Pada penghujung abad ke-20, ketika Tembok Berlin runtuh berkeping-keping dan Uni Soviet goyah diambang kehancuran, dunia diselimuti euforia dan ketidakpastian. Di tengah gegap gempita perubahan tektonik itu, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat keturunan Jepang, Francis Fukuyama, melontarkan sebuah tesis yang bukan hanya provokatif, tetapi juga terdengar begitu meyakinkan pada masanya. Dalam esainya yang kemudian diperluas menjadi buku The End of History and the Last Man, Fukuyama dengan percaya diri mendeklarasikan bahwa umat manusia telah tiba di penghujung perjalanan ideologisnya. Demokrasi liberal, yang berpadu dengan ekonomi kapitalis, bukanlah sekadar pemenang Perang Dingin tetapi adalah "bentuk final pemerintahan manusia" dan "titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia".
Ini bukan berarti peristiwa-peristiwa dramatis akan berhenti terjadi. Pembantaian, kudeta, dan konflik akan terus mengisi lembaran surat kabar. Namun, "Sejarah" dengan huruf 'S' besar—yang dipahami dalam tradisi filsuf Jerman G.W.F. Hegel sebagai sebuah proses evolusi tunggal yang koheren dan terarah—telah mencapai tujuannya. Pertanyaan-pertanyaan besar mengenai bentuk tatanan masyarakat yang paling adil dan rasional telah terjawab. Setelah menaklukkan monarki, fasisme, dan komunisme, demokrasi liberal berdiri tanpa pesaing ideologis yang kredibel.
Bagi generasi yang dibesarkan dalam pesimisme historis akibat dua perang dunia dan ancaman perang nuklir, tesis Fukuyama terasa seperti hembusan udara segar. Ia menawarkan sebuah narasi besar yang optimistik, sebuah kerangka untuk memahami kemenangan Barat bukan sebagai kebetulan sejarah, melainkan sebagai puncak dari sebuah proses historis yang panjang dan logis. Namun, lebih dari tiga dekade setelah tesis ini dilontarkan, di tengah kebangkitan otoritarianisme baru, krisis dalam demokrasi liberal itu sendiri, dan munculnya tantangan-tantangan global yang tak terduga, masih relevankah gagasan tentang "akhir sejarah"? Atau, apakah kita justru menyaksikan bukti-bukti bahwa Sejarah enggan untuk berhenti?
Dua Mesin Penggerak Sejarah
Untuk memahami kekuatan argumen Fukuyama, kita perlu menyelami dua mekanisme fundamental yang menurutnya mendorong Sejarah menuju demokrasi liberal. Keduanya bekerja secara paralel untuk membentuk dunia modern. Mekanisme pertama bersifat materialistis, yaitu pada area logika sains alam modern. Fukuyama berpendapat bahwa pengembangan metode ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 dan ke-17 telah menciptakan proses yang kumulatif dan terarah. Sains melahirkan teknologi yang tidak hanya memberikan keunggulan militer—memaksa semua negara untuk memodernisasi agar tidak tertinggal —tetapi juga menetapkan cakrawala produksi ekonomi yang seragam. Modernisasi ekonomi menuntut urbanisasi, pendidikan universal, dan pembentukan negara-bangsa yang terpusat dan rasional. Pada akhirnya, logika ini mengarah pada kapitalisme, karena ekonomi terpusat terbukti tidak efisien dalam mengelola masyarakat industri kompleks yang berbasis informasi dan inovasi teknologi. Namun, Fukuyama mengakui bahwa mekanisme ini tidak cukup. Ia bisa menjelaskan mengapa kita hidup di kota dan bekerja di kantor, tetapi tidak menjelaskan mengapa kita menuntut untuk menjadi demokrat. Ada banyak contoh negara otoritarian yang berhasil mencapai kemajuan ekonomi kapitalis, dari Jerman era Bismarck hingga Singapura kontemporer.
