Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam sistem hukum Indonesia, yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), sesungguhnya adalah sebuah instrumen darurat yang fundamental. Ia berfungsi sebagai katup pengaman konstitusional, memungkinkan Presiden mengambil tindakan cepat dalam kondisi kegentingan yang memaksa untuk mengisi kekosongan hukum atau mengatasi situasi krisis yang tidak dapat menunggu proses legislasi biasa. Namun, dalam perkembangannya, penggunaan instrumen ini kerap kali menjadi sumber kontroversi yang memicu perdebatan sengit mengenai batas-batas kekuasaan eksekutif, integritas proses legislasi, dan implikasi mendalam terhadap prinsip negara hukum demokratis.
Esai ini akan menelaah secara kritis kontroversi Perppu di Indonesia, mengurai aspek proses pembentukannya yang rentan terhadap penyalahgunaan, menyoroti risiko ketidakpastian hukum yang ditimbulkannya, serta mengkaji implikasinya terhadap konsep negara hukum dan teori pembagian/pemisahan kekuasaan. Analisis ini akan diperkaya dengan landasan yuridis, filosofis, sosiologis, dan teoritis yang mendalam, diakhiri dengan perbandingan praktik di beberapa negara lain untuk menempatkan fenomena ini dalam perspektif komparatif yang lebih luas.
Landasan Yuridis Perppu: Menjelajahi Batas "Kegentingan Memaksa"
Landasan yuridis utama Perppu bermula dari Pasal 22 UUD NRI 1945, sebuah ketentuan yang secara eksplisit memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."
Namun, sebagaimana telah menjadi pangkal perdebatan, frasa "kegentingan yang memaksa" adalah inti sekaligus titik rawan kontroversi yuridis ini. UUD NRI 1945 sengaja tidak memberikan definisi eksplisit mengenai kriteria tersebut, sehingga menyerahkan interpretasinya pada diskresi Presiden. Kekosongan interpretasi inilah yang kemudian coba diisi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusannya yang monumental itu, MK menetapkan tiga syarat kumulatif yang harus dipenuhi: pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat; kedua, undang-undang yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, sehingga menimbulkan kekosongan hukum atau menghambat pembangunan nasional; dan ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan prosedur pembentukan undang-undang biasa karena memerlukan waktu, sementara keadaan mendesak memerlukan kepastian hukum.
Meski putusan MK ini merupakan upaya penting untuk memberikan parameter objektif, dalam praktik politik seringkali muncul perbedaan persepsi yang tajam antara eksekutif di satu sisi, dengan masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat HAM di sisi lain, mengenai apakah suatu kondisi benar-benar memenuhi kriteria "kegentingan memaksa." Hal ini memunculkan pertanyaan kritis yang mendasar: apakah interpretasi "kegentingan" ini semata-mata didasarkan pada diskresi subjektif Presiden ataukah ia harus tunduk pada standar objektivitas yang dapat diuji secara yuridis-konstitusional? Persoalan ini menjadi krusial karena menyangkut legitimasi substansial dari suatu Perppu. Tanpa objektivitas yang memadai, penggunaan Perppu berisiko merosot menjadi sekadar alat politik daripada tetap menjadi instrumen hukum darurat yang sah dan konstitusional.
Landasan Filosofis: Dialektika Antara Stabilitas dan Demokrasi Konstitusional
Dari perspektif filosofis, eksistensi dan penggunaan Perppu secara fundamental menyentuh dikotomi klasik yang tak pernah usai dalam pemikiran hukum tata negara: tegangan antara stabilitas dan demokrasi konstitusional.
