Langsung ke konten utama

Dialektika Filsafat Pertama dan Terakhir dalam Pusaran Pemikiran Agamben

Giorgio Agamben

Peta pengetahuan Barat modern terbentang laksana sebuah mosaik yang retak; kepingan-kepingan kepastian ilmiah yang gemerlap seringkali tak mampu menyembunyikan jurang kegelisahan eksistensial yang diwariskan oleh tradisi humaniora. 

        Kedalam lanskap yang sarat tegangan inilah Giorgio Agamben, melalui karya provokatifnya, "First Philosophy, Last Philosophy: Western Knowledge between Metaphysics and the Sciences", menancapkan pisau bedah intelektualnya. Ini bukanlah sebuah risalah yang menjanjikan penghiburan atau jawaban-jawaban mudah; sebaliknya, ia adalah sebuah penjelajahan arkeologis yang tanpa ampun membongkar lapisan-lapisan fondasi peradaban intelektual kita, menyingkap patahan-patahan tersembunyi yang selama ini mungkin kita abaikan, dan melacak persimpangan-persimpangan krusial dalam silsilah panjang pembentukan pengetahuan Barat. Fokus sentral Agamben tertuju pada pergulatan abadi, yang penuh intrik dan kerap kali tak terucapkan secara lugas, antara metafisika—sang "filsafat pertama" yang berambisi meletakkan dasar-dasar terdalam bagi segala yang ada—dengan hegemoni ilmu pengetahuan modern yang, dengan segala pencapaiannya, seolah menandai senjakala bagi klaim-klaim kebenaran filosofis tradisional. 

        Tulisan ini akan berupaya menyelami diagnosis Agamben atas warisan metafisik yang, disadari atau tidak, terus menghantui dan membentuk cara kita mengetahui, menghadapkannya dengan antitesis dari tradisi pemikiran kritis lain yang menawarkan horizon berbeda, dan akhirnya, mencoba menggali intisari dialektis yang mungkin masih tersisa, atau justru baru mengemuka dengan lebih jelas, di antara puing-puing filsafat pertama dan teka-teki "filsafat terakhir" yang diajukan Agamben.

        Dengan ketajaman analitis yang menjadi ciri khasnya, Agamben memulai penjelajahannya dari jantung tradisi filosofis Barat: "filsafat pertama". Istilah Aristotelian ini, yang secara klasik merujuk pada metafisika atau ontologi—studi tentang "Ada sebagai Ada" (being qua being) dan prinsip-prinsip paling fundamental dari realitas—dalam pembacaan Agamben, bukanlah sekadar sebuah disiplin akademis yang berdebu. Lebih dari itu, ia adalah sebuah mesin konseptual purba yang secara tak terhindarkan telah membentuk dan terus membentuk cara peradaban Barat memahami dunia, dirinya sendiri, dan apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang sah. Konsep-konsep sentral seperti ousia (substansi), esensi, potensialitas (dynamic), dan aktualitas (energeia) bukan hanya sekadar terminologi teknis bagi para spesialis; mereka adalah "paradigma"—model atau contoh yang menstrukturasi seluruh bidang pemikiran dan praktik—yang beroperasi bahkan dalam ranah-ranah yang dengan bangga mengklaim telah tercerahkan dari bayang-bayang metafisika. 

       Agamben, melalui metode arkeologisnya yang cermat, melacak bagaimana "tanda tangan" (signature) teologis-metafisik ini terus membekas, seringkali secara laten dan tak disadari, dalam praktik-praktik dan diskursus-diskursus ilmiah modern. Obsesi sains modern akan hukum-hukum alam yang universal dan prediktabilitas, misalnya, mungkin saja tanpa sadar mewarisi konsepsi teologis tentang keteraturan ilahi; atau kategori subjek-objek yang begitu fundamental bagi epistemologi modern bisa jadi merupakan gema dari dikotomi metafisik yang jauh lebih tua. Dalam pandangan Agamben, filsafat pertama tidak pernah benar-benar "ditinggalkan" atau "diatasi"; ia hanya bermetamorfosis, mengendap dalam asumsi-asumsi tak terucapkan yang menjadi fondasi bagi bangunan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Ini adalah sebuah tesis yang secara fundamental menantang narasi Pencerahan klasik tentang sebuah pemutusan radikal antara era pemikiran mistis-metafisik dan datangnya zaman rasionalitas ilmiah.

