Langsung ke konten utama

Menelusuri Jejak Filsafat di Nusantara: Sebuah Tinjauan Kritis atas "Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia" Karya Ferry Hidayat



Karya Ferry Hidayat, "Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia," hadir sebagai sebuah narasi yang mengajak pembaca menelusuri jejak-jejak pemikiran filosofis yang pernah tumbuh, bersinggungan, dan bertransformasi di bumi Nusantara. Dengan pendekatan yang berupaya "membumikan" filsafat bagi kalangan awam, Hidayat tidak hanya menyajikan kronologi, tetapi juga mengurai tema-tema filosofis penting dalam konteks sejarahnya.

Dari Mitos ke Meja Perdebatan: Akar dan Perkembangan Awal

Hidayat memulai penjelajahannya dari fondasi paling awal: mitologi dan peribahasa. Ia dengan tegas menempatkan mitologi, kosmologi, dan kosmogoni suku-suku primitif sebagai bagian integral dari filsafat Indonesia termula, sejauh ia mengandung fakta-fakta yang diproduksi oleh daya akaliah manusia. Argumen ini didukung dengan mengutip Paul Radin yang menyatakan bahwa manusia primitif pun adalah seorang filosof, serta pandangan Comte, Dardel, dan van Peursen yang menunjukkan bahwa peradaban Barat pun melewati tahap mitis sebelum mencapai tahap saintifik atau fungsional. Hidayat bahkan menunjukkan bagaimana mitos-mitos Yunani kuno masih terabadikan dalam kosakata modern dan ajaran Kristen Barat, serta bagaimana Plato pun melestarikan mitos dalam karya filsafatnya.

Perbandingan antara mitologi Yunani tentang asal mula alam semesta menjadi ilustrasi kuat betapa canggihnya "logika mitos" Nusantara. Begitu pula dengan mitos asal mula manusia, di mana mitos Dayak-Benuaq disejajarkan informasinya dengan mitos Al-Kitab dan Al-Quran. Hidayat menekankan bahwa epistemologi yang digunakan manusia primitif Indonesia adalah inderawiah dan rasional, di mana Alam, Hewan, dan Tetumbuhan dianggap sebagai Guru Segalanya.

Selanjutnya, peribahasa dari berbagai suku seperti Melayu, dan Maluku, diangkat sebagai warisan filosofis yang padat makna, mengandung kebenaran umum dan petunjuk hidup yang diwariskan secara lisan.

Serbuan Filsafat Timur dan Proses "Pengindonesiaan"

Bab berikutnya mengupas "serbuan" filsafat-filsafat Timur. Dimulai dengan kedatangan filsafat Cina melalui imigrasi penduduk antara Dinasti Yao dan Chou yang awalnya tidak terlalu peduli dengan filsafat agung Lao Tzu atau Konfusius, melainkan tetap menganut mitologi pra-Lao Tzu. Namun, seiring waktu, terutama pasca-otoritarianisme Ch'in dan kebangkitan Konfusianisme di era Dinasti Han, ajaran Konfusius yang awalnya humanistik mulai bercampur dengan pemujaan leluhur.

Kemudian, Filsafat India (Hinduisme dan Buddhisme) masuk melalui jalur perdagangan dengan kerajaan Gupta dan Maurya, dengan pengaruh kuat dari Kerajaan Pallawa yang mewariskan huruf Pallawa dan nama-nama berakhiran -warman. Filsafat India ini diadopsi terutama oleh kalangan istana untuk legitimasi kekuasaan melalui kultus Devaraja dan konsep reinkarnasi. Hidayat menyoroti kreativitas filosofis Indonesia dalam menyinkretiskan Hinduisme, Buddhisme, dan kepercayaan lokal.

Masuknya Sufisme Islam, yang diperkirakan dibawa oleh pedagang Gujarat, India, juga tak luput dari proses adaptasi. Para sufi seperti Hamzah Al-Fansuri, Al-Sumatrani, Nur Al-Din Al-Raniri, dan Syekh Yusuf Makassar menjalin hubungan erat dengan penguasa kerajaan Nusantara. Uniknya, Hidayat menyoroti bagaimana Sufisme, yang sering distigma pasifis, memiliki ajaran futuwwah (keksatriaan) yang mendorong perlawanan terhadap kolonialisme, tercermin dalam "Peristiwa Cilegon 1888" dan karya-karya seperti Hikayat Prang Sabi.

Terakhir dari gelombang Timur adalah Reformasionisme Islam, yang merupakan respons terhadap kejumudan akibat dominasi Sufisme. Gerakan yang dipelopori tokoh seperti Syeikh Ahmad Sirhindi dan Muhammad Abdul Wahhab ini menekankan "kembali ke Al-Quran dan Al-Sunnah" dan sempat dipelajari oleh tokoh-tokoh Minangkabau seperti Haji Miskin dan Tuanku Imam Bonjol.

Sepanjang paparan ini, Hidayat konsisten menunjukkan bagaimana filsafat-filsafat asing "di-Indonesiakan", diselaraskan dengan kearifan lokal yang telah berakar sebelumnya, sehingga melahirkan ciri khas Filsafat Indonesia.

