Langsung ke konten utama

"Indonesia Menggugat": Bara Perlawanan Intelektual Sukarno yang Tak Pernah Padam

18 Agustus 1930, di hadapan Landraad Bandung, seorang pemuda bernama Sukarno tidak hanya berdiri sebagai terdakwa, tetapi sebagai penjelajah sejarah dan penafsir zaman yang ulung. Pledoinya, yang kemudian dibukukan dengan judul monumental "Indonesia Menggugat," adalah lebih dari sekadar pembelaan hukum; ia adalah sebuah diseksi komprehensif terhadap imperialisme dan kapitalisme, sebuah gugatan terhadap sistem yang mencengkeram bangsanya, sekaligus cetak biru pergerakan menuju kemerdekaan.

Sukarno, dengan kecerdasan argumentatif yang akan menjadi ciri khasnya, memulai dengan membedah konsep imperialisme, membaginya menjadi imperialisme tua dan modern. Baginya, imperialisme modern yang merajalela di Asia adalah "anak kapitalisme-modern". Mengutip pemikir sosialis Eropa seperti Pieter Jalles Troelstra, H.N. Brailsford, dan Otto Bauer, Sukarno membangun landasan teoritis bahwa imperialisme modern digerakkan oleh kebutuhan kapital besar untuk mencari pasar baru dan lapangan investasi di luar negeri, terutama di negeri-negeri yang ekonominya belum maju dan miskin modal. Ini bukan soal amtenar, bangsa kulit putih, atau pemerintah semata, melainkan sebuah "kehausan, suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain".

Dengan lugas, Sukarno menolak teori-teori yang membungkus imperialisme dengan dalih penyebaran kemajuan, kesopanan, atau pencarian kemasyhuran. Baginya, dan bagi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpinnya, "penjajahan itu asal-asalnya yang dalam dan azasi, ialah nafsu mencari benda, nafsu mencari rezeki belaka". Ia mengutip Prof. Dietrich Schäfer dan Kolonialdirektor Dernburg untuk memperkuat argumennya bahwa inti penjajahan adalah eksploitasi ekonomi demi keuntungan bangsa penjajah. Bahkan "hadiah-hadiah pendidikan" atau "pemerintahan yang lebih berperikemanusiaan" yang mungkin dibawa imperialisme hanyalah "barang-barang sisa dari kegiatannya yang angkara murka".

Analisis Sukarno kemudian menukik tajam pada pengalaman Indonesia. Zaman Kompeni (VOC) dilukiskan sebagai periode monopoli brutal, di mana kerajaan-kerajaan dihancurkan, tanaman cengkeh dan pala dibasmi (hongitochten), dan ekonomi rakyat disempitkan melalui sistem contingenten dan leverantien. Mengutip Prof. Colenbrander dan Prof. Veth, ia menggambarkan VOC sebagai entitas yang "lebih rendah serakah daripada kejam, tetapi akibatnya adalah sama: Penindasan!". Kekejaman Coen di Ambon dan Banda menjadi contoh konkret betapa kepentingan laba mengalahkan kemanusiaan.

Penderitaan berlanjut dan bahkan semakin parah di bawah Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa). Sistem ini, menurut Prof. Gonggrijp, adalah "pemerasan penduduk, yang tiada batasnya lagi selain tahan tidaknya badannya". Stokvis menceritakan upah buruh yang sangat rendah, memaksa rakyat hidup dalam kelaparan dan kondisi mirip perbudakan. Henriette Roland Holst dikutip untuk menunjukkan bagaimana keuntungan dari Cultuurstelsel digunakan untuk membangun infrastruktur di Belanda, yang menjadi tumpuan eksploitasi lebih lanjut di Hindia.

