Langsung ke konten utama

Menggugat Tirani Terselubung dan Relevansinya dengan Risalah John Locke di Tengah Krisis Kontrak Sosial Indonesia


Ratusan tahun sebelum terminologi demokrasi liberal modern sepenuhnya terbentuk, John Locke, dalam risalahnya yang monumental, Second Treatise of Government, telah meletakkan fondasi filosofis bagi sebuah pemerintahan yang beradab: sebuah tatanan yang lahir dari persetujuan rakyat, bertugas untuk melindungi hak-hak inheren individu, dan dapat dilawan jika ia berbalik menjadi predator bagi warganya sendiri. Hari ini, di tengah riuh rendah politik Indonesia yang seringkali diwarnai oleh kompromi elite, praktik korupsi yang menggurita, dan kebijakan yang terasa jauh dari aspirasi publik, pemikiran Locke kembali relevan bukan sebagai artefak sejarah, melainkan sebagai sebuah standar kritis, sebuah cermin yang tanpa ampun memantulkan berbagai distorsi dalam praktik kekuasaan kita. Esai ini akan menyelami argumen inti Locke tentang hak alamiah, kontrak sosial, dan pemerintahan terbatas, untuk kemudian menggunakannya sebagai perangkat diagnosis terhadap gejala-gejala tirani terselubung dalam demokrasi prosedural Indonesia, seraya mempertanyakan secara tajam: apakah "kontrak sosial" yang menopang republik ini masih berdiri di atas pilar persetujuan rakyat, ataukah ia telah terkikis dan perlu diperbaharui secara fundamental?

Inti dari seluruh bangunan pemikiran Locke dalam Second Treatise adalah konsepsinya tentang individu yang bebas dan setara dalam "keadaan alamiah" (state of nature). Dalam kondisi asali ini, setiap manusia tidak tunduk pada kehendak sewenang-wenang orang lain, melainkan hanya pada hukum alam (law of nature) yang bersumber dari nalar. Hukum alam ini mendikte bahwa karena semua manusia setara dan merdeka, "tak seorang pun boleh merugikan orang lain dalam kehidupannya, kesehatannya, kebebasannya, atau kepemilikannya". Dari sini lahir hak-hak alamiah yang tak terpisahkan: hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Namun, keadaan alamiah, meskipun bebas, memiliki kekurangan besar: tidak adanya hakim yang netral, hukum yang mapan, dan kekuasaan eksekutif untuk menegakkan keadilan, sehingga hak-hak individu rentan terhadap pelanggaran. Untuk mengatasi "ketidaknyamanan" inilah, menurut Locke, individu-individu secara sukarela setuju untuk bersatu membentuk sebuah masyarakat politik dan mendirikan pemerintahan melalui sebuah "kontrak sosial".

Di sinilah letak argumen Locke yang paling revolusioner dan relevan bagi kita hari ini. Tujuan utama dari pembentukan pemerintahan bukanlah agar individu menyerahkan hak-hak mereka secara absolut, melainkan sebaliknya: untuk mendapatkan perlindungan yang lebih efektif atas hak-hak tersebut. Dengan demikian, kekuasaan pemerintah secara fundamental bersifat terbatas dan fidusiari—ia adalah sebuah kepercayaan yang diamanatkan oleh rakyat. Legitimasi sebuah pemerintahan, tanpa kecuali, bersandar sepenuhnya pada "persetujuan dari mereka yang diperintah" (consent of the governed). Ketika pemerintah bertindak melampaui batas mandatnya, menggunakan kekuasaan bukan untuk kepentingan publik dan perlindungan hak, melainkan untuk kehendak sewenang-wenang penguasa, maka ia telah menempatkan dirinya dalam keadaan perang dengan rakyatnya. Pada titik inilah, pemerintah tersebut telah kehilangan legitimasinya, dan rakyat, sebagai pemberi amanat, memiliki hak inheren untuk menentang dan bahkan melarutkan pemerintahan tersebut untuk membentuk yang baru.

Jika kita gunakan kerangka tajam Locke ini untuk membedah realitas politik Indonesia, sejumlah disonansi yang meresahkan akan segera tampak. Pertama, mengenai "persetujuan rakyat". Di atas kertas, Indonesia adalah negara demokrasi yang menjalankan pemilu reguler sebagai mekanisme untuk meraih persetujuan. Namun, apakah persetujuan yang diberikan dalam pemilu yang diwarnai politik uang, klientelisme, dan dominasi oligarki yang mampu mengendalikan narasi media serta partai politik, dapat dianggap sebagai "persetujuan" dalam makna Lockean yang otentik? Locke membayangkan sebuah persetujuan yang lahir dari individu-individu rasional yang bebas. Ketika pilihan politik lebih banyak dipengaruhi oleh imbalan transaksional jangka pendek atau oleh ketiadaan alternatif yang genuin akibat hegemoni elite, maka "persetujuan" tersebut menjadi kabur dan problematis. Kebijakan-kebijakan yang lahir dari proses semacam ini, yang seringkali lebih menguntungkan segelintir oligarki ketimbang rakyat banyak, secara esensial adalah sebuah bentuk pemerintahan tanpa persetujuan sejati.

