Lebih dari dua dasawarsa telah berlalu sejak gelombang reformasi 1998 menyapu Indonesia, menjanjikan era baru demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Namun, janji itu kini dihadapkan pada realitas yang getir: pemilu, instrumen fundamental bagi kedaulatan rakyat dan fondasi legitimasi sebuah pemerintahan demokratis, secara ironis justru telah bertransformasi menjadi arena bagi konsolidasi otokrasi
Pemilu idealnya adalah pilar yang menopang struktur demokrasi, memastikan akuntabilitas pemimpin dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan arah kebijakan negara secara bebas dan adil
Lantas, bagaimana pemilu bisa berubah menjadi alat otokratisasi? Degradasi ini adalah hasil dari serangkaian langkah sistematis yang menggerus sendi-sendi demokrasi dari dalam. Pertama, konsolidasi kekuasaan eksekutif yang semakin agresif menjadi motor utama otokratisasi
Kedua, manipulasi hukum telah menjadi instrumen politik yang efektif untuk mengakomodasi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden, secara spesifik membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka—yang merupakan putra Presiden Jokowi dan keponakan Ketua MK Anwar Usman—untuk mencalonkan diri
Ketiga, masifnya politik uang dan penyalahgunaan sumber daya negara telah menormalisasi praktik-praktik yang merusak integritas pemilu. Sejak Pemilu 2009, politik uang menjadi "new normal"
Keempat, pelemahan institusi demokrasi dan politisasi birokrasi telah menciptakan uneven playing field yang mencolok. Lembaga-lembaga seperti KPU dan Bawaslu, yang seharusnya menjaga netralitas, menghadapi tekanan politik dan struktural yang membatasi independensi mereka
Kelima, eksploitasi polarisasi politik dan kontrol media menjadi strategi efektif untuk mengikis akuntabilitas sosial. Polarisasi yang sengaja diciptakan—seperti narasi "kami" vs. "mereka"
Melihat kompleksitas dan sistematisnya pergeseran ini, jelas bahwa kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa demokrasi Indonesia hanya sedang "sakit." Ia telah memasuki fase kritis yang membutuhkan lebih dari sekadar perbaikan kosmetik. Ini adalah panggilan untuk revolusi fundamental, sebuah perombakan mendasar dalam cara kita memahami dan mempraktikkan demokrasi.
Rethinking Demokrasi: Melampaui Proseduralisme Formal yang Kosong. Kita harus meninjau ulang secara radikal pemahaman kita tentang demokrasi. Bukan sekadar kotak suara, bukan hanya ritual lima tahunan yang menghasilkan pemenang, tetapi sistem yang menjamin kebebasan sipil, keadilan sosial, akuntabilitas horizontal dan vertikal, serta partisipasi yang inklusif
Mendefinisikan Ulang Hubungan Kekuasaan: Merubuhkan Struktur Dominasi dan Nepotisme. Revolusi fundamental menuntut peninjauan ulang dan perombakan pada aspek-aspek kunci:
- Revisi Undang-Undang Partai Politik: Sistem pemilihan internal partai harus lebih demokratis, transparan, dan inklusif
. Ini esensial untuk mengurangi dominasi oligarki dalam struktur partai dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan keinginan anggota serta masyarakat luas . Transparansi pendanaan partai dan akuntabilitas keputusan juga harus diperkuat . - Penguatan Mekanisme Checks and Balances: Konstitusi dan undang-undang harus diperkuat untuk memastikan bahwa kekuasaan eksekutif dibatasi secara efektif oleh legislatif dan yudikatif yang independen
. Ini termasuk reformasi dalam mekanisme pengangkatan hakim konstitusi, anggota KPK, dan penyelenggara pemilu lainnya, agar mereka tidak lagi menjadi alat politik penguasa . - Netralitas Aparatur Negara dan Sumber Daya Publik: Birokrasi, TNI, dan Polri harus kembali pada fungsi profesional dan netralnya, melayani publik tanpa bias politik
. Penyalahgunaan anggaran dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politik harus dihentikan dan ditindak tegas . - Restorasi Ruang Kebebasan dan Kritis: Kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat harus dijamin dan dilindungi secara penuh
. Regulasi yang bersifat "pasal karet" dan berpotensi mengkriminalisasi kritik harus dicabut atau direvisi . Ruang bagi oposisi yang sehat dan kredibel harus dibuka lebar, tanpa intimidasi atau diskreditasi sistematis .
Membangun Kesadaran Kolektif dan Resistensi Publik. Revolusi fundamental ini tidak akan terwujud tanpa partisipasi aktif dan kesadaran kolektif dari masyarakat luas. Diperlukan upaya masif dalam pendidikan politik inklusif yang dirancang untuk memberdayakan warga negara agar lebih kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan, memahami hak-hak politik mereka, dan pentingnya partisipasi aktif dalam setiap tahapan proses demokrasi
Terakhir, kita harus berani mengikis toleransi publik terhadap praktik anti-demokratis. Penerimaan terhadap politik uang, intimidasi, mobilisasi aparatur negara, dan polarisasi yang disengaja, pada akhirnya akan mempercepat otokratisasi
Zlamitan

Komentar
Posting Komentar