Gemuruh Revolusi Industri pada abad ke-18 dan ke-19, alih-alih membawa kemakmuran merata, justru melahirkan jurang menganga antara si kaya dan si miskin. Di tengah pesatnya laju kapitalisme dan individualisme, muncul suara-suara sumbang yang menggugat ketidakadilan. Suara-suara inilah yang kemudian mengkristal menjadi Mazhab Sosialisme, sebuah doktrin yang tak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan visi radikal tentang tatanan ekonomi yang lebih adil dan manusiawi.
Sosialisme, pada intinya, adalah sebuah doktrin yang menyerukan pemilikan dan pengawasan publik atas alat-alat produksi utama. Tujuannya mulia yaitu mencapai distribusi barang dan kesejahteraan yang lebih efisien dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Api Revolusi dan Kebangkitan Kesadaran
Kelahiran sosialisme bukanlah kebetulan. Ia adalah produk dari transformasi ekonomi, sosial, dan kultural Eropa yang bergejolak.
Ada empat faktor pendorong utama yang membakar semangat sosialisme:
- Revolusi Industri: Kemajuan yang menciptakan kekayaan berlimpah justru memperlebar kesenjangan sosial.
- Bangkitnya Kaum Borjuis dan Proletariat: Dua kelas yang kepentingannya saling bertentangan ini menjadi pemicu utama. Kaum kapitalis semakin kaya, sementara buruh semakin terpuruk.
- Pemikiran Baru yang Lebih Rasional: Tumbuhnya intelektualisme yang mulai mempertanyakan kehidupan manusia dan masyarakat secara lebih mendalam.
- Tuntutan Demokrasi Pasca-Revolusi Prancis: Semangat kesetaraan dan keadilan yang digaungkan Revolusi Prancis turut mendorong tuntutan demokrasi yang lebih luas, termasuk dalam ranah ekonomi.
Bagi mazhab Sosialis, pengejaran kekayaan pribadi secara membabi buta adalah akar ketidakadilan, penyebab keruntuhan moral, dan biang keladi kacaunya tatanan masyarakat.
Para pemikir sosialis memiliki beberapa kesamaan pandangan yang menjadi ciri khas mereka:
- Menolak Harmoni Kepentingan: Berbeda dengan mazhab Klasik yang percaya pada harmoni kepentingan, kaum sosialis melihat masyarakat sebagai kumpulan kelas-kelas dengan kepentingan yang saling bertentangan.
- Anti-Laissez-Faire: Mereka menentang konsep laissez-faire, laissez passer yang mengagungkan pasar bebas tanpa intervensi. Bagi mereka, negara memiliki peran progresif sebagai wakil kepentingan buruh.
- Mengakui Krisis Kapitalisme: Kaum sosialis menolak Hukum Say yang menyatakan penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Mereka melihat kapitalisme sebagai pembawa krisis periodik dan stagnasi umum.
- Menggugat Humanitas Kapitalis: Mereka menyangkal konsep humanitas ala mazhab Klasik yang meyakini kesempurnaan manusia. Kapitalisme, menurut mereka, justru mendorong egoisme dan penumpukan kekayaan.
- Membela Kepemilikan Kolektif: Mereka mendukung tindakan kolektif dan kepemilikan umum atas perusahaan oleh pemerintah atau koperasi demi perbaikan bangsa.
- Peran Pasar yang Fleksibel: Meskipun mayoritas mendukung peran besar negara, ada pula yang masih melihat kebutuhan mekanisme pasar untuk efisiensi.
Meski demikian, tidak semua aliran sosialisme sama. Gagasan Karl Marx dan Friedrich Engels menjadi rujukan utama bagi banyak aliran Marxisme, yang secara fundamental mempertanyakan bagaimana pola produksi kapitalis mengubah formasi sosial-ekonomi masyarakat pra-kapitalis.
Sosialisme Utopis: Niat Baik yang Terbentur Realitas
Sebelum Marx, muncul para pemikir yang digolongkan sebagai Sosialis Utopis. Tokoh-tokoh seperti Henri Comte de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen, yang hidup di awal abad ke-19, bermimpi tentang masyarakat sempurna tanpa hak milik pribadi, di mana semua aset adalah milik komunal.
- Thomas More membayangkan pulau Utopia dengan kepemilikan komunal dan hari kerja terbatas.
- Francis Bacon dalam Nova Atlantis mengidamkan masyarakat tanpa kebodohan dan prasangka.
- Thomas Campanella mengusulkan pendidikan oleh negara sejak usia dini dan kerja 4 jam untuk mencukupi kebutuhan.
- Abbe Morelly bahkan menganggap milik perseorangan sebagai sumber ketidakadilan.
- Robert Owen, dijuluki Bapak Koperasi Dunia, bahkan sempat mengimplementasikan gagasannya di pabrik kapas New Lanark, mengurangi jam kerja dan tetap membayar upah penuh saat krisis, tanpa mengurangi keuntungan pabrik.
Namun, kritik terhadap sosialisme utopis ini sangat tajam. Engels berargumen bahwa para sosialis utopis, meskipun niatnya baik dan terpengaruh idealisme Nalar dari Revolusi Prancis, gagal memahami kontradiksi internal kapitalisme yang sesungguhnya.
Mereka berupaya "menemukan sebuah sistem tatanan sosial yang baru dan lebih sempurna" dan "memaksakannya ke masyarakat dari luar dengan propaganda, dan jika memungkinkan, dengan contoh dari eksperimen model-model komunitas."
