Langsung ke konten utama

Pancasila Sebagai Pondasi Moral, Bukan Sekadar Slogan Politis


Pada 1 Juni 1977, di panggung Gedung Kebangkitan Nasional, seorang negarawan bangsa di senja usianya, Dr. Mohammad Hatta, menyampaikan sebuah pidato yang bukan sekadar kenangan, melainkan sebuah wasiat intelektual yang mendalam. Naskah pidato yang kemudian dibukukan dengan judul Pengertian Pancasila ini bukanlah sebuah catatan arsip yang kaku. Ia adalah sebuah refleksi tajam dari seorang proklamator yang melihat gagasan agung yang turut dibidani kelahirannya, puluhan tahun kemudian, lebih sering menjadi hiasan di bibir daripada keyakinan yang berakar di hati. Melalui uraiannya, Hatta tidak hanya memaparkan sejarah, tetapi juga menyuling esensi filosofis Pancasila, menegaskannya sebagai sebuah fondasi moral yang kokoh, bukan sekadar kompromi politis yang rapuh.

Hatta memulai dengan mengakui peran sentral Bung Karno dalam sidang Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1 Juni 1945. Di tengah kebuntuan atas pertanyaan filosofis dari Ketua Sidang, dr. Radjiman Wediodiningrat, mengenai dasar negara Indonesia, pidato Bung Karno-lah yang berhasil menyajikan lima prinsip sebagai jawaban. Uraian tersebut, yang kemudian dikenal sebagai "Lahirnya Pancasila", diakui Hatta memiliki daya kompromi yang mampu meneduhkan pertentangan yang mulai meruncing antara pendukung negara Islam dan negara sekuler. Namun, pengakuan historis ini hanyalah titik awal dari analisis Hatta yang jauh lebih dalam. Baginya, Pancasila yang kita kenal hari ini bukanlah produk tunggal dari satu hari, melainkan hasil dari sebuah evolusi pemikiran yang krusial.

Puncak argumen filosofis Hatta terletak pada analisisnya tentang pergeseran urutan dan rumusan sila dari pidato awal Bung Karno ke rumusan final dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam formulasi awal Bung Karno, Kebangsaan Indonesia diletakkan sebagai sila pertama, diakhiri dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai penutup. Hatta melihat ini sebagai penekanan pada fundamen politik yang mendahulukan sendi moral. Namun, dalam rumusan Piagam Jakarta yang kemudian disempurnakan menjadi Pembukaan UUD 1945, urutannya dibalik secara fundamental, "Ketuhanan Yang Maha Esa" ditempatkan sebagai sila pertama, menjadi sumber dan pemandu bagi sila-sila berikutnya.

Bagi Hatta, perubahan ini bukan sekadar tata letak, melainkan sebuah transformasi paradigmatik. Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh fondasi yang kokoh. Ketuhanan Yang Mahaesa tidak lagi hanya bermakna sebagai dasar untuk saling menghormati antaragama, melainkan menjadi dasar yang memimpin negara ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kejujuran. Politik negara, dengan demikian, mendapat dasar moral yang kuat. Sila Ketuhanan menjadi jiwa yang memberi ruh pada empat sila lainnya, yang tanpanya, sila-sila tersebut bisa kehilangan arah. Kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial menjadi manifestasi konkret dari pengamalan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan fondasi ini, menurut Hatta, manakala negara kesasar dalam perjalanannya, akan selalu ada "desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar".

Dari fondasi moral ini, Hatta menguraikan visi kenegaraan yang utuh. Sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" adalah kelanjutan logis dari sila pertama, mewajibkan negara untuk menjamin hak-hak asasi warganya, terutama hak untuk hidup dan kebebasan diri sebagai karunia Tuhan. Namun, Hatta juga memberi catatan kritis yang tajam terhadap individualisme liberal. Mengacu pada watak kekeluargaan bangsa Indonesia, ia menegaskan bahwa hak milik pribadi tidaklah bersifat "keramat", melainkan memiliki "fungsi sosial" yang mengandung tanggung jawab terhadap masyarakat.

Visi kerakyatan yang diusung pun bukanlah demokrasi liberal yang semata-mata mencari suara terbanyak. Ia adalah "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Demokrasi ini, yang digali dari budaya asli Indonesia seperti gotong-royong dan musyawarah, harus senantiasa dilindungi oleh sila Ketuhanan dan Kemanusiaan agar terhindar dari bahaya korupsi dan anarki yang selalu mengancam.

Puncak dari tujuan bernegara adalah "Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia". Hatta menerjemahkan sila ini ke dalam program ekonomi yang konkret dan berpihak pada rakyat. Ia secara tegas menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah sendi utama bagi politik perekonomian Indonesia, dan yang dimaksud dengan "usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" tidak lain adalah koperasi. Bagi Hatta, koperasi adalah antitesis dari individualisme dan kapitalisme, sebuah jalan untuk membangun masyarakat kolektif yang berakar pada adat istiadat bangsa namun dikelola secara modern. Koperasi adalah alat untuk mendidik rakyat dalam kemandirian (self-help), oto-aktivitas, dan semangat demokrasi, sekaligus menjadi cara efektif untuk merasionalkan perekonomian dan membangun modal nasional.

Namun, setelah memaparkan visi agung tersebut, nada bicara Hatta berubah menjadi sebuah keprihatinan yang mendalam. Ia dengan pedih menyatakan bahwa dalam praktik kehidupan sehari-hari, Pancasila hanya menjadi amalan di bibir saja. Ia melihat Pancasila belum meresap ke dalam jiwa rakyat, terbukti dari mudahnya orang membunuh sesama manusia hanya karena perselisihan kecil. Lebih menyakitkan lagi, ia menyoroti bagaimana negara, melalui aparaturnya, justru mengkhianati Pancasila. Hatta menceritakan sebuah peristiwa memalukan di mana seorang tertuduh pencuri beca meninggal dalam tahanan karena tidak diberi makan, sebuah tindakan yang ia sebut bertentangan secara mutlak dengan dasar kemanusiaan dan keadilan.

Pada akhirnya, pidato Hatta adalah sebuah panggilan untuk kembali ke esensi. Ia mengingatkan bahwa Republik Indonesia belum dapat dikatakan berdasar Pancasila selama pemerintah dan masyarakat belum sanggup menaati dan melaksanakan amanat konstitusi, terutama pasal-pasal yang menjamin penghidupan yang layak, hak atas pendidikan, serta penguasaan negara atas sumber daya untuk kemakmuran rakyat. Pancasila, baginya, adalah kontrak sosial seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga persatuan. Ia adalah fondasi moral yang harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan melalui perbuatan, karena jika tidak, ia hanya akan menjadi sebuah pengkhianatan pada diri sendiri. Wasiat Hatta tetap bergema hingga hari ini: ancaman terbesar bagi Pancasila bukanlah ideologi dari luar, melainkan pengabaian dan pengosongan makna dari dalam.



Zlamitan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...