Pertama, argumen dasar di balik pembentukan Perppu adalah kebutuhan krusial akan efisiensi dan respons cepat dalam menghadapi berbagai krisis. Filosofi yang melandasi pemikiran ini adalah adagium kuno " salus populi suprema lex esto ", yang berarti "keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi." Dalam kondisi darurat, ketika ancaman terhadap negara atau masyarakat begitu mendesak dan nyata, prosedur legislasi yang panjang dan berliku dianggap dapat menghambat upaya penyelamatan yang vital. Ini merupakan pengejawantahan dari gagasan kekuasaan darurat (emergency powers) yang diakui dalam teori kenegaraan, di mana negara diberi kemampuan untuk bertindak di luar prosedur normal demi menjaga keberlangsungannya sendiri. Namun, tantangan filosofis terbesarnya terletak pada bagaimana memastikan bahwa kekuasaan darurat ini tidak disalahgunakan dan tidak bermutasi menjadi bentuk tirani yang secara sistematis mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan hak asasi.
Kedua, di sisi lain, penggunaan Perppu berpotensi menggerus filosofi demokrasi konstitusional yang secara inheren menekankan kedaulatan rakyat dan partisipasi publik dalam proses pembentukan hukum. Dalam sebuah negara demokrasi, hukum idealnya merupakan manifestasi dari kehendak rakyat yang disalurkan melalui representasi mereka di parlemen. Proses legislasi yang transparan, partisipatif, dan deliberatif adalah cerminan dari akuntabilitas kekuasaan. Ketika Perppu diterbitkan, proses deliberasi publik dan representasi rakyat melalui DPR secara efektif dikesampingkan, setidaknya pada tahap awal penerbitannya. Hal ini menciptakan ketegangan filosofis yang mendalam antara kebutuhan akan respons cepat dan efisien di satu sisi, dengan tuntutan akan legitimasi demokratis yang mencakup akuntabilitas dan partisipasi di sisi lain. Perdebatan filosofis yang mendasar pun mencuat: sejauh mana efisiensi dapat membenarkan pembatasan hak-hak demokratis rakyat dalam pembentukan hukum?
Landasan Sosiologis: Meraba Dampak Terhadap Kepercayaan Publik dan Stabilitas Sosial
Dari perspektif sosiologis, penggunaan Perppu yang kerap kali kontroversial membawa dampak yang signifikan terhadap kepercayaan publik terhadap institusi negara dan, pada gilirannya, terhadap stabilitas sosial.
Ketika sebuah Perppu diterbitkan dengan justifikasi "kegentingan memaksa" yang diragukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat—sebagaimana pernah terjadi dengan Perppu Ormas atau Perppu Cipta Kerja—hal itu dapat secara sistematis memicu ketidakpercayaan publik yang meluas terhadap pemerintah. Masyarakat merasa bahwa proses demokratis telah dipinggirkan, dan kekuasaan eksekutif cenderung bertindak secara sepihak dan otoriter. Erosi kepercayaan ini berpotensi besar berujung pada resistensi sosial yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan yang diatur oleh Perppu tersebut, sehingga mempersulit implementasinya di lapangan dan bahkan mengganggu jalannya roda pemerintahan.
Lebih jauh, kontroversi Perppu seringkali memicu polarisasi yang tajam di masyarakat. Kelompok pro-pemerintah akan cenderung mendukung kebijakan tersebut dengan dalih stabilitas, sementara kelompok oposisi dan masyarakat sipil akan menolaknya atas dasar dugaan pelanggaran hak asasi atau penyimpangan prosedur konstitusional. Polarisasi ini dapat memperdalam perpecahan sosial, memicu serangkaian unjuk rasa, bahkan berpotensi memicu konflik horizontal jika isu yang diatur dalam Perppu menyentuh kepentingan fundamental atau sensitivitas kelompok masyarakat tertentu. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengganggu kohesi sosial dan stabilitas politik-sosial yang ironisnya justru ingin dicapai melalui penerbitan Perppu itu sendiri.