Sosialisme Negara dan Anarkis: Varian dalam Spektrum Sosialisme
Selain utopis, muncul pula varian sosialisme lain:
-
Sosialisme Negara (State Socialism): Meyakini bahwa pemerintah harus memiliki dan melaksanakan seluruh sektor ekonomi untuk mencapai sasaran masyarakat keseluruhan.
Negara dianggap sebagai kekuatan adil yang mampu menguntungkan buruh, bahkan mengambil alih perusahaan monopoli dan menyubsidi koperasi. Louis Blanc adalah tokohnya, yang mengusulkan pabrik-pabrik yang dikelola negara (ateliers sociaux) untuk memastikan upah layak dan produktivitas tinggi. Namun, gagasan Blanc ini sempat diimplementasikan pada masa pemerintahan revolusioner Prancis dan berujung pada kegagalan karena pekerja dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak produktif. -
Sosialisme Anarkis: Digagas oleh Pierre-Joseph Proudhon, yang berpendapat bahwa segala bentuk pemerintahan bersifat koersif dan harus dilenyapkan.
Ia bahkan menyatakan bahwa "milik pribadi adalah perampokan." Proudhon memimpikan masyarakat tanpa pemerintah, di mana harmoni anarki menjadi bentuk tertinggi organisasi sosial, berasumsi bahwa sifat manusia pada dasarnya baik jika tidak dikorupsi oleh negara. Ia mengusulkan kepemilikan kolektif atas modal oleh kelompok kooperatif dan kredit tanpa bunga dari bank sirkulasi pusat untuk menghilangkan pertentangan kelas.
Dari Utopia ke Sains: Dialektika dan Materialisme Historis Marx
Bagi Engels, agar sosialisme bisa diwujudkan, ia harus berubah dari sekadar gagasan idealistik menjadi ilmu pengetahuan: sosialisme ilmiah.
Dialektika, yang sudah ada sejak Yunani Kuno, melihat dunia sebagai totalitas yang bergerak, berubah, dan saling terkait.
Hegel membawa dialektika ke puncak pemikiran Jerman abad ke-18, namun sebagai seorang idealis, ia percaya bahwa gagasan adalah cerminan dari 'Ide' yang sudah ada, bukan sebaliknya.
Materialisme historis adalah konsepsi kunci dalam sosialisme ilmiah. Ia menyatakan bahwa perubahan sosial dan revolusi politik utamanya didorong oleh perubahan pada cara produksi dan pertukaran, bukan semata-mata oleh gagasan manusia tentang kebenaran dan keadilan.
Dengan materialisme historis, sosialisme tidak lagi menjadi sekadar penemuan pikiran, melainkan hasil dari perjuangan kelas proletariat dan borjuis.
Kontradiksi Internal Kapitalisme: Benih Keruntuhan dan Kemenangan Proletariat
Kapitalisme, sejak kelahirannya, membawa kontradiksi fundamental:
- Produksi yang Tersosialisasi vs. Modus Apropriasi Kapitalis: Kapitalisme mengonsentrasikan alat-alat produksi (yang sebelumnya tersebar dan individual) ke tangan segelintir borjuis.
Alat-alat produksi ini diubah menjadi kekuatan produktif besar yang membutuhkan kerja kolektif (misalnya, mesin di pabrik). Namun, hasil dari kerja bersama ini tetap menjadi milik kelas borjuis. Inilah kontradiksi mendasar kapitalisme. - Proletariat vs. Borjuis: Akibat konsentrasi alat-alat produksi, sebagian besar masyarakat kehilangan kepemilikan dan terpaksa menjual tenaga kerja kepada kapitalis. Mereka menjadi proletariat modern.
Kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dan apropriasi kapitalis termanifestasi dalam kontradiksi kelas proletariat dan borjuis. - Anarki Produksi di Tingkat Masyarakat: Jika di tingkat pabrik ada organisasi dan perencanaan, di tingkat masyarakat luas ada pasar yang penuh persaingan dan anarkis.
Tekanan persaingan mendorong kapitalis untuk meningkatkan produktivitas melalui mekanisasi guna menekan biaya, yang berujung pada bertambahnya pengangguran dan upah yang murah. Daya beli masyarakat menurun, pasar menyusut, dan akhirnya terjadi krisis overproduksi.
Krisis ini, menurut Engels, adalah momen di mana kekuatan produktif menegaskan karakter sosialnya dan menunjukkan ketidaksesuaiannya dengan cara produksi kapitalis.
Dengan demikian, anarki produksi akan diganti dengan regulasi produksi berbasis kebutuhan masyarakat.
Kelas yang sanggup menuntaskan revolusi ini adalah proletariat.
Sosialisme "ilmiah", pada akhirnya, adalah tentang memberikan pengetahuan kepada kelas proletariat akan kemungkinan ini dan tugas sejarahnya sebagai subjek revolusioner.
Menggali Lebih Dalam untuk Masa Depan Ilmu Ekonomi
Mazhab Sosialisme, dengan segala kritik dan visinya, telah memberikan kontribusi tak terbantahkan dalam sejarah pemikiran ekonomi. Ia memaksa kita untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar kapitalisme, menyoroti ketidakadilan struktural, dan memimpikan tatanan masyarakat yang lebih egaliter.

Komentar
Posting Komentar