Kedua, mengenai tujuan utama pemerintahan untuk melindungi hak-hak alamiah: kehidupan, kebebasan, dan properti. Betapa seringnya kita menyaksikan di Indonesia kasus-kasus kekerasan aparat yang merenggut nyawa, kriminalisasi terhadap aktivis dan warga yang menyuarakan kritik (sebuah pelanggaran terhadap hak atas kebebasan), serta perampasan tanah-tanah adat atau lahan petani kecil atas nama proyek pembangunan atau investasi (sebuah serangan langsung terhadap hak atas properti). Ketika negara, melalui aparatnya, justru menjadi aktor utama pelanggaran hak-hak yang seharusnya ia lindungi, maka menurut standar Locke, ia telah mengkhianati tujuan fundamental dari keberadaannya. Ini bukan lagi sekadar "maladministrasi", melainkan sebuah gejala pembusukan "kontrak sosial" itu sendiri.

Ketiga, mengenai kekuasaan yang terbatas dan fidusiari. Argumen Locke secara diametral berlawanan dengan realitas korupsi sistemik dan budaya impunitas yang mengakar kuat di Indonesia. Korupsi, pada hakikatnya, adalah penggunaan kekuasaan publik yang diamanatkan rakyat untuk kepentingan pribadi—sebuah bentuk penyalahgunaan kepercayaan yang paling telanjang. Ketika para pejabat yang seharusnya melayani publik justru memperkaya diri sendiri dan kebal hukum, mereka tidak lagi bertindak sebagai magistrate yang sah menurut Locke, melainkan telah menempatkan diri mereka sebagai tiran dalam skala mikro maupun makro. Pelemahan institusi-institusi penegak hukum dan anti-korupsi adalah upaya sistematis untuk menghancurkan pilar-pilar pemerintahan terbatas itu sendiri.

Terakhir, mengenai "hak untuk memberontak". Dalam konteks modern, gagasan radikal Locke ini tentu tidak harus ditafsirkan sebagai panggilan untuk pemberontakan bersenjata. Namun, semangatnya tetap sangat relevan sebagai justifikasi filosofis bagi perlawanan sipil (civil resistance). Ketika rakyat merasa bahwa pemerintah telah secara fundamental dan sistematis melanggar kepercayaan yang diamanatkan, maka gerakan sosial, pembangkangan sipil, dan berbagai bentuk protes publik yang bertujuan untuk menuntut akuntabilitas dan perubahan fundamental menemukan legitimasinya dalam doktrin Lockean ini. Gerakan Reformasi 1998, pada hakikatnya, dapat dibaca sebagai sebuah momen di mana rakyat Indonesia secara kolektif menggunakan "hak" Lockean mereka untuk melarutkan sebuah rezim yang dianggap telah menjadi tiran dan tidak lagi berdiri di atas persetujuan mereka.

Tentu, menerapkan kerangka Locke secara mentah-mentah ke dalam konteks Indonesia juga menghadirkan tantangan dialektis. Bagaimana konsep hak individu yang menjadi sentral dalam pemikiran Locke berdialog dengan nilai-nilai komunalitas dan gotong royong yang seringkali diartikulasikan melalui Pancasila? Apakah keduanya harus selalu bertentangan, atau mungkinkah ditemukan sebuah sintesis di mana hak-hak individu yang fundamental dijamin dalam sebuah kerangka kehidupan komunal yang adil? Demikian pula, penekanan Locke pada hak properti—yang pada masanya revolusioner—perlu diinterpretasikan secara kritis agar tidak disalahgunakan untuk melegitimasi kapitalisme liar yang eksploitatif, melainkan justru untuk melindungi hak-hak kepemilikan rakyat kecil dari perampasan oleh kekuatan modal besar dan negara yang korup.

Pada akhirnya, Second Treatise of Government karya John Locke, meskipun ditulis lebih dari tiga abad yang lalu, tetap berfungsi sebagai perangkat intelektual yang luar biasa kuat dan relevan. Ia menawarkan kepada kita sebuah bahasa dan sebuah standar untuk mengukur, mengkritik, dan pada akhirnya, menggugat praktik-praktik kekuasaan yang menyeleweng. Ia mengingatkan kita bahwa legitimasi politik bukanlah sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma atau dijamin oleh prosedur semata, melainkan sesuatu yang harus terus-menerus diraih melalui pemenuhan kepercayaan untuk melindungi hak dan kebebasan setiap warga negara. Pertanyaan yang ditinggalkan oleh Locke untuk kita renungkan hari ini adalah sebuah pertanyaan yang menusuk hingga ke jantung republik ini: apakah "kontrak sosial" yang kita jalani saat ini benar-benar masih berdasarkan "persetujuan rakyat" untuk menjamin kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan kita bersama, ataukah ia telah lama dibajak oleh kepentingan-kepentingan sempit, dan kini saatnya bagi kita, sang pemberi amanat, untuk menuntutnya kembali?


Zlamitan



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...