        Munculnya dan kemudian dominasi ilmu pengetahuan modern tak pelak menandai sebuah pergeseran seismik dalam lanskap intelektual. Agamben, dalam "First Philosophy, Last Philosophy", tidak melihat fenomena ini sekadar sebagai sebuah "kemajuan" linear yang patut dirayakan tanpa reserve. Sebaliknya, ia melihatnya sebagai momen krisis, sebuah rekonfigurasi fundamental bagi status dan kemungkinan filsafat itu sendiri. Sains, dengan metode empiris-matematisnya dan keberhasilannya yang spektakuler dalam memanipulasi serta memprediksi fenomena alam, seolah telah merebut hak paten atas "kebenaran" dan "objektivitas". 

        Filsafat pertama, dengan pertanyaan-pertanyaan ontologisnya yang seringkali tampak tak berujung dan tak menghasilkan jawaban definitif, kian terdesak ke pinggiran, bahkan seringkali dicemooh sebagai spekulasi usang yang tak relevan. Status pengetahuan Barat, menurut Agamben, kini berada dalam sebuah ruang "di antara" (between)—terjepit di antara warisan metafisik yang tak bisa sepenuhnya ia lepaskan dan hegemoni sains yang tak bisa sepenuhnya ia terima tanpa kritik. "Di antara" ini bukanlah sebuah ruang kosong yang netral, melainkan sebuah zona tegangan tinggi, tempat persilangan warisan lama dengan klaim-klaim baru, tempat di mana nasib filsafat dipertaruhkan. 

        Dalam kondisi terjepit inilah filsafat dipaksa untuk merenungkan kembali secara radikal status dan tugasnya. Apakah ia kini tereduksi menjadi sekadar "filsafat ilmu", yang perannya tak lebih dari mengklarifikasi fondasi logis atau menjabarkan implikasi etis dari penemuan-penemuan sains? Ataukah ia masih memiliki daya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang makna eksistensi, hakikat kebenaran, dan dimensi nilai yang mungkin justru berada di luar jangkauan metodologis sains empiris? Istilah provokatif "filsafat terakhir" dalam judul buku Agamben dengan demikian menyiratkan sebuah pertanyaan terbuka yang sarat dengan ambiguitas dan urgensi: Apakah ini pertanda akhir dari filsafat dalam pengertian tradisionalnya, ataukah ini justru merupakan panggilan untuk sebuah bentuk pemikiran filosofis baru, sebuah filsafat yang lahir dari kesadaran mendalam akan "akhir" ini, sebuah filsafat yang mampu beroperasi di senjakala kepastian?

        Untuk menguji dan mempertajam diagnosis arkeologis Agamben yang seringkali mengarah pada pembacaan kritis, bahkan mungkin aporitik *), terhadap fondasi pengetahuan Barat, penting untuk menghadapkannya pada sebuah antitesis yang kokoh. Posisi antitetis ini tidak hanya berfungsi sebagai sanggahan, tetapi juga sebagai batu uji yang memungkinkan kita melihat potensi keterbatasan atau bahkan titik buta dalam pembacaan Agamben. Alih-alih sekadar optimisme pragmatis-ilmiah yang umum, kita dapat merujuk pada tradisi pemikiran kritis lain yang, meskipun juga mengakui adanya krisis atau tantangan dalam modernitas, menawarkan jalur keluar atau rekonstruksi yang berbeda.

Jürgen Habermas

        Salah satu figur sentral yang dapat mewakili antitesis ini adalah Jürgen Habermas. Sebagai pewaris utama Mazhab Frankfurt yang kemudian mengembangkan teorinya sendiri tentang tindakan komunikatif dan proyek modernitas yang belum selesai (the unfinished project of modernity), Habermas menawarkan perspektif yang berbeda secara fundamental terhadap krisis pengetahuan dan peran filsafat. Jika Agamben, melalui metode arkeologisnya, kerap menyoroti diskontinuitas, "tanda tangan" teologis-metafisik yang tersembunyi, dan aporia-aporia inheren dalam tradisi Barat yang berujung pada kondisi "darurat" atau "kehidupan telanjang" (dalam karya-karyanya yang lain), Habermas justru konsisten menekankan potensi rasionalitas komunikatif yang inheren dalam bahasa dan interaksi manusia sebagai dasar untuk rekonstruksi normatif dan kemajuan sosial. Habermas, misalnya, akan mengkritik pembacaan Agamben yang mungkin terlalu terpaku pada "paradigma teologis" yang tersembunyi dalam institusi dan praktik sekuler. Bagi Habermas, modernitas dicirikan oleh diferensiasi antara sfera-sfera nilai (value sphere) pada sains, moralitas, hukum, dan seni masing-masing dengan logika validitasnya sendiri. Meskipun ia mengakui bahwa proses rasionalisasi ini dapat mengalami distorsi, misalnya oleh kolonisasi "sistem" (ekonomi dan birokrasi negara) terhadap "dunia kehidupan" (lifeworld), solusinya bukanlah dekonstruksi radikal terhadap fondasi pengetahuan atau kembali pada pertanyaan-pertanyaan ontologis "filsafat pertama". Sebaliknya, Habermas melihat potensi emansipatoris dalam penguatan diskursus publik yang rasional, di mana klaim-klaim kebenaran (sains), klaim kebenaran normatif (moralitas dan hukum), dan klaim kejujuran ekspresif (seni) dapat diuji dan divalidasi secara intersubjektif. 

