Langsung ke konten utama

Metode Pemikiran Dialektika Engels

Dialektika, sebagai metode pemikiran dan analisis realitas, telah menempati posisi sentral dalam tradisi filsafat, khususnya dalam pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels. Bagi Engels, dialektika bukan sekadar teknik berpikir, melainkan sebuah ilmu yang fundamental tentang keterkaitan dan perubahan. Berbeda dengan metafisika yang cenderung melihat fenomena secara terpisah, statis, dan tanpa kontradiksi internal, dialektika Engels berupaya memahami realitas dalam gerak, perkembangan, dan interkoneksi yang dinamis. Melalui tiga hukum utamanya—hukum transformasi kuantitas menjadi kualitas dan sebaliknya; hukum interpretasi yang berkaitan dengan hal-hal yang berlawanan (atau kesatuan dan perjuangan hal-hal yang berlawanan); dan hukum negasi dari negasi—Engels menguraikan bagaimana perubahan terjadi, bukan secara linear, melainkan melalui lompatan kualitatif yang lahir dari pertentangan internal.

Hukum pertama dialektika, hukum transformasi kuantitas menjadi kualitas dan sebaliknya, menegaskan bahwa perubahan bukan hanya bersifat gradual atau inkremental, melainkan juga melibatkan lompatan kualitatif yang mendasar ketika akumulasi perubahan kuantitatif mencapai titik tertentu. Engels menjelaskan bahwa materi dalam dalil ini dijabarkan sebagai suatu peristiwa pada taraf kuantitatif. Misalnya, pengintegrasian lebih rapat lagi bagian-bagian materi dapat menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru. Hukum ini "menjelaskan kemunculan kualitas-kualitas baru dan konsekuensi dari kemunculannya". Perubahan berlangsung melalui mutasi-mutasi kuantitatif yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera hingga mencapai titik yang disebut node.

Ilustrasi klasik untuk hukum ini adalah perubahan wujud air: ketika air dipanaskan hingga seratus derajat Celcius atau didinginkan hingga nol derajat Celcius, ia tidak hanya berubah secara kuantitas suhu, melainkan mengalami transformasi kualitatif menjadi uap atau es. Perubahan ini disebut sebagai taraf-taraf agregasi dari alam. Dalam konteks yang lebih luas, dalil ini juga mengimplikasikan bahwa hidup lebih dari sekadar kegiatan fisika dan kimia, dan bahwa kesadaran adalah lebih dari sekadar kegiatan biologis. Implikasi filosofisnya sangat mendalam: kemajuan kemanusiaan (progress of humanity) tidak terjadi secara gradual, tetapi melalui lompatan-lompatan materi. Lompatan ini dalam wawasan dialektika materialisme disebut sebagai asas revolusi dan dipergunakan sebagai acuan terhadap totalitas kehadiran yang tidak dapat dielakkan. Dalil ini kelak digunakan untuk menganalisis perkembangan kapitalisme yang dalam perspektif sejarah akan sampai pada tataran sosialisme.

Hukum kedua, hukum kesatuan dan perjuangan hal-hal yang berlawanan (the law of the unity and struggle of opposites), atau hukum kontradiksi, adalah inti dari pemikiran dialektika. Engels menyarikan dalil ini dalam karyanya Dialectic of Nature dan Anti-Dubhring. Hukum ini menyatakan bahwa alam bukanlah komponen yang bercerai dan terlepas hubungannya satu sama lainnya. Sebaliknya, setiap kenyataan dalam jagad raya merupakan kesatuan organisme yang di dalamnya terjadi pertentangan dan kontradiksi. Inilah yang menjadi rahasia perkembangan: pertentangan yang dimaksud tidak menjadikan kumpulan komponen menjadi runtuh, justru menjadi kekuatan penggerak bagi kelangsungan alam atau kehidupan manusia. Mengingkari kenyataan kontradiksi ini akan membawa pada pengertian yang statis dan kemandegan seluruh keberadaan.

Engels menegaskan bahwa setiap kesatuan (unity) sekaligus mengandung pertentangan (polar opposites), seperti kutub positif dan negatif dalam elektron. Kontradiksi ini bersifat esensial namun tetap berada dalam kesatuan. Dalam konteks sosial, hukum ini menjelaskan bahwa masyarakat kapitalis (borjuis) dan proletariat saling berhubungan, dan tidak satu pun dari dua golongan ini dapat berkembang tanpa pengaruh dari yang lain. Kaum borjuis sukar dibayangkan kehadirannya tanpa mengeksploitasi kaum buruh, sebaliknya golongan proletar tidak mungkin ada tanpa menyodorkan tenaga kerjanya kepada golongan borjuis. Ini menunjukkan bahwa antagonisme kelas adalah motor penggerak perubahan sosial.

Hukum ketiga, hukum negasi dari negasi (the law of the negation of negation), menggambarkan bagaimana perkembangan terjadi dalam bentuk spiral, bukan linear. Dalam dialektika, satu-satunya yang ada adalah proses menjadi dan proses hancur yang tiada henti-hentinya. Proses ini melalui beberapa tahapan (tesis, antitesis, sintesis) yang masing-masing mengandung unsur penolakan. Apabila sebuah tesis menjadi lemah karena kontradiksi, maka akan muncul antitesis yang mencoba menghilangkan kontradiksi tersebut. Namun, antitesis ini pun pada akhirnya ditolak, dan muncullah sintesis yang mencakup semua unsur yang ada sebelumnya (tesis dan antitesis), tetapi pada saat yang sama, ia menjadi tesis baru yang akan ditolak lagi.

Perkembangan alam dan kehidupan manusia, termasuk sejarahnya, mencakup serangkaian penegatifan: mengingkari dan diingkari, melawan dan dilawan, serta memperantarai dan diperantarai. Proses ini bukan sekadar kompromi, melainkan menuju rekonsiliasi (Aufhebung), di mana bentuk-bentuk lama dihancurkan, namun esensi positifnya dipertahankan dan diangkat ke tingkat yang lebih tinggi. Marx sendiri menggambarkan hukum ini dalam struktur feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme. Kontradiksi internal feodalisme menyebabkan penolakannya terhadap sistem kapitalis, yang merupakan sebuah kemajuan baru. Namun, kapitalisme pun tidak mampu bertahan karena adanya tarikan-tarikan kuat dari sosialisme. Hukum dialektika penolakan atas penolakan ini pada akhirnya membawa optimisme, yaitu adanya kemajuan terus-menerus, di mana setiap konflik akan menghasilkan formulasi baru.

Bagi Engels, dialektika sebagai ilmu tentang keterkaitan dan perubahan adalah sebuah revolusi intelektual. Berbeda dengan metafisika yang cenderung fragmentaris, dialektika melihat realitas sebagai totalitas yang dinamis dan kontradiktif. Ketiga hukum ini memberikan kerangka untuk memahami bagaimana segala sesuatu dalam alam dan masyarakat terus-menerus berkembang melalui pertentangan dan transformasi, bukan dalam stagnasi atau isolasi. Dengan demikian, pemikiran dialektis Engels tidak hanya menjadi metode analisis, tetapi juga panduan untuk tindakan praksis, yang mengisyaratkan bahwa perubahan sosial yang fundamental adalah keniscayaan yang lahir dari dinamika internal masyarakat itu sendiri.


Zlamitan



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...