Tidak hanya itu, penggunaan Perppu yang berlebihan atau tanpa justifikasi yang kuat juga dapat membentuk budaya hukum yang permisif terhadap penyimpangan prosedur. Jika masyarakat dan para pengambil kebijakan terbiasa dengan "jalan pintas" legislasi, maka prinsip supremasi hukum dan kepatuhan pada prosedur yang benar dan konstitusional akan melemah secara perlahan. Ini merupakan ancaman serius bagi budaya hukum (legal culture) yang menghargai proses, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama sebuah negara hukum yang demokratis.
Landasan Teoritis: Membedah Konstitusionalisme dan Keseimbangan Kekuasaan
Untuk menganalisis fenomena Perppu secara menyeluruh, kita tidak dapat melepaskan diri dari lensa teori-teori dasar hukum tata negara yang telah menjadi pilar pemikiran konstitusional global.
Pertama, Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers), yang pemikirannya diinisiasi oleh John Locke dengan konsep kekuasaan federatif, eksekutif, dan legislatif, serta diperkaya oleh Montesquieu dengan trias politika legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tujuan utama teori ini adalah mencegah konsentrasi kekuasaan di satu tangan dan menghindari potensi tirani, dengan membangun sebuah sistem kontrol dan keseimbangan (checks and balances) yang saling mengawasi antarlembaga negara. Dalam konteks Perppu, terjadi sebuah anomali atau setidaknya penarikan kekuasaan legislatif yang substansial dari DPR ke tangan Presiden (eksekutif). Meskipun UUD NRI 1945 mengamanatkan persetujuan DPR, kontrol ini bersifat ex-post facto, yang pada hakikatnya melemahkan esensi checks and balances yang dirancang untuk menjaga keseimbangan. Jika Perppu disalahgunakan, ia dapat menggeser dominasi kekuasaan secara signifikan ke eksekutif, sehingga mengikis inti pemisahan kekuasaan. Ini berarti legislatif kehilangan kemampuan untuk secara efektif mengawasi dan membentuk undang-undang, dan demokrasi parlementer terancam menjadi sekadar formalitas belaka. Konsep delegasi legislasi juga relevan di sini; Perppu bukanlah delegasi, melainkan inisiatif legislatif eksekutif murni dalam kondisi darurat yang kemudian di ratifikasi oleh parlemen. Batas tipis antara "delegasi yang sah" dan "pengambilan alih kekuasaan legislatif" menjadi semakin samar, terutama jika parameter "kegentingan" tidak ditetapkan secara ketat.
Kedua, Konsep Negara Hukum (Rechtstaat / Rule of Law), yang pondasinya diletakkan oleh Friedrich Julius Stahl dengan elemen-elemen Rechtstaat (perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, peradilan administrasi) dan AV Dicey dengan Rule of Law (supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, hak asasi dijamin oleh putusan pengadilan). Negara hukum mensyaratkan bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum dan menjamin kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia. Penggunaan Perppu yang berlebihan atau tidak tepat justru dapat mencederai prinsip-prinsip fundamental ini. Ketiadaan proses legislasi yang partisipatif dan transparan dalam pembentukan Perppu mereduksi prinsip due process of law dan melukai rasa keadilan prosedural. Lebih jauh, jika Perppu digunakan untuk menghindari atau bahkan 'memutar balik' putusan Mahkamah Konstitusi, atau sekadar mempercepat agenda politik tertentu, hal itu secara terang-terangan mengancam supremasi konstitusi dan kedaulatan hukum, yang merupakan pilar utama dari setiap negara hukum yang tegak.
Ketiga, Kedaulatan Konstitusi (Constitutional Supremacy), sebuah teori yang menegaskan bahwa konstitusi adalah hukum tertinggi yang menjadi landasan bagi semua norma hukum di bawahnya, dan setiap organ negara harus tunduk pada supremasinya. Perppu, sebagai produk hukum yang setingkat dengan undang-undang, harus sepenuhnya tunduk pada konstitusi. Pengujian konstitusionalitas Perppu oleh MK adalah manifestasi nyata dari teori kedaulatan konstitusi ini. Namun, ketika sebuah Perppu diterbitkan sebagai "jawaban" atau bahkan 'perlawanan' terhadap putusan MK (seperti Perppu Cipta Kerja yang muncul setelah putusan MK), hal ini memunculkan pertanyaan serius mengenai komitmen terhadap kedaulatan konstitusi dan penghormatan terhadap putusan lembaga peradilan konstitusional. Ini menciptakan krisis legitimasi dan merusak tatanan hierarki norma hukum, sebuah ancaman serius bagi stabilitas sistem hukum.
