Langsung ke konten utama

Ijazah Presiden, Ilusi Kebenaran, dan Kemarau Nalar Bangsa


Ketika Logika Tersandera dan Kepercayaan Tergadai

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan, janji kesejahteraan, dan intrik politik, sebuah isu "remeh-temeh" terus-menerus menggerogoti nalar publik kita: polemik ijazah Presiden Joko Widodo. Ibarat duri dalam daging, isu ini tak kunjung tuntas, bukan karena rumitnya substansi, melainkan karena tersandera dalam labirin opini, sensasi, dan kemarau nalar yang akut. Esai ini akan mencoba menampar pemikiran kita sendiri, menguliti bagaimana sebuah dugaan "receh" bisa menjadi cerminan kerapuhan kita dalam membedakan fakta, hukum, dan fiksi, serta mengapa justru isu remeh ini menjadi sangat penting bagi keberadaban bernegara.

Antara Hak dan Gagal Paham Pembuktian

Ketika Tim Pembela Ulama & Aktivis (TPUA) melaporkan dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi ke Bareskrim, secara hukum, mereka menggunakan hak warga negara untuk melapor dugaan tindak pidana. Pasal 263, 266 KUHP, dan Pasal 69 UU Sisdiknas menjadi landasan. Namun, di sinilah tamparan pertama muncul: apakah pelapor benar-benar memahami beban pembuktian?

Melaporkan "pemalsuan" (membuat ijazah palsu) adalah sebuah delik yang menuntut pembuktian siapa pemalsu dan bagaimana ia melakukannya. Bagaimana mungkin membuktikan siapa yang memalsukan selembar ijazah puluhan tahun lalu, tanpa jejak digital, tanpa saksi yang relevan? Ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami yang sudah dilalap api puluhan tahun. Beban pembuktian seharusnya lebih realistis: fokus pada "penggunaan ijazah palsu", yang tetap menuntut pembuktian adanya pengetahuan pengguna bahwa ijazah itu palsu. Jika laporan tidak didasari pemahaman hukum yang solid, bukankah ini hanya akan menjadi laporan buntu yang membuang energi negara?

Menjemput "Ketenangan" dengan Prosedur Prematur Bareskrim

Bareskrim Polri, lembaga penegak hukum yang diandalkan, menanggapi laporan ini dengan melakukan penyelidikan dan mengumumkan bahwa ijazah Jokowi asli berdasarkan uji laboratorium forensik. Sebuah pernyataan yang diharapkan menenangkan. Namun, di sinilah tamparan kedua mendarat, seperti yang dikritik keras oleh pakar hukum seperti Airul Huda.

Bareskrim mengumumkan kesimpulan saat masih di tahap penyelidikan, bukan penyidikan. Penyelidikan itu adalah fase "mencari tahu apakah ada peristiwa pidana," belum pada tahap menyimpulkan keaslian dokumen secara definitif. Uji forensik memang alat bukti penting, tapi bukan satu-satunya. Kewenangan mutlak menyatakan suatu dokumen asli atau palsu ada di tangan pengadilan, setelah semua alat bukti dikaji dalam persidangan yang transparan. Mengumumkan hasil di tahap penyelidikan adalah tindakan prematur, menciptakan ketidakpastian hukum, dan rentan dianggap sebagai upaya "politik hukum" daripada murni penegakan hukum. Lebih jauh, penghentian penyelidikan tak bisa dipraperadilankan, mematikan jalur hukum bagi pelapor yang merasa tak puas. Bukankah ini cerminan dilema kita: lebih mengutamakan "ketenangan" segera daripada prosedur hukum yang semestinya?

UGM: Institusi Pendidikan di Tengah Badai Opini

Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai otoritas penerbit ijazah, telah berulang kali menyatakan keaslian ijazah Jokowi. Ini adalah posisi yang secara legal mestinya tak terbantahkan.

Dalam kasus sensitif seperti ini, UGM sebenarnya dapat memainkan peran yang lebih proaktif dan transparan. Meskipun telah menyatakan keaslian, penyajian data yang lebih detail mengenai prosedur akademik tahun 80-an, format ijazah lain dari angkatan yang sama, atau penjelasan teknis terkait pencetakan ijazah di era itu, bisa sangat membantu mendinginkan suhu. Namun, terkadang institusi terkesan "terpaksa" berbicara hanya setelah isu memanas, atau memilih diam untuk menghindari politisasi lebih lanjut. Ini menunjukkan bahwa bahkan institusi sekelas UGM pun tergulung dalam pusaran "post-truth", di mana pernyataan resmi saja tak cukup melawan gempuran hoaks.

Roy Suryo, Rismon, dan Gempuran "Ahli" di Era Post-Truth

Pihak yang melaporkan, seperti Roy Suryo dan Rismon Hasiholan Sianipar, kerap tampil di media, mengklaim sebagai ahli dan melakukan "analisis digital forensik" terhadap ijazah Jokowi. Ironisnya, mereka kini dilaporkan balik atas pencemaran nama baik. Di sinilah letak tamparan paling keras bagi nalar kita.

