Langsung ke konten utama

Rencana Ekonomi Berdjuang" Tan Malaka: Sebuah Cetak Biru Kedaulatan Ekonomi dan Relevansinya di Indonesia Kontemporer


Di tengah gejolak revolusi kemerdekaan, ketika Indonesia baru saja memproklamasikan dirinya lepas dari belenggu penjajahan, seorang pemikir dan pejuang radikal, Tan Malaka, merumuskan sebuah konsepsi ekonomi yang visioner. Ditulis pada 28 November 1945 di Surabaya, "Rencana Ekonomi Berdjuang" bukanlah sekadar pamflet agitasi, melainkan sebuah cetak biru ekonomi-politik yang bertujuan mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemakmuran rakyat dan keamanan republik yang sejati. Dengan landasan pemikiran yang tertuang juga dalam magnum opus-nya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan Malaka menawarkan sebuah antitesis terhadap sistem kapitalisme dan imperialisme yang telah lama mengeksploitasi kekayaan nusantara. Pertanyaannya kini, sejauh mana gagasan-gagasan fundamental dalam "Rencana Ekonomi Berdjuang" masih bergema dan relevan dalam denyut nadi perekonomian Indonesia kontemporer?

Salah satu pilar utama dalam pemikiran ekonomi Tan Malaka adalah penolakan tegas terhadap kapitalisme dan segala bentuk intervensi asing dalam pengelolaan aset-aset vital bangsa. Ia menghendaki kemerdekaan 100%, yang berarti alat-alat produksi seperti perkebunan, pertambangan (batu bara, minyak, emas), dan kekayaan alam lainnya harus direbut kembali dan dikelola oleh negara demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, pabrik, tambang, hingga sektor transportasi dan perbankan menjadi agenda sentralnya. Dalam konteks Indonesia masa kini, gagasan ini menemukan resonansinya dalam perdebatan abadi mengenai kedaulatan ekonomi. Isu penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing, divestasi saham perusahaan tambang, peran strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan diskursus mengenai "kemandirian ekonomi" masih menjadi topik hangat. Meskipun Indonesia telah merdeka secara politik, pertanyaan tentang sejauh mana kita berdaulat secara ekonomi, sebagaimana yang dicita-citakan Tan Malaka, masih terus menggugat. Upaya pemerintah dalam beberapa dekade terakhir untuk meningkatkan kepemilikan nasional dalam sektor-sektor strategis dapat dilihat sebagai gema, meskipun dengan kadar dan mekanisme yang berbeda, dari visi Tan Malaka.

Lebih lanjut, Tan Malaka adalah pelopor konsep ekonomi kerakyatan yang berlandaskan sosialisme, yang ia anggap selaras dengan kultur bangsa. Baginya, kesejahteraan kolektif harus diutamakan di atas akumulasi keuntungan segelintir individu atau korporasi. Kekayaan alam yang dikuasai negara dan peran sentral BUMN adalah instrumen untuk mencapai tujuan tersebut. Di Indonesia saat ini, semangat ekonomi kerakyatan ini termanifestasi dalam berbagai program pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pengembangan koperasi, serta diskursus mengenai keadilan sosial dan pemerataan pembangunan. Namun, tantangan ketimpangan ekonomi yang masih lebar, dominasi korporasi besar, dan akses permodalan yang belum merata bagi pelaku ekonomi kecil menunjukkan bahwa "perdjoeangan" menuju ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat masih panjang. Visi Tan Malaka mengingatkan kita untuk terus mengevaluasi apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai telah berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan mayoritas rakyat.

Perencanaan ekonomi terpusat juga menjadi ciri khas pemikiran Tan Malaka, di mana produksi, distribusi, hingga pembagian hasil dan gaji diatur secara terencana oleh negara. Ia bahkan menargetkan bangsa Indonesia menguasai setidaknya 60% alat produksi sendiri. Di era globalisasi dan pasar bebas, model perencanaan terpusat ala Tan Malaka mungkin terlihat sulit diterapkan secara kaku. Namun, esensi dari perencanaan strategis nasional, seperti yang tecermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan kebijakan industrialisasi yang berfokus pada hilirisasi sumber daya alam, menunjukkan adanya upaya untuk mengarahkan ekonomi menuju tujuan tertentu. Tantangan untuk mengurangi ketergantungan impor dan membangun industri nasional yang kuat, sebagaimana yang diidamkan Tan Malaka melalui pendirian pabrik tenun, mesin, dan perkapalan dengan dukungan negara, masih sangat relevan.

Tan Malaka juga memberikan perhatian besar pada kesejahteraan kaum pekerja dan petani. Ia menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar pekerja (pangan, perumahan, kesehatan) dan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk kemakmuran negara. Bagi petani, ia mengusulkan penyediaan perkakas, ternak, pendirian kebun percobaan, dan yang paling fundamental, reformasi agraria melalui penghapusan sisa-sisa feodalisme dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. Isu-isu ini tetap menjadi agenda krusial di Indonesia. Perjuangan serikat buruh untuk upah layak dan jaminan sosial, konflik agraria yang tak kunjung usai, serta tantangan untuk mencapai kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani kecil adalah cerminan bahwa cita-cita Tan Malaka untuk kelas produsen ini masih memerlukan kerja keras berkelanjutan.

Gagasan transmigrasi besar-besaran yang dibiayai negara dari Jawa ke luar Jawa, yang juga diusulkan Tan Malaka, memang telah diimplementasikan dalam sejarah Indonesia dengan berbagai keberhasilan dan persoalannya. Tujuannya untuk pemerataan penduduk dan pemanfaatan sumber daya di luar Jawa, kini perlu dilihat dalam konteks pembangunan daerah yang lebih berkeadilan, berkelanjutan, dan menghargai hak-hak masyarakat adat serta kelestarian lingkungan.