Proses Pembentukan Perppu dan Ancaman Ketidakpastian Hukum
Kontroversi Perppu tidak hanya terletak pada interpretasi kegentingannya, tetapi juga pada proses pembentukannya yang inheren kurang partisipatif dan berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum. Secara normatif, Perppu adalah produk legislasi eksekutif yang langsung berlaku begitu diundangkan, meskipun harus mendapatkan persetujuan DPR pada persidangan berikutnya.
Prosedur normal pembentukan undang-undang, yang merupakan jantung dari demokrasi legislatif, mensyaratkan pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, melibatkan masukan dari masyarakat melalui berbagai tahapan konsultasi dan dengar pendapat publik. Ini adalah manifestasi nyata dari prinsip demokrasi partisipatif dan mekanisme checks and balances yang esensial dalam teori pembagian kekuasaan. Namun, Perppu, di sisi lain, dikeluarkan oleh Presiden tanpa melalui proses pembahasan formal dengan DPR sebelumnya, apalagi konsultasi publik yang memadai.
Meskipun DPR memiliki hak konstitusional untuk menyetujui atau menolak Perppu, fakta bahwa Perppu sudah berlaku efektif sesaat setelah diundangkan, bahkan sebelum disetujui DPR, seringkali menciptakan situasi fait accompli. DPR dihadapkan pada pilihan yang dilematis: menyetujui Perppu yang mungkin bermasalah secara substansi dan prosedural, atau menolaknya dan menciptakan kekosongan hukum kembali yang dapat menimbulkan kekacauan. Tekanan politik untuk menyetujui Perppu, terutama jika pemerintah memiliki mayoritas kuat di parlemen, seringkali sangat intens, secara efektif mengikis fungsi pengawasan dan legislasi substantif DPR. Ini sejatinya adalah delegitimasi peran legislatif yang harusnya setara dengan eksekutif.
Kondisi minimnya partisipasi dan pengawasan ini berpotensi besar melahirkan regulasi yang tidak representatif, tidak aspiratif, dan bahkan bertentangan dengan kebutuhan riil masyarakat. Hal ini juga berimplikasi langsung pada kualitas substansi Perppu itu sendiri. Tanpa dialektika legislatif yang matang, Perppu bisa saja mengandung kelemahan teknis, inkonsistensi dengan peraturan lain yang sudah ada, atau bahkan norma yang ambigu dan multitafsir, yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya di lapangan.
Manifestasi risiko ketidakpastian hukum dari Perppu dapat terlihat dari beberapa aspek krusial. Pertama, status hukumnya yang temporer dan volatilitas regulasi yang tinggi. Perppu memiliki status hukum yang sementara dan sangat bergantung pada persetujuan DPR. Jika DPR menolak Perppu, ia harus dicabut. Kondisi ini menciptakan volatilitas regulasi yang sangat merugikan. Bayangkan jika suatu Perppu telah diterapkan selama berbulan-bulan, menimbulkan berbagai kebijakan turunan dan konsekuensi hukum yang luas, namun tiba-tiba ditolak DPR. Ini akan menciptakan kekacauan dan disrupsi yang luar biasa bagi para pihak yang telah bertindak berdasarkan Perppu tersebut. Investor, pelaku usaha, atau bahkan masyarakat umum akan dihadapkan pada risiko perubahan regulasi yang drastis dan mendadak, yang sangat merugikan prinsip prediktabilitas hukum yang menjadi pilar kepastian investasi dan kehidupan bermasyarakat.