Ahli digital forensik yang otoritatif pedapatnya, seperti Joshua Sinambela dan Muhammad Nuh Alazar (Puslabfor), secara tajam mengkritik metodologi yang digunakan "pakar-pakar" tersebut:

Salah Objek Analisis: Ijazah adalah dokumen fisik (analog) yang kemudian difoto. Metode digital forensik seperti ELA (Error Level Analysis) tidak berlaku untuk menganalisis manipulasi pada foto dokumen analog. Ia hanya berlaku untuk file yang lahir digital. Ini seperti ingin mengukur berat badan ikan dengan termometer.

Tanpa Standar Ilmiah: Analisis ilmiah harus berdasarkan standar internasional (ISO 27037, ISO 17025), menggunakan original source (dokumen asli), dan dilakukan oleh ahli yang memiliki kompetensi teruji (akademis dan praktis) serta otoritas. Klaim-klaim mereka dinilai tidak memenuhi standar ini dan cenderung "mencari pembenaran, bukan kebenaran."

Melampaui Batas "Itikad Baik": Penyebaran informasi yang merugikan nama baik (misalnya, menuduh "palsu") secara luas ke publik, padahal dugaan tersebut belum terbukti di pengadilan dan tanpa dasar ilmiah yang kuat, dapat dinilai sebagai tindakan tidak beritikad baik. Inilah yang menjadi dasar laporan balik pencemaran nama baik.

Studi Kasus Serupa di Luar Negeri: Cerminan Kegagalan Kita Belajar

Fenomena meragukan kualifikasi pemimpin, meskipun terbukti di pengadilan, bukan hanya terjadi di Indonesia. Ambil contoh kasus Presiden Barack Obama di Amerika Serikat yang menghadapi gerakan "birther" yang menuduhnya lahir di luar AS (Hawaii) dan oleh karenanya tidak sah menjadi Presiden. Meskipun pemerintah Hawaii berulang kali menerbitkan akta kelahiran asli Obama, dan ada banyak bukti serta saksi yang mendukung, kelompok ini terus menyebarkan klaim palsu.

Bagaimana Akhirnya? Kasus "birther" ini menunjukkan bahwa fakta dan bukti seringkali kalah oleh narasi emosional. Klaim tersebut tidak pernah terbukti di pengadilan dan secara hukum tidak membatalkan kebijakan Obama. Obama tetap menjabat dua periode dan kebijakan-kebijakannya sah. Pada akhirnya, isu ini lebih mencerminkan polarisasi politik dan penyalahgunaan hak berekspresi, bukan kelemahan sistem hukum atau keabsahan kepemimpinan. Ini harusnya menjadi cermin bagi kita: jika negara adidaya pun bisa terpapar "kemarau nalar" seperti ini, apalagi kita?

Mengapa Kasus Ini Rameh Tapi Sangat Penting bagi Negara?

Banyak yang mungkin berargumen: "Ah, ini kasus remeh, tidak penting bagi negara. Fokus saja pada ekonomi dan pembangunan." Namun, ini adalah tamparan paling keras yang harus kita terima.

Justru karena "remeh-temeh" inilah ia menjadi sangat penting!

Kasus ini adalah litmus test bagi kualitas demokrasi dan nalar publik kita. Ketika sebuah klaim yang mudah diverifikasi secara ilmiah dan hukum bisa terus-menerus digoreng menjadi polemik nasional, itu menunjukkan kegagalan kolektif kita dalam berpikir kritis. Jika lembaga penegak hukum (Bareskrim), lembaga pendidikan (UGM), dan bahkan putusan pengadilan bisa dengan mudah didiskreditkan oleh opini "pakar-pakaran", maka ini akan mengikis kepercayaan publik terhadap pilar-pilar negara. Tanpa kepercayaan, bagaimana negara bisa berjalan efektif?

Klaim tanpa dasar yang terus dipelihara, apalagi menyangkut legitimasi pemimpin negara, berpotensi menciptakan kekacauan sosial dan politik. Di era post-truth, narasi semacam ini adalah ancaman nyata bagi stabilitas. Kasus ini juga menyoroti bagaimana hak untuk melapor dan kebebasan berekspresi bisa disalahgunakan untuk tujuan politik atau pribadi yang merugikan, tanpa didasari "iktikad baik" yang menjadi batasan hukum. Ini adalah pertarungan adab dan etika di ranah digital.

Polemik ijazah Presiden Jokowi, pada akhirnya, bukan hanya tentang selembar kertas. Ini adalah cermin yang menampar wajah kita sendiri: tentang bagaimana kita gagal membedakan fakta dari fiksi, tentang kerapuhan kita dalam menghadapi klaim tanpa dasar, dan tentang seberapa rentannya nalar publik kita terhadap sensasi.

Sebagai warga negara yang kritis, kita harus berhenti menjadi konsumen pasif informasi. Mari kita tunjukkan bahwa bangsa ini tidak bodoh. Mari kita kembalikan kehormatan nalar dan sains. Percayalah pada data yang diverifikasi oleh institusi berwenang, pahami batas-batas hukum, dan jangan biarkan kebenaran dikalahkan oleh sensasi murahan. Karena jika isu "remeh" ini saja bisa membuat kita terombang-ambing, bagaimana kita akan menghadapi tantangan bangsa yang jauh lebih besar? Saatnya bangkit dari kemarau nalar dan menuntut pertanggungjawaban bagi siapa pun yang sengaja meracuni akal sehat publik.



Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...