanisme checks and balances.

  • Pemulihan Independensi Lembaga: Menjadikan pemulihan independensi, integritas, dan kekuatan lembaga penegak hukum (khususnya KPK), serta lembaga peradilan (khususnya MK) sebagai prioritas utama. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi regulasi yang melemahkan dan proses seleksi pimpinan yang transparan dan akuntabel.

  1. Untuk Masyarakat Sipil:

  • Konsolidasi Gerakan Pro-Demokrasi: Menguatkan kembali konsolidasi dan aliansi strategis lintas-sektor yang melibatkan akademisi, mahasiswa, serikat buruh, aktivis HAM, pegiat lingkungan, dan jurnalis. Kekuatan kolektif ini harus berfungsi sebagai pengawas eksternal yang efektif untuk menuntut akuntabilitas pemerintah dan melawan setiap upaya pembungkaman lebih lanjut.

  • Penguatan Mekanisme Keadilan Alternatif: Terus mendorong dan memanfaatkan wadah-wadah keadilan alternatif seperti Mahkamah Rakyat Luar Biasa (MRLB) sebagai sarana untuk menyuarakan kebenaran dan menuntut keadilan bagi para korban, terutama ketika jalur-jalur hukum formal terasa tersumbat atau tidak lagi dapat dipercaya.62

  1. Untuk Komunitas Internasional:

  • Pemantauan Ketat: Mendorong adanya pemantauan yang lebih ketat dari lembaga-lembaga internasional, pemerintah negara-negara demokratis, dan investor global terhadap kondisi demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum di Indonesia.

  • Kondisionalitas Investasi: Mengaitkan secara lebih tegas antara kerja sama ekonomi dan investasi dengan penghormatan terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum. Hal ini penting untuk mengirimkan sinyal bahwa kemunduran demokrasi memiliki konsekuensi ekonomi dan diplomatik.




Daftar Pustaka

  1. 10 Tahun Jokowi: Nawacita Tinggal Cerita, 2 Periode Penuh Drama,  https://tirto.id/10-tahun-jokowi-nawacita-tinggal-cerita-2-periode-penuh-drama-g2uL

  2. Nasionalisme Ekonomi dan Legitimasi Politik Jokowi - Unair News,  https://news.unair.ac.id/2021/04/30/nasionalisme-ekonomi-dan-legitimasi-politik-jokowi/

  3. Visi-Misi Jokowi-Ma'ruf vs Postur Kabinet Indonesia Maju | ICW,  https://antikorupsi.org/id/article/visi-misi-jokowi-maruf-vs-postur-kabinet-indonesia-maju

  4. Pemerintahan Joko Widodo dan Serangan Politik Terhadap KPK,  https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/download/468/80/1603

  5. Kado Pahit DPR di Akhir Jabatan | Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Website Resmi,  https://uinjkt.ac.id/index.php/id/kado-pahit-dpr-di-akhir-jabatan

  6. Kontroversi yang melibatkan Joko Widodo - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Kontroversi_yang_melibatkan_Joko_Widodo

  7. Soal Perppu Ormas, Mendagri Bantah Pemerintah Anti Ormas Keagamaan - Sekretariat Kabinet Republik Indonesia,  https://setkab.go.id/soal-perppu-ormas-mendagri-bantah-pemerintah-anti-ormas-keagamaan/

  8. Menag: Perppu Untuk Lindungi Negara, Bukan Memberangus Ormas,  https://kemenag.go.id/read/menag-perppu-untuk-lindungi-negara-bukan-memberangus-ormas-lpenj

  9. Penjelasan Pemerintah Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. - Kemenko Polhukam,  https://polkam.go.id/penjelasan-pemerintah-tentang-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-republik-indonesia-perppu-nomor-2-tahun-2017-tentang-perubahan-atas-undang-undang-nomor-17-tahun-2013-tentang-organisasi-k/

  10. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ditinjau dari Kebebasan Berserikat - Jurnal,  https://jurnalptik.id/index.php/JIK/article/download/253/86

  11. Kegelisahan Warga | KBR.ID - Tepercaya, membuka perspektif,  https://kbr.id/articles/indeks/kegelisahan_warga

  12. Perppu Ormas dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berserikat dan Berorganisasi - ELSAM,  https://www.elsam.or.id/uncategorized/perppu-ormas-dan-ancaman-terhadap-kebebasan-berserikat-dan-berorganisasi

  13. Indonesia: Peraturan Baru Organisasi Kemasyarakatan Memperbesar Ancaman terhadap Kebebasan Berserikat,  https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/pernyataan-sikap/indonesia-peraturan-baru-organisasi-kemasyarakatan-memperbesar-ancaman-pada-kebebasan-berserikat/07/2017/

  14. Problematika Penerbitan PERPPU Di Indonesia: Studi Kasus PERPPU No 1 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan | JAPHTN-HAN,  https://japhtnhan.id/index.php/japhtnhan/article/view/39

  15. 10 Tahun Jokowi dan Kontroversi Produk Hukumnya - IDN Times,  https://www.idntimes.com/news/indonesia/10-tahun-jokowi-dan-kontroversi-produk-hukumnya-00-sbfjr-jh8btj

  16. Ini saran Ombudsman RI untuk Presiden terkait kondisi sosial-politik,  https://ombudsman.go.id/news/r/ini-saran-ombudsman-ri-untuk-presiden-terkait-kondisi-sosial-politik

  17. Perjelas 14 Isu Kontroversial, Jokowi Minta RUU KUHP Dibahas Lebih Masif dan Melibatkan Masyarakat - SmartID,  https://smartid.co.id/en/perjelas-14-isu-kontroversial-jokowi-minta-ruu-kuhp-dibahas-lebih-masif-dan-melibatkan-masyarakat/

  18. Daftar 5 UU Kontroversial yang Disahkan Pemerintahan Jokowi ...,  https://www.kompas.tv/nasional/113726/daftar-5-uu-kontroversial-yang-disahkan-pemerintahan-jokowi-apa-saja?page=all

  19. Upaya Pelemahan dan Catatan Permasalahan KPK Bidang Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro 2021,  https://bem.undip.ac.id/wp-content/uploads/2021/08/BEM-UNDIP-KAJIAN-KPK.pdf

  20. Cacat Mekanisme Pelaksanaan Revisi UU KPK 2019 dan Perbandingan Substansi serta Dampak Terhadap Kinerja KPK,  https://jurnal.unka.ac.id/index.php/Perahu/article/download/976/896/4296

  21. Deretan Kontroversi Mewarnai 10 Tahun Jokowi Berkuasa - IDN Times,  https://www.idntimes.com/news/indonesia/deretan-kontroversi-mewarnai-10-tahun-pemerintahan-jokowi-00-xvwcc-rr9fs5

  22. ID-TII-ACA-Assessment-KPK-2023.pdf - Transparency International Indonesia,  https://ti.or.id/wp-content/uploads/2024/01/ID-TII-ACA-Assessment-KPK-2023.pdf

  23. Analisis Yuridis Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 Tentang Revisi Kedua Undang-Undang KPK - Constitution Journal,  https://constitution.uinkhas.ac.id/index.php/cj/article/download/54/25

  24. TUGAS AKHIR PROBLEMATIKA DEWAN PENGAWAS KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA - Universitas Muhammadiyah Surabaya,  https://repository.um-surabaya.ac.id/8666/1/HERIYANTO%20%2820191440041%29.pdf

  25. Problematika Hukum atas Pembentukan Perubahan Kedua atas UU KPK - Journal on Education,  https://jonedu.org/index.php/joe/article/download/1223/966/

  26. Simak 13 Catatan LBH Jakarta Terhadap Jokowi-Ma'ruf | Politik - Gatra,  https://www.gatra.com/news-526701-politik-simak-13-catatan-lbh-jakarta-terhadap-jokowi-maruf.html

  27. Pakar: Revisi UU Perburuk Kinerja KPK - VOA Indonesia,  https://www.voaindonesia.com/a/pakar-revisi-uu-perburuk-kinerja-kpk/7776093.html

  28. Pemberantasan Korupsi - ICW,  https://www.antikorupsi.org/taxonomy/term/366

  29. LAPORAN PEMANTAUAN DUA TAHUN KINERJA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI 2019 – 2021 - ICW,  https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Laporan%20Hasil%20Evaluasi%20Dua%20Tahun%20Kinerja%20KPK.pdf

  30. Revisi UU KPK, Terbitlah SP3 Sjamsul Nursalim di Kasus BLBI - Opini Budiman - Kompas.tv,  https://www.kompas.tv/kolom/163040/revisi-uu-kpk-terbitlah-sp3-sjamsul-nursalim-di-kasus-blbi-opini-budiman

  31. ICW Sarankan Presiden Evaluasi Kinerja Penegak Hukum Terkait Penanganan Kasus Korupsi - KOMPAS.com,  https://nasional.kompas.com/read/2020/09/29/19221471/icw-sarankan-presiden-evaluasi-kinerja-penegak-hukum-terkait-penanganan

  32. LAPORAN EVALUASI KINERJA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PERIODE 2019 - 2024 - ICW,  https://www.antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Laporan%20Evaluasi%20Kinerja%20KPK%202019-2024.pdf

  33. [Informasi] - Portal Resmi UU Cipta Kerja - - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia,  https://ekon.go.id/info-sektoral/15/190/informasi-portal-resmi-uu-cipta-kerja

  34. Airlangga: UU Cipta Kerja ... - Sekretariat Kabinet Republik Indonesia,  https://setkab.go.id/airlangga-uu-cipta-kerja-prioritaskan-penciptaan-lapangan-kerja-baru/

  35. Narasi UU Cipta Kerja - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia,  https://ekon.go.id/publikasi/detail/560/narasi-uu-cipta-kerja

  36. Walhi Kritik Siti Nurbaya soal Amdal pada UU Ciptaker - CNN Indonesia,  https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201012100514-20-557247/walhi-kritik-siti-nurbaya-soal-amdal-pada-uu-ciptaker

  37. Perppu Ciptaker Hapus Peran Pemerhati Lingkungan pada Penyusunan Amdal,  https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230105143718-92-896606/perppu-ciptaker-hapus-peran-pemerhati-lingkungan-pada-penyusunan-amdal

  38. Ini 6 Poin Perubahan Terkait Amdal di UU Cipta Kerja - KOMPAS.com,  https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/09250841/ini-6-poin-perubahan-terkait-amdal-di-uu-cipta-kerja?page=all

  39. UU CK: Skandal Legislasi Paling Barbar - WALHI,  https://www.walhi.or.id/uu-ck-skandal-legislasi-paling-barbar

  40. Walhi Gugat UU Cipta Kerja Terkait Hilangnya Izin Lingkungan demi Investasi,  https://nasional.kompas.com/read/2025/06/05/14112311/walhi-gugat-uu-cipta-kerja-terkait-hilangnya-izin-lingkungan-demi-investasi

  41. Walhi Gugat UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi - Mongabay,  https://mongabay.co.id/2025/06/16/walhi-gugat-uu-cipta-kerja-ke-mahkamah-konstitusi/

  42. Kekerasan Berulang Terhadap Warga Wadas adalah Bentuk Kegagalan Negara dalam Memenuhi Hak Dasar Warga Negara - ELSAM,  https://www.elsam.or.id/siaran-pers/kekerasan-berulang-terhadap-warga-wadas-adalah-bentuk-kegagalan-negara-dalam-memenuhi-hak-dasar-warga-negara

  43. Konflik Agraria di Wadas Berujung Penangkapan Warga, Gubernur Ganjar Minta Maaf,  https://www.vice.com/id/article/gubernur-jateng-ganjar-pranowo-minta-maaf-atas-penangkapan-64-warga-wadas-yang-menolak-tambang-batu-untuk-proyek-bendungan-bener/

  44. Kritik ICJR atas Penangkapan Warga Wadas yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian,  https://icjr.or.id/kritik-icjr-atas-penangkapan-warga-wadas-yang-dilakukan-oleh-aparat-kepolisian/

  45. Catatan Akhir 2023, Kontras-Imparsial: Demokrasi di Era Jokowi ...,  https://kbr.id/articles/indeks/catatan-akhir-2023-kontras-imparsial-demokrasi-di-era-jokowi-turun-drastis-abaikan-ham

  46. [FULL] Kuasa Hukum Ravio Patra Menduga Ada Upaya Kriminalisasi - YouTube,  https://www.youtube.com/watch?v=MyuAyO70Bjg

  47. Kronologi Peretasan WhatsApp & Penangkapan Ravio Patra | Asumsi,  https://asumsi.co/post/59013/kronologi-peretasan-whatsapp-penangkapan-ravio-patra/

  48. Kronologi Ravio Patra Ditangkap versi Koalisi - CNN Indonesia,  https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200423150432-12-496590/kronologi-ravio-patra-ditangkap-versi-koalisi

  49. Kronologi Penangkapan Aktivis Ravio Patra Versi Koalisi Masyarakat Sipil - KOMPAS.com,  https://nasional.kompas.com/read/2020/04/23/14185421/kronologi-penangkapan-aktivis-ravio-patra-versi-koalisi-masyarakat-sipil?page=all

  50. Perlindungan Hukum dan Kebebasan Berserikat dalam Konteks Organisasi Kemasyarakatan di Era Digital - ojs.cahayamandalika.com,  https://ojs.cahayamandalika.com/index.php/jomla/article/download/4466/3472

  51. Peluncuran Laporan 4 Tahun Pemerintahan Jokowi: Melenceng Jauh dari Koridor Konstitusi dan Demokrasi - KontraS,  https://backup10juni.kontras.org/2023/10/20/peluncuran-laporan-4-tahun-pemerintahan-jokowi-melenceng-jauh-dari-koridor-konstitusi-dan-demokrasi/

  52. Catatan Evaluasi Kebijakan Pemberantasan Korupsi-2 Tahun Joko Widodo-Ma'ruf Amin - ICW,  https://www.antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Catatan%20Evaluasi%20Kebijakan%20Pemberantasan%20Korupsi-2%20Tahun%20Joko%20Widodo-Ma%27ruf%20Amin.pdf

  53. Pandangan Pakar UGM Terkait Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres,  https://ugm.ac.id/id/berita/pandangan-pakar-ugm-terkait-putusan-mk-soal-batas-usia-capres-cawapres/

  54. [:id]Guru Besar Hukum Tata Negara FH UB Jelaskan Kejanggalan Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Batas Usia Capres/Cawapres[:],  https://hukum.ub.ac.id/en/guru-besar-hukum-tata-negara-fh-ub-jelaskan-kejanggalan-putusan-mahkamah-konstitusi-soal-batas-usia-capres-cawapres/

  55. Ahli Tata Negara Sebut Ada Konflik Kepentingan Politik soal Gibran Rakabuming - YouTube,  https://www.youtube.com/watch?v=bhTbi50qWOk

  56. KONTROVERSI - Manuver Jokowi di Tikungan Terakhir [FULL] - YouTube,  https://www.youtube.com/watch?v=CWe3e8qsUKk

  57. Manuver JOKOWI Semakin Menjadi-Jadi #KONTROVERSI - YouTube,  https://www.youtube.com/watch?v=hcKDn9X9Epk

  58. ICW Mendesak Presiden Jokowi Menghindari Politik Praktis Jelang Pemilu Tahun 2024,  https://antikorupsi.org/id/icw-mendesak-presiden-jokowi-menghindari-politik-praktis-jelang-pemilu-tahun-2024

  59. Rezim Jokowi: Riwayat Kebebasan dan Kritik Publik - ICW,  https://antikorupsi.org/id/rezim-jokowi-riwayat-kebebasan-dan-kritik-publik

  60. Kebebasan Sipil Semakin Kedodoran selama 10 Tahun Era Jokowi - Tirto.id,  https://tirto.id/kebebasan-sipil-semakin-kedodoran-selama-10-tahun-era-jokowi-g2y8

  61. Kebijakan Kontroversial Jokowi di Masa Lame Duck - Magdalene.co,  https://magdalene.co/story/jokowi-lame-duck-session/

  62. Unduh Catahu 2024 - LBH Jakarta,  https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2024/12/catahu-LBHJ-2024-versi-lowres.pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...