Kolonialisme Barat: Adaptasionisme dan Pertarungan Ideologi

Bab keempat menandai pergeseran besar dengan datangnya kolonialisme Barat. Persentuhan awal lebih didorong oleh kompetisi dagang dan perebutan kekuasaan. Selain motif dagang, Portugis dan Spanyol membawa misi Katolikisme, yang kemudian digantikan Protestantisme oleh Belanda. Hidayat mencatat ironi bahwa sementara di Barat Protestantisme disusul Pencerahan, di Indonesia kaum Protestan kolonial justru bertindak barbar demi keuntungan.

Filsafat Renaissance dan Enlightenment Barat baru disebarkan secara terbatas pada abad ke-19 melalui pendidikan untuk kaum elit, melahirkan intelektual seperti Tan Malaka, Soekarno, dan Hatta yang kritis terhadap peniruan Barat secara membabi buta. "Polemik Kebudayaan 1935" antara Ki Hajar Dewantara (adaptasionisme "nasi goreng" dan Sutan Takdir Alisjahbana (westernisme) menjadi simbol pertarungan pandangan ini. Adaptasi juga terjadi dalam Modernisme Islam (Kyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Adaptasionisme Cina (pengaruh Sun Yat-sen pada Kwee Hing Tjiat, dan Adaptasionisme Jepang (pengaruh Bushido pada lembaga militer bentukan Jepang.

Puncak pertarungan filsafat terjadi di meja rapat BPUPKI dan Majelis Konstituante dalam upaya merumuskan philosofische grondslag negara. Aliran Religius, Sosialis-Nasional, dan Nasionalis-Moderat berdebat sengit. Sikap anti-plagiat Barat dan kritik terhadap relevansi filsafat Indonesia lama mewarnai diskusi. Akhirnya, Pancasila lahir sebagai kompromi filosofis, sintesa dari berbagai aliran pemikiran yang ada.

Soekarnoisme, Soehartoisme, dan Dinamika Kontemporer

"Demokrasi Terpimpin" atau Soekarnoisme dianalisis sebagai upaya Soekarno mengadaptasi Demokrasi Barat dengan "kepribadian bangsa Indonesia" yang bergotong-royong, sebuah "demokrasi pra-modern". Ambisinya menyintesa NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme) untuk revolusi gagal karena kontradiksi internal antar-filsafat tersebut dan pemihakannya pada Komunisme. Soekarno juga berperan dalam menggalang "Kekuatan Ketiga" (NEFO) untuk revolusi politik internasional melawan kolonialisme dan neokolonialisme.

Era Soehartoisme digambarkan sebagai periode "desoekarnoisasi" dan "kematian filsafat". Stabilitas politik dan pembangunan ekonomi menjadi mantra, sementara dialektika filosofis diberangus. Filsafat yang hidup hanyalah yang mendukung program pembangunan Soeharto, seperti "Islam Pembangunan" ala Mintaredja dan Nurcholish Madjid dengan gagasan liberalisasi dan sekularisasi (bukan sekularisme) pemikiran Islam. Pancasila mengalami apoteosis menjadi "Filsafat Pancasila" versi Soeharto melalui PMP dan P4, yang mereduksi makna progresif awalnya. Filsafat Etnis Jawa (Kejawen) juga direvitalisasi sebagai "Aliran Kepercayaan". Di tengah hegemoni ini, muncullah "filosof-filosof teoritis" yang lebih fokus pada formulasi teori daripada aksi praktis, seperti Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman, Franz Magnis-Suseno, dan Romo Mangunwijaya. Namun, ada pula yang berani melawan secara terbuka seperti Sri Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko dengan PRD-nya, dan Muchtar Pakpahan.

Tumbangnya Soehartoisme akibat pengorbanan mahasiswa membuka babak baru pencarian "Filsafat Perubahan". Perdebatan muncul mengenai cara perubahan (reformasi, transformasi, revolusi) dan apa yang harus dilakukan pasca-Soeharto, dengan demokratisasi sebagai salah satu tawaran utama. Hidayat menutup dengan refleksi kritis mengenai perubahan yang telah terjadi, mempertanyakan apakah "Soehartoisme" benar-benar telah runtuh atau hanya berganti kulit.

Sebuah Upaya Berharga

"Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia" adalah sebuah kontribusi berharga. Ferry Hidayat berhasil menyajikan narasi yang mengalir, kaya akan data historis, dan tidak ragu mengambil sikap kritis. Penggunaan "kacamata filsafat" dalam melihat tokoh dan peristiwa politik maupun agama memberikan perspektif segar. Kemampuannya merangkai benang merah "adaptasionisme" atau "pengindonesiaan" dari masa ke masa menunjukkan adanya pola konsisten dalam dinamika intelektual Nusantara.

Penting untung mengapresiasi bagaimana Hidayat membangun argumennya dengan menyajikan "bukti-bukti" historis dan kutipan-kutipan primer, meskipun interpretasi tetap menjadi kunci. Buku ini tidak hanya penting bagi mereka yang tertarik pada sejarah filsafat, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami akar pemikiran dan pergulatan ideologis yang membentuk Indonesia hingga hari ini. Ia adalah sebuah "sketsa" yang mengundang penajaman dan perdebatan lebih lanjut, sebuah semangat yang sejatinya adalah inti dari berfilsafat itu sendiri.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...