Di sinilah mekanisme kedua yang lebih filosofis masuk, yaitu perjuangan untuk memperoleh pengakuan (struggle for recognition). Meminjam konsep sentral Hegel, Fukuyama berpendapat bahwa manusia berbeda dari binatang bukan hanya karena memiliki hasrat dan akal, tetapi juga karena memiliki apa yang disebut Plato sebagai thymos—bagian jiwa yang menuntut pengakuan atas martabat dan nilai diri. Hasrat untuk diakui inilah, menurut Hegel, yang pada mulanya mendorong manusia ke dalam pertarungan hidup-mati demi gengsi, yang melahirkan hubungan antara Tuan dan Budak. Seluruh tatanan masyarakat aristokratis di sepanjang sejarah pada dasarnya dibangun di atas pengakuan yang tidak setara ini. Namun, sistem ini secara inheren tidak stabil dan tidak memuaskan. Sang budak tidak diakui sebagai manusia, dan pengakuan yang diterima sang tuan pun cacat karena ia hanya diakui oleh budak yang tidak setara.
Ketidakpuasan inilah yang menjadi "kontradiksi" penggerak Sejarah. Puncaknya adalah Revolusi Amerika (19 April 1775 – 3 September 1783) dan Perancis (5 Mei 1789 – 9 November 1799), yang menghapuskan perbedaan antara Tuan dan Budak dengan menciptakan prinsip kedaulatan rakyat dan aturan hukum. Dalam negara liberal, setiap warga negara mengakui martabat warga negara lainnya, dan negara mengakui martabat semua warganya melalui jaminan hak. Inilah sistem pengakuan universal dan timbal balik yang akhirnya memuaskan hasrat thymotic manusia. Karena tidak ada tatanan sosial lain yang mampu memenuhi kerinduan fundamental ini, maka tidak akan ada lagi perkembangan sejarah yang progresif.
Kelemahan Negara-Negara Kuat dan Kemenangan Ide Liberal
Argumen Fukuyama menemukan pijakan empirisnya pada gelombang demokratisasi yang menyapu dunia pada akhir abad ke-20. Ia secara tajam menganalisis "kelemahan negara-negara kuat," baik dari spektrum kanan maupun kiri. Rezim otoritarian sayap kanan di Eropa Selatan (Spanyol, Portugal, Yunani) dan Amerika Latin runtuh bukan karena revolusi berdarah, melainkan karena krisis legitimasi internal. Para jenderal dan diktator ini tidak lagi memiliki ideologi yang koheren untuk membenarkan kekuasaan mereka. Mereka hanya bisa mengklaim diri sebagai solusi transisional atas krisis, sambil secara implisit pada akhirnya harus menerima superioritas prinsip demokrasi.
Keruntuhan komunisme, bagi Fukuyama, adalah bukti yang lebih kuat lagi. Totalitarianisme, yang bercita-cita mengontrol seluruh aspek kehidupan dan menciptakan "manusia baru" , pada akhirnya gagal secara fundamental dalam mengontrol pikiran. Kegagalan ekonomi yang parah dan warisan kebrutalan rezim menghancurkan klaim legitimasi Marxisme-Leninisme, bahkan di kalangan elite partai itu sendiri. Krisis ini membuktikan bahwa bahkan negara yang paling represif sekalipun tidak dapat memadamkan hasrat manusia untuk diakui sebagai individu yang bebas dan bermartabat. Kemenangan yang diraih, menurut Fukuyama, bukanlah kemenangan praktik liberal semata, melainkan kemenangan ide liberal itu sendiri.
Hantu "Manusia Terakhir" di Ujung Sejarah
Namun, Fukuyama bukanlah seorang optimis yang naif. Di bagian akhir bukunya, ia menyajikan sebuah kritik yang paling tajam dan paling mengganggu, yang dipinjam dari filsuf Friedrich Nietzsche yaitu "Manusia Terakhir" (The Last Man). Jika demokrasi liberal menjanjikan perdamaian dan kemakmuran, dan jika perjuangan besar untuk pengakuan telah berakhir, apa yang tersisa bagi manusia? Nietzsche khawatir bahwa masyarakat demokratis modern akan menghasilkan manusia tanpa "dada"—makhluk yang hanya terdiri dari hasrat (untuk kenyamanan) dan akal (untuk memenuhi hasrat itu), tetapi kehilangan thymos, kebanggaan, dan hasrat untuk diakui lebih unggul dari yang lain.
Manusia Terakhir adalah warga negara yang puas dengan keamanan dan konsumsi, yang tidak lagi bersedia mempertaruhkan nyawa untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi karena tidak ada lagi tujuan yang dianggap layak untuk diperjuangkan. Ia adalah spesialis tanpa spirit, hedonis tanpa hati. Fukuyama bertanya dengan cemas, apakah kehidupan di akhir sejarah, yang "terpuaskan sepenuhnya" oleh pengakuan universal, akan menjadi kehidupan yang dangkal dan tanpa makna? Dan yang lebih penting, tidakkah kebosanan dan kehampaan ini justru akan mendorong manusia untuk kembali memulai Sejarah, untuk kembali terlibat dalam peperangan berdarah demi gengsi, hanya untuk membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar "manusia terakhir" yang hina?