Kedua, potensi inkonsistensi dan konflik norma. Dalam kondisi tergesa-gesa, seringkali Perppu dapat tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lain yang sudah ada. Tanpa pembahasan mendalam yang memadai, potensi inkonsistensi ini sangat tinggi, yang pada gilirannya mempersulit aparat penegak hukum dan warga negara dalam memahami dan mematuhi hukum. Hal ini secara langsung melanggar prinsip kesatuan sistem hukum dan menciptakan kebingungan yang tidak perlu.
Ketiga, kualitas legislasi yang meragukan. Minimnya pembahasan formal dan partisipasi publik dapat menurunkan kualitas draf Perppu secara substansial. Ini bisa berarti redaksi yang tidak jelas, ruang lingkup yang tidak tegas, atau bahkan norma yang multitafsir dan membuka peluang penyalahgunaan interpretasi. Kualitas legislasi yang rendah adalah jaminan bagi ketidakpastian hukum, memicu interpretasi beragam, sengketa, dan beban litigasi di kemudian hari.
Perbandingan dengan Praktik Legislasi Darurat di Negara Lain
Meskipun instrumen legislasi darurat oleh eksekutif adalah fitur yang lazim ditemukan di banyak negara, praktiknya bervariasi dan seringkali dibatasi secara lebih ketat guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Ambil contoh Jerman, di mana Pasal 81 Undang-Undang Dasar Jerman (Basic Law) mengatur tentang "Legislasi Darurat." Namun, kewenangan ini sangat terbatas. Kanselir hanya dapat mengusulkan legislasi darurat jika parlemen (Bundestag) menolak rancangan undang-undang pemerintah meskipun telah dinyatakan mendesak. Bahkan itupun, legislasi darurat ini harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Federal (Bundesrat) dan Presiden, serta dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Jelas sekali bahwa mekanisme kontrol legislatif dan yudikatif di Jerman jauh lebih kuat dan berlapis dibandingkan dengan praktik di Indonesia.
Di Prancis, Konstitusi Republik Kelima memberikan Presiden kewenangan legislatif yang luar biasa dalam keadaan darurat melalui Pasal 16, namun hanya jika "lembaga-lembaga Republik, kemerdekaan bangsa, integritas wilayahnya, atau pemenuhan komitmen internasional terancam secara serius dan segera." Penggunaan kewenangan ini sangat jarang, dan selalu disertai dengan konsultasi wajib dengan Dewan Konstitusi. Selain itu, ada juga konsep "ordonansi" (Pasal 38), di mana Parlemen dapat secara eksplisit mendelegasikan wewenang legislatif kepada pemerintah untuk jangka waktu terbatas dan tujuan tertentu. Ini berbeda fundamental dengan Perppu di Indonesia yang merupakan inisiatif penuh eksekutif dalam kondisi darurat tanpa adanya delegasi eksplisit sebelumnya dari parlemen.
Bahkan di India, sebuah negara demokrasi yang populasinya masif, konstitusinya juga memuat ketentuan mengenai "Ordinansi" yang memiliki kemiripan dengan Perppu di Indonesia, diatur dalam Pasal 123 Konstitusi. Presiden dapat mengeluarkan Ordinansi ketika parlemen tidak bersidang dan terdapat kebutuhan mendesak. Namun, Ordinansi ini harus diajukan ke parlemen dalam waktu enam minggu setelah parlemen bersidang kembali, dan parlemen memiliki kewenangan penuh untuk menolak atau menyetujuinya. Mekanisme pengawasan yudikatif juga memungkinkan Ordinansi ini digugat di pengadilan, memastikan adanya kontrol yang memadai.
Perbandingan ini secara gamblang menunjukkan bahwa, sementara instrumen legislasi darurat memang diperlukan dalam sistem ketatanegaraan modern, desain konstitusional dan praktik di negara-negara maju cenderung memberikan batasan yang jauh lebih tegas, pengawasan yang lebih ketat oleh legislatif dan yudikatif, serta jaminan partisipasi publik yang lebih kuat dibandingkan praktik Perppu di Indonesia. Ini adalah pelajaran penting bagi Indonesia dalam upaya berkelanjutan untuk memperkuat konstitusionalisme dan prinsip negara hukumnya.
Kesimpulan
Kontroversi Perppu di Indonesia adalah simptom dari ketegangan inheren antara kebutuhan akan kecepatan dalam merespons krisis dan tuntutan esensial akan proses legislasi yang demokratis, partisipatif, serta akuntabel. Meskipun Perppu adalah instrumen konstitusional yang sah dan krusial, penyalahgunaan atau interpretasi yang terlalu longgar terhadap frasa "kegentingan yang memaksa" telah secara sistematis mengikis prinsip checks and balances dan berpotensi merusak sendi-sendi negara hukum demokratis yang telah susah payah dibangun.
Risiko ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Perppu, baik dari segi status hukum yang temporer dan volatilitasnya, maupun dari kualitas substansinya yang minim partisipasi, adalah ancaman nyata bagi iklim investasi, stabilitas regulasi, dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Untuk mencapai taraf konstitusionalisme yang lebih matang dan kokoh, Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis.
Pertama, perlu ada upaya serius untuk memperjelas dan mempertegas kriteria "kegentingan memaksa". Ini bisa dilakukan melalui amandemen UUD NRI 1945 atau melalui legislasi lebih lanjut yang spesifik, seperti penyempurnaan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kriteria ini harus dibuat setajam mungkin untuk membatasi diskresi Presiden dan memberikan batasan objektif yang dapat diuji secara yuridis, sehingga tidak lagi menjadi celah bagi interpretasi yang terlalu longgar.
Kedua, pengawasan DPR harus diperkuat. Mekanisme persetujuan Perppu oleh DPR harus diperbaiki, mungkin dengan memperpendek masa berlaku Perppu sebelum disahkan, atau mewajibkan konsultasi informal yang lebih intensif antara eksekutif dan legislatif sebelum Perppu diterbitkan. Selain itu, kepatuhan politik terhadap putusan MK dalam konteks Perppu juga harus menjadi indikator kematangan demokrasi yang tak bisa ditawar.
Ketiga, partisipasi publik harus ditingkatkan. Meskipun dalam kondisi darurat, upaya untuk melibatkan elemen masyarakat sipil, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya dalam perumusan Perppu harus diupayakan semaksimal mungkin, bahkan dalam waktu yang terbatas. Ini bisa melalui mekanisme online public hearing yang dipercepat atau pengumpulan masukan secara daring yang efisien.
Terakhir, dan yang tak kalah penting, peran Mahkamah Konstitusi harus semakin diperkuat. MK harus secara konsisten dan tegas menerapkan batasan konstitusional terhadap penggunaan Perppu, memastikan bahwa diskresi Presiden tidak berubah menjadi absolutisme kekuasaan. Putusan MK harus dihormati dan ditindaklanjuti secara penuh oleh semua cabang kekuasaan, sebagai manifestasi konkret dari supremasi konstitusi.
Pada akhirnya, Perppu harus dipahami secara kolektif sebagai pengecualian yang harus digunakan dengan sangat hati-hati, bukan sebagai kebiasaan atau jalan pintas legislasi. Kemampuan negara untuk merespons krisis tidak boleh dan tidak boleh mengorbankan fondasi negara hukum dan demokrasi konstitusional yang telah dibangun. Perjalanan Indonesia menuju sistem ketatanegaraan yang lebih stabil, adil, dan prediktif sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola dan membatasi penggunaan instrumen luar biasa seperti Perppu ini. Ini bukan hanya sebuah masalah hukum semata, melainkan refleksi dari komitmen fundamental kita terhadap masa depan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar