Masih Relevankah Menggali "Emas Kebijakan" di Tengah Banjir Informasi? Telaah dari Falsafah Hamka di Era Post-Truth
Diri dan negara akan djatuh bankrut, kalau sekiranja djiwanja sendiri miskin, lalu menjandarkan kekajaan djiwa kepada diri atau negara lain. Lupa bahwa dalam diri dan negara-nja ada kekajaan terpendam, jang dapat dikeluarkannja, tetapi dilalaikannja, karena matanja ditjolok oleh barang import dari luar negeri.
Apakah kita tidak jenuh dengan notifikasi dan fatwa-fatwa viral berdurasi 60 detik di media sosial seperti TikTok dan Instagram? Adakah dari kita yang masih punya waktu membaca atau bahkan merenungi karya bernas setebal skripsi dari tahun 1950? Apalagi judulnya "Falsafah Ideologi Islam"—terdengar berat, seperti ajakan puasa Daud di tengah pesta all-you-can-eat. Namun, justru di sinilah ironi sekaligus urgensinya. Hamka, sang "Pengarang" yang merampungkan karyanya di atas Kapal "Kota Baru" menuju tanah suci, seolah sudah meramalkan bahwa kelak cucu-cicitnya akan mengalami krisis "ekonomi djiwa" yang lebih parah dari sekadar salah pilih investasi kripto.
Hamka membuka dengan keresahan pasca-kemerdekaan, di mana kaum terdidik Barat sibuk "mentjari tempat tegak dan pendirian hidup jang teguh," enggan lagi menjadi "Pak Turut kepada Barat, semata-mata karena Baratnja". Kalau kita tarik ke masa kini, fenomena "Pak Turut" ini masih langgeng, hanya saja objeknya mungkin sudah bergeser. Dulu Barat, sekarang mungkin "influencer" dengan jutaan pengikut, tren global yang silih berganti, atau bahkan algoritma yang diam-diam membentuk selera dan pandangan kita. Kita begitu lahap "mengimpor kekajaan lain", entah itu life hacks dari belahan dunia antah berantah atau "kebenaran" yang disajikan dalam infografis menarik, sementara "kekajaan jang ada pada kita", warisan pemikiran dan spiritualitas lokal, seringkali kita anggap sebagai barang antik yang layak dipajang, bukan dipakai. Hamka pasti geleng-geleng kepala melihat kita yang begitu mudah terpesona "tjahaja berlian" padahal mungkin itu cuma "katja".
Salah satu kritik tajam Hamka adalah soal pemisahan agama dan negara, atau pandangan bahwa agama adalah "tjandu peratjun rakjat". Ia berargumen keras bahwa kedua ide ini adalah "import dari luar. Tidak kena mengena dengan masjarakat kita, dan dasar pendirian hidup kita". Di Indonesia, menurutnya, Islam justru menjadi motor perlawanan, bukan alat penidur. Para pahlawan seperti Diponegoro hingga Tjokroaminoto, yang bahkan menginspirasi Sukarno dan tokoh kiri lainnya, digerakkan oleh "Iman dalam Islam!". Di era post-truth ini, di mana narasi agama seringkali dibajak untuk kepentingan politik sempit atau justru direduksi menjadi sekadar ritual pribadi yang "aman" dan "tidak mengganggu," pandangan Hamka ini menjadi tamparan keras. Ia seolah bertanya: Islam yang mana yang kalian bicarakan? Yang hanya mengisi slot konten rohani mingguan, atau yang menjadi falsafah hidup komprehensif, dari urusan individu hingga tata negara?
Hamka menawarkan Islam sebagai ideologi yang melihat "alam, hidup dan manusia" sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, berasal dari "satu iradat (kehendak) dan kemauan jang lansung dan tidak berantara" dari Sang Khalik. Ini kontras dengan pandangan dunia serba fragmentaris yang sering kita temui di era digital, di mana hidup dioptimasi per-segmen, dan koherensi menjadi barang langka. Pendekatan filsafat Hamka adalah holistik: "Segala dahan, tjabang dan ranting; segala segi dan petjahan dikumpulkan kepada tiga soal" itu. Jika filsuf seperti Descartes memisahkan jiwa dan raga (res cogitans dan res extensa), Hamka melalui Islam justru ingin "Mempertautkan langit dan bumi," "Mempergabungkan Ruhani dan djasmani," dan "Mempertalikan ibadat dan amal". Sebuah visi kesatuan yang mungkin bisa jadi penawar bagi alienasi modern.
Tiga pilar utama yang ditekankan Hamka untuk masyarakat ideal adalah "Kemerdekaan djiwa," "Persamaan kemanusiaan," dan "Gotong rojong jang teguh dalam masjarakat". Mari kita berkaca: "Kemerdekaan djiwa" di era ketika kita terbelenggu notifikasi, FOMO, dan validasi daring, apakah masih ada? Hamka berbicara tentang bebas dari penghambaan selain kepada Allah, bebas dari rasa takut akan dunia. Kita? Mungkin lebih takut kuota habis atau engagement rate turun. Lalu "Persamaan kemanusiaan"—Hamka menegaskan "Tidak ada darah tinggi dan darah rendah. Tidak ada bangsa pilihan Tuhan", sebuah pesan yang relevan di tengah polarisasi dan politik identitas yang makin meruncing, baik di dunia nyata maupun maya. Sementara "Gotong rojong" kita mungkin sudah bertransformasi menjadi "gotong-royong nyinyir berjamaah" atau "gotong-royong bikin viral" tanpa substansi.
Yang paling menusuk mungkin adalah ajakan Hamka untuk melakukan ijtihad (kesungguhan berpikir dan menggali sumber) dan meninggalkan taklid (ikut-ikutan buta). "Sjukurlah sekarang pada beberapa negeri Islam usaha itu telah diteruskan kembali," tulisnya, merujuk pada kebangkitan pemikiran Islam. Di era post-truth, di mana kebenaran seringkali dikalahkan oleh popularitas atau kenyaringan suara, dan kita lebih suka menelan informasi mentah dari "guru-guru" dadakan di internet, seruan untuk kembali ke "sumbernja jang asli, jaitu Kur'an dan Hadist" dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan adalah sebuah kemewahan yang terancam punah. Filsuf Immanuel Kant dengan "Sapere Aude!" *) (Beranilah berpikir sendiri!) pasti akan mengangguk setuju pada semangat ijtihad Hamka.
Hamka tidak naif. Ia sadar akan "kedjahilan pemeluk agama Islam sendiri akan hakikat agama Islam" dan "kemalasan...hendak menjelidiki pokok sandaran jang teguh itu". Ini seolah menyindir kita yang lebih gemar berdebat kusir di kolom komentar daripada benar-benar mengkaji. Ia juga mengkritik "taklid kaum tua" yang kaku dan "taklid kaum muda" yang latah meniru Barat atau Timur tanpa filter. Kita semua, tampaknya, punya potensi menjadi "Pak Turut" dalam berbagai bentuk.
"Falsafah Ideologi Islam" bukanlah bacaan ringan untuk menemani scroll malam hari. Ia adalah ajakan untuk introspeksi, untuk berani mempertanyakan kenyamanan berpikir kita, dan untuk kembali menggali "emas urai jang tersembunji" dalam diri dan tradisi kita. Di tengah dunia yang semakin bising dan kebenaran yang semakin licin, Hamka mengingatkan bahwa "kebenaran tidak dapat diikat oleh waktu dan tempat". Pertanyaannya, apakah kita masih punya nyali untuk mencarinya, atau kita sudah terlalu nyaman dengan "berlian" imitasi yang berkilauan di layar gawai kita? Mungkin, setelah membaca ini, ada baiknya kita sejenak berhenti scroll, lalu mulai ijtihad kecil-kecilan. Siapa tahu, "ekonomi djiwa" kita bisa sedikit surplus.
*) "Sapere aude" dalam bahasa Latin berarti "berani untuk tahu" atau "berani berpikir sendiri". Frasa ini pertama kali digunakan oleh penyair Romawi kuno, Horace, yang menulisnya dalam karyanya. Kemudian, frasa ini diangkat kembali oleh filsuf Immanuel Kant dan dijadikan motto untuk Abad Pencerahan, sebuah periode revolusi intelektual yang menekankan pada penggunaan akal dan rasionalitas. Kant menggunakan frasa ini untuk menekankan pentingnya keberanian dalam menggunakan akal budi dan menentang ketidakdewasaan yang terikat pada tradisi dan otoritas.


Komentar
Posting Komentar