Sejarah yang Menolak Berakhir
Saat tesis ini kita bawa konteksnya pada masa sekarang (saat esai ini ditulis), tesis Fukuyama tampak profetik sekaligus rabun. Ia benar dalam mengidentifikasi kekuatan ide demokrasi liberal sebagai aspirasi politik yang paling kuat dan universal di zaman kita. Runtuhnya rezim-rezim otoritarian seringkali diikuti oleh tuntutan demokrasi, bukan ideologi alternatif lainnya. Namun, sudut pandang sejarah pasca-1992 telah menyajikan tiga tantangan besar bagi optimismenya:
Kebangkitan Otoritarianisme Kapitalis. Model Tiongkok modern secara langsung menantang hubungan kausal yang dibuat Fukuyama antara kapitalisme maju dan demokrasi liberal. Tiongkok telah menunjukkan bahwa sebuah rezim otoritarian dapat menghasilkan kesejahteraan material yang luar biasa dan stabilitas sosial tanpa memberikan pengakuan universal dalam bentuk hak-hak politik. Ini bukan lagi "kelemahan negara kuat," melainkan sebuah model alternatif yang, meskipun tidak memiliki daya tarik ideologis universal, menawarkan dirinya sebagai contoh pragmatis bagi negara-negara berkembang lainnya.
Kembalinya Politik Identitas dan Agama. Fukuyama berpendapat bahwa nasionalisme dan agama adalah bentuk-bentuk pengakuan "irasional" yang pada akhirnya akan didomestikasi oleh negara liberal universal. Namun, konflik etnis brutal di Balkan (yang terjadi bersamaan dengan penulisan bukunya), kebangkitan politik Islam yang militan, dan gelombang nasionalisme populis di seluruh dunia—termasuk di dalam negara-negara demokrasi liberal yang mapan—menunjukkan bahwa hasrat untuk pengakuan partikular (berdasarkan suku, bangsa, atau agama) masih sangat kuat dan berpotensi merusak tatanan liberal.
Krisis Internal Demokrasi Liberal. Tesis "akhir sejarah" mengasumsikan bahwa demokrasi liberal bebas dari "kontradiksi internal yang fundamental". Namun, fenomena seperti meningkatnya ketimpangan ekonomi, polarisasi politik yang ekstrem, erosi kepercayaan pada institusi, dan munculnya para pemimpin populis di Amerika dan Eropa menunjukkan adanya kontradiksi yang serius. Demokrasi liberal mungkin telah memenangkan pertarungan melawan musuh-musuh eksternal abad ke-20, tetapi kini ia menghadapi tantangan dari dalam dirinya sendiri, yang berakar pada ketegangan antara kebebasan dan kesetaraan, serta antara elitisme dan populisme.
Pada akhirnya, warisan terbesar Fukuyama mungkin bukanlah jawabannya, melainkan pertanyaannya. Ia memaksa kita untuk berpikir secara historis dan filosofis tentang kondisi kita saat ini. Mungkin "akhir sejarah" yang ia proklamasikan lebih tepat dipahami bukan sebagai pemberhentian waktu, melainkan sebagai akhir dari sebuah era di mana narasi-narasi besar yang saling bersaing (liberalisme, komunisme, fasisme) mendefinisikan konflik global.
Apa yang kita saksikan sekarang bukanlah dunia tanpa sejarah, melainkan dunia dengan sejarah yang lebih terfragmentasi, kompleks, dan tak terduga. Perjuangan untuk pengakuan masih terus berlangsung, tetapi tidak lagi dalam arena pertarungan ideologi universal yang tunggal. Ia terjadi dalam benturan antara globalisme dan nasionalisme, antara universalisme hak dan partikularisme budaya, dan, yang paling mengkhawatirkan, dalam kehampaan spiritual "Manusia Terakhir" yang mungkin kita semua sedang menuju ke sana. Sejarah belum berakhir; ia mungkin hanya sedang mengambil napas sebelum memulai babak baru yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.
Zlamitan
Komentar
Posting Komentar