    Dari perspektif Habermasian, "krisis" yang mungkin dilihat Agamben dalam hubungan antara metafisika dan sains bukanlah akhir dari cerita, melainkan sebuah tantangan untuk terus menyempurnakan penggunaan akal budi publik dan memperluas ruang bagi tindakan komunikatif yang bebas dari distorsi. Ilmu pengetahuan, bagi Habermas, adalah sebuah usaha kognitif yang, meskipun tak luput dari kesalahan dan keterbatasan historis, memiliki mekanisme internal untuk koreksi diri dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam forum diskursus yang lebih luas, tanpa harus terus-menerus digugat validitasnya oleh hantu metafisika.

        Tokoh lain yang dapat diajukan sebagai suara antitetis, meskipun dari arah yang berbeda, adalah Richard Rorty dengan neo-pragmatismenya. Rorty, dengan gayanya yang provokatif, mengajak kita untuk "mengganti pokok pembicaraan" sama sekali dari obsesi filosofis tradisional terhadap fondasi, kebenaran sebagai korespondensi, dan representasi akurat atas realitas—obsesi yang, dalam banyak hal, justru sedang didekonstruksi oleh Agamben melalui penelusuran akar-akar metafisiknya. Rorty mungkin akan melihat upaya Agamben untuk melacak "tanda tangan" teologis dalam sains sebagai bentuk lain dari keterpakuan pada problematik fondasionalisme yang justru ingin ia tinggalkan. Bagi seorang pragmatis seperti Rorty, pertanyaan yang lebih relevan bukanlah "apakah pengetahuan kita memiliki dasar metafisik yang kokoh?" atau "apakah sains secara diam-diam masih teologis?", melainkan "apakah kosakata atau praktik pengetahuan tertentu berguna bagi kita untuk mencapai tujuan-tujuan manusiawi seperti mengurangi penderitaan, meningkatkan solidaritas, dan memperluas kebebasan?". Optimisme Rorty tidak terletak pada klaim progresif sains itu sendiri, melainkan pada harapan akan masa depan yang lebih baik yang dapat kita ciptakan melalui percakapan demokratis dan eksperimentasi sosial, tanpa perlu terbebani oleh warisan "filsafat pertama" atau kekhawatiran akan "filsafat terakhir". Filsafat, bagi Rorty, lebih berfungsi sebagai bagian dari percakapan budaya yang luas, sebagai penawar narasi-narasi alternatif, ketimbang sebagai hakim atau penjaga fondasi pengetahuan.

        Bahkan dari dalam tradisi filsafat ilmu itu sendiri, figur seperti Karl Popper dengan prinsip falsifikasinya, menawarkan cara pandang di mana sains berkembang bukan dengan membuktikan kebenaran absolut (sebuah impian metafisik), melainkan dengan terus-menerus menguji dan menyanggah hipotesis. Progresivitas sains, dalam kerangka Popperian, terletak pada keterbukaannya terhadap kritik dan kemampuannya untuk belajar dari kesalahan, sebuah proses yang tidak memerlukan intervensi arkeologis untuk menyingkap "tanda tangan" metafisik, melainkan komitmen pada rasionalisme kritis. Suara-suara antitetis ini—Habermas dengan rasionalitas komunikatifnya, Rorty dengan pragmatisme ironisnya, dan Popper dengan rasionalisme kritisnya—secara kolektif menantang, dari berbagai sudut, urgensi dan mungkin juga kesimpulan dari proyek arkeologis Agamben. Mereka menawarkan perspektif di mana pengetahuan Barat, meskipun tidak sempurna dan selalu terbuka untuk kritik, tidak serta-merta terperangkap dalam sebuah senjakala yang ditentukan oleh warisan metafisiknya.