Namun, penting untuk melakukan refleksi kritis. Model ekonomi yang sangat terpusat dan didominasi negara, sebagaimana yang mungkin tersirat dalam beberapa aspek rencana Tan Malaka, juga memiliki potensi risiko seperti inefisiensi birokrasi, kurangnya inovasi akibat minimnya kompetisi, atau bahkan penyelewengan kekuasaan jika tidak diimbangi dengan kontrol demokratis yang kuat. Dalam konteks global saat ini, kemandirian absolut mungkin sulit dicapai, dan interdependensi ekonomi global menjadi sebuah keniscayaan yang perlu dikelola secara bijak.

Warisan terpenting dari "Rencana Ekonomi Berdjuang" dan keseluruhan pemikiran Tan Malaka bukanlah pada detail teknis setiap usulannya, melainkan pada semangat dan fondasi berpikirnya. Semangat Madilog—Materialisme, Dialektika, dan Logika—mengajak kita untuk terus menganalisis kondisi sosial-ekonomi secara kritis, berbasis fakta, dan memahami dinamika perubahan. Dedikasinya yang tak tergoyahkan pada kedaulatan nasional, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat banyak seharusnya menjadi suluh bagi para perumus kebijakan dan setiap warga negara Indonesia.

Dalam menghadapi tantangan ekonomi kontemporer seperti ketimpangan, jebakan utang, penguasaan sumber daya, dan dampak globalisasi, "Rencana Ekonomi Berdjuang" mengingatkan kita akan pertanyaan-pertanyaan fundamental: Untuk siapa ekonomi ini dijalankan? Apakah pembangunan yang kita kejar telah benar-benar memberdayakan dan menyejahterakan seluruh rakyat, atau hanya segelintir elite? Meskipun zaman telah berubah, "perdjoeangan" untuk mewujudkan ekonomi yang berdaulat, adil, dan memakmurkan sebagaimana yang digagas Tan Malaka, tetaplah relevan dan mendesak untuk terus dilanjutkan.


Zlamitan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menempa Akal untuk Mengubah Dunia dengan Panduan Berpikir Kritis ala Madilog

Pendahuluan: Lahirnya Sebuah Alat Berpikir Pada pertengahan tahun 1942, di tengah suasana politik yang membara di bawah pendudukan Jepang, seorang buronan revolusioner bernama Tan Malaka memulai sebuah proyek intelektual yang ambisius. Dalam kesendirian dan persembunyiannya di Rawajati, Jakarta, ia merenungkan sebuah pertanyaan mendasar: dari mana seorang pejuang harus memulai? Di tengah gegap gempita perubahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak memilih menulis pamflet politik yang membakar, melainkan memutuskan untuk menempa sebuah senjata yang lebih fundamental: sebuah cara berpikir. Buku yang lahir dari perenungan ini, Madilog , bukanlah sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah cetak biru untuk merombak fondasi intelektual bangsanya. Pendahuluan buku ini adalah jendela untuk memahami urgensi, kondisi, dan tujuan dari kelahiran mahakarya tersebut. Di Bawah Bayang-Bayang Samurai sebagai Sebuah Titik Mula Untuk memahami mengapa Madilog ditulis, kita harus terlebih dahulu mem...

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia

Dialektika Filsafat Hukum, Konstitusi, dan Tantangan Peningkatan Kualitas Demokrasi Indonesia Dalam kancah kehidupan bernegara, hukum acapkali hadir sebagai entitas yang paradoks. ia adalah cita-cita luhur keadilan yang terukir dalam konstitusi, namun pada saat yang sama, ia juga merupakan realitas pragmatis yang beradaptasi dengan dinamika sosial-politik yang tak terduga. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman dan gejolak, hukum seringkali terasa "mengawang" di tengah idealisme normatif, tetapi kemudian "membumi" dalam praktik penegakan yang sarat kepentingan dan interpretasi. Fenomena ini menciptakan ketegangan abadi antara norma yang seharusnya dan fakta yang senyatanya, sebuah dialektika yang menuntut pemahaman mendalam melampaui sekadar teks perundang-undangan. Esai ini hadir untuk menjembatani jurang antara idealisme filosofis dan realitas konstitusional di Indonesia, sebuah upaya untuk mengurai benang kusut yang melingkupi berbagai i...

Membaca Ulang Peta Pemikiran Karl Marx di Era Digital

Ada hantu bergentayangan di nusantara—hantu Marxisme . Selama lebih dari tiga dekade, hantu ini tidak sekadar menakut-nakuti; ia menjadi justifikasi bagi tumpahnya darah, air mata, dan pedih yang tak terperi . Siapapun yang "dipertautkan" dengannya, atau sekadar "dipersangkakan" sebagai pengikutnya, harus menanggung akibat yang mengerikan . Pelarangan total atas ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sejak 1965 ( TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ) bukan hanya sebuah kebijakan politik, melainkan operasi ideologis berskala masif untuk menciptakan lobotomi intelektual . Akibatnya, seperti yang disiratkan dalam pengantar buku Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx , pemikiran sosial kita menjadi tumpul dan kering . Kita kehilangan mitra dialog yang tajam, sebuah cermin kritis untuk menguji ideologi-ideologi lain yang hidup di republik ini . Maka, mengabaikan pemikiran Karl Marx, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah "kecelakaan ilmiah"...