Langsung ke konten utama

Laut Bercerita: Gema Perjuangan yang Tak Lekang Ditelan Gelombang Kealpaan

Dalam lanskap sastra Indonesia kontemporer, "Laut Bercerita" karya Leila S. Chudori berdiri sebagai monumen pengingat yang pedih sekaligus perkasa. Bukan sekadar jalinan fiksi, novel ini adalah sebuah elegi yang merangkai kepingan sejarah kelam bangsa—penghilangan paksa para aktivis di penghujung era Orde Baru—dengan kepekaan humanis yang menusuk kalbu. Membacanya hari ini, lebih dari dua dekade setelah reformasi, bukan hanya membuka luka lama, tetapi juga memaksa kita untuk merefleksikan makna perjuangan, kehilangan, ingatan kolektif, dan urgensi keadilan yang tak kunjung usai.

Novel ini terbagi dalam dua narasi utama yang saling berkelindan: suara Biru Laut, seorang mahasiswa aktivis yang diculik dan "dihilangkan" pada tahun 1998, dan perspektif Asmara Jati, adik Biru Laut, yang bersama keluarga korban lainnya terus mencari kebenaran dan keadilan bertahun-tahun kemudian. Melalui kedua sudut pandang ini, Chudori dengan mahir membawa kita menyelami pusaran idealisme, persahabatan, cinta, pengkhianatan, brutalitas negara, hingga duka tak bertepi yang diwariskan kepada mereka yang ditinggalkan.

Biru Laut dan kawan-kawannya—Sunu, Daniel, Alex, Kinan, Sang Penyair, dan lainnya—adalah representasi generasi muda yang mendamba perubahan. Mereka berkumpul di "Rumah Hantu" Seyegan, Yogyakarta, mendiskusikan buku-buku "terlarang", merencanakan aksi pendampingan petani, dan mengkritik rezim otoriter dengan keberanian yang membara. Persahabatan mereka digambarkan begitu hangat dan solid, diselingi idealisme yang membuncah dan humor khas anak muda. Bahkan dalam pelarian dan penyekapan, ikatan mereka tetap terasa kuat. Kisah cinta Laut dengan Anjani, seorang seniman Taraka yang melukis mural Ramayana versi subversif, menjadi seberkas cahaya di tengah kegelapan represi.

Namun, narasi Laut tak pelak membawa kita pada babak paling mengerikan: penculikan, penyekapan di tempat tak dikenal, dan serangkaian penyiksaan fisik maupun psikologis yang tak terperi. Deskripsi Chudori begitu detail dan menghunjam, membuat pembaca turut merasakan dinginnya balok es, sengatan setrum, dan kepedihan dari sundutan rokok. Lebih dari sekadar rasa sakit fisik, yang paling meremukkan adalah pengkhianatan oleh kawan sendiri, Gusti Suroso, yang ternyata adalah informan aparat. Momen ketika Laut melihat Gusti memotretnya saat disiksa adalah puncak dari hancurnya kepercayaan dan brutalitas yang tak terbayangkan. Bagian ini menghentak kesadaran tentang betapa rapuhnya supremasi hukum ketika berhadapan dengan kekuasaan absolut yang represif. Proses interogasi tanpa pendampingan hukum, penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan, dan penghilangan paksa adalah pelanggaran HAM berat yang meninggalkan luka abadi. Refleksi diri tak terhindarkan: sejauh mana sistem hukum kita saat ini telah benar-benar berbenah untuk mencegah terulangnya kekejaman serupa? Apakah mekanisme akuntabilitas bagi aparat negara sudah cukup kuat?

Bagian kedua novel, yang dinarasikan oleh Asmara Jati, adalah suara mereka yang "tetap hidup" namun jiwanya terpasung oleh kehilangan dan ketidakpastian Ritual keluarga yang setiap Minggu menyediakan empat piring makan, menanti Biru Laut yang tak kunjung pulang, adalah gambaran duka yang membeku menjadi penyangkalan. Perjuangan para keluarga korban yang tergabung dalam Komisi Orang Hilang, termasuk aksi Kamisan di depan Istana Negara, menjadi simbol perlawanan terhadap kealpaan negara dan tuntutan akan keadilan yang tak pernah padam.

Relevansi "Laut Bercerita" dengan situasi masa sekarang di Indonesia terasa begitu kuat. Meskipun Orde Baru telah runtuh, bayang-bayang impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu masih menghantui. Pencarian kebenaran dan keadilan bagi korban penghilangan paksa, termasuk 13 aktivis yang hingga kini belum diketahui nasibnya (selain yang kembali), adalah utang sejarah yang belum terbayar. Novel ini menjadi pengingat keras bahwa reformasi tidak cukup hanya dengan pergantian rezim, tetapi harus menyentuh aspek fundamental penegakan hukum dan jaminan hak asasi manusia.

Esensi maknawi "Laut Bercerita" terletak pada kekuatan ingatan sebagai bentuk perlawanan. Seperti pesan Sang Penyair kepada Laut, "Matilah engkau mati/ Kau akan lahir berkali-kali", semangat perjuangan dan ingatan akan mereka yang dihilangkan akan terus hidup dan menginspirasi generasi berikutnya. Pesan terakhir Biru Laut kepada Asmara, yang ia titipkan melalui ikan-ikan dan gelombang laut, "aku yakin kau akan menceritakan kisahku kepada dunia", adalah sebuah amanah bagi kita semua untuk tidak melupakan dan terus menyuarakan kebenaran. Leila S. Chudori berhasil melakukan riset mendalam, terlihat dari detail peristiwa, penggambaran suasana, dan wawancara dengan para penyintas serta keluarga korban yang menjadi dasar novel ini. Gaya penulisannya puitis namun tetap lugas, mampu membangkitkan emosi tanpa terjebak sentimentalitas berlebihan.

"Laut Bercerita" adalah sebuah karya sastra yang penting, bukan hanya karena nilai estetikanya, tetapi karena keberaniannya untuk menyuarakan narasi sejarah yang kerap coba dibungkam. Ia adalah refleksi tentang harga mahal sebuah idealisme, kerapuhan kemanusiaan di hadapan kekuasaan brutal, namun juga tentang ketabahan, cinta, dan harapan yang tak pernah benar-benar bisa ditenggelamkan. Membacanya adalah sebuah pengalaman yang menyakitkan, namun mencerahkan—sebuah panggilan untuk tidak pernah berhenti bertanya, mencari, dan menuntut keadilan, agar laut tak lagi hanya bercerita tentang kehilangan, tetapi juga tentang kebenaran yang terungkap.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...