        Dari konfrontasi dialektis antara diagnosis arkeologis Agamben yang meresahkan dan optimisme rekonstruktif atau pragmatis dari para penentangnya, intisari apa yang dapat kita tarik? Pertama, daya gugat Agamben terhadap persistensi "tanda tangan" metafisik dalam sains dan pengetahuan modern tidak dapat dengan mudah dikesampingkan. Ia memaksa kita untuk mengasah kewaspadaan epistemologis, untuk terus bersikap kritis terhadap klaim netralitas dan objektivitas absolut dari bentuk pengetahuan manapun, mengingatkan bahwa setiap diskursus, betapapun empirisnya, selalu beroperasi dalam kerangka konseptual dan historis tertentu. Skeptisisme metodis Agamben di sini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa ilmu pengetahuan pun adalah praktik insani yang sarat dengan asumsi dan jejak-jejak masa lalu. Kedua, suara-suara antitetis, seperti Habermas dan Rorty, menyodorkan sebuah tantangan balik yang signifikan: filsafat yang hanya bersemayam dalam labirin dekonstruksi tanpa menawarkan perspektif untuk bertindak, memahami, atau bahkan sekadar berharap di tengah tantangan kontemporer, berisiko kehilangan relevansi dan daya transformatifnya. Kemajuan yang telah dicapai sains dalam mengubah kondisi material kehidupan manusia, betapapun problematisnya, adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan.

        Maka, "intisari dialektis" yang mungkin terkuak bukanlah sebuah sintesis final yang mendamaikan segala pertentangan, melainkan pengakuan atas sebuah ketegangan yang produktif dan mungkin takkan pernah usai. "Filsafat terakhir," dalam sorotan dialektika ini, mungkin bukanlah sebuah disiplin yang menawarkan sistem metafisik baru atau jawaban pamungkas atas segala kegelisahan. Sebaliknya, ia menjelma sebagai sebuah praktik pemikiran yang waspada di ambang batas: ia adalah filsafat yang melanjutkan tugas arkeologis Agambenian untuk tanpa henti membongkar asumsi-asumsi tersembunyi, "tanda tangan" laten, dan paradigma-paradigma yang secara diam-diam menstrukturasi cara kita mengetahui dan bertindak, termasuk dalam sains itu sendiri. Ia menjadi semacam penjaga kritis terhadap segala potensi totalisasi atau dogmatisme baru, dalam bentuk apapun. Namun, pada saat yang sama, ia juga adalah filsafat yang, di tengah dominasi pengetahuan instrumental, terus gigih menjaga ruang bagi pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang makna, nilai, keadilan, dan hakikat kemanusiaan—pertanyaan-pertanyaan yang seringkali tak terjawab, bahkan tak terjangkau, oleh metodologi sains.

        Mungkin, seperti yang kerap diisyaratkan Agamben, "filsafat terakhir" adalah sebuah perenungan atas potentia—atas potensialitas, atas kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan, atas kemungkinan-kemungkinan yang masih tersimpan atau justru terancam punah oleh konfigurasi pengetahuan dan kekuasaan saat ini; sebuah pemikiran radikal tentang "apa yang mungkin" di luar kungkungan "apa yang ada". Ini juga menuntut sebuah etika berpengetahuan yang baru, sebuah kesadaran mendalam akan implikasi kekuasaan dari setiap klaim kebenaran, dan sebuah tanggung jawab tak terelakkan atas cara kita ikut membentuk dunia melalui kategori-kategori yang kita gunakan untuk memahaminya.

        Pada akhirnya, karya Agamben "First Philosophy, Last Philosophy" menyeret kita ke jantung krisis dan transformasi pengetahuan Barat. Ia adalah sebuah undangan untuk tidak pernah berhenti bertanya, untuk tidak pernah merasa nyaman dengan kepastian-kepastian yang ditawarkan, baik oleh tradisi metafisik maupun oleh optimisme ilmiah yang terkadang naif. "Filsafat terakhir" bukanlah sebuah keputusasaan atau akhir dari segalanya, melainkan sebuah panggilan untuk keberanian berpikir secara berbeda, untuk terus berfilsafat secara bertanggung jawab di tengah senjakala kepastian dan di fajar kemungkinan-kemungkinan baru yang selalu tak terduga. Pertanyaan yang ia wariskan bukanlah apakah metafisika telah benar-benar mati atau apakah sains telah sepenuhnya menang, melainkan bagaimana kita, sebagai pewaris tradisi pengetahuan Barat yang penuh luka sekaligus potensi ini, dapat terus menjaga api pemikiran kritis tetap menyala. Bagaimana kita memikirkan "yang pertama" ketika kita seolah berada di "yang terakhir"? Inilah, barangkali, tugas filosofis yang tak pernah lekang oleh zaman.



Zlamitan


*)"Aporitik" merujuk pada sesuatu yang sulit dipahami atau membingungkan, seperti halnya "teka-teki" atau "jalan buntu" dalam pemikiran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno "aporia" yang berarti "kurangnya alur" atau "jalan buntu". Dalam filsafat, "aporia" digunakan untuk menggambarkan situasi atau pertanyaan yang menimbulkan kesulitan atau kebingungan dalam pemikiran logis. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...