Masuknya imperialisme modern pasca-1870, dengan Undang-undang Agraris dan Undang-undang Tanaman Tebu, hanya mengubah cara pengedukan, bukan substansinya. Bagi rakyat Indonesia, ini hanyalah "peralihan pengeduk kekayaan negerinya"; "drainage" kekayaan Indonesia ke luar negeri justru semakin hebat. Sukarno menunjukkan data surplus ekspor yang terus meningkat sebagai bukti nyata pengeringan ini. "Peradaban," keamanan, pertambahan penduduk, dan infrastruktur yang dibangun di era imperialisme modern, menurut Sukarno, sejatinya lebih banyak melayani kepentingan modal partikelir daripada kesejahteraan rakyat. Mengutip Schmalhausen dan Prof. Gonggrijp, ia menegaskan bahwa kemajuan teknis ini tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan rakyat, bahkan bisa memperburuknya.

Kondisi inilah, menurut Sukarno, yang tak terelakkan melahirkan pergerakan nasional. "Tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit...kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka!". Pergerakan ini bukanlah bikinan segelintir "penghasut," melainkan "antitesa imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri," lahir dari "kesengsaraan dan kemelaratan rakyat". Kepercayaan rakyat pada "Ratu Adil" atau "Heru Cakra" adalah manifestasi dari hati yang menangis menunggu pertolongan.

PNI, dalam pandangan Sukarno, hadir untuk mengarahkan energi perlawanan ini menuju "Indonesia Merdeka". Kemerdekaan nasional adalah "syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia" dan untuk melawan imperialisme. PNI menolak politik asosiasi karena adanya pertentangan kepentingan yang fundamental antara kaum imperialis dan kaum Bumiputra. Kemerdekaan, tegasnya, harus dicapai "dengan usaha rakyat Indonesia sendiri," bukan dengan "minta-minta" atau menunggu "anugerah". Imperialisme tidak akan mendidik jajahannya menuju kematangan, karena kepentingannya adalah melanggengkan penjajahan.

Urat saraf pembentukan kekuasaan (machtsvorming) PNI adalah antitesis dari politik imperialisme: persatuan Indonesia kontra politik "divide et impera"; mengangkat rakyat dari kemunduran akal budi kontra kebijakan yang menetapkan rakyat dalam kebodohan; memberantas rasa inferioritas kontra penanaman kepercayaan bahwa bangsa kulit berwarna adalah kelas kambing; dan politik antitesa kontra politik asosiasi. Badan lahir dari machtsvorming ini adalah massa rakyat – sebuah "massa-aksi nasional yang menolak tiap-tiap cara yang tidak nasionalistis".

Sukarno juga menjelaskan bahwa PNI adalah partai "revolusioner" bukan dalam arti "mau membikin pemberontakan" atau kekerasan, melainkan "radikal," "mau mengadakan perubahan dengan lekas". Senjata PNI bukanlah golok atau bom, melainkan "kekuasaan semangat rakyat yang bisa dibikin mahasakti dan mahaadigjaya". Nasionalisme positif, yang mencipta dan mendirikan, menjadi nyawa dari pembentukan kekuasaan ini. PNI berjuang dengan membangkitkan kesadaran akan "masa silam yang indah," "masa yang gelap gulita," dan "janji-janji suatu masa depan yang melambai-lambai, berseri-seri".

"Indonesia Menggugat" adalah sebuah dokumen yang memancarkan bara intelektual dan semangat perlawanan yang luar biasa. Melalui analisis historis dan sosio-ekonomi yang mendalam, didukung oleh referensi dari pemikir-pemikir progresif zamannya, Sukarno tidak hanya membela dirinya dan PNI, tetapi juga meletakkan dasar-dasar argumentasi bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lebih dari sekadar pledoi, ia adalah sebuah kuliah terbuka tentang hakikat penindasan dan keniscayaan perlawanan, yang gema dan relevansinya terasa hingga kini, mengingatkan bahwa gugatan terhadap ketidakadilan adalah sebuah panggilan sejarah